Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 17 - Tentang Diriku

Chapter 17 - Tentang Diriku

Hari itu, diriku duduk sendiri di sudut Lapas, melapas lelah sejenak sambil menikmati hidangan ubi panas. Bu Hera melintas di hadapanku, kemudian duduk dengan tatapan tajam yang terasa menusuk hingga ke dalam diriku. Rasanya aneh menceritakan diriku sendiri, membuka hal-hal yang mungkin tak pernah kuungkap pada siapa pun. Namun, mungkin ini cara untuk membuka sedikit celah, menunjukkan siapa diriku sebenarnya, bahkan kepada seseorang yang selama ini hanya mengenalku lewat berita buruk.

"Nak, Ibu ingin kenal lebih jauh tetangmu, Dari mana kau berasal?" tanya Bu Hera, suaranya tenang namun tegas. Ada nada dingin di sana, seolah setiap katanya menguji keberanianku.

Diriku mulai bercerita. "Saya berasal dari keluarga sederhana, Bu kelahiran tahun 1990 generasi milenial," jawabku, berusaha menjaga nada bicara tetap sopan. "Ayah saya buruh pabrik, dan Ibu seorang guru Matematika di SMA."

Bu Hera memiringkan kepalanya sedikit, memandangku seolah ingin melihat lebih dalam. "Buruh pabrik? Jadi mungkin kau cukup beruntung bisa bersekolah, dan bahkan masuk kuliah?"

Diriku mengangguk, berusaha menahan segala emosi yang mendadak muncul. "Iya, Bu. Saya bisa masuk universitas negeri di jurusan hukum, melalui jalur SPMB tahun 2007. Tapi… saya tidak ingin keluarga saya terbebani, jadi dari SMA saya belajar untuk mandiri. Saya lulus setahun lebih cepat lewat kelas akselerasi," tambahku, sedikit bangga tapi juga penuh kenangan.

"Mandiri, ya?" Bu Hera mengulangi kata itu dengan nada yang penuh arti. "Tapi kurasa mandiri yang kau maksud lebih dari sekadar mengurus diri sendiri. Maksudmu, kau terbiasa tidak meminta bantuan, begitu?"

Ku terdiam sejenak, merasakan benar ketepatan kata-katanya. Aku pun mengangguk. "Ya, Bu. Entah kenapa, sejak kecil saya merasa harus bisa mengandalkan diri sendiri. Ayah dan Ibu selalu sibuk… mereka berjuang keras untuk keluarga, tapi perhatian mereka lebih banyak untuk memastikan kami terpenuhi secara materi."

Bu Hera saat itu tampak lebih lembut. "Hidup di tengah kekurangan memang kadang membuat kita belajar cara bertahan. Tapi itu bisa membuat kita melupakan perasaan sendiri," ujarnya perlahan. "Dan kuliah hukum? Itu keputusanmu sendiri atau desakan orang tua?"

Ku menatap Bu Hera, mencoba mencerna pertanyaannya. "Keputusan saya, Bu. Saya ingin belajar hukum, berharap bisa membantu orang lain. Waktu itu, saya merasa ada banyak ketidakadilan yang bisa saya bantu perbaiki kalau saya belajar hukum."

Untuk sesaat, kami terdiam, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. Lalu Bu Hera menatapku dengan pandangan yang berbeda, tidak lagi sekadar sebagai seseorang yang skeptis, melainkan mungkin—mungkin—sedikit menghargai apa yang ada di balik semua kesalahan yang kini kusandang.

"Tidak mudah, ya, merasa harus kuat setiap saat?" gumam Bu Hera, seolah berbicara lebih pada dirinya sendiri daripada padaku.

Kehidupanku di keluarga kelas menengah ini membentukku untuk menjadi seseorang yang tangguh, walaupun terkadang terasa seperti beban yang harus kutanggung sendiri. Diriku dan adikku tumbuh dengan segala kesederhanaan, belajar dari keteladanan orang tua yang bekerja keras tanpa henti. Ayahku, seorang karyawan pabrik, selalu bangun sebelum matahari terbit dan pulang ketika kami sudah tertidur. Wajahnya lelah, tapi senyumnya seolah menyembunyikan segala beban. Di sisi lain, ibuku yang bekerja sebagai guru SMA mata pelajaran Matematika selalu terlihat sibuk, apalagi menjelang ujian nasional—pikirannya tersita untuk siswa-siswinya, sementara diriku dan adikku belajar mandiri dalam diam.

