Setahun telah berlalu sejak aku dan Bu Hera -Ibunya Doni mantan pacarku, mantan hakim korup itu- terikat dalam ikatan yang tak terduga, dan meskipun kehidupan penjara ini begitu keras, hubungan kami semakin kuat, Bu hera menjadi ibu penyelamat hidupku. Penjara pulau ini brutal—setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup. Kami, para perempuan, menjalani kerja keras yang melelahkan di bawah terik matahari untuk bertahan hidup, menjalani kerja panjang di ladang pertanian, di kandang, di hutan dan menghadapi ancaman yang selalu ada dari penjaga serta sesama narapidana. Tidak ada rasa aman yang sejati di sini. Di lingkungan seperti ini, hubungan antar narapidana jarang terjadi, dan kepercayaan sangatlah rapuh.
Suatu sore, saat kami sedang istirahat di ladang, Bu Hera melirikku dari sudut matanya. "Luar biasa ya, mereka benar-benar sibuk dengan strategi mutasi sel setiap minggu biar kita terpisah. Sementara kita? Tetap saja ketemu di ladang ini."
Aku tertawa kecil, meski pahit. "Iya, Bu. Kayaknya mereka lebih semangat misahin kita daripada kasih kita semangat."
Hanya beberapa kali kami bersama dalam satu sel, lebih sering berpisah selama pergantian sel rutin mingguan—sistem kejam yang selalu memindahkan kami ke sel yang berbeda untuk membatasi hubungan intim antar narapidana perempuan —ikatan antara aku dan Bu Hera itu justru tumbuh semakin kuat.
"Kalian di penjara kok masih pengin dekat-dekat, pacaran. Tak pikir tujuan kalian datang ke sini ya supaya tobat, bukan malah cari dosa!" ejek seorang petugas suatu kali, sambil tersenyum sinis.
Ikatan tak wajar
Perkataan petugas itu membuatku kembali teringat ketika pertama kali tiba di penjara, sejak penangkapan, sejak persidangan, sejak putusan bersalah yang telah merubah nasibku, satu sel bersama beberapa perempuan lain yang belum kukenal. Aku sering memikirkan tentang sentuhan. Aneh, bagaimana sesuatu yang begitu sederhana, begitu manusiawi, bisa menjadi kerinduan yang tak tertahankan. Pada awalnya, ketidakbebasanlah yang membuatku tercekik—ketidakmampuanku untuk melangkah keluar kapan pun aku mau, untuk menghirup udara yang tidak tercemar oleh aroma pembusukan dan keputusasaan. Namun seiring waktu, absennya keintiman, dari hubungan manusia, yang terus menggerogoti diriku.
Aku ingat saat terakhir kali seorang napi perempuan menyentuhku dengan kembut, sangat berbeda rasanya dengan sentuhan lembut pria bernama Doni -pacarku yang ganteng-benar-benar menyentuhku, bukan tangan dingin dan tak berperasaan dari seorang penjaga atau sekilas sentuhan dari narapidana lain di kantin yang ramai. Kulitku merindukan itu, merindukan dengan cara yang hampir menyakitkan. Hasrat adalah naluri dasar manusia, tetapi di sini, itu diperlakukan seperti dosa, sesuatu yang harus dikendalikan, tercekik di bawah lapisan-lapisan aturan dan agama.
Penjara tentu menawarkan pengalihan—ibadah, kelompok terapi, rotasi sel yang tak ada habisnya untuk menjaga agar tidak ada yang terlalu dekat menjurus ke hubungan sejenis. Mereka tahu, para penjaga, pihak administrasi—mereka tahu godaan yang datang dengan dikelilingi oleh perempuan-perempuan kesepian, semua terputus dari dunia. Bagi para perempuan yang sudah menikah, ada kunjungan keluarga, pertemuan singkat dengan suami yang bisa menopang mereka untuk sementara, meskipun itu tidak sama. Tapi bagiku yang belum menikah, masih gadis, dan bagi banyak kawan lainnya, tidak ada yang menunggu, tidak ada yang mengunjungi, tidak ada yang berkabar, tidak ada yang peduli. Aku telah sendirian untuk waktu yang lama di penjara ini.
Suatu malam, dalam keheningan sel, ketika beberapa dari kita telah tertidur, terdengar bisikan halus dari sudut gelap. "Kau merasa kesepian?" bisik salah satu temanku, suaranya lembut namun tegas.
