Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 21 - Harapan yang kembali menyala

Chapter 21 - Harapan yang kembali menyala

Setahun telah berlalu, sejak diriku dan Bu Hera -Ibunya Doni mantan pacarku, mantan hakim korup itu-bertemu. Awal pertemuan kami penuh dengan rasa benci, amarah saling dendam. Namun seiring berjalanya waktu, setelah saling mengenal, saling memahami, saling berbagi, kami menjadi terikat dalam ikatan yang tak terduga ikatan antara seorang anak dan ibunya. Meskipun kehidupan penjara ini begitu terbatas, hubungan kami semakin kuat, semakin akrab, saling mengisi, Bu Hera kuanggap sebagai ibuku di sini.

Kami, para narapidana warga binaan pemasyarakatan perempuan di pulau penjara Lapas Kelas 1A Lembah Harapan ini menjalani kerja keras yang melelahkan di bawah terik matahari, bekerja di ladang pertanian, di kandang, di hutan, dan menghadapi ancaman yang selalu ada dari penjaga serta sesama narapidana. Tidak ada rasa aman yang sejati di sini.

Kehidupan di pulau penjara ini tidak pernah benar-benar tenang. Kami adalah kumpulan para penjahat dengan masa lalu kelam, dan konflik kecil bisa menjadi menjadi brutal dengan cepat. Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup.

Di lingkungan seperti ini, hubungan erat antar narapidana jarang terjadi. Kepercayaan sangat rapuh, dan itu disengaja oleh pihak yang berwenang untuk mencegah adanya persengkongkolan, konspirasi antar napi yang dapat berujung pemberontakan.

Pihak penjara melaksanakan program rotasi dan mutasi sel hunian setiap minggu sekali dan penempatan kerja bagi kami. tiap minggu sel tempat tinggal kami diacak ke sel yang berbeda. Rotasi tempat kerja membuat kita menguasai beberapa skill, bertani, berternak, menjahit, memasak, pertukangan.

Sistem ini juga dimaksudkan untuk membatasi hubungan intim antar narapidana perempuan. di sisi lain kami saling mengenal namun tidak ada yang sampai mendalam hingga terikat emosional.

Suatu sore, saat kami sedang istirahat di ladang, Bu Hera melirikku dari sudut matanya. "Luar biasa ya nak Sarah, mereka benar-benar sibuk dengan strategi mutasi sel setiap minggu biar kita terpisah sel. tapi untunglah kita tetap saja bisa ketemu di ladang ini."

Aku tertawa kecil, meski pahit. "Iya, Bu. tapi ga tau kalau besok mungkin Ibu ditempakan di kandang dan diriku di sini, Kayaknya mereka lebih semangat misahin kita daripada kasih kita semangat."

Hanya beberapa kali kami bersama dalam satu sel, lebih sering berpisah selama pergantian sel rutin mingguan—sistem kejam yang selalu memindahkan kami ke sel yang berbeda untuk membatasi hubungan intim antar narapidana perempuan —ikatan antara aku dan Bu Hera itu justru tumbuh semakin kuat.

"Kalian di kok masih dekat-dekatan, kayak lagi pacaran. Tak pikir tujuan kalian datang ke sini supaya tobat, bukan malah cari dosa!" ejek seorang petugas suatu kali, sambil tersenyum sinis.

Ikatan tak wajar

Perkataan petugas itu membuatku kembali teringat ketika pertama kali tiba di penjara, sejak penangkapan, sejak persidangan, sejak putusan bersalah yang telah merubah nasibku, satu sel bersama beberapa perempuan lain yang belum kukenal. Aku sering memikirkan tentang sentuhan. Aneh, bagaimana sesuatu yang begitu sederhana, begitu manusiawi, bisa menjadi kerinduan yang tak tertahankan. Pada awalnya, ketidakbebasanlah yang membuatku tercekik—ketidakmampuanku untuk melangkah keluar kapan pun aku mau, untuk menghirup udara yang tidak tercemar oleh aroma pembusukan dan keputusasaan. Namun seiring waktu, absennya keintiman, dari hubungan manusia, yang terus menggerogoti diriku.

Aku ingat saat terakhir kali seorang napi perempuan menyentuhku dengan kembut, sangat berbeda rasanya dengan sentuhan lembut pria bernama Doni -pacarku yang ganteng-benar-benar menyentuhku, bukan tangan dingin dan tak berperasaan dari seorang penjaga atau sekilas sentuhan dari narapidana lain di kantin yang ramai. Kulitku merindukan itu, merindukan dengan cara yang hampir menyakitkan. Hasrat adalah naluri dasar manusia, tetapi di sini, itu diperlakukan seperti dosa, sesuatu yang harus dikendalikan, tercekik di bawah lapisan-lapisan aturan dan agama.

