Syukur Alhamdulillah, setelah satu minggu dirawat, Bu Hera akhirnya pulih. Kulihat beliau kembali beraktivitas di sawah, wajahnya kini tampak segar, dan badannya mulai proporsional, jauh berbeda dari pertama kali tiba di sini. ikatan kami semakin akrab, sore itu, kuputuskan untuk menghampirinya. Niatku sederhana, sekadar menyapa dan bertukar kata setelah beberapa waktu melihatnya sakit. Namun, ada satu hal yang selalu membuatku penasaran: mengapa beliau, seorang hakim, bisa berakhir di sini?
Perlahan kudekati beliau yang sedang beristirahat di ujung pematang. Sapaku membuat beliau tersenyum hangat, sebuah senyuman yang mengandung keikhlasan menerima takdirnya di tempat ini.
Kami duduk bersebelahan, berbagi angin sore yang sejuk. "Bu Hera," ucapku, menahan rasa penasaran, "diriku sering dengar cerita tentang orang-orang yang masuk ke sini, tapi ku masih belum mengerti... seorang hakim seperti Ibu, kenapa bisa sampai ke sini?"
Beliau tersenyum tipis, lalu terdiam sejenak, menatap hamparan sawah yang mulai temaram ditimpa sinar matahari senja. Akhirnya, Bu Hera menarik napas panjang dan mulai bercerita, dengan nada rendah dan penuh penyesalan. "Inilah kisahku," katanya pelan, "kisah yang tidak pernah ingin kuceritakan, tapi rasanya perlu kau dengar… agar kau tahu, kita tidak pernah benar-benar bisa menghindari bayang-bayang kesalahan kita sendiri."
Dan begitulah, sore itu diriku mendengar kisah hidupnya, kisah yang akan menorehkan jejak tak terhapuskan dalam hidupku.
----------
Kisah seorang hakim yang tersesat
Nama saya Dr. Hj. Raden Roro Herawati, SH, MH, seorang keturunan keluarga nigrat, mantan hakim senior, pernah menjabat sebagai ketua pengadilan tinggi di sebuah provinsi yang tak jauh dari ibu kota negara. Saya dahulu dihormati, ditakuti di ruang sidang, dengan karir yang gemilang dan reputasi sekeras tatapannya yang tajam. Namun, kekuasaan sering membawa godaan yang besar. Perlahan tapi pasti, keserakahan merayap masuk ke dalam hidupku, menjalar seperti ular yang membelit, menekan moral dan prinsipnya hingga akhirnya menyerah.
Suap pertama yang kuterima mungkin tampak sepele, hampir tidak terlihat, tetapi dari sanalah kehancuran mulai mengintip. Semula hanya satu keputusan kecil yang kupengaruhi, namun semakin lama, putusan-putusan yang kubuat tak lagi berlandaskan keadilan. Sekarang semua tergantung pada siapa yang mampu membayar paling banyak atau siapa yang memiliki kekuasaan lebih besar. Bukti dan fakta di persidangan, yang seharusnya menjadi landasan hukum, malah kuabaikan demi keuntungan pribadi.
Roda kehidupan akhirnya berputar. Perlahan-lahan, keserakahan menjeratku seperti ular yang tak kasat mata. Aku mengabaikan peringatan nurani dan malah menikmati kenyamanan dan kekayaan yang bisa kubeli. "Keadilan adalah apa yang kukatakan," ujarku pada seorang rekan, dengan seringai kecil saat aku menandatangani putusan lain untuk klien kaya dan berkuasa. Saya merasa tak terkalahkan, berpikir bahwa kekuatanku akan terus bertahan.
Kasus terkenal yang akhirnya menghancurkan diriku adalah kasus seorang pemuda dari keluarga berkuasa, terdakwa kasus pembunuhan keji. Publik menginginkan keadilan, tapi bagiku, ini hanyalah peluang. Setelah menerima suap besar, kujatuhkan vonis hukuman yang begitu ringan hingga memicu kemarahan publik. Mereka protes, tetapi di balik pintu tertutup, aku merasa tak tersentuh.
