Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 19 - Membuka Luka Lama

Chapter 19 - Membuka Luka Lama

Di tengah percakapan yang mulai mendalam antara diriku dan Bu Hera, tiba-tiba Dina, sahabatku, datang dengan membawa dua buah kelapa. Ia melangkah ringan ke arah kami dengan senyum lebar yang segera menghangatkan suasana.

"Mbak, iki lho tak gowo degan seger, jek tas metik teko wit'e," katanya ceria, sambil mengulurkan beberapa butir kelapa hijau yang masih lengkap dengan tangkainya, seketika suasana terasa lebih segar dengan kedatangannya.

"Suwun, Din! Ga onok racun'e kan?" candaku, sambil tertawa kecil.

"Pean iso ae, tenang ae, Mbak! asal ga ngelarani awak ku ga bakal tak racun awakmu!" balasnya sambil tertawa, melontarkan tatapan menggoda yang mengingatkan pada candaan lama kami.

Meski suasana di antara kami terasa ringan, ada ironi yang sulit diabaikan dalam kehadiran Dina. Sahabatku ini, seorang terpidana seumur hidup, dihukum atas kasus pembunuhan berencana yang menggemparkan: dengan kejam dia memasukkan racun sianida ke dalam kopi pacarnya ketika mereka sedang berkencan. Tak ada penyesalan dari bibirnya atas tindakannya itu; baginya, pengkhianatan yang ia alami seakan mematikan segala rasa belas kasih. Sakit hati karena dikhianati membuatnya memilih jalan gelap itu.

Namun di sini, di balik jeruji, semua kejahatan itu terasa seperti kisah lain di dunia yang jauh. Kami berbagi kisah, tawa, dan sesekali, air mata. Penjara memang memiliki caranya sendiri untuk menghubungkan orang-orang dengan masa lalu kelam yang berbeda-beda, tanpa prasangka, tanpa penghakiman. Kami, yang sama-sama kehilangan kebebasan, telah belajar menerima dan melihat satu sama lain apa adanya—sebagai manusia yang pernah terluka dan kini mencari penghiburan di tengah keterasingan.

Awakmu ta sing menek wit klopo?" tanyaku, tersenyum kagum.

"Iyo, Mbak. Lagi pengen ngombe sing seger-seger, soale," jawabnya, lalu tertawa kecil. "Sepurane nganggu, yo wis lanjutno ngobrol'e."

Dina berlalu, meninggalkan kami dengan dua buah kelapa muda segar. Kupecahkan kelapa itu dan menyerahkan satu pada Bu Hera. Dengan sedikit ragu, ia menerimanya. Ternyata, di tengah suasana panas pulau ini, air kelapa segar begitu melegakan, mengalirkan kesejukan yang jarang kami dapatkan di sini.

"Di sini kelapa memang ada di mana-mana," kataku, mencoba mencairkan suasana. "Tanaman kelapa di pulau ini bukan cuma sekadar minuman segar buat kita. Mulai dari batang, daun, sampai akar, semua ada gunanya."

Bu Hera mengangguk, mungkin pertama kali dalam percakapan kami ia benar-benar mendengarkan dengan tenang. "Ya, saya pernah dengar. Tapi tak kusangka, di sini semua bagiannya begitu penting."

Ku lanjutkan, "Iya, Bu. Batang pohon kelapa bisa jadi bahan bangunan—dibuat kursi, meja, jembatan, bahkan untuk pondasi bangunan. Selain itu, sisa kayu gergaji batangnya juga bisa dijadikan bahan pembuatan kertas."

"Menarik," katanya pelan, tampak sedikit terkesan.

"Pohon kelapa juga bisa menahan abrasi di pesisir pantai. Dan lebih dari itu, ternyata mereka menyerap gas rumah kaca, membantu mengurangi pencemaran udara."

Bu Hera tersenyum samar. "Sungguh luar biasa, sebuah pohon dengan segudang manfaat, bahkan di tempat seperti ini, ya?"