Penjara tentu menawarkan pengalihan—ibadah, kelompok terapi, rotasi sel yang tak ada habisnya untuk menjaga agar tidak ada yang terlalu dekat menjurus ke hubungan sejenis.

Di sudut barak penjara yang agak sepi, dua tahanan perempuan, duduk saling berhadapan, berbincang dengan suara pelan tapi penuh tawa. 

kawanku berbisik sambil tertawa kecil, "Eh, kamu tahu nggak, ada bagian perempuan yang sensitif banget kalau disentuh?"

Diriku mengangkat alis, menatapnya dengan mata menyipit penuh rasa penasaran. "Hmm... bagian mana, tuh? Kamu ngomong apa sih, yang bener?"

kawanku menahan tawanya, pura-pura serius, "Beneran! Ini tuh bagian yang bikin perempuan langsung klepek-klepek, dimabuk asmara, katanya."

Diriku terkekeh pelan, lalu menyenggol dengan sikutku, "Udah-udah, jangan macam-macam, . Ini penjara, ya, bukan tempat ngomongin yang aneh-aneh!"

Kawanku ngakak kecil, tapi kemudian mendekatkan wajahnya ke arahku, bisikannya jadi semakin pelan. "Ah, ini serius, bukan aneh-aneh kok, Mbak! Kamu mau tahu apa enggak?"

Diriku menghela nafas, mencoba menahan senyumnya. "Ya udah, coba deh, bagian mana yang bikin perempuan jadi mabuk kepayang itu?"

Dia menatap sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengarkan, lalu dengan nada serius berkata, "Bagian itu... ya hatinya, Mbak! Kalau kamu bisa sentuh hati perempuan dengan tulus, kasih perhatian dan cinta, udah pasti deh dia bakal jadi milikmu."

Diriku tertawa sambil mencubit lengannya , "Halah, kirain bagian mana! Kamu ini ada-ada aja, bikin aku penasaran aja, tahu gak!"

Kawanku hanya mengangkat bahu sambil tertawa, "Nah, makanya, mbak, kalau sudah tahu caranya, jangan asal sentuh-sentuh yang lain. Sentuh hatinya aja, biar semuanya beres. Bahkan di penjara pun, cinta bisa bikin hidup lebih ringan." "lah itukan lagunya Ari Lasso." balasku.

Kita berdua pun tertawa bersama, obrolanku yang sederhana itu terasa ringan, meski kami masih terkurung di balik jeruji besi.

Kami tahu, para penjaga, pihak administrasi—mereka tahu godaan yang datang dengan dikelilingi oleh perempuan-perempuan kesepian, semua terputus dari dunia. Bagi para perempuan yang sudah menikah, ada kunjungan keluarga, pertemuan singkat dengan suami yang bisa menopang mereka untuk sementara, meskipun itu tidak sama. Tapi bagiku yang belum menikah, masih gadis, dan bagi banyak kawan lainnya, tidak ada yang menunggu, tidak ada yang mengunjungi, tidak ada yang berkabar, tidak ada yang peduli. Aku telah sendirian untuk waktu yang lama di penjara ini.

Suatu malam, dalam keheningan sel, ketika beberapa dari kita telah tertidur, terdengar bisikan halus dari sudut gelap. "Kau merasa kesepian?" bisik salah satu temanku, suaranya lembut namun tegas.

"Iya," jawabku pelan, berusaha agar suara ini tidak terdengar oleh yang lain. "Tapi siapa yang peduli?"

"Aku peduli," jawabnya, mendekat hingga jarak kami hanya beberapa inci. "Kadang aku merasa ingin merasakan sesuatu yang nyata. Sesuatu yang lebih dari sekadar… semua ini."

"Apa maksudmu?" tanyaku, hatiku berdegup kencang.

"Sentuhan. Keintiman. Seperti yang pernah kita miliki di luar," dia berbisik sambil menatap mataku dengan penuh kerinduan. "Kita bisa berbagi kebahagiaan, kesenangan, saling menghangatkan. Tidak ada yang harus tahu."

