Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 21 - Bimbang

Chapter 21 - Bimbang

Suatu malam, kami melepas lelah setelah seharian bekerja, sambil menunggu saat makan malam di temaram sinar lampu minyak berasap hitam berbau sangit, di celah jeruji kupandang langit mulai gelap, Diriku dan Bu Hera duduk bersama di kuridor blok hunian Lapas. "sepertinya malam ini menu istimewa, sudah tercium sedapnya" ujarku. Benar, malam ini, hidangan kami cukup istimewa—ikan segar hasil tangkapan rekan kami tadi siang dan masih hangat baru diangkat dari pembakaran, makin nikmat disantap bersama sambal mentah dan lalapan sayur dari bahan-bahan organik hasil kebun kami sendiri. Makan malam ini bukan sekadar hidangan; bagi kami, setiap gigitan adalah hasil dari kerja keras di pantai di sawah, di ladang, di dapur dan persahabatan antar napi yang terjalin seiring waktu.

Di tengah suasana hangat itu, Bu Hera—mantan hakim yang ku anggap sebagai penghancur hidupku—menyampaikan sebuah usul yang mengejutkanku. Dengan nada serius namun lembut, ia berkata, "Sarah, saya sudah memikirkan ini cukup lama. Kamu harus mengajukan Peninjauan Kembali atas kasusmu. saya akan membantu sebisaku. Ada banyak celah yang mungkin bisa mengubah putusanmu. Ini bisa jadi jalan keluarmu."

Diriku terpaku. Bu Hera yang dulu menudingku tanpa ampun, kini menjadi sosok yang kuanggap sebagai ibu, menawarkan jalan kebebasan yang mungkin tak pernah bisa kupikirkan sendiri. Waktu telah mengubah segalanya di antara kami. Sejak kepergian ibu kandungku, sosok Bu Hera kini mengisi tempat itu dalam hatiku. Ia melihatku sebagai anak, dan aku pun begitu—menganggapnya sebagai ibu yang selama ini tetap ada, bahkan di tempat terpencil seperti ini.

Namun, usulan Bu Hera membuat hatiku gundah. Pikiran untuk kembali ke dunia luar, untuk meraih kebebasan, menggoda dan membayang di depan mataku. Tapi kemudian, keraguan itu muncul, menghantui pikiranku. "Bu… kalau saya bebas, apa artinya kalau Ibu tetap tinggal di sini? Bagaimana bisa saya meninggalkan Ibu di tempat ini setelah semua yang kita lalui bersama?"

Bu Hera menatapku dengan pandangan penuh kasih sayang dan ketegasan. "Sarah, kau layak mendapatkan kesempatan untuk menjalani hidupmu. Kau masih muda. Aku sudah membuat kesalahan besar, dan inilah kesempatanku untuk menebusnya. Jangan sia-siakan kesempatan ini hanya karena ku."

Aku terdiam, terharu dengan ketulusan di matanya. Suasana malam yang hening mengelilingi kami, hanya suara samar angin malam dan gemerisik pepohonan yang menemani. Dalam keheningan itu, aku mulai merenungi apa arti kebebasan ini bagiku—dan bagi Bu Hera, ibu penyelamat yang tak pernah kuduga akan ada di hidupku.

Malam itu, di tengah percakapan yang penuh harapan dan keraguan, terbuka pintu kemungkinan baru. Sebuah pintu untuk kesempatan kedua, baik bagiku maupun untuknya.

Bimbang

Diriku menatap beliau dengan mata lelah. "Tapi... apa gunanya, what for?" kataku, suaraku bergetar. "Diriku sudah terperangkap di sini begitu lama. Apa yang bisa berubah?"

Ibu penyelamatku menggenggam tanganku, matanya penuh keyakinan. "Karena harapan itu penting, nak. Tanpa harapan, kita tidak bisa hidup. Ini bukan hanya tentang kebebasanmu, tetapi tentang mengembalikan kebenaran yang hilang."