Ketika diriku diterima di fakultas hukum melalui SPMB pada 2007, ku lihat betapa bangganya mereka. Meskipun begitu, ku rasakan ada kekosongan yang tak mudah dijelaskan. Di balik pujian dari kerabat atau tetangga yang sering membanggakan "anak cerdas yang lulus akselerasi," ku rasakan kesepian, terbiasa menyelesaikan segala hal sendiri. Sikap mandiri ini seperti benteng, menguatkan tetapi juga menjauhkan. Aku jarang bercerita tentang kesulitan, bahkan kepada keluargaku sendiri. Bukannya mereka tidak peduli, tapi karena ku tahu mereka sudah cukup lelah dengan masalah masing-masing.

Ketika diriku akhirnya memasuki kehidupan kampus, diriku merasa ini adalah langkah awal untuk menemukan jati diri di luar bayang-bayang keluarga. Namun, perasaan asing itu masih sering menghantui. Ada harapan besar yang kusimpan dalam diam—ingin membuktikan bahwa ku bisa sukses, bahwa perjuangan mereka tak akan sia-sia. Mungkin ini cara kami berkomunikasi: tanpa banyak kata, hanya dengan usaha dan pencapaian.

Berbagi Kenangan tentang Doni

Diriku menghela nafas perlahan, merasakan beratnya beban cerita yang baru akan kuungkap. Bu Hera masih menatapku dengan tatapan dingin, namun di balik tatapan itu, ada sedikit kelembutan yang membuatku ingin lebih terbuka. Ku tahu hubungan kami rumit, dan bahwa ia mungkin takkan pernah memaafkan kehadiranku dalam hidup Doni, tapi entah mengapa, ku ingin bercerita.

"Bu…" diriku memulai, sedikit ragu. "Saya tahu ini sulit dipercaya, tapi Doni... Doni sangat berarti bagi saya. Perkenalan kami waktu itu begitu sederhana. Di tengah kesibukan orientasi mahasiswa baru, saya tidak sengaja berkenalan dengannya. Dia senior saya, dua tahun lebih tua, dan… saat itu dia terlihat begitu berbeda—tenang, percaya diri, walau kadang sinis."

Bu Hera mengerutkan kening. "Jadi… dia yang lebih dulu mendekatimu?"

Diriku mengangguk. "Awalnya saya menjaga jarak, Bu, bahkan sempat menolaknya. Saya merasa tidak cocok dengan dunianya. Saya hanya seorang gadis sederhana dari keluarga biasa, sedangkan Doni... dia punya segalanya. Keluarga yang berpengaruh, status, dan kepercayaan diri yang membuat saya merasa… kecil."

Bu Hera menatapku dengan mata yang mulai lembut, meskipun hanya sedikit. "Tapi tetap saja, kau menerimanya pada akhirnya?"

"Iya, Bu," ku berkata dengan suara pelan, menahan emosi yang mulai membuncah. "Dia… dia meyakinkan saya untuk memberinya kesempatan. Dia membuat saya percaya bahwa perbedaan itu tidak penting, bahwa saya bisa… mencintainya tanpa harus merasa rendah diri. Kami sering berbagi waktu di kampus, sekadar ngobrol di perpustakaan atau menikmati kopi di kantin. Rasanya sederhana, tapi... saya merasa nyaman bersamanya."

Bu Hera menunduk, tangannya bergetar halus di atas meja. "Kau tahu, Doni anak yang baik. Mungkin kadang dia keras kepala… persis seperti almarhum ayahnya. Tapi dia selalu tulus dengan perasaannya." Suaranya meredam, seolah ada beban yang ingin ia keluarkan namun sulit diucapkan.