Aku menatapnya, merasa ketakutan dan hasrat yang bercampur aduk. "Tapi di sini… itu berbahaya. Kita bisa terjerumus dalam dosa." "it's scare me, never imagine that before" 

"Dosa? kau tau aku ini pembunuh, penuh dosa, neraka tempatku" Dia tersenyum sinis, lalu meraih tanganku dan menempatkannya di atas kulitnya. "Dosa adalah apa yang kau rasakan ketika sendirian. Kita hidup di neraka, tapi di dalam neraka, kita bisa menemukan kebahagiaan kita sendiri." sindirnya.

"Maaf aku ga bisa, aku bukan pembunuh yang akan masuk neraka sepertimu, aku masih takut dosa." kutolak ajakannya dengan sopan. 

Di sisi lain, Suara-suara lembut dan desahan pelan menggema di sepanjang lorong sepanjang malam, sepanjang tahun, ketika para penjaga tidak memperhatikan. Itu adalah rahasia yang diketahui semua orang, dan diabaikan selama tidak mengganggu ketertiban. Cinta, atau nafsu, menemukan jalannya, bahkan di tempat ini.

Aku tak bisa membantah bagaimana hal itu menarikku, mengganggu, menumbuhkan rasa sakit di dadaku, ruang kosong di sampingku di kasur tipis yang sepertinya semakin dingin dengan setiap malam yang terus berlalu. "Kau tidak takut?" tanyaku, berbisik. "Kita bisa terluka."

Dia menggelengkan kepalanya, senyumnya semakin lebar. "Kita sudah terluka, tetapi setidaknya, kita bisa merasakan sesuatu. Di sini, kita bisa menjadi diri kita sendiri, jauh dari penilaian."

Dan dalam keheningan itu, aku merasakan kerinduan yang menggelora, ketakutan dan hasrat bersatu, menuntunku ke arah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

"Kenapa kamu tidak pernah ikut bergabung?" tanya temanku, mengalihkan perhatian dari suara-suara di malam gelap. "Ada sesuatu yang hilang di dalam diri kamu."

"Aku tidak siap untuk itu," jawabku pelan, suaraku nyaris tak terdengar. "Aku takut."

"Takut pada cinta?" Dia tertawa pelan, meskipun dalam tawanya ada rasa sakit. "Cinta di sini lebih baik daripada kesepian yang kau rasakan."

di penjara kutemukan jalan lain, menghindari ini semua, "if irresistible desire came, i can wetting my self, pleasure my self

Masih berbaring di sana, menatap langit-langit, tubuhku tegang, tanganku menggenggam selimut tipis bersembunyi dibaliknya seolah bisa menahanku tetap tegar, lurus, menjaga keyakinanku akan dosa. Dan dalam keheningan, aku bertanya-tanya seberapa lama lagi aku bisa bertahan sebelum kesepian menghabisi diriku sepenuhnya.

Harapan baru

Rotasi sel ini membuat kami jarang berbagi ruang, tetapi kami selalu bertemu di ladang pertanian. Selama jam kerja kami, mataku dan matanya akan bertemu di seberang ladang, dan tanpa kata-kata, kami saling memeriksa kesejahteraan satu sama lain. Satu anggukan, satu tatapan—itu adalah isyarat kecil yang menenangkan di tempat yang tidak menawarkan apapun. Kami saling peduli dengan cara yang halus namun mendalam.

Hari demi hari, luka masa lalu kami mulai sembuh. Aku, yang telah dipenjara sejak usia delapan belas tahun, telah lama berhenti berharap akan kebebasan. Aku telah menerima nasibku. Permohonan kasasi dan grasi pertamaku telah gagal karena aku menolak mengakui kejahatan yang tidak kulakukan. Tidak ada penyesalan berarti tidak ada pengampunan dari sistem. Butuh waktu dua tahun lagi sebelum aku bahkan dapat mengajukan grasi lagi, dan aku tidak memiliki pengacara untuk membimbingku melalui proses ini.

Suatu siang, saat duduk di bawah pohon kelapa berlindung dari terik matahari, Bu Hera menatapku dengan serius. "Kamu tahu, ketika saya menjadi hakim, saya selalu mencari keadilan dalam setiap keputusan yang saya buat," katanya. "Namun sekarang, saya menyadari bahwa kadang-kadang keadilan tidak berpihak pada kita. Tetapi itu tidak berarti kita tidak bisa memperjuangkan apa yang benar."

"Apakah Ibu merasa bisa berjuang lagi?" tanyaku, penasaran. "Apakah ada harapan bagi saya dan kita berdua?"

"Mungkin," jawabnya. "Jika kita bisa berjuang bersama, ada kemungkinan untuk mengguncang sistem ini. Kita perlu menemukan cara untuk mengungkapkan kebenaran kita, tidak hanya untuk diri kita sendiri tetapi juga untuk mereka yang terjebak dalam kesulitan seperti kita."