Diriku mengangguk, merasa ada secercah pengertian di antara kami. "Benar, Bu. Daging buahnya juga bisa dijadikan santan dan minyak untuk meningkatkan imun, lalu daunnya bisa dibuat bungkus ketupat, anyaman, atau sapu lidi. Bahkan akar kelapa bisa menginspirasi teknologi penyangga bangunan, seperti cakar ayam."

Menyandarkan diri pada batang pohon kelapa di samping kami, Bu Hera tampak termenung sejenak. "Sarah," katanya pelan, "ternyata pengetahuanmu sudah banyak bertambah selama di sini."

Kami tertawa kecil bersama. Seiring percakapan kami yang tak lagi dipenuhi kebencian, dua buah kelapa sederhana ini menjadi simbol, mungkin, untuk awal yang baru, sebuah ruang bagi pemahaman yang tak pernah ada sebelumnya.

Akhirnya, di hadapan Bu Hera, ku coba membuka luka lama—kenangan buruk yang telah kusimpan selama 12 tahun, kuberanikan bercerita. Bu Hera mendengarkan dengan cermat, wajahnya berubah serius, seakan bisa merasakan kesedihan yang aku rasakan. "12 tahu yang lalu, momen ketika diriku kehilangan segalanya," lanjutku. "Semua yang pernah ku impikan, kami impikan, mereka impikan, semua kebahagiaan yang pernah ku rasakan, lenyap seketika. ku harus belajar hidup kembali, di sini, di pulau ini, di penjara ini, kali ini tanpa Doni, tanpa teman, tanpa keluarga di sisiku."

---------

Diriku tidak akan pernah melupakan, Satu minggu setelah ditahan, pada suatu sore yang gelap dan basah oleh hujan, orang tua Doni yang saat itu belum kukenal datang ke kantor polisi. Aku dipanggil keluar, dan di sana mereka berdiri, dalam diam yang membeku. Tatapan Bu Hera kala itu, dingin dan penuh kemarahan, langsung menghujam dadaku. Ayah Doni berdiri di sampingnya, wajahnya merah, otot rahangnya tegang, seperti bara yang siap meledak kapan saja.

"Jadi ini dia… gadis keji yang sudah mengambil anakku!" Suara ibunya bergetar, tajam seperti pisau yang menusuk dadaku. "Kamu tega, ya? Anak kami mati… mati kau bunuh ! Dan kamu hanya duduk di sini tanpa sedikit pun rasa bersalah!"

Diriku menunduk, merasakan seluruh tubuhku bergetar. "Bu... saya... saya juga kehilangan Doni. Saya nggak pernah bermaksud seperti ini. Sungguh, Bu."

"Tutup mulutmu!" Ayah Doni membentak keras, membuatku terdiam dalam ketakutan. "Kamu pikir kami bodoh? Kamu pikir kamu bisa mempermainkan kami dengan air mata buaya itu? Kami tahu kamu yang mendorongnya! Kamu membunuhnya, kamu yang mengakhiri hidupnya, menghancurkan hidup kami!"

"Tidak, Pak... Bu... saya tidak mendorong Doni. Saya jengkel, iya, saya pergi, ... tapi saya nggak pernah berniat mencelakakan dia..." Aku berusaha menjelaskan, tetapi kata-kataku terdengar hampa, seolah-olah menghilang begitu saja di udara.

Ibunya menggeleng dengan mata yang basah oleh air mata, tapi wajahnya tetap penuh kebencian. "Doni selalu bicara tentang kamu. Dia bilang kamu ambisius, kadang kasar, tapi kami pikir kamu hanya butuh bimbingan. Kami pikir kamu pantas bersamanya. Tapi sekarang? Lihat apa yang kamu lakukan pada anak kami!"

"Saya tak menyangka… kamu yang dia cintai, yang dia percaya… tega berbuat begini padanya," suaranya bergetar, penuh amarah dan kesedihan yang mendalam. "Kamu tahu dia akan memilih kamu di atas siapa pun… bahkan kami sebagai orang tuanya. Tapi sekarang... ini balasanmu?"