"Iya, Bu. Saya tahu. Dia orang yang baik. Saya ingat dia selalu bilang pada saya bahwa perbedaan bukanlah penghalang. Dia sering mengingatkan bahwa kami bisa bersama, asalkan kami saling percaya." Diriku berhenti sejenak, mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. "Dan itulah mengapa… malam itu… saya merasa begitu bersalah. Kami bertengkar, dan saya… saya meninggalkannya. Hanya untuk kembali menemukan kenyataan terburuk dalam hidup saya."

Bu Hera menatapku dalam-dalam. Tatapannya beralih dari kemarahan menjadi sebuah luka yang ia pendam, luka seorang ibu yang kehilangan putranya. "Kau tahu, nak, awalnya ku ingin marah padamu. Sangat marah. Karena saat ku lihat kamu, yang terbayang di kepalaku adalah… wajah Doni di hari-hari terakhirnya. Dia selalu ceria, tapi ku tahu ada sesuatu yang ia sembunyikan, ku tidak tahu apa yang kalian alami, tapi ku tahu Doni mencintaimu. Kalau tidak, dia tidak akan memperjuangkan hubungan yang mungkin saja sulit baginya, dengan segala yang kalian lalui."

"Bu, saya menyesal," kataku, suaraku bergetar. "Malam itu… kalau saja saya bisa menahan amarah saya, kalau saja saya tidak meninggalkannya dalam keadaan seperti itu… mungkin dia masih di sini sekarang. Saya tahu penyesalan tidak akan membawanya kembali, tapi..."

Bu Hera terdiam, dan sejenak kami terjebak dalam kesunyian yang panjang. Lalu, dengan suara lirih, ia berkata, "Kau tak akan pernah tahu bagaimana sulitnya ini bagiku. Kehilangan Doni sudah cukup menghancurkan, tapi mengetahui bahwa kau… seseorang yang ia cintai… ada di balik semua ini…" Suaranya tercekat. "Namun, di sisi lain, ku tahu… ku tahu betapa kerasnya Doni memperjuangkan apa yang ia yakini."

Diriku terdiam, Bu Hera membiarkanku mencerna kata-katanya. tak lama kemudian ku balas "Bu, Ijinkan diriku cerita kenagan indahku, masa bahagiaku bersama Doni putra Bu Hera."

Bu Hera mengangguk pelan, meski ku tahu, kata-kataku mungkin menyakitinya. Namun, ada sesuatu dalam tatapan matanya yang berubah. Mungkin ini adalah cara kami berbagi beban yang sama—beban kehilangan Doni, meski dengan cara yang berbeda.

Diriku menarik nafas, mengumpulkan kenangan yang terasa begitu hidup namun sekaligus menyakitkan.

-----------

Cintaku tumbuh bersemi

Di awal masa kuliah, semua terasa seru dan penuh harapan. Diriku menikmati setiap detiknya, merasa bangga bisa masuk ke fakultas hukum yang bergengsi, siap menghadapi dunia dengan segala impian dan cita-cita. Namun, hari-hariku mulai berubah setelah pertemuan dengan Doni. Di tengah kesibukan orientasi yang padat, di antara wajah-wajah baru dan hiruk-pikuk kampus, dia muncul—dua tahun lebih tua, tampak berwibawa dengan tatapan tajam yang sulit dijabarkan. Di balik sikap sinisnya, ku lihat sesuatu yang menarik, sesuatu yang membuatku penasaran.

Awalnya, ku berusaha menjaga jarak, mencoba meyakinkan diri bahwa diriku hanya perlu fokus pada kuliah. "Maaf, aku nggak bisa, Don. Diriku belum siap… dan… aku harus fokus," kataku suatu sore saat ia mendekatiku di taman kampus.

Doni tersenyum tipis, seolah tak sedikit pun tersinggung. "Saya nggak minta kamu jatuh cinta padaku sekarang, kok," katanya sambil mengangkat alis. "Ku cuma minta kamu mengenal ku. Beri sedikit waktu, siapa tahu kamu berubah pikiran."