Saya pernah menolak banding seorang terpidana seumur hidup yang divonis dengan bukti lemah, serta menutup mata pada kasus seorang pejabat tinggi pemerintah yang terlibat dalam proyek fiktif bernilai miliaran.
Desas-desus korupsi yang dituduhkan padaku semakin keras, tetapi tidak ada yang berani mendekatiku.
"Uang memiliki keadilannya sendiri," kubisikkan pada diri sendiri setiap kali merasa resah.
Namun, saat pemerintahan baru yang bertekad memberantas korupsi berkuasa, kenyamanan itu pun sirna. Mereka meluncurkan kampanye tanpa henti, dan takdir tak lagi berpihak padaku.
Tertangkap Tangan
Pagi di bulan akhir Ramadan, tim anti-korupsi menyerbu saat aku menerima suap THR Lebaran dari seorang pengusaha yang terlibat dalam skema penipuan besar-besaran. Saya masih tak percaya ketika mendengar suara dingin penyidik di belakangku, "Anda sudah melangkah terlalu jauh kali ini." Borgol dingin mengunci pergelanganku. "Ratusan kasus yang Anda manipulasi telah menghancurkan hidup orang-orang tak berdosa. Sekarang giliran Anda."
Saya terdiam. Tak ada lagi kekuasaan yang bisa kutunjukkan, tak ada lagi intimidasi atau ketenangan yang bisa kubanggakan. Selama ini aku berpikir bahwa keserakahanku bisa kuatur dengan rapi. Tapi kini, dunia yang kubangun dari tipu muslihat dan kebohongan itu runtuh begitu cepat.
Ditempatkan di tahanan kejaksaan, hari-hari kujalani dalam kelelahan tapi saat itu tanpa penyesalan. Setiap kali dipanggil untuk pemeriksaan, pertanyaan-pertanyaan tajam itu menusuk, dan bukti demi bukti yang semakin menumpuk membuatku terpojok. Malam-malam di sel sempit, ku memutar kembali setiap langkah, mengingat kembali setiap keputusan yang pernah kuambil. Kulelah memikirkan celah untuk keluar dari situasi ini, tapi aku tahu tak ada pintu lagi yang bisa terbuka untukku.
Berkas perkaraku akhirnya lengkap setelah penyelidikan panjang dan intensif. Semua jejak kejahatanku terang benderang—suap, manipulasi, dan pengabaian atas keadilan demi kepentingan pribadi. Sidang pengadilanku akan dimulai beberapa bulan kemudian. Dunia hukum yang dulu ku kuasai kini berubah menjadi panggung di mana saya harus bertahan sebagai terdakwa. Kali ini, saya bukan lagi hakim yang berkuasa, tetapi seorang tertuduh yang harus bertanggung jawab atas setiap tindakanku.
Sidang yang Mengubah Segalanya
Semua bukti tentang suap, manipulasi, dan pengkhianatanku terhadap keadilan tersaji di persidangan. Dunia hukum yang dulu kuasai kini menjadi panggung tempatku akan dihukum. Tujuh kali sidang telah berlangsung hanya dalam tiga bulan, tiap sidang terasa seperti mimpi buruk, ku berharap cepat berakhir.
Di hari sidang putusan, ruang sidang penuh oleh jurnalis, aktivis anti-korupsi, dan publik yang penasaran. Saya duduk di kursi terdakwa, mencoba tampak tenang, meski sorot mata yang dulu berwibawa kini hanya meninggalkan tatapan kosong.
Majelis Hakim—dulu kolegaku, bahkan ada yang pernah menjadi bawahanku—kini berdiri di hadapanku, siap memberi vonis. Ketua Majelis Hakim, dengan suara tegas dan tak beremosi, mulai membacakan putusan yang akan menjadi akhir dari kehidupanku yang pernah begitu berkuasa.
Saya menatap lurus ke depan, mendengar setiap kata dengan hati yang kosong. Keadilan yang selama ini kumainkan kini menjeratku, dan semua yang pernah kuabaikan kini menuntut balasan.