"Tapi jika aku gagal lagi? Jika mereka menolak permohonanku sekali lagi?" tanyaku, rasa putus asa mulai menyelimuti pikiranku.

"Jika kita tidak berjuang, kita sudah kalah," jawab Bu Hera tegas.

"Kita akan melakukan ini bersama. Aku akan ada di sampingmu setiap langkah. Saya akan mencari bantuan hukum, dan kita akan mengumpulkan semua bukti yang mungkin kita butuhkan. Saya tidak ingin melihatmu lebih menderita lagi karena ku," kata Bu Hera, merasa bersalah.

"Sudah biarkan ku hidup di sini, semuanya akan baik-baik saja. diriku sudah terbiasa dengan penderitaan, yang terpenting kita tetap bersama di sini," kataku, menatap Bu Hera dengan penuh kasih.

"Kamu layak mendapatkan kesempatan kedua. Kita akan menghadapinya bersama, dan apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu."

Seberkas harapan baru muncul di dalam diriku, meskipun masih samar. "Baiklah, Bu. Mari kita coba," kataku pelan, hatiku berdebar.

Ibu penyelamatku tersenyum, menegaskan keputusanku. "Kita akan melakukannya. Ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Bersiaplah, nak. Perjuangan kita baru saja dimulai."

Bu Hera yakin akan ada yang koleganya terdahulu yang membalas surat-surat untuk mengubah nasibku itu, kita akan mengajukan peninjauan kembali atas kasusku, beliau menjelaskan bahwa dia tahu caranya, karena dulunya terbiasa memanipulasi sistem yang sama.

"Ini bukan perkara mudah," katanya. "Risikonya tinggi. Jika kamu bohong atau dianggap tak menunjukkan penyesalan di pengadilan, hidupmu bisa semakin suram. Bahkan, ada kemungkinan hukuman seumur hidupmu ditingkatkan menjadi hukuman mati."

Ketakutan itu tiba-tiba merayap ke dalam diriku bayangan akan kejamnya sel hukuman mati.

Suatu saat pernahku dengar rumor tentang kehidupan di bilik hukuman mati. tempat itu sungguh berbeda, penjara di dalam penjara, dunia yang berbeda dari apa pun yang pernah kamu bayangkan. Setelah bertahun-tahun di penjara, kamu pikir sudah tahu seberapa jauh jiwa bisa jatuh, tetapi ini—ini berbeda. Suasana di bilik hukuman mati lebih kelam, tanpa kepastian akhir. Kesunyian membawa bobot yang menekan, lebih mencekik daripada ikatan fisik apa pun. Bilik hukuman mati adalah tempat di mana waktu terasa membentang dengan kejam, sebuah ruang tunggu untuk yang terkutuk, di mana setiap nafas terasa seperti dipinjam, setiap detik penuh dengan gambaran akan kematian.

Sepuluh tahun atau lebih membentang di depan terpidana mati, meskipun eksekusi bisa datang lebih cepat jika pengadilan bergerak cepat, namun jarang terjadi. Sel yang diberikan pada terpidana mati sangat sempit 2 x 1 m, hampir tidak cukup ruang untuk berputar. Sebuah ranjang susun dengan matras tipis menempel di dinding. sama seperti di blok lain pada umumnya, para penjaga merotasi terpidana mati setiap beberapa minggu, dan kapan saja mereka bisa memindah terpidana mati—seseorang yang berkelakuan sangat buruk, monster, namun pada akhirnya, mereka adalah yang terburuk dari semua yang ada di pulau penjara ini.

Hanya ada dua belas napi perempuan di bilik hukuman mati, tetapi masing-masing adalah sosok terkenal, kejahatan mereka terukir dalam mimpi buruk masyarakat. Teroris, pembunuh berantai, penjahat perang—jenis wanita yang membuat berita utama, yang namanya dibisikkan dengan ketakutan. Dunia telah menghakimi mereka, tidak termaafkan, tidak bisa ditebus. Di mata masyarakat, mereka bukan lagi manusia, hanya deretan nama dalam daftar kematian.