"Iya," jawabku pelan, berusaha agar suara ini tidak terdengar oleh yang lain. "Tapi siapa yang peduli?"
"Aku peduli," jawabnya, mendekat hingga jarak kami hanya beberapa inci. "Kadang aku merasa ingin merasakan sesuatu yang nyata. Sesuatu yang lebih dari sekadar… semua ini."
"Apa maksudmu?" tanyaku, hatiku berdegup kencang.
"Sentuhan. Keintiman. Seperti yang pernah kita miliki di luar," dia berbisik sambil menatap mataku dengan penuh kerinduan. "Kita bisa berbagi kebahagiaan, kesenangan, saling menghangatkan. Tidak ada yang harus tahu."
Aku menatapnya, merasa ketakutan dan hasrat yang bercampur aduk. "Tapi di sini… itu berbahaya. Kita bisa terjerumus dalam dosa." "it's scare me, never imagine that before"
"Dosa? kau tau aku ini pembunuh, penuh dosa, neraka tempatku" Dia tersenyum sinis, lalu meraih tanganku dan menempatkannya di atas kulitnya. "Dosa adalah apa yang kau rasakan ketika sendirian. Kita hidup di neraka, tapi di dalam neraka, kita bisa menemukan kebahagiaan kita sendiri." sindirnya.
"Maaf aku ga bisa, aku bukan pembunuh yang akan masuk neraka sepertimu, aku masih takut dosa." kutolak ajakannya dengan sopan.
Di sisi lain, Suara-suara lembut dan desahan pelan menggema di sepanjang lorong sepanjang malam, sepanjang tahun, ketika para penjaga tidak memperhatikan. Itu adalah rahasia yang diketahui semua orang, dan diabaikan selama tidak mengganggu ketertiban. Cinta, atau nafsu, menemukan jalannya, bahkan di tempat ini.
Aku tak bisa membantah bagaimana hal itu menarikku, mengganggu, menumbuhkan rasa sakit di dadaku, ruang kosong di sampingku di kasur tipis yang sepertinya semakin dingin dengan setiap malam yang terus berlalu. "Kau tidak takut?" tanyaku, berbisik. "Kita bisa terluka."
Dia menggelengkan kepalanya, senyumnya semakin lebar. "Kita sudah terluka, tetapi setidaknya, kita bisa merasakan sesuatu. Di sini, kita bisa menjadi diri kita sendiri, jauh dari penilaian."
Dan dalam keheningan itu, aku merasakan kerinduan yang menggelora, ketakutan dan hasrat bersatu, menuntunku ke arah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
"Kenapa kamu tidak pernah ikut bergabung?" tanya temanku, mengalihkan perhatian dari suara-suara di malam gelap. "Ada sesuatu yang hilang di dalam diri kamu."
"Aku tidak siap untuk itu," jawabku pelan, suaraku nyaris tak terdengar. "Aku takut."
"Takut pada cinta?" Dia tertawa pelan, meskipun dalam tawanya ada rasa sakit. "Cinta di sini lebih baik daripada kesepian yang kau rasakan."
di penjara kutemukan jalan lain, menghindari ini semua, "if irresistible desire came, i can wetting my self pleasure my self"
Masih berbaring di sana, menatap langit-langit, tubuhku tegang, tanganku menggenggam selimut tipis bersembunyi dibaliknya seolah bisa menahanku tetap tegar, lurus, menjaga keyakinanku akan dosa. Dan dalam keheningan, aku bertanya-tanya seberapa lama lagi aku bisa bertahan sebelum kesepian menghabisi diriku sepenuhnya.
Harapan baru
Rotasi sel ini membuat kami jarang berbagi ruang, tetapi kami selalu bertemu di ladang pertanian. Selama jam kerja kami, mataku dan matanya akan bertemu di seberang ladang, dan tanpa kata-kata, kami saling memeriksa kesejahteraan satu sama lain. Satu anggukan, satu tatapan—itu adalah isyarat kecil yang menenangkan di tempat yang tidak menawarkan apapun. Kami saling peduli dengan cara yang halus namun mendalam.
Hari demi hari, luka masa lalu kami mulai sembuh. Aku, yang telah dipenjara sejak usia delapan belas tahun, telah lama berhenti berharap akan kebebasan. Aku telah menerima nasibku. Permohonan kasasi dan grasi pertamaku telah gagal karena aku menolak mengakui kejahatan yang tidak kulakukan. Tidak ada penyesalan berarti tidak ada pengampunan dari sistem. Butuh waktu dua tahun lagi sebelum aku bahkan dapat mengajukan grasi lagi, dan aku tidak memiliki pengacara untuk membimbingku melalui proses ini.