Diriku menunduk, merasa pipiku memanas. Kata-katanya selalu membuatku merasa tak karuan, membuat hatiku berdetak sedikit lebih cepat. Dalam hati, ku merasa ragu, tapi ada sesuatu pada dirinya yang membuatku tak bisa sepenuhnya menolak. 

Suatu hari, Doni mengajakku ke sebuah kafe kecil yang sepi, jauh dari kampus. Di sana, di bawah lampu temaram, dia memberiku sekuntum mawar merah.

"Simpan mawar ini," katanya, nadanya tenang tapi dalam. "Mungkin wanginya bisa mengingatkanmu padaku… atau mungkin saja bisa mengilhami sesuatu."

Diriku mengernyit, setengah bingung dengan maksudnya. "Mengilhami?"

Doni menatapku sambil tersenyum, sebuah senyum yang penuh keyakinan. "Ya. Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku, meski kau tak cinta padaku sekarang. Beri sedikit waktu, biar cinta datang karena… terbiasa."

Ku terdiam, menatap bunga mawar di tanganku. Hatiku berdebar, dan untuk sesaat aku tak tahu harus berkata apa. "Doni… kamu selalu bicara dengan cara yang aneh seperti Once."

Kata-katanya begitu yakin, membuatku merasa bahwa mungkin saja, suatu hari, aku benar-benar akan merasakan cinta yang ia yakini. "By the way, apa nggak ada orang lain yang kamu sukai? Kenapa harus aku? why me?"

Doni tersenyum, tatapannya lembut. "Karena kamu berbeda. Saya suka caramu menghadapi hidup, caramu tertawa, dan caramu mengelak setiap kali ku bicara soal ini." Ia tertawa pelan, lalu melanjutkan, "Dan, ya, aku cukup keras kepala untuk berusaha sampai kamu benar-benar percaya."

Kata-katanya membuatku merasa diinginkan dengan cara yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Sejak hari itu, ku tak bisa berhenti memikirkannya. Mawar yang ia beri ku simpan di kamar, dan setiap kali diriku melihatnya, hatiku berbisik lirih. "ku harus milikimu," kata hatiku dalam diam, seolah menanggapi harapannya.

Semakin hari, semakin diriku menghabiskan waktu bersamanya—entah di perpustakaan, kantin kampus, atau sekadar duduk berdua di taman. Perlahan-lahan, perasaanku berubah. Diriku merasakan sesuatu yang berbeda, yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Rasanya seperti malam yang penuh bintang, seperti hujan yang turun setelah kemarau panjang.

Pada suatu malam, saat kami berdua duduk di bawah langit yang cerah, ia menoleh padaku dan berkata dengan lembut, "Kamu tahu, semua ini mungkin terdengar klise. Tapi ku yakin, kita punya masa depan yang cerah. Kita bisa mencapai semua yang kita inginkan, asalkan kita bersama."

Diriku tersenyum, menatap matanya yang penuh harapan. "Ku tak pernah berpikir bahwa semua ini akan terjadi… Aku… aku juga ingin berjuang bersamamu, Doni. Meski dulu ku sempat ragu."

Doni menggenggam tanganku, erat dan hangat. "Jadi, apa saya bisa berharap bahwa aku benar-benar sudah membuatmu jatuh cinta?"

Diriku mengangguk, tak mampu menyembunyikan senyum yang menghiasi wajahku. "Iya, Doni. Kamu benar… Diriku jatuh cinta padamu."

Malam itu, semua perasaan yang tertahan akhirnya terungkap. Cinta yang perlahan tumbuh di antara kami, yang semula hanya sekadar harapan dan keinginan, kini menjadi kenyataan yang manis.

Saat ku tahu tanggal lahirnya jatuh pada 29 Februari, ku ingat bagaimana ku tertawa saat pertama kali mengetahuinya. "Jadi, kamu hanya ulang tahun empat tahun sekali? Serius?" candaku sambil menatapnya dengan mata berbinar.

Doni hanya tersenyum kecil, mengangkat bahu, "Ya, begitulah. Istimewa, kan? Jadi, kamu harus menghargai ku lebih tinggi."