Namun, dalam kepanikan yang menyelimuti pikiran, ku tetap pada pendirianku. Kebenaran adalah satu-satunya hal yang bisa menyelamatkanku. "Saya tahu apa yang terjadi, dan saya tidak bersalah," kataku tegas. Beliau menatapku lama, seakan masih meragukan keyakinanku. Tetapi, melihat semangatku, Beliau mengangguk pelan, meyakinkanku bahwa beliau akan membantuku.

Mulai berjuang

Malam itu, setelah makan malam yang sederhana namun penuh makna, suasana di ruang kecil kami terasa berbeda. Di bawah cahaya lampu yang redup, aku dan Bu Hera duduk bersama, menghadap meja kayu yang penuh dengan kertas dan pena. Pembicaraan kami tentang Peninjauan Kembali kasusku telah membuka ruang baru bagi kami—sebuah ruang untuk harapan dan kemungkinan yang belum pernah kami bayangkan sebelumnya.

Kata-kata itu membangkitkan semangatku. "Bagaimana jika kita memulai dengan menulis surat? Surat kepada lembaga atau organisasi yang berfokus pada keadilan. Mereka mungkin bisa membantu mengungkapkan kebenaran kita."

Bu Hera tersenyum, terlihat lebih muda dari usianya. "Itu ide yang bagus. Kita bisa melibatkan orang lain, menggugah kesadaran tentang ketidakadilan yang kau alami. Dan lebih penting lagi, kita bisa menyampaikan suara kita."

Kami mulai menyiapkan surat-surat itu. Setiap huruf yang kami tulis adalah refleksi dari harapan dan keyakinan yang telah lama terpendam. Kami menuliskan semua pengalaman kami, setiap detail kecil yang menggambarkan apa yang menjadi alasan bahwa tuntutan yang dulu lemah, tanpa saksi atau bukti langsung yang cukup kuat. Dan saat kami menyelesaikan surat-surat itu, aku merasakan sesuatu yang baru. Mungkin inilah saatnya untuk membangkitkan kembali mimpi-mimpi yang terpendam, meskipun kami masih terkurung dalam penjara ini.

Kami berdua tahu bahwa perjuangan kami baru dimulai. Dengan harapan yang kembali menyala, kami bersumpah untuk tidak hanya memperjuangkan kebebasanku sendiri tetapi juga untuk membantu mereka yang tidak memiliki suara. Dalam dinginnya penjara ini, sebuah api baru mulai berkobar—api harapan dan keberanian untuk melawan ketidakadilan.

Namun, beliau juga tahu bahwa pendapat dan kata-katanya sendiri takkan cukup. Kami membutuhkan saksi atau bukti baru, sesuatu yang bisa menguatkan kasusku. Dengan koneksi yang dia miliki, dia mulai menghubungi beberapa orang, bahkan mengancam akan membongkar kasus korupsi lama jika mereka menolak untuk membantu.

"Orang-orang ini perlu tahu bahwa kamu bukanlah satu-satunya yang terperangkap dalam permainan ini," ujarnya dengan penuh tekad. 

Beberapa saat kemudian, usaha kami membuahkan hasil sebuah LBH terkenal membantu kami, pengacara muda ganteng dialokasikan untuk kasusku, komunikasi lewat video call dia memberikan gambaran tentang apa yang akan kami hadapi di persidangan. "Kami perlu membuktikan bahwa ada kesalahan dalam proses hukum yang menjeratmu, bahwa dakwaan kepadamu yang dulu lemah, tanpa saksi atau bukti langsung yang cukup kuat." katanya. "Setiap detail penting, jadi jika ada yang kamu ingat—meski tampaknya sepele—itu bisa menjadi kunci."

Akhirnya, seorang pengacara muda yang berpengalaman dan seorang psikiater terkenal akan menangani kasusku tanpa memungut biaya, sesuatu yang terasa seperti keajaiban bagiku.