Suatu siang, saat duduk di bawah pohon kelapa berlindung dari terik matahari, Bu Hera menatapku dengan serius. "Kamu tahu, ketika saya menjadi hakim, saya selalu mencari keadilan dalam setiap keputusan yang saya buat," katanya. "Namun sekarang, saya menyadari bahwa kadang-kadang keadilan tidak berpihak pada kita. Tetapi itu tidak berarti kita tidak bisa memperjuangkan apa yang benar."
"Apakah Ibu merasa bisa berjuang lagi?" tanyaku, penasaran. "Apakah ada harapan bagi saya dan kita berdua?"
"Mungkin," jawabnya. "Jika kita bisa berjuang bersama, ada kemungkinan untuk mengguncang sistem ini. Kita perlu menemukan cara untuk mengungkapkan kebenaran kita, tidak hanya untuk diri kita sendiri tetapi juga untuk mereka yang terjebak dalam kesulitan seperti kita."
Kata-kata itu membangkitkan semangatku. "Bagaimana jika kita memulai dengan menulis surat? Surat kepada lembaga atau organisasi yang berfokus pada keadilan. Mereka mungkin bisa membantu mengungkapkan kebenaran kita."
Bu Hera tersenyum, terlihat lebih muda dari usianya. "Itu ide yang bagus. Kita bisa melibatkan orang lain, menggugah kesadaran tentang ketidakadilan yang kau alami. Dan lebih penting lagi, kita bisa menyampaikan suara kita."
Kami mulai menyiapkan surat-surat itu. Setiap huruf yang kami tulis adalah refleksi dari harapan dan keyakinan yang telah lama terpendam. Kami menuliskan semua pengalaman kami, setiap detail kecil yang menggambarkan apa yang menjadi alasan bahwa tuntutan yang dulu lemah, tanpa saksi atau bukti langsung yang cukup kuat. Dan saat kami menyelesaikan surat-surat itu, aku merasakan sesuatu yang baru. Mungkin inilah saatnya untuk membangkitkan kembali mimpi-mimpi yang terpendam, meskipun kami masih terkurung dalam penjara ini.
Kami berdua tahu bahwa perjuangan kami baru dimulai. Dengan harapan yang kembali menyala, kami bersumpah untuk tidak hanya memperjuangkan kebebasanku sendiri tetapi juga untuk membantu mereka yang tidak memiliki suara. Dalam dinginnya penjara ini, sebuah api baru mulai berkobar—api harapan dan keberanian untuk melawan ketidakadilan.
Lama-kelamaan, narapidana lain mulai menyadari ikatan kami. Di tempat di mana bertahan hidup sering kali berarti hanya memikirkan diri sendiri, hubungan kami menjadi sesuatu yang unik, lebih seperti Ibu dan anak. Seiring berjalannya waktu, para napi lain mulai mendukung kami, menghormati kesetiaan yang aneh dan tak terucapkan di antara kami. Beberapa bahkan membantu kami bertemu secara rahasia selama waktu istirahat, menawarkan perlindungan atau mengalihkan perhatian para penjaga agar aku dan Ibu penyelamatku bisa bertukar beberapa patah kata atau sentuhan yang menenangkan. Di tengah ketidakmanusiawian pulau ini, setiap tindakan kebaikan kecil terasa begitu berarti.
Suatu hari, saat kami beristirahat di bawah sinar matahari, Dina menghampiri kami. "Saiki awakmu raket temen karo Bu Hera" katanya sambil tersenyum. "Angel ketemu manungso sing pengertian koyok ngono nang penjara iki."
"Iyo, Bu Hera wis tak anggep ibukku dewe," jawabku dengan tulus, meraih tangan Ibu penyelamatku. "Kon ngerti dewe, Aku wis putus asa lek ga onok Bu Hera."
Ibu penyelamatku menatapku dengan penuh kasih, lalu berbalik ke narapidana itu. "Kami saling menguatkan. Itu yang penting di tempat ini."
Dina mengangguk. "Lek butuh bantuan, ojok sungkan ngomong nang aku. Aku iso mbelani awakmu, awak dewe kudu saling melindungi nang kene."
Aku merasa hangat mendengar kata-kata itu, sesuatu yang tidak biasa di pulau ini.
