Menunggu sebuah kepastian memang suatu yang tidak nyaman, menyebalkan, membosankan, membuat cemas, penuh ragu, penuh harap. Namun menunggu itu lebih baik daripada diriku tidak tahu adakah yang ku tunggu ? adakah ku nantikan ? adakah yang menungguku ? adakah yang menantiku ? adakah harapan ?.
Paling tidak, ketika menunggu, diriku masih punya sesuatu untuk dirindukan. diriku masih memiliki alasan untuk terus maju, sekecil apa pun itu. Menanti juga membawa ke dalam hati ku sedikit pengharapan, meski terkadang samar, bahwa ada seseorang atau sesuatu yang mungkin sedang menunggu kita juga. Dalam hati yang penuh harap, selalu ada tempat bagi sebuah keajaiban kecil yang bisa datang kapan saja, memberi jawaban pada penantian yang panjang.
Teruslah berharap, karena harapan itulah yang membuatku tetap kuat dalam penantian. Meskipun mungkin takdir belum mempertemukanku dengan kepastian yang kuharapkan, setidaknya aku masih memiliki impian yang menjadikan langkahku tetap teguh ke depan. Harapan inilah yang menjadi satu-satunya penghibur dalam hari-hari yang panjang dan sepi di balik jeruji.
Di tengah penantian itu, aku sangat mendambakan komunikasi dengan dunia luar—terutama dengan pengacaraku. Sepanjang masa hukumanku, belum sekalipun ada yang datang mengunjungiku. Rasanya bagai terputus dari setiap kesempatan untuk memperjuangkan keadilan. Betapa pentingnya setiap kunjungan, panggilan telepon, atau secarik kabar dari luar. Bagi kami, para narapidana, komunikasi adalah lebih dari sekadar bertukar pesan. Ini adalah penghubung yang mengaitkan kami dengan dunia nyata, sebuah cara untuk merasakan sedikit kebebasan di tengah keterbatasan.
Penjara ini menyediakan fasilitas kunjungan bagi mereka yang masih memiliki keluarga. Tersedia lima kamar khusus—sederhana seperti losmen murah namun bersih—tempat para narapidana dapat bertemu keluarga mereka. Ruangan kecil ini berisi ranjang dan meja kursi seadanya, menciptakan sedikit kehangatan di tempat yang dingin dan sepi.
Namun, proses kunjungan bukanlah perkara mudah. Hanya keluarga inti yang diizinkan berkunjung, itupun setelah mendaftar dan membayar biaya tiket kapal yang cukup mahal.
Demi keamanan, setiap pengunjung menjalani pemeriksaan menyeluruh. Tidak boleh ada ponsel, jam tangan, atau barang logam lainnya yang dibawa masuk. Semua barang pribadi disimpan di loker, bahkan hadiah atau bingkisan kecil dilarang untuk menghindari risiko penyelundupan. Prosedur ketat ini, meskipun penting untuk keamanan, membuat setiap pertemuan terasa kaku dan jauh dari keintiman.
Kunjungan terakhir
Hari itu langit kelabu Minggu pagi, kuperhatikan seorang napi yang sedang gelisah menanti kedatangan keluargannya, diriku seolah ikut merasakan kegelisahan di hati seorang narapidana itu. Ia masih muda, sedikit lebih tua dari diriku, sekitar awal tiga puluhan, dia dihukum dengan kasus berat: penyelundupan narkoba internasional. Sudah lebih dari tiga tahun dia menghuni lapas ini, terpisah dari keluarganya. Hari ini, seiring jadwal kedatangan kapal, keluarganya akhirnya datang menemuinya, meskipun dengan biaya yang mahal untuk menyeberang ke pulau ini.
kuperhatikan petugas menghampiri narapidana itu, mereka berjalan menuju ruang kunjungan, ruang kecil sederhana dengan ranjang dan meja kursi kayu.
---
Jantungnya berdebar kencang saat membayangkan pertemuan itu. Ia bertanya-tanya, apakah anak-anaknya masih mengenalnya, atau apakah mereka sudah menjadi orang asing baginya.
