Sambil mencoba lebih akrab ku tawarkan ubi panas kepada beliau,
Meskipun kisahku pernah kuceritakan sebelumnya diawal perjumpaanku dengan Bu Hera. Hari itu dengan suasana yang telah berbeda Bu Hera mendengarkan dengan seksama, wajahnya masih menyiratkan rasa ingin tahu yang mendalam. Diriku bisa merasakan beliau ingin tahu lebih banyak, namun ada juga kesedihan di balik matanya, seolah memahami bahwa cerita ini bukan hanya tentang kenangan, tapi juga luka yang terpendam.
"Kami seperti pasangan muda lain yang penuh harapan," lanjutku, mencoba menjaga suaraku tetap tenang. "Di setiap kegiatan sosial yang kami ikuti, aku dan Doni saling mendukung. Kami sama-sama bercita-cita menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Ia selalu bilang bahwa ia melihat sosok tangguh dan penuh kepedulian di diriku, dan itu membuatku semakin bersemangat. Bersama Doni, aku merasa lebih kuat, seolah kami adalah satu tim yang tak terpisahkan."
Bu Hera tersenyum kecil, tetapi sorot matanya tetap penuh perhatian. "Kedekatan kalian... tampaknya lebih dari sekadar pertemanan ya, Sarah?" dirinya bertanya lembut.
Perasaan hangat namun juga pedih menyelinap di hatiku. "Iya, Bu. Doni adalah sosok yang berbeda dari siapapun yang pernah kutemui. Dia selalu peduli, bukan hanya kepadaku, tapi kepada semua orang di sekitarnya. Dia membuatku merasa seperti manusia terbaik yang bisa kulihat dalam diriku. Tapi, Bu..." Diriku terdiam sejenak, menahan isak yang mulai terasa di tenggorokanku, "…semua itu berakhir dalam satu malam yang tragis. Malam yang membawaku ke tempat ini."
Diriku menatapnya, berusaha menahan tangis. "Bukan hanya diriku yang hancur saat itu, Bu. Kehilangan Doni telah menghancurkan, telah merusak kehidupanku—dan bukan hanya kehilangan dalam arti biasa, tapi juga kehilangan kepercayaan, kehilangan harapan."
Bu Hera menggeleng pelan, tampak sulit menerima kenyataan itu. "Itu memang menyakitkan Nak Sarah... saya juga merasakannya apa yang kau rasa, tetap sabar ya."
"Entahlah," jawabku, nafasku tercekat. "Saat itu aku merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk."
kulanjutkan ceritaku
------------
Saat itu Januari 2008 membawa kejadian besar—banjir melanda ibukota dan menyebabkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal. Melihat bencana ini, ku tergerak ikut kegiatan sosial yang diadakan kampus. Diriku dan teman-teman menggalang dana, mengumpulkan bantuan, hingga terjun langsung ke lapangan membantu para korban. Melihat penderitaan yang ada di sana, ku semakin ingin menjadi penegak hukum yang bukan hanya menegakkan aturan, tetapi juga peduli pada keadilan dan kemanusiaan. Terjun langsung ke lokasi-lokasi pengungsian. Setiap kali menatap wajah-wajah para korban yang kebingungan dan kehilangan, ku semakin yakin bahwa pilihanku untuk menjadi seorang penegak hukum adalah panggilan hatiku, bukan sekadar profesi. Di tengah suasana inilah, Doni selalu ada di sisiku, membantu dan menguatkanku.
Suatu malam setelah seharian beraktivitas di lokasi pengungsian, diriku duduk di tangga kampus, menatap langit yang mulai gelap. Doni datang menghampiriku, membawa dua gelas kopi panas.
"Kamu nggak capek?" tanyanya sambil menyerahkan kopi padaku.
Diriku tersenyum, mencoba menyembunyikan lelahku. "Capek, sih. Tapi rasanya nggak seberapa dibandingkan sama mereka yang di pengungsian. Kamu sendiri?"