Diriku tertawa. "Aha! Jangan-jangan kamu sebenarnya cuma anak kecil yang baru ulang tahun empat kali!" ejekku sambil mencubit lengannya ringan.

Ia tertawa, suaranya dalam dan hangat. "Kalau begitu, kamu resmi jadi babysitter-ku," ujarnya sambil melirikku dengan pandangan yang membuat jantungku berdegup lebih kencang.

Seiring waktu, kami semakin dekat. Pertemuan kami sering kali sederhana, tak ada momen romantis berlebihan. Doni adalah anak seorang pejabat dengan ayahnya seorang PNS dan ibunya seorang hakim. Ia terbiasa dengan kehidupan yang teratur, tenang, dan bijaksana. Meski latar belakangnya berbeda jauh dari kehidupanku yang sederhana, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku nyaman, membuatku merasa seolah kami seimbang. Dia membawa aura tenang yang menenangkan, sementara diriku adalah perpaduan semangat dan kegugupan, seperti api kecil yang baru belajar untuk membara.

Suatu hari di akhir pekan, setelah mengumpulkan keberanian, Doni mengajakku kencan. Kami memutuskan menonton film *The Bourne Ultimatum* yang sedang tayang di bioskop saat itu. Diriku ingat betapa gugupnya aku, meskipun diriku mencoba berpura-pura tenang. Selama perjalanan menuju bioskop, kami duduk di bangku belakang bus kampus, dan dia sesekali melirikku dengan senyum tipis di wajahnya.

"Aku nggak tahu kamu suka film action," ujarnya tiba-tiba, membuyarkan pikiranku yang sejak tadi fokus pada degup jantungku yang tak beraturan.

Diriku tertawa kecil, "Ya, nggak selalu sih, tapi diriku suka Matt Damon... dan lagipula, kayaknya kamu lebih suka film kayak gini daripada yang romantis, ya kan?"

Doni tertawa pelan. "Benar juga. Kalau kita nonton film romantis, mungkin aku yang akan tidur duluan," godanya sambil menatapku lembut.

Saat film dimulai, kami duduk di bangku samping-sampingan, tangan kami nyaris bersentuhan di sandaran kursi. Ketika adegan penuh ketegangan terjadi di layar, ku refleks menggenggam tangannya tanpa sadar. Ketika menyadari hal itu, aku langsung melepaskannya, wajahku memerah. Tapi Doni hanya tersenyum dan menggenggam tanganku kembali, kali ini lebih erat.

"Nggak apa-apa, pegang saja. Aku juga agak tegang," katanya sambil menatap layar, seolah genggaman tangan kami adalah hal paling biasa di dunia. Tapi aku tahu dia juga merasakan debar yang sama.

Hubungan kami tetap sederhana setelah itu. Tak ada pernyataan cinta besar-besaran atau kejutan mewah. Kami lebih banyak menghabiskan waktu di kampus, di kantin, atau di taman kecil di belakang perpustakaan, tempat kami berbagi secangkir kopi pahit dan berbincang hingga lupa waktu. Ia suka mendengarkanku bicara tentang mimpiku, tentang harapan-harapanku menjadi seorang pengacara yang bisa memperjuangkan keadilan bagi mereka yang tak bersuara.

"Aku suka cara kamu berpikir," katanya suatu hari ketika kami duduk di bangku taman, memandangi langit yang mulai gelap. "Kamu punya semangat yang jarang kutemukan di orang lain."

Diriku tersenyum canggung, mencoba menutupi kegugupanku. "Semangat itu sering disalahpahami, Don. Banyak yang bilang Diriku keras kepala atau terlalu ambisius."

Doni menatapku dalam-dalam, lalu menggeleng. "Bukan. Kamu tahu apa yang kamu mau, dan kamu bekerja keras untuk itu. Orang-orang seperti itu justru yang membuat perubahan. Dan menurutku, itu... menakjubkan."