Tak lama, pintu terbuka. Suaminya masuk lebih dulu, wajahnya menua, kerutan di sudut mata dan senyum lelah menandakan tahun-tahun yang berat. Di belakangnya, kedua anaknya melangkah masuk—putrinya yang kini remaja dan adik kecilnya yang canggung menggenggam erat tangan ayah mereka.
"Bu..." anak bungsunya berbisik lembut, berhenti di dekat pintu, ragu untuk melangkah lebih jauh.
"Hai, Sayang," sapanya lembut, suaranya bergetar. Ia ingin memeluk, namun langkah mereka terasa begitu jauh.
Putri sulungnya duduk di kursi tanpa banyak bicara, tampak enggan. "Tempat ini... membosankan. Ga boleh bawa HP, ga ada TV," gumamnya, sambil memandang ke lantai.
Narapidana itu tersenyum samar. "Iya, maaf ya... Tapi ibu senang kalian datang. Sudah lama banget kita enggak ketemu."
Ayahnya mencoba mencairkan suasana. "Kemarin adikmu ikut lomba nyanyi di sekolah. Meskipun gugup, dia menang, lho!" katanya dengan nada ceria.
Anak bungsunya tersenyum tipis, tapi hanya mengangguk. Matanya menatap ke arah penjaga yang berdiri di dekat pintu.
"Seru, ya, Nak? Kamu suka nyanyi?" sang ibu bertanya, mencoba meraih perhatian mereka.
Anak bungsunya kembali hanya mengangguk, pandangannya menjauh.
"Ibu, kapan pulang?" tanyanya pelan, namun pertanyaannya menggantung di udara.
Sang ibu terdiam, mencari kata-kata yang tepat. "Belum bisa sekarang, Sayang. Tapi, ibu selalu ingat kalian, selalu berdoa," jawabnya perlahan.
Putri sulungnya masih duduk diam, sesekali melirik jendela berjeruji di dinding. Ia tampak canggung, tidak nyaman berada di ruangan itu.
"Kamu sudah besar sekarang," kata ibunya dengan lembut, mengulurkan tangan mencoba menyentuhnya. "Masih ingat waktu kita main ke pantai? Kalian senang banget main pasir di sana."
Putrinya menghela napas, menghindari tatapan ibunya. "Iya, itu dulu," katanya singkat, seolah-olah kenangan itu terlalu jauh untuk dijangkau.
Waktu terus berlalu, dan narapidana itu berusaha menahan kegelisahan yang merambat di hatinya. Dunia mereka terasa semakin berbeda—anak-anaknya semakin jauh, tenggelam dalam kehidupan yang tak lagi ia kenal.
"Gimana sekolah kalian? Teman-teman kalian baik-baik aja?" tanyanya lagi, mencoba mencari celah untuk menyentuh hati mereka.
Putri sulungnya mengangkat bahu. "Biasa aja," jawabnya pendek. "Teman-temanku sih minggu depan mau ke mal. Aku juga mau ikut kalau diizinin."
Ibunya menarik napas panjang, mencoba menahan perasaan yang mendesak di dada. "Iya, kalau kamu bisa izin, pergilah. Yang penting kalian bahagia," katanya pelan.
Anak-anak akhirnya meninggalkan ruangan, menuju halaman. Kini ia hanya berdua dengan suaminya.
Bagi banyak narapidana, momen seperti ini membawa emosi campur aduk. Ada yang merasa bahagia bisa kembali bersama, namun ada pula yang merasa malu, asing. Penjara telah mengubah mereka. Bagi beberapa orang, bertemu suami terasa seperti menghadapi seseorang yang dulu dekat, namun kini terpisah oleh jarak yang tak terlihat.
Suaminya lalu menyerahkan sepucuk surat. Kertas itu berkerut di tangannya, tintanya kabur karena air mata. "Cerai." Kata itu terngiang-ngiang di kepalanya. Setahun sudah sejak terakhir kali mereka bertemu, saat suaminya masih menunjukkan cinta dan keyakinan yang dalam.
Ia teringat kembali momen-momen itu: penangkapan, persidangan, vonis seumur hidup. Selama itu semua, suaminya selalu di sisinya, memperjuangkan kebebasannya. Bahkan setelah vonis, ia terus mengunjunginya, memberikan kabar dan harapan. Meski semua bukti melawan, ia tetap yakin bahwa istrinya tidak bersalah.