"Suwun ning," balasku, suaraku bergetar. "kon yo kudu iso jogo awakmu, ojo aneh-aneh."
Aku yang dulunya lugu dan pasrah pada nasibku mulai terbuka. Aku merasakan harapan berkelebat di dalam diriku lagi, sesuatu yang tak pernah kurasakan selama bertahun-tahun. Kekuatan dan tekad Ibu penyelamatku mengalir ke dalam diriku. Setiap hari di ladang pertanian, di bawah pengawasan ketat para penjaga, kami bekerja berdampingan, berbagi percakapan berbisik tentang masa depan yang hampir tidak berani kami bayangkan.
"Aku tidak tahu bagaimana aku bisa hidup di sini tanpa dirimu," kataku kepada Ibu penyelamatku suatu sore saat kami duduk berdua di bawah pohon. "Jika bukan karena kamu, aku pasti sudah kehilangan akal."
"Jangan pernah merasa sendirian," jawab Ibu penyelamatku dengan lembut. "Setiap kali kamu merasa putus asa, ingatlah bahwa aku selalu ada di sini untukmu. Kita akan melalui ini bersama."
Namun, kenyataan hidup di penjara tak pernah jauh dariku. Kekerasan selalu ada, dan ada hari-hari ketika aku kembali ke sel dengan memar dan luka akibat pertengkaran dengan narapidana lain. Ibu penyelamatku, meskipun lebih tua dan lemah secara fisik, akan duduk di sampingku di halaman saat kami bisa, merawat lukaku dengan sedikit yang kami miliki.
"Lihat ini," katanya suatu hari, mengelus luka di lenganku. "Kita akan sembuh. Ini hanya sementara."
Di lingkungan yang suram ini, kami telah menjadi keluarga satu sama lain, mendapatkan kekuatan dari ikatan yang telah terbentuk di antara kami. Kerasnya lingkungan ini hanya membuat ikatan kami semakin berharga, sesuatu yang takkan pernah bisa kami hilangkan.
Hubungan kami semakin erat, tetapi waktu terus berjalan bagiku. Aku telah menjalani hukuman seumur hidup, pasrah pada nasibku setelah 13 tahun di penjara, dan peluang untuk dibebaskan tampak tipis. Namun, Ibu penyelamatku menolak untuk membiarkan aku menyerah. Dia tahu masa depanku tidak seharusnya terkurung di balik jeruji besi—dan dia bersedia mempertaruhkan segalanya untuk melihatku bebas.
"Suatu hari, kamu akan bebas," katanya dengan keyakinan saat kami berdua duduk di bawah sinar rembulan yang redup. "Aku akan melakukan apapun untuk memastikan itu terjadi."
"Aku tidak tahu apakah itu mungkin, Bu," kataku dengan rasa putus asa. "Sudah terlalu lama."
"Jangan pernah meragukan kekuatan kita. Kita punya harapan," jawabnya, menggenggam tanganku erat. "Kita akan melawan ini bersama-sama."
Dia tahu dia harus bertindak. Dengan pengetahuannya yang luas tentang sistem hukum dan jaringan kontak yang kuat, sebagai mantan hakim, Ibu penyelamatku menghubungi seorang teman lama dan meminta berkas kasus dari persidanganku. Butuh waktu berminggu-minggu, tetapi akhirnya, dokumen-dokumen itu tiba di pulau lapas perempuan.
Ibu penyelamatku terjaga hingga larut malam demi malam, membaca dokumen dengan saksama di bawah sinar rembulan yang redup melalui jeruji jendela, menyisir setiap detail, mencari cara untuk menegakkan keadilan. Dan kemudian dia melihatnya: celah dalam kasusku. Hukuman terhadapku didasarkan pada bukti tidak langsung yang lemah. Tidak ada saksi langsung yang melihat kejahatan itu, dan tidak ada bukti fisik yang mengaitkanku dengan pembunuhan tersebut. Hukumanku dibangun atas asumsi dan tekanan untuk keadilan yang cepat, dengan ceritaku yang diputarbalikkan dan dimanipulasi. Ibu penyelamatku percaya bahwa kebenaran telah terkubur.
Suatu sore, setelah seharian bekerja di penjara, Ibu penyelamatku mendudukkan aku di sampingnya. "Aku telah memeriksa kasusmu," katanya lembut. "Ada cara untuk membatalkannya. Kamu bisa mengajukan peninjauan kembali kasusmu, berdasarkan kurangnya bukti yang kuat dan bagaimana penyelidikan itu ditangani."