Air mata mulai mengalir di pipiku. Aku ingin membela diri, ingin memberitahu mereka tentang betapa aku juga hancur, betapa aku juga merasa kehilangan. Namun, aku tahu mereka tidak akan mendengarkan. Di mata mereka, aku adalah pelaku, orang yang sudah merenggut nyawa anak mereka.

"Aku mohon, Bu, Pak... diriku tidak seperti yang kalian pikirkan. diriku mencintai Doni... kami hanya bertengkar biasa... aku tidak pernah bermaksud...," suaraku hampir tak terdengar, tenggelam dalam tangis.

"Jangan beri kami alasan," potong ayah Doni dengan nada dingin. "Kami tahu apa yang kamu lakukan. Pertengkaran kalian, pesan-pesan di HP itu, semuanya cukup membuktikan bahwa kamu punya niat jahat."

"Tapi, Pak... Bu... diriku tidak membunuh Doni. Aku sayang sama dia. Pertengkaran itu hanya salah paham... kami sering berdebat, tapi tidak pernah sampai menyakiti satu sama lain," diriku berusaha menjelaskan, namun suaraku terdengar hampa, seolah-olah tertelan dalam ruang yang kosong.

Ibunya menggelengkan kepala, menahan tangisnya yang memuncak. "Anak kami sudah pergi, dan yang tersisa hanyalah kamu, tersangka yang harus bertanggung jawab."

Saat itu , mereka pergi meninggalkanku di sana, air mata dan rasa sakit membekas dalam hati. Kebenaran yang kuketahui tampak begitu jauh dari jangkauanku, terkubur di bawah tuduhan, kebencian, dan dendam yang kini memenuhi hidupku.

---------

Di hadapannya, kini diriku akhirnya bisa mengungkapkan perasaan yang kupendam selama bertahun-tahun. Kutatap Bu Hera dengan perasaan campur aduk—rasa sakit hati, kemarahan, dan dendam yang tak pernah padam. Bu Hera, ibu dari Doni, pacarku yang dulu, seorang mantan hakim yang kini bernasib sama denganku: terpidana seumur hidup.

Sudah dua belas tahun berlalu sejak pertemuan kami di pengadilan. Kala itu, beliau berdiri sebagai simbol kekuasaan yang kukira takkan tergoyahkan, menghadapiku dengan kebencian yang menyala-nyala. Saat itu, di ruang pengadilan yang terasa seperti neraka bagiku, ia menatapku dengan tatapan dingin dan berkata, "Terima saja nasibmu, Sarah. Kau telah merenggut nyawa putraku, putra tunggalku. Jadi, kau pun harus menerima balasannya. Lupakan masa depanmu, lupakan masa mudamu, karena aku akan memastikan kau mati di penjara."

Kata-katanya seperti belati yang menghujam batinku. Ia tidak hanya merenggut kebebasanku, tapi juga mengubur harapanku, menghancurkan mimpi-mimpi masa depanku. Dan kini, ironi hidup membawa kami berdua pada takdir yang sama. Bu Hera, yang dulu berdiri di atas mimbar kekuasaan dan menghukumku tanpa belas kasih, kini duduk di depanku dengan seragam narapidana yang sama, wajahnya yang dulu angkuh kini penuh keriput dan kelelahan.

Diriku ingin mengutarakan rasa sakitku, menumpahkan dendam yang selama ini menghantuiku. Namun, melihatnya yang kini sama-sama terjebak di balik jeruji, ku hanya bisa menghela napas panjang. Satu dekade lebih kebencian dan kehancuran, dan kini kami berdua tenggelam dalam penyesalan dan luka yang tak lagi bisa disembuhkan.