Ku menunduk, menahan senyum yang sulit disembunyikan. Di saat itulah, ku merasa seluruh dunia menjadi milik kami berdua. Hanya ada aku, dia, dan percakapan panjang yang mengalir tanpa akhir. Sering kali, setelah lelah dengan kelas dan tumpukan tugas, Doni mengajakku keluar menikmati malam. Kami duduk di halaman kampus yang sepi, menatap bintang-bintang yang terlihat begitu dekat, dan berbagi cerita-cerita kecil yang membuat hidup terasa lebih ringan.

"Mungkin suatu hari, kita bisa pergi ke tempat yang lebih jauh," katanya sambil menatap langit. "Menikmati bintang di tempat yang lebih gelap, di mana kita bisa melihatnya lebih jelas."

Diriku menatapnya dengan rasa hangat di dada. "Boleh. Kalau nanti kamu udah jadi pengacara hebat, ingatkan aku soal janji ini," ujarku sambil tersenyum.

Doni tertawa kecil, "Mungkin saat itu, kita nggak akan sibuk lagi dengan ujian atau tugas kuliah. Cuma ada kita dan langit malam."

Saat itu, aku merasa yakin bahwa Doni adalah sosok yang ingin selalu ada di sisiku. Kami memang berbeda—aku, seorang gadis sederhana yang tumbuh dengan segala keterbatasan, dan Doni, pria yang datang dari keluarga terpandang dan berkecukupan. Dunia kami mungkin terpisah jauh, tapi bersamanya, perbedaan itu seolah tak berarti. Hidup terasa lebih damai, seperti memiliki pelabuhan yang selalu kutuju di tengah badai.

Doni adalah seseorang yang bisa melihat sisi diriku yang bahkan aku sendiri sulit pahami. Dengan senyumnya yang hangat dan tawa yang tulus, dia bisa meredakan segala keresahan dalam hatiku. Janji-janji kecil, impian sederhana tentang hidup bersama, dan percakapan panjang di tengah malam, semua itu menjadi harta berharga yang kurasakan begitu nyata, seolah mimpi-mimpi kami akan bertahan selamanya.

Namun, siapa sangka, semua impian itu akan hancur dalam sekejap. Kenangan tentang janji kami untuk meraih bintang-bintang kini terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah benar-benar berlalu. Bahagiaku berakhir dalam sekejap; cerita yang kubayangkan penuh cahaya berubah menjadi bayangan kelam yang sulit kuhapus. Semuanya berakhir dengan cara yang begitu menyakitkan dan meninggalkan bekas luka dalam yang takkan pernah benar-benar sembuh.

------

Bu Hera memperhatikan cerita kisah kasihku dan Doni dengan antusias, dengan seksama, tanpa menyela sedikit pun. Sorot matanya lembut, penuh pengertian. Sesekali dia mengangguk, mengisyaratkan bahwa dia memahami betapa berartinya Doni bagiku. Tak jarang, ia bahkan tersenyum kecil ketika aku bercerita tentang saat-saat manis yang pernah kami bagi.

Diriku menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. "Namun, semua kesenangan itu, kegembiraan itu… tidak berlangsung lama. Bahkan berakhir tragis—bukan hanya untukku, tapi juga untuk Doni." Suaraku bergetar, mencoba menahan rasa perih yang kembali menusuk hatiku setiap kali kenangan itu muncul.

Bu Hera menatapku lebih dalam. "Terkadang, mereka yang pernah mengisi hati kita justru menjadi luka yang tak pernah hilang," katanya, seolah menyingkap sebagian kisah kelam yang mungkin pernah dia alami. "Tetapi ingatlah, Sarah, bahwa luka itu tak seharusnya menahanmu di masa lalu. Kau masih punya kesempatan untuk menemukan kedamaian."

Kata-kata Bu Hera menenangkanku, namun bayang-bayang kenangan bersama Doni tetap terasa begitu dekat. Aku mengerti apa yang dikatakannya; mungkin memang benar bahwa aku harus belajar berdamai dengan masa lalu ini. Namun, untuk saat ini, hatiku masih terikat pada janji-janji yang tak pernah terwujud, pada sosok yang pernah kupikir akan selalu ada di sisiku.