Bimbang
Aku menatapnya dengan mata lelah. "Tapi... apa gunanya?" kataku, suaraku bergetar. "Aku sudah terperangkap di sini begitu lama. Apa yang bisa berubah?"
Ibu penyelamatku menggenggam tanganku, matanya penuh keyakinan. "Karena harapan itu penting, nak. Tanpa harapan, kita tidak bisa hidup. Ini bukan hanya tentang kebebasanmu, tetapi tentang mengembalikan kebenaran yang hilang."
"Tapi jika aku gagal lagi? Jika mereka menolak permohonanku sekali lagi?" tanyaku, rasa putus asa mulai menyelimuti pikiranku.
"Jika kita tidak berjuang, kita sudah kalah," jawabnya tegas. "Kita akan melakukan ini bersama. Aku akan ada di sampingmu setiap langkah. Aku akan mencari bantuan hukum, dan kita akan mengumpulkan semua bukti yang mungkin kita butuhkan."
"Aku tidak ingin melihatmu menderita karena aku," kataku, merasa bersalah.
"Semuanya baik-baik saja. Aku sudah terbiasa dengan penderitaan. Yang terpenting adalah kamu," katanya, menatapku dengan penuh kasih. "Kamu layak mendapatkan kesempatan kedua. Kita akan menghadapinya bersama, dan apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu."
Aku merasa seberkas harapan baru muncul di dalam diriku, meskipun masih samar. "Baiklah, Ibu penyelamatku. Mari kita coba," kataku pelan, hatiku berdebar.
Ibu penyelamatku tersenyum, menegaskan keputusanku. "Kita akan melakukannya. Ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Bersiaplah, nak. Perjuangan kita baru saja dimulai."
Bu Hera yakin akan ada yang koleganya terdahulu yang membalas surat-surat untuk mengubah nasibku itu, kita akan mengajukan peninjauan kembali atas kasusku, beliau menjelaskan bahwa dia tahu caranya, karena dulunya terbiasa memanipulasi sistem yang sama.
"Ini bukan perkara mudah," katanya. "Risikonya tinggi. Jika kamu bohong atau dianggap tak menunjukkan penyesalan di pengadilan, hidupmu bisa semakin suram. Bahkan, ada kemungkinan hukuman seumur hidupmu ditingkatkan menjadi hukuman mati."
Ketakutan itu tiba-tiba merayap ke dalam diriku bayangan akan kejamnya sel hukuman mati.
Suatu saat pernahku dengar rumor tentang kehidupan di bilik hukuman mati. tempat itu sungguh berbeda, penjara di dalam penjara, dunia yang berbeda dari apa pun yang pernah kamu bayangkan. Setelah bertahun-tahun di penjara, kamu pikir sudah tahu seberapa jauh jiwa bisa jatuh, tetapi ini—ini berbeda. Suasana di bilik hukuman mati lebih kelam, tanpa kepastian akhir. Kesunyian membawa bobot yang menekan, lebih mencekik daripada ikatan fisik apa pun. Bilik hukuman mati adalah tempat di mana waktu terasa membentang dengan kejam, sebuah ruang tunggu untuk yang terkutuk, di mana setiap nafas terasa seperti dipinjam, setiap detik penuh dengan gambaran akan kematian.
Sepuluh tahun atau lebih membentang di depan terpidana mati, meskipun eksekusi bisa datang lebih cepat jika pengadilan bergerak cepat, namun jarang terjadi. Sel yang diberikan pada terpidana mati sangat sempit 2 x 1 m, hampir tidak cukup ruang untuk berputar. Sebuah ranjang susun dengan matras tipis menempel di dinding. sama seperti di blok lain pada umumnya, para penjaga merotasi terpidana mati setiap beberapa minggu, dan kapan saja mereka bisa memindah terpidana mati—seseorang yang berkelakuan sangat buruk, monster, namun pada akhirnya, mereka adalah yang terburuk dari semua yang ada di pulau penjara ini.
Hanya ada dua belas napi perempuan di bilik hukuman mati, tetapi masing-masing adalah sosok terkenal, kejahatan mereka terukir dalam mimpi buruk masyarakat. Teroris, pembunuh berantai, penjahat perang—jenis wanita yang membuat berita utama, yang namanya dibisikkan dengan ketakutan. Dunia telah menghakimi mereka, tidak termaafkan, tidak bisa ditebus. Di mata masyarakat, mereka bukan lagi manusia, hanya deretan nama dalam daftar kematian.