Aku berdiri di pinggir sawah ladang, melihat ke arah matahari yang perlahan mulai muncul di balik awan. Sinarnya menerobos mendung kelabu, menyinari ladang yang luas seolah memberiku sebuah pesan yang hangat. Di sini, di pulau penjara ini, warna kehidupan yang tadinya kukira hanya hitam dan putih mulai terasa lebih kompleks, lebih banyak nuansa.

Ada kalanya, aku merasa kehidupan ini terlalu berat untuk dijalani. Semua kesalahan masa lalu seperti bayangan gelap yang terus mengejar, membisikkan kata-kata penyesalan yang sulit untuk diabaikan. Tapi pagi ini, dengan cahaya matahari yang perlahan menyinari bumi, aku merasa mungkin ini adalah saatnya untuk melangkah maju, untuk belajar melepaskan masa lalu dan membuka diri pada apa yang ada di hadapan.

Bu Hera, yang masih berada di dekatku, seakan menangkap kegelisahanku. Ia menepuk pundakku pelan, lalu berkata, "Kamu tahu, hidup ini punya sejuta warna. Hitam putih itu cuma sebagian kecil dari apa yang bisa kita lihat. Apa yang kamu anggap sebagai kebenaran, mungkin bukan kebenaran untuk orang lain. Tapi itu justru yang membuat hidup ini kaya."

Aku tersenyum kecil, mencoba mencerna kata-katanya. Dalam hati aku sadar, bahwa mungkin benar—hidup ini memang penuh warna, dan setiap warna memiliki maknanya sendiri. Apa yang dulu kuanggap sebagai "kesalahan besar" kini mungkin adalah pelajaran yang perlu kuterima, agar aku bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.

"Mungkin kita di sini justru untuk menemukan harmoni, ya, Bu," kataku pelan. "Aku ingin masa depan yang lebih baik, Bu. Untuk anak-anakku, untuk keluarga, dan untuk diriku sendiri. Meski jalannya harus lewat pulau ini…"

Bu Hera mengangguk, senyumnya tulus. "Iya, betul sekali. Kadang kita terjebak sama pandangan hitam putih, tapi kalau kita bisa melangkah keluar dan menemukan harmoni dengan semua yang pernah kita lewati, hidup ini bisa jadi lebih indah. Mari kita buat harmoni ini, buat masa depan yang lebih baik. Shine on, bersinar terus. Buat masa depan yang lebih cerah."

Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan embusan udara pagi memenuhi paru-paruku, seolah meresapi setiap kata-katanya ke dalam hati. Pagi ini, aku berjanji pada diriku sendiri untuk melangkah maju, untuk belajar dari masa lalu dan mencari harmoni di tengah semua pengalaman yang pernah kulalui. Mungkin, seperti yang dikatakan Bu Hera, hidup ini memang tak selalu soal benar atau salah, tapi soal menemukan keseimbangan dan harmoni dalam setiap warna yang kita temui.

"Shine on,Let's make harmony for a better future," gumamku perlahan, seolah menguatkan diri. "Ayo, kita ciptakan harmoni ini. Demi masa depan yang lebih baik."

Lama-kelamaan, narapidana lain mulai menyadari ikatan kami. Di tempat di mana bertahan hidup sering kali berarti hanya memikirkan diri sendiri, hubungan kami menjadi sesuatu yang unik, lebih seperti Ibu dan anak. Seiring berjalannya waktu, para napi lain mulai mendukung kami, menghormati kesetiaan yang aneh dan tak terucapkan di antara kami. Beberapa bahkan membantu kami bertemu secara rahasia selama waktu istirahat, menawarkan perlindungan atau mengalihkan perhatian para penjaga agar aku dan Ibu penyelamatku bisa bertukar beberapa patah kata atau sentuhan yang menenangkan. Di tengah ketidakmanusiawian pulau ini, setiap tindakan kebaikan kecil terasa begitu berarti.

Suatu hari, saat kami beristirahat di bawah sinar matahari, Dina menghampiri kami. "Saiki awakmu raket temen karo Bu Hera" katanya sambil tersenyum. "Angel ketemu manungso sing pengertian koyok ngono nang penjara iki."

"Iyo, Bu Hera wis tak anggep ibukku dewe," jawabku dengan tulus, meraih tangan Ibu penyelamatku. "Kon ngerti dewe, Aku wis putus asa lek ga onok Bu Hera."