Namun, ketika upaya banding gagal, segalanya berubah. Pemindahan ke penjara terpencil menguji keteguhan itu. Jarak semakin memperdalam keheningan. Dan kini, ia harus menghadapi kenyataan pahit ini.
Ia membaca ulang surat itu, setiap kata menoreh luka. Ini adalah perpisahan yang formal namun mendalam. Suaminya harus melanjutkan hidup, membangun kebahagiaan baru, dan ia tidak bisa menahan suaminya dalam keadaannya ini.
Sebuah tawa getir keluar dari bibirnya. Ia merasa menjadi tawanan, tak hanya dinding penjara tapi juga masa lalunya sendiri. Cinta suaminya yang dulu menjadi pelindung, kini terasa seperti beban. Surat cerai ini adalah bentuk pengorbanan, bukti bahwa suaminya ingin ia hidup dengan lebih damai.
Ia menyimpan surat itu dengan perasaan yang anehnya damai. Rasa sakit itu ada, namun bercampur dengan penerimaan. Ia kini bebas dari rasa bersalah, bebas untuk menerima situasinya. Cinta dan kenangan akan tetap ia bawa, sebagai mercusuar dalam hidupnya di balik dinding penjara. Baginya, ini bukanlah akhir, melainkan awal dari babak baru.
Waktu kunjungan berlalu cepat. Saat harus berpisah, ia mencoba memeluk anak-anaknya. Si kecil akhirnya memeluknya erat, meski sebentar. Sang putri remajanya juga memeluk, walau terasa kaku, seperti kewajiban semata.
----
Setelah keluarganya pergi, kuperhatikan ia duduk sendiri, menatap pintu yang kembali tertutup. Dunia luar terasa semakin jauh, sekadar bayangan di balik dinding-dinding penjara. Ia menyadari bahwa hidupnya di penjara bukan hanya membatasi kebebasan fisiknya, tetapi juga hubungannya dengan orang-orang yang ia cintai.
Meski hatinya berat, ia tetap berharap. Mungkin suatu hari nanti anak-anaknya akan mengerti. Mungkin dinding penjara ini tak akan terasa begitu dingin. Namun untuk sekarang, ia hanya bisa menunggu, berpegang pada harapan yang rapuh dan hubungan yang masih tersisa.
Ketika keluarganya pergi, narapidana itu duduk terdiam dengan tatapan kosong. Dunia di luar penjara terasa semakin jauh, seolah-olah hanya bayangan yang samar di balik dinding yang dingin. Hatinya masih berharap, suatu hari nanti, anak-anaknya akan mengerti dan menerima. Meski sekarang, hanya ada jarak yang tak kasat mata, ia berpegang pada harapan kecil untuk hubungan yang masih tersisa, sekecil apa pun.
Kepastian yang kutunggu
Setelah seminggu berlalu, segala perasaan yang sempat aku alami mulai membentuk ritme baru dalam hidupku. Hari-hari di penjara selalu terasa lama dan kosong, namun dalam beberapa hari terakhir, ada sedikit cahaya yang menerobos dari celah-celah gelap. Tentu saja, semuanya masih sangat rapuh, tetapi harapan itu perlahan tumbuh kembali—sebuah harapan yang pertama kali datang dari percakapan singkat dengan pengacara yang baru, Maulana Yusuf.
Diriku baru saja selesai latihan beladiri silat, saat sedang makan siang lauk ikan asin favoritku yang sederhana di ruang makan, seorang petugas datang menghampiriku. "Sarah, ada panggilan telepon dari pengacaramu," katanya sambil tersenyum tipis. Diriku terkejut.
Tanpa berpikir panjang, aku bergegas mengikuti petugas menuju ruang telepon. Perjalanan pendek itu terasa semakin tegang, setiap langkahku seakan menambah detak jantungku yang berdebar. Ketika akhirnya aku berada di ruang telepon, aku menarik napas dalam-dalam sebelum mengangkat gagang telepon.
"Halo Assalamualaikum, Sarah?" Suara pengacaraku terdengar dari ujung telepon.