---------

Di gedung pengadilan yang megah namun dingin, langkah kakiku terasa berat saat berjalan memasuki ruang sidang. Ruangan itu dipenuhi orang-orang yang duduk dengan tatapan penasaran, berbisik-bisik melihatku seakan akulah sosok monster dalam cerita yang mereka nanti-nantikan akhir tragisnya. Pandangan mereka seperti luka yang tak terlihat, tapi terasa tajam menusuk ke dalam hatiku.

Saat mataku menangkap sosok Bu Hera, jantungku berdetak lebih cepat. Ia duduk di barisan depan, Sebagai ibu korban, dengan wajah yang sudah tak asing lagi—penuh dendam dan kebencian yang mendalam. Ia mengenakan pakaian hitam, wajahnya terlihat dingin, dan matanya menusuk tajam seperti hendak menelanjangi jiwaku. Di sampingnya, ayah Doni berdiri tegak, diam namun terlihat begitu kaku, seolah-olah berusaha menahan kemarahan yang siap meledak kapan saja. 

Ketika ku melangkah mendekat, Bu Hera berdiri, lalu tanpa aba-aba, ia menatapku tajam, dan dengan suara yang begitu dingin namun keras, ia berujar, "Kini terima saja nasibmu, Sarah. Kau telah merebut nyawa putraku, satu-satunya putraku. Jadi kau pun harus menerima balasannya." Suaranya seolah menjadi guntur yang menggema di ruang sidang itu, membuat seluruh ruangan sunyi seketika.

Diriku terdiam, tenggorokanku tercekat. Ku ingin menjawab, ingin membela diri, ingin meneriakkan kebenaranku. Namun, kata-katanya melumpuhkan keberanianku. 

Bu Hera melanjutkan, "Lupakan masa depanmu, lupakan masa mudamu. Akan kupastikan kau akan mati di penjara. Kau tak layak hidup bebas setelah menghancurkan hidup kami." 

Kata-katanya menghantam telingaku seperti cambuk yang merobek harga diriku. Rasa sakit yang selama ini kupendam kembali merayap naik, membakar setiap sisa kekuatan yang kumiliki. Pandangan matanya yang dingin membuatku merasa begitu kecil dan tak berarti. Seolah-olah aku memang pantas menerima hukuman ini, seolah-olah aku benar-benar bersalah.

Ku kumpulkan keberanian, berusaha berbicara. "Bu... saya... saya tidak membunuh Doni. Saya juga kehilangan dia... saya—"

Namun, Bu Hera hanya memalingkan wajahnya, seakan-akan kata-kataku hanyalah angin lalu. Ia tak sudi mendengarkanku, tak peduli pada rasa sakitku. Aku tahu, bagi Bu Hera, aku adalah monster yang harus dihancurkan.

Saat sidang di tangguhkan dan diriku dipersilakan meninggalkan di kursi terdakwa, Bu Hera—seorang hakim yang seharusnya memegang teguh prinsip keadilan—dengan angkuhnya menatapku dan menghampiriku dari bangku pengunjung. Ada sinar keangkuhan di matanya, seolah-olah ia sedang menikmati momen ini, momen di mana ia bisa mencengkeramku dalam rasa bersalah yang tak pernah kumiliki.

Di tengah keheningan sidang, tiba-tiba ia berbicara, suaranya tenang tapi penuh ancaman, "Jangan coba-coba membela diri, Sarah," katanya, menatapku dengan mata yang tajam seperti elang. "Pengadilan ini ada dalam kendaliku. Tidak ada satu kata pun yang bisa menyelamatkanmu di sini. Kau dengar?" Bu Hera saat itu memang bukan anggota majelis hakim yang menyidangkan kasusku, namun sebagai ketua pengadilan, ku yakini beliau punya kuasa terhadap anggotanya. 

Diriku terpaku, mencoba mencari kata-kata, namun sebelum ku sempat berkata apapun, Bu Hera melanjutkan, "Kau bisa mencoba menangis, berlutut, atau bahkan menyembahku, tapi tidak ada satu pun yang akan mengubah nasibmu. Kau akan membusuk di penjara, mati di sana, kau tak layak hidup di tengah masyarakat."