Namun, di balik kebahagiaan itu, keraguan menggerogoti hatiku. Saat malam tiba dan keheningan penjara menyelimuti sel, aku bertanya pada diri sendiri, Apakah aku benar-benar sepolos itu, ataukah aku sekadar pembohong yang pintar bersembunyi di balik air mata dan keyakinan? Mungkinkah ada kebenaran yang bahkan aku sendiri belum siap hadapi?

Di sisi lain, mantan hakim itu tampak berharap bahwa perjuangannya ini juga bisa membawanya lebih dekat pada jawaban yang selama ini ia cari—kebenaran tentang kematian anaknya. Dia bertindak seolah kasusku adalah kunci untuk membuka tabir gelap yang membelenggunya. Apa mungkin ini akan memberikan akhir yang selama ini ia dambakan, atau justru membuka luka lain yang sama sekali tak ia duga?

Kami setuju memulai proses peninjauan kembali, dan setiap langkahnya terasa seperti berlayar di tengah badai. Kami mencoba mengumpulkan bukti-bukti, mendatangi saksi-saksi yang berani bersaksi, dan menghadapi ancaman dari orang-orang yang lebih berkuasa dari kami. Dengan setiap kemajuan, rasa harap dan ketakutan kian bercampur, membentuk jalinan emosi yang rumit di dalam diri kami.

Seiring waktu berlalu, kami menghabiskan malam-malam kami dengan mendiskusikan strategi, meneliti dokumen, dan membangun argumentasi yang kuat. Dan di antara semua itu, Bu Hera dan aku semakin dekat. Setiap percakapan kami bukan hanya tentang kasusku, tetapi juga tentang masa lalu kami, tentang kesedihan yang telah mengubah hidup kami.

Suatu malam, ditemani remang cahaya lampu minyak di ujung pintu sel, saat kami berdua sedang berdiskusi tentang beberapa detail yang mungkin terlupakan, Bu Hera tiba-tiba terdiam. Dia menatap lurus ke depan, seakan mengingat sesuatu yang sangat penting. "Kadang-kadang, kebenaran bisa sangat menyakitkan," katanya pelan. "Kita tidak selalu siap untuk menghadapinya. Tapi kita harus berani, karena hidup kita bergantung pada keputusan yang kita buat sekarang."

"Apakah Ibu siap untuk menghadapi kebenaran itu?" tanyaku, merasa sedikit cemas. "Bagaimana jika itu lebih buruk dari yang kita duga?"

Beliau menarik nafas dalam-dalam, lalu menjawab dengan tegas, "Saya sudah terlalu lama hidup dalam kebohongan. Waktunya untuk mencari kebenaran, apapun itu."

Dengan kalimat itu, keheningan menyelimuti kami. Kata-kata Bu Hera mengalir seperti air yang jernih namun membawa arus yang kuat, menembus ke dalam hati, menggugah keteguhan yang nyaris terlupakan. Dalam pandangannya yang penuh tekad, aku melihat sosok wanita yang sudah menghadapi banyak badai dalam hidupnya namun tak pernah gentar. Ada rasa hormat yang mendalam di hatiku untuknya, dan rasa haru yang tak terbendung.

Diriku tahu, dalam perjalanan ini kami bukan hanya berjuang untuk keadilan, tetapi juga untuk membebaskan diri dari bayang-bayang masa lalu yang membelenggu. Bersama, kami mengarungi lautan kebenaran yang mungkin menyakitkan, tetapi di balik itu tersimpan harapan akan kebebasan sejati.

Malam itu, di bawah cahaya sinar bulan yang temaram, diriku menyadari sesuatu yang penting—apa pun hasilnya nanti, kami telah melangkah lebih jauh dari ketakutan kami. Kami telah memilih untuk menghadapi kebenaran, dan dalam keberanian itu, kami menemukan arti hidup yang sesungguhnya.