Namun, dalam kepanikan yang menyelimuti pikiran, aku tetap pada pendirianku. Kebenaran adalah satu-satunya hal yang bisa menyelamatkanku. "Saya tahu apa yang terjadi, dan saya tidak bersalah," kataku tegas. Dia menatapku lama, seakan masih meragukan keyakinanku. Tetapi, melihat semangatku, dia mengangguk pelan, meyakinkanku bahwa dia akan membantuku.
Namun, dia juga tahu bahwa pendapat dan kata-katanya sendiri takkan cukup. Kami membutuhkan saksi atau bukti baru, sesuatu yang bisa menguatkan kasusku. Dengan koneksi yang dia miliki, dia mulai menghubungi beberapa orang, bahkan mengancam akan membongkar kasus korupsi lama jika mereka menolak untuk membantu.
"Orang-orang ini perlu tahu bahwa kamu bukanlah satu-satunya yang terperangkap dalam permainan ini," ujarnya dengan penuh tekad.
Beberapa saat kemudian, usaha kami membuahkan hasil sebuah LBH terkenal membantu kami, pengacara muda ganteng dialokasikan untuk kasusku, komunikasi lewat video call dia memberikan gambaran tentang apa yang akan kami hadapi di persidangan. "Kami perlu membuktikan bahwa ada kesalahan dalam proses hukum yang menjeratmu, bahwa dakwaan kepadamu yang dulu lemah, tanpa saksi atau bukti langsung yang cukup kuat." katanya. "Setiap detail penting, jadi jika ada yang kamu ingat—meski tampaknya sepele—itu bisa menjadi kunci."
Akhirnya, seorang pengacara muda yang berpengalaman dan seorang psikiater terkenal akan menangani kasusku tanpa memungut biaya, sesuatu yang terasa seperti keajaiban bagiku.
Namun, di balik kebahagiaan itu, keraguan menggerogoti hatiku. Saat malam tiba dan keheningan penjara menyelimuti sel, aku bertanya pada diri sendiri, Apakah aku benar-benar sepolos itu, ataukah aku sekadar pembohong yang pintar bersembunyi di balik air mata dan keyakinan? Mungkinkah ada kebenaran yang bahkan aku sendiri belum siap hadapi?
Di sisi lain, mantan hakim itu tampak berharap bahwa perjuangannya ini juga bisa membawanya lebih dekat pada jawaban yang selama ini ia cari—kebenaran tentang kematian anaknya. Dia bertindak seolah kasusku adalah kunci untuk membuka tabir gelap yang membelenggunya. Apa mungkin ini akan memberikan akhir yang selama ini ia dambakan, atau justru membuka luka lain yang sama sekali tak ia duga?
Kami setuju memulai proses peninjauan kembali, dan setiap langkahnya terasa seperti berlayar di tengah badai. Kami mencoba mengumpulkan bukti-bukti, mendatangi saksi-saksi yang berani bersaksi, dan menghadapi ancaman dari orang-orang yang lebih berkuasa dari kami. Dengan setiap kemajuan, rasa harap dan ketakutan kian bercampur, membentuk jalinan emosi yang rumit di dalam diri kami.
Seiring waktu berlalu, kami menghabiskan malam-malam kami dengan mendiskusikan strategi, meneliti dokumen, dan membangun argumentasi yang kuat. Dan di antara semua itu, Bu Hera dan aku semakin dekat. Setiap percakapan kami bukan hanya tentang kasusku, tetapi juga tentang masa lalu kami, tentang kesedihan yang telah mengubah hidup kami.
Suatu malam, saat kami berdua sedang berdiskusi tentang beberapa detail yang mungkin terlupakan, Bu Hera tiba-tiba terdiam. Dia menatap lurus ke depan, seakan mengingat sesuatu yang sangat penting. "Kadang-kadang, kebenaran bisa sangat menyakitkan," katanya pelan. "Kita tidak selalu siap untuk menghadapinya. Tapi kita harus berani, karena hidup kita bergantung pada keputusan yang kita buat sekarang."
"Apakah Ibu siap untuk menghadapi kebenaran itu?" tanyaku, merasa sedikit cemas. "Bagaimana jika itu lebih buruk dari yang kita duga?"
Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab dengan tegas, "Saya sudah terlalu lama hidup dalam kebohongan. Waktunya untuk mencari kebenaran, apapun itu."