Rasanya seperti dihujani bara api. Ku berusaha menguatkan diri, tak ingin membiarkan kata-katanya mematahkan sisa-sisa keberanian yang kumiliki. Dengan suara lirih, aku berkata, "Bu Hera, saya mohon, saya tidak bersalah. Saya tidak pernah bermaksud mencelakai Doni. Saya juga kehilangan dia..."

Namun, senyumnya justru semakin lebar, senyum dingin yang tak menunjukkan belas kasih. "Vonismu sudah ditentukan, Sarah," katanya dengan nada kejam. "Penjara seumur hidup menantimu. Tak ada yang bisa kau lakukan. Ku pastikan kau tidak akan pernah merasakan kebebasan lagi, takkan ada masa depan bagimu."

Seketika tenggorokanku tercekat. Aku menahan air mata yang hendak keluar, tak ingin menunjukkan kelemahanku di hadapannya. "Bu Hera, tolong… saya sungguh tak bersalah. Ini semua hanya kesalahpahaman. Saya juga mencintai Doni… saya juga terluka…"

Ia memotong kata-kataku dengan nada dingin, "Diam! Jangan sebut nama putraku dengan bibirmu yang berdosa itu! Kau tidak mencintainya. Kau merenggutnya dari kami, dari hidup kami, dan sekarang kau ingin bebas begitu saja?"

ku gigit bibir, menahan isak yang hampir pecah. Tak ada kata yang bisa kuucapkan lagi. Tatapan penuh dendam dari Bu Hera membuatku merasa seperti debu, tak berarti dan tak berdaya. Aku tahu, di mata mereka, aku sudah dihukum sebelum pengadilan ini dimulai. Aku tahu, kebenciannya padaku tak akan hilang, dan di hadapan semua orang, aku tak lebih dari penjahat yang harus dihancurkan.

Dengan suara dingin dan mantap, Bu Hera menyimpulkan ancamannya, "Vonisku untukmu, Sarah, adalah seumur hidup. Kau akan membusuk di balik jeruji, jauh dari kebebasan, jauh dari kehidupan yang kau dambakan. Dan tidak ada yang bisa mengubah itu."

Saat itu, aku menyadari bahwa tak peduli sekeras apapun aku berusaha menjelaskan, kebencian Bu Hera padaku sudah terlalu mendalam. Dan kini, di hadapan hukum dan di hadapan Bu Hera yang tak pernah ingin mendengarkan, aku berdiri sendirian, hanya ditemani bayang-bayang kesalahpahaman yang terus menghantui.

---------------

Kini, dua belas tahun telah berlalu sejak pertemuan kami di pengadilan, dan kali ini, takdir mempertemukan kami kembali di tempat yang tak terbayangkan dulu: di penjara. Aku dan Bu Hera, yang dulu bagai dua kutub yang saling bertentangan, kini duduk bersama di sini, berbagi nasib sebagai terpidana seumur hidup.

Kini, dua belas tahun setelahnya, sang Ibu duduk di hadapanku lagi, kali ini tanpa api kemarahan di matanya. Wajah Bu Hera yang dulu terlihat tegas kini tampak lelah, dihiasi guratan kesedihan yang dalam, bekas luka batin yang jelas tak pernah sembuh. Masing-masing dari kami membawa kehancuran sendiri-sendiri, namun ada sesuatu yang berbeda dalam keheningan ini—seolah-olah harapan untuk sesuatu yang lebih baik akhirnya muncul di antara kami, di tengah kebencian yang dulu membara.

ku angkat wajahku, mencoba mengumpulkan keberanian. "Bu Hera," suaraku lirih namun mantap, "Saya tahu ini tidak mudah bagi Ibu. Juga bagi saya, setiap hari yang saya lalui di sini adalah waktu untuk merenungi segalanya. Saya juga kehilangan Doni… dan saya benar-benar menyesal atas semuanya. Jika saya bisa memutar waktu…"