Doni mengangguk pelan, duduk di sampingku dan menatap langit. "Capek, tapi bahagia. diriku senang bisa ikut membantu. Rasanya… beda ya, bisa melakukan sesuatu yang benar-benar berarti."
Diriku menatapnya, merasa begitu hangat di dalam hati. "Iya. Makanya, diriku pengin jadi pengacara, bukan hanya untuk membela orang, tapi untuk bisa berbuat lebih… untuk keadilan yang sesungguhnya."
Doni menatapku dalam, matanya penuh kekaguman. "ku tahu kamu bisa, kamu selalu punya semangat itu. Kalau ada yang bisa mengubah dunia ini, ku yakin itu kamu."
Diriku tersipu, tersenyum kecil sambil menatap ke arah lain. "Jangan terlalu berlebihan. Tapi... makasih, ya. Rasanya enak punya orang yang percaya."
Setelah akhir pekan yang panjang, Doni mengajak kami, diriku dan beberapa teman, untuk pergi ke villa milik keluarganya di pegunungan. Kami setuju, ingin menghabiskan waktu bersama untuk melepas lelah. Kami berangkat dengan penuh semangat, menikmati perjalanan dan tawa bersama. Pegunungan itu diselimuti kabut tipis yang terasa menenangkan, menyegarkan kembali tubuh kami yang sudah lelah setelah aktivitas sosial.
Sore itu diriku dan Doni mendaki ke lereng untuk menikmati sunset, Namun, hujan deras mulai turun tiba-tiba hingga hari menjelang malam. Kami berlindung di dalam tenda yang sederhana. Obrolan pun berlangsung hangat, hingga akhirnya, entah bagaimana, aku dan Doni mulai berselisih.
"Kamu nggak usah terlalu ambisius, tahu. Kadang, kamu terlalu keras sama diri sendiri dan orang lain," kata Doni, nadanya terdengar datar namun tajam.
Diriku menatapnya dengan alis terangkat, merasakan hati mulai memanas. "Maksud kamu apa? Cuma karena diriku punya ambisi, bukan berarti salahkan."
"Aku nggak bilang kamu salah. Tapi nggak semua hal harus kamu jadikan serius, kayak… kayak hidup ini selalu harus jadi pertempuran," balasnya.
"Apa salahnya kalau ku pengin serius sama hidupku? Aku punya mimpi, Doni. Bukan berarti aku cuma main-main," kataku dengan nada kesal.
Doni seolah menahan amarah. "Iya, tapi kadang-kadang, kamu harus bisa menurunkan egomu juga. Hidup ini nggak cuma tentang ambisi, kan?"
Amarahku semakin membara. "Kamu tahu nggak betapa susahnya diriku sampai di sini? Diriku harus berjuang mati-matian buat diterima di kampus ini, buat bisa menggapai mimpiku. Jadi kalau aku serius sama hidupku, itu karena aku nggak mau gagal, Doni!"
Kami saling menatap tajam. Hujan turun semakin deras, dan ku tidak lagi bisa menahan emosi. Diriku bangkit dan meninggalkan Doni di tengah hujan tanpa berpikir panjang.
"Kalau kamu nggak bisa terima ku apa adanya, ya sudah!" kataku dengan suara bergetar.
Doni menatapku, matanya penuh kemarahan dan… rasa sakit. "Baiklah, kalau itu yang kamu mau."
Diriku berjalan pergi, meninggalkannya di tengah hujan. Seluruh tubuhku basah, tetapi aku tidak peduli. Amarah dan rasa sakit membuat pikiranku penuh. Aku hanya ingin sendiri, ingin menenangkan diriku. "Nanti aku kan kembali, setelah semua ini reda," pikirku. Namun ketika aku akhirnya kembali, Doni sudah tidak ada.
Panik menyergapku, diriku mulai memanggil namanya di tengah kegelapan. "Doni! Doni!" Tapi hanya suara hujan dan gemuruh angin yang menjawab. Teman-teman kami ikut membantu mencari, tetapi Doni tak kunjung ditemukan.