"Iya, Waalaikumsalam, Pak Maulana. Ada kabar apa?" tanyaku, suara sedikit gemetar meski aku berusaha terdengar tenang.
"Akhirnya ada kabar baik. Mahkamah Agung menerima permintaan peninjauan ulang kasusmu. Sidang akan digelar tiga bulan lagi," jawabnya dengan nada yang lebih cerah, seolah merasakan kekhawatiran dan harapan yang sama denganku.
Berita itu menghantamku seperti gelombang yang tiba-tiba datang. Hati ini seperti diterangi secercah harapan yang telah lama padam. Namun, rasa senang ini juga bercampur dengan kekhawatiran yang mendalam. Tiga bulan lagi. Sebuah waktu yang terasa begitu panjang, namun juga seperti detik yang akan berlalu begitu cepat.
"Bagaimana menurut Anda, Pak Maulana? Apakah ada harapan?" tanyaku, suara nyaris berbisik, mencoba menangkap makna lebih dalam dari kalimat yang baru saja ku dengar.
"Selalu ada harapan, Sarah. Tapi kamu harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tetap kuat, ya?" jawabnya, menambahkan nada yang menguatkan.
Diriku mengangguk walaupun tahu pengacaraku tidak bisa melihatnya. "Terima kasih, Pak Maulana."
"Ada satu lagi yang perlu saya sampaikan, Sarah," lanjutnya dengan nada sedikit berat. "Untuk keperluan sidang, kamu akan dipindahkan ke Lapas Perempuan di ibu kota. Saya sedang mengurus perizinannya ke Kanwil Pemasyarakatan. Mudah-mudahan minggu depan sudah ada keputusan."
Begitu telepon ditutup, aku mencoba mengatur nafas yang berdebar. Berita ini seolah membawa harapan baru, meski juga menyisakan kecemasan dan keraguan.
Tiga bulan menanti sidang mungkin terasa seperti waktu yang panjang, tetapi bagi seseorang yang telah bertahun-tahun hidup dalam penantian, setiap hari adalah perjuangan. Setiap harapan adalah penyemangat untuk terus bertahan.
Setelah menutup telepon, diriku kembali ke lapangan voli. Beberapa teman mendekat dan menyambutku dengan tatapan penasaran.
"Mbak, sopo sing telepon, Pak Maulana yo? Onok kabar apik ta?" tanya Dina, salah satu teman terdekatku, sambil tersenyum penuh rasa ingin tahu.
Aku tersenyum tipis, mencoba meredam rasa bahagia yang bercampur cemas. "Iyo, pengacaraku ngomong, sidang Peninjauan Kembali-ku wis dijadwalno."
Mereka serempak bersorak kecil. "Wah, sangar kon!" seru Dina dengan senyum lebar di wajahnya.
"Tapi awakku jek wedi," kataku lirih, "Yes, I'm afraid it will fail again." Mereka mengangguk paham, tak berkata banyak namun ekspresi mereka menunjukkan bahwa mereka mengerti.
"Iku wajar seh, Mbak," jawab Dina, "awak dewe kan ga onok sing ngerti masa depan, uri iku ga onok sing pasti, Tapi, awakmu kudu tetep semangat. Ini salah siji dalan uripmu sing kudu dilakoni, sopo ngerti berhasil." Nasehat Dina yang sok bijak, tapi tetap menenangkan.
Aku menarik nafas panjang, merasa sedikit lebih ringan. Hari-hari di lapas sering kali mengajarkan kami untuk saling menguatkan. Di tengah dinding-dinding tebal yang membatasi, persahabatan dan dukungan satu sama lain menjadi penopang kehidupan kami.
"Lek, awakmu butuh latihan ngomong gawe sidang, iso tak ajari, aku ta pura-pura dadi jaksa sing galak," gurau Dina sambil terkekeh.
Diriku tertawa kecil, merasa bersyukur atas kehadiran mereka. "Iyo, awakmu kan pancen emosian!"
Kami pun tertawa bersama, menikmati momen kecil kebahagiaan ini. Bagi kami, meski terkadang hidup terasa berat, ada harapan yang membuat kami tetap bertahan. Sebuah harapan kecil, namun cukup besar untuk menerangi hari-hari yang gelap di balik tembok penjara ini.