Bu Hera menatapku dalam-dalam, tampak seperti seseorang yang mencoba membaca kebenaran dalam diri orang lain. "Saya menghabiskan bertahun-tahun memendam rasa benci padamu," ujarnya pelan, namun setiap katanya menggambarkan beban emosional yang tak terbayangkan. "Aku pikir, mungkin kebencianku akan meredakan rasa sakit… tapi tidak juga. Setiap kali aku ingat Doni, aku… aku juga melihat kamu… melihat wajahmu di setiap kenangan yang ia ceritakan."

Ku mengangguk pelan, tak mampu menyembunyikan air mata yang mulai mengalir. "Saya mengerti, Bu. Kenangan itu juga hidup dalam diri saya. Setiap kenangan yang indah bersama Doni… setiap senyum dan rencananya… semuanya masih tersimpan di sini, sama seperti yang Ibu rasakan."

Bu Hera menghela napas panjang, seakan berusaha mengusir beban yang begitu berat dari dadanya. "Saya hanya ingin… memahami apa yang sebenarnya terjadi di malam itu. Mungkin dengan itu, kami bisa menemukan kedamaian yang selama ini hilang."

Keheningan sejenak diantara kami, namun kali ini terasa lebih hangat daripada dingin. Masing-masing dari kami merasakan duka yang sama, kehilangan yang tak tergantikan. Perlahan, seolah menyingkap tabir dari luka lama, aku mulai bercerita tentang malam itu, bagaimana semuanya berawal dari hal yang sederhana dan akhirnya berakhir dalam kekacauan. Dan untuk pertama kalinya, kami berdua duduk bersama—berbagi rasa sakit, kenangan, dan kerinduan yang tak pernah sirna.

Ketika percakapan kami mencapai titik yang paling dalam, seorang petugas menghampiri dengan wajah ramah, mengingatkan bahwa istirahat kami sudah usai. mengingatkan kami untuk segera menjalankan Sholat Dhuhur, dan setelahnya waktunya untuk kembali bekerja di sawah. Diriku dan Bu Hera saling pandang, tersenyum kecil, seakan merasakan kehangatan yang tak pernah kami bayangkan bisa terjadi di antara kami.

Sambil berdiri dan membersihkan diri, Bu Hera menghela napas panjang, kali ini dengan senyum tipis di wajahnya. "Sarah, setelah bertahun-tahun, aku tak pernah membayangkan kita bisa bicara seperti ini," ujarnya pelan namun hangat.

Aku tersenyum, menatap wajah Bu Hera yang tampak lebih tenang. "Saya juga, Bu. Mungkin, hidup punya caranya sendiri untuk mengajari kita tentang kedamaian."

Kami pun melangkah bersama menuju ladang, diiringi sinar matahari yang menyinari jalan setapak. Angin sepoi-sepoi menyapu wajah kami, membawa rasa ringan yang menyegarkan. Sambil berjalan, Bu Hera tiba-tiba bercanda, "Sarah, jangan kira saya sudah lupa waktu kamu dulu menangis tersedu-sedu di persidangan. Aku bahkan sempat berpikir kamu aktor yang cukup berbakat, tahu?"

Diriku terkekeh, teringat betapa saat itu aku benar-benar tersudut. "Wah, Bu, kalau begitu saya gagal meyakinkan Ibu kalau saya memang benar-benar merasa hancur, ya?"

Kami berdua tertawa, menghapus untuk sejenak bayang-bayang kelam masa lalu. Rasanya seperti lembaran baru, tanpa permusuhan dan beban masa lalu. Di tengah sawah, kami memulai pekerjaan hari itu dengan hati yang sedikit lebih ringan, seakan penjara ini telah memberikan ruang bagi kami untuk merajut seutas kedamaian yang sempat hilang—dan siapa tahu, mungkin juga sepotong persahabatan.