Ibu penyelamatku menatapku dengan penuh kasih, lalu berbalik ke narapidana itu. "Kami saling menguatkan. Itu yang penting di tempat ini."

Dina mengangguk. "Lek butuh bantuan, ojok sungkan ngomong nang aku. Aku iso mbelani awakmu, awak dewe kudu saling melindungi nang kene."

Aku merasa hangat mendengar kata-kata itu, sesuatu yang tidak biasa di pulau ini.

"Suwun ning," balasku, suaraku bergetar. "kon yo kudu iso jogo awakmu, ojo aneh-aneh."

Aku yang dulunya lugu dan pasrah pada nasibku mulai terbuka. Aku merasakan harapan berkelebat di dalam diriku lagi, sesuatu yang tak pernah kurasakan selama bertahun-tahun. Kekuatan dan tekad Ibu penyelamatku mengalir ke dalam diriku. Setiap hari di ladang pertanian, di bawah pengawasan ketat para penjaga, kami bekerja berdampingan, berbagi percakapan berbisik tentang masa depan yang hampir tidak berani kami bayangkan.

"Aku tidak tahu bagaimana aku bisa hidup di sini tanpa dirimu," kataku kepada Ibu penyelamatku suatu sore saat kami duduk berdua di bawah pohon. "Jika bukan karena kamu, aku pasti sudah kehilangan akal."

"Jangan pernah merasa sendirian," jawab Ibu penyelamatku dengan lembut. "Setiap kali kamu merasa putus asa, ingatlah bahwa aku selalu ada di sini untukmu. Kita akan melalui ini bersama."

Namun, kenyataan hidup di penjara tak pernah jauh dariku. Kekerasan selalu ada, dan ada hari-hari ketika aku kembali ke sel dengan memar dan luka akibat pertengkaran dengan narapidana lain. Ibu penyelamatku, meskipun lebih tua dan lemah secara fisik, akan duduk di sampingku di halaman saat kami bisa, merawat lukaku dengan sedikit yang kami miliki.

"Lihat ini," katanya suatu hari, mengelus luka di lenganku. "Kita akan sembuh. Ini hanya sementara."

Di lingkungan yang suram ini, kami telah menjadi keluarga satu sama lain, mendapatkan kekuatan dari ikatan yang telah terbentuk di antara kami. Kerasnya lingkungan ini hanya membuat ikatan kami semakin berharga, sesuatu yang takkan pernah bisa kami hilangkan.

Hubungan kami semakin erat, tetapi waktu terus berjalan bagiku. Aku telah menjalani hukuman seumur hidup, pasrah pada nasibku setelah 13 tahun di penjara, dan peluang untuk dibebaskan tampak tipis. Namun, Ibu penyelamatku menolak untuk membiarkan aku menyerah. Dia tahu masa depanku tidak seharusnya terkurung di balik jeruji besi—dan dia bersedia mempertaruhkan segalanya untuk melihatku bebas.

"Suatu hari, kamu akan bebas," katanya dengan keyakinan saat kami berdua duduk di bawah sinar rembulan yang redup. "Aku akan melakukan apapun untuk memastikan itu terjadi."

"Aku tidak tahu apakah itu mungkin, Bu," kataku dengan rasa putus asa. "Sudah terlalu lama."

"Jangan pernah meragukan kekuatan kita. Kita punya harapan," jawabnya, menggenggam tanganku erat. "Kita akan melawan ini bersama-sama."

Beliau tahu dirinya harus bertindak. Dengan pengetahuannya yang luas tentang sistem hukum dan jaringan kontak yang kuat, sebagai mantan hakim, Ibu penyelamatku menghubungi seorang teman lama dan meminta berkas kasus dari persidanganku. Butuh waktu berminggu-minggu, tetapi akhirnya, dokumen-dokumen itu tiba di pulau lapas perempuan.

Ibu penyelamatku terjaga hingga larut malam demi malam, membaca dokumen dengan saksama di bawah sinar rembulan yang redup melalui jeruji jendela, menyisir setiap detail, mencari cara untuk menegakkan keadilan. Dan kemudian beliau melihatnya: celah dalam kasusku. Hukuman terhadapku didasarkan pada bukti tidak langsung yang lemah. Tidak ada saksi langsung yang melihat kejahatan itu, dan tidak ada bukti fisik yang mengaitkanku dengan pembunuhan tersebut. Hukumanku dibangun atas asumsi dan tekanan untuk keadilan yang cepat, dengan ceritaku yang diputarbalikkan dan dimanipulasi. Bu Hera percaya bahwa kebenaran telah terkubur.