Dalam kepanikan, salah satu temanku, Juliana, memegang bahuku dengan wajah cemas. "Tenang, kita akan menemukannya. Mungkin dia hanya mencari tempat berteduh…atau bisa juga terjatuh ke jurang"
Diriku yang panik, mencoba menenangkan diri, meskipun hatiku dipenuhi kecemasan dan rasa bersalah. "Kalau saja aku nggak meninggalkannya… kalau saja aku tetap di sisinya," pikirku berulang kali, seolah itu bisa memutar kembali waktu. Kami semua mencari sepanjang malam, berharap menemukan Doni yang hilang di tengah kegelapan hutan.
Namun, esoknya pencarian dilanjutkan, kabar baik ta kunjung datang. Doni tak kunjung ditemukan. Hari-hari berikutnya berjalan dalam kekhawatiran dan rasa bersalah.
"Kamu ada di sana saat itu, kan? Kamu yang terakhir bersama dia, bukan?" tanya teman kami Juliana yang juga sahabat ku sejak SMA dengan nada dingin.
Diriku mengangguk, mencoba menahan air mata yang sudah mengalir di pipi. "Iya, tapi... aku nggak tahu, aku nggak tahu ke mana dia pergi. Diriku pergi meninggalkan Doni sebentar…."
"Sebentar? Tapi kamu bertengkar dengannya. Siapa yang tahu kalau kamu mungkin lebih dari sekadar pergi sebentar, ya?" Lanjut Juliana, yang selama ini kuanggap teman, tanpa belas kasihan.
Kata-kata itu menusuk hati, tapi ku terlalu lemah untuk membalas, terlalu hancur untuk menjelaskan bahwa pertengkaran itu hanyalah sepele, seperti pertengkaran-pertengkaran kecil lainnya yang sering kami hadapi. Kami memang sering berbeda pendapat, tapi kami selalu kembali pada satu sama lain.
Tersangka
Kabar duka yang teramat mendalam menimpa diriku, seminggu kemudian, pagi itu, sebuah berita di koran menghantamku bagai petir.
Di sana, terpampang tajuk yang mengabarkan tentang seorang pemuda yang ditemukan tak bernyawa di dasar lembah oleh seorang petani lokal. Itu Doni. Mayatnya ditemukan di antara bebatuan tajam. Terselip di sana, terkoyak dan pucat.
Diriku ingin berteriak dan menagis kencang saat itu, tapi suara itu tenggelam di kerongkongan. Bagaimana itu bisa terjadi, mungkin satu langkah keliru di sana, dan nyawa Doni melayang pikir ku.
Namun, kematian Doni juga menjadi bencana, tragedi yang tragis bagiku.
Keesokan paginya ketika diriku bersiap berangkat ke kampus, petugas datang ke rumahku. Diriku hanya bisa terpaku ketika mereka mengeluarkan surat perintah penangkapan. Mata mereka dingin, seolah sudah menghukumku dalam hati mereka bahkan sebelum ku jelaskan apa pun. Diriku berusaha mengendalikan diri, mengulang-ulang dalam kepala bahwa ini hanya kesalahpahaman, bahwa kebenaran akan terungkap. Namun, dari tatapan mereka, aku tahu situasinya jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.
Dua orang petugas kepolisian pria dan perempuan datang menjemputku. Di tangannya, ada selembar surat yang dilipat rapi, tetapi tak ada basa-basi dalam pandangan matanya.
"Apa benar saudari Sarah Rahmawati ?, ini surat perintah penetapan tersangka dan penahanan untukmu," kata salah satu petugas, suaranya datar, hampir tanpa emosi. Dia menunjukkan surat itu di depanku, menyebutkan dasar-dasar hukum yang tertulis dengan tegas: bahwa berdasarkan Pasal 21 KUHAP, diriku resmi ditetapkan sebagai tersangka, dan penahanan dilakukan untuk menjamin bahwa diriku tidak akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana.
Tatapku kosong, mencoba memahami sepenuhnya bahwa kini statusku sudah berubah – bukan lagi saksi, bukan sekadar diperiksa, tapi tersangka. Bahkan Ayah dan Ibuku hanya memperhatikan keterangan dari petugas kepolisian, tak bisa berbuat banyak.
"Apa… apa ini diriku tersangka?" tanyaku, suaraku serak.
Petugas yang lain, seorang pria berwajah dingin yang selama ini tak pernah kutahu namanya, menjawab dengan singkat. "Ini sudah sesuai prosedur, Sarah. Kamu sudah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan bukti awal yang cukup." Tatapannya tajam, seolah menantang setiap kata yang mungkin akan keluar dari mulutku.
"Tapi… saya tidak melakukan apa pun," ujarku, suaraku terdengar memohon.
Petugas kepolisian menggeleng perlahan, tetap tak bergeming. "Sarah, bukti awal sudah ada, saksi dan barang bukti sudah mendukung. Sekarang tugas kami adalah memastikan proses hukumnya berjalan. Kalau kamu memang tidak bersalah, kamu akan punya kesempatan membuktikannya di pengadilan nanti."
Di sudut ruang tamu, Ayah tampak mengusap wajahnya dengan kedua tangan, sementara Ibu memalingkan wajah, tak sanggup menatapku.
"Ini tidak adil," bisikku, lebih kepada diriku sendiri.
"Apa?" tanya petugas itu dengan nada tegas, matanya tetap tertuju padaku.
"Ini tidak adil," ulangku lebih keras, berusaha mempertahankan suaraku agar tidak bergetar. "Aku tidak melakukan apa pun. Kalian tahu itu."
Petugas kali ini tatapannya sedikit melunak. "Sarah, setiap tersangka selalu bilang begitu. Tapi hukum bekerja berdasarkan bukti, bukan klaim."
Diriku menatapnya tajam. "Tapi bagaimana kalau bukti itu salah? Bagaimana kalau ini hanya salah paham?"
Petugas itu tidak segera menjawab. Dari samping, seorang polisi wanita mendekat, berdiri di dekatku. "Sarah," katanya dengan suara yang lebih lembut. "Kami tahu ini sulit untukmu, tapi percayalah, yang terbaik sekarang adalah bekerja sama. Proses hukum akan membuktikan yang sebenarnya."
Inginku berteriak bahwa semua ini tidak benar. Tapi saat menatap mata Ibu yang kini mulai berkaca-kaca, ku tahu itu hanya akan membuat keadaan semakin buruk.
"Bu… Ayah…" ku panggil mereka, berharap ada yang akan menjawab, memberiku sedikit kehangatan di tengah dinginnya suasana ini.
Ayah akhirnya mendekat, tapi langkahnya berat. Dia meletakkan tangannya di pundakku, meskipun wajahnya tetap tegang. "Kita akan cari jalan, Sarah," katanya pelan, nyaris berbisik.
Namun ku tahu, dari nada suaranya, dia sendiri tidak yakin pada kata-kata itu. Kata-katanya membuat dadaku semakin berat.
Diriku hanya bisa menunduk, sementara mereka memberikanku waktu sejenak untuk berpamitan dan mengemasi barang-barang yang kupunya. Tidak ada yang tersisa untuk kupertahankan, bahkan mungkin harga diriku. Diriku berpamitan, memeluk Ayah dan Ibu yang sebenarnya sedang bersiap berangkat kerja.
Sesampainya di kantor polisi, Pihak berwajib menyampaikan bukti yang ada, syalku ditemukan di lokasi kejadian, skasi yang juga kawan ku mencurigai percakapan terakhir kami, dan menganggapku adalah orang terakhir yang bersamanya. Bukti-bukti yang ada terlihat cukup meyakinkan di mata petugas, seolah diriku yang melakukan semuanya. Meski tak ada motif yang jelas, tetapi kedekatanku dengan Doni membuat mereka berasumsi yang terburuk.
Hari itu juga diriku resmi ditahan, saat menuju sel, aku berusaha meredam ketakutan yang menguasai hatiku. Menurut Pasal 20 KUHAP, proses penahanan untuk tersangka seperti diriku bisa berlangsung hingga dua puluh hari, dan dapat diperpanjang jika dianggap perlu. Angka-angka itu terus bergema di kepalaku, mengingatkan bahwa kebebasan bukan lagi hakku sekarang.
Di sepanjang lorong menuju sel tahanan, salah satu petugas – yang selama ini kukira agak iba padaku – memecah kesunyian. "Saya hanya ingin bilang… kalau kamu memang nggak salah, ya kamu harus kuat sampai pengadilan. Tapi kalau benar… ya, setidaknya persiapan mental, ya?"
Ku hanya bisa diam, menggigit bibir. Kata-katanya seolah memaksa setiap partikel harapan dalam diriku untuk luruh. Aku tahu dia mungkin berpikir itu nasihat yang baik, tapi bagiku, itu hanya membuat luka di hatiku semakin dalam.
Setelah beberapa saat, diriku dikurung dalam sel tahanan dengan pintu besi yang berat menutup di belakangku. Rasanya dingin, kaku, dan penuh dengan bau besi yang asing. Semua terjadi begitu cepat – dari statusku sebagai warga biasa, menjadi tersangka pembunuhan, dan kini menjadi tahanan.
Di dalam hati, ku berbisik pada diri sendiri, "Ini hanya salah paham… ini hanya kesalahan… ini tidak akan lama." Tapi bayangan dari tatapan dingin mereka, serta dinginnya jeruji ini, mengatakan yang sebaliknya.
Segera setelah itu, lingkaran pertemananku pecah. Teman-teman yang selama ini berdiri di sisiku, tertawa dan berbagi suka, tiba-tiba berbalik arah. Mereka berbicara di belakangku, membicarakan tentang betapa "emosional"-nya aku, bagaimana diriku dan Doni sering bertengkar. Mereka terutama sahabatku sendiri Juliana mulai menuduhku secara halus, seolah-olah sudah lama tahu bahwa diriku "memiliki sisi gelap". Telinga aparat dipenuhi dengan cerita-cerita yang telah dicampuradukkan, bumbu-bumbu yang ditambahkan oleh mereka yang dulu kusebut teman. Semua upayaku untuk menjelaskan hanya dianggap sebagai dalih semata.
-----------------
Bu Hera menggenggam tanganku, menyemangati. "Sarah, saya percaya pada hatimu. Apa pun yang mereka katakan atau pikirkan, saya tahu ada kebenaran yang belum terungkap. Tidak mungkin kau, yang begitu peduli pada keadilan, akan mengkhianati orang yang kau cintai seperti itu."
Diriku tersenyum getir, rasa syukur membanjiri hati. "Bu Hera, diriku bersyukur bertemu Ibu di sini. Di tempat yang penuh keputusasaan ini, Ibu adalah sosok yang selalu percaya padaku. Ibu membuatku kembali percaya bahwa kebenaran masih bisa diperjuangkan, meski aku sudah lelah melawan."
Bu Hera mengangguk, matanya menyiratkan tekad yang mendalam. "Sarah, kau harus terus berjuang. Karena saat kebenaran terungkap, Doni akan beristirahat dengan tenang, dan kau bisa kembali meraih hidupmu. Semua ini, rasa sakit, keraguan, dan kesedihan yang kau alami, akan punya makna."
Saat itu, ku merasa sedikit beban di pundakku terangkat. Bu Hera bukan hanya seorang teman di tempat yang sulit ini, tetapi juga mentor dan pemandu yang tak pernah lelah meyakinkanku bahwa selalu ada harapan, bahkan dalam kegelapan yang paling pekat. Aku mengangguk dengan rasa syukur mendalam, dan seketika aku tahu bahwa aku tak akan menyerah begitu saja.
Bu Hera menunggu dengan sabar ceritaku, kisahku. Tatapannya menuntunku untuk melanjutkan.