"Terdakwa Dr. Hj. Raden Roro Herawati SH, MH, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Menjatuhkan pidana penjara seumur hidup kepada terdakwa, serta menyita seluruh aset yang telah diperoleh dari hasil korupsi untuk negara."
Tak ada kejutan, tak ada drama. Semua berjalan sesuai prediksi dan tuntutan dari jaksa. Saya mantan hakim yang dulu begitu berkuasa, kini tidak lebih dari seorang narapidana yang baru saja kehilangan segala-galanya. Aset-aset yang pernah ku banggakan, rumah-rumah megah, mobil mewah, rekening bank berisi uang hasil suap bertahun-tahun—semuanya kini lenyap, dirampas oleh negara. Dunia yang dulu ku kendalikan dengan telapak tangan, kini runtuh di hadapan publik yang haus akan keadilan.
Setelah putusan dibacakan, suasana di ruang sidang hening sesaat. Banyak yang menunggu tanggapanku, apakah akan ada tangisan, penyesalan, atau bahkan pembelaan diri terakhir dari diriku sang mantan hakim. Namun, tidak ada satu kata pun keluar dari mulutku. Kepalaku tetap tegak, tapi mataku kosong, seakan-akan jiwaku telah meninggalkan ruangan itu sebelum tubuhku keluar dengan tangan terborgol dan kawalan ketat petugas.
Kehidupan yang kubangun selama bertahun-tahun, berdasarkan tipu daya dan suap, kini hancur dalam hitungan menit. Kenyamanan dan kemewahan yang pernah ku nikmati selama bertahun-tahun lenyap begitu saja, dan yang tersisa hanyalah masa depan yang suram di dalam tembok penjara, tanpa harapan kebebasan. Hari itu, diriku seorang mantan hakim, yang dulu menjatuhkan vonis kepada banyak orang, menerima vonisku sendiri—vonis penjara seumur hidup yang sulit untuk bisa ku lawan.
Tiba di Lapas Perempuan
Ketika saya tiba di Lapas Perempuan Provinsi, statusku telah berubah sepenuhnya—dari seorang hakim yang berwibawa menjadi narapidana baru. Ada kecemasan, bahkan ketakutan yang menghantui, meskipun saya berusaha keras untuk tidak menunjukkan kelemahanku. Selama di tahanan kejaksaan, hidup terasa relatif tenang. Hanya ada sekitar dua puluh tahanan perempuan, dan saya ditempatkan di sel kecil bersama lima orang lainnya. Para tahanan lain, meskipun keras, tidak pernah benar-benar berani menggangguku. Mereka tahu siapa aku, mereka tahu kekuasaan yang dulu kumiliki.
Namun, ketika saya memasuki gerbang Lapas Perempuan, kekhawatiran itu terasa lebih nyata dan menekan. Tempat ini berbeda. Tembok-tembok tinggi, kawat berduri, dan penjagaan ketat memberikan nuansa dingin yang segera mengingatkanku bahwa tidak ada lagi perlindungan di balik status atau jabatan. Di sini, ku hanyalah salah satu dari tiga ratus perempuan dengan cerita, luka, dan dendam masing-masing.
Bayangan menakutkan muncul saat aku melangkah, melewati deretan napi yang mengamatiku dengan tatapan tajam, beberapa di antaranya pernah aku vonis dengan tangan dingin. Mereka adalah perempuan yang kehidupannya berubah selamanya karena keputusan-keputusan yang dulu aku buat tanpa gentar.
Di tempat ini, saya adalah narapidana baru, posisi terlemah. Saya kini bukan lagi seorang hakim yang memegang kuasa di ruang sidang. Di sini,saya adalah seseorang narapidana seumur hidup yang harus bertahan hidup di tengah mereka yang mungkin masih menyimpan dendam padaku. Ironi hukum yang dulu aku tegakkan kini terasa menghantui.
Saya digiring ke ruang penerimaan yang dingin dan steril. Langkah-langkahku terasa berat, seolah membawa semua beban kesalahan yang menghantui. Ruangan itu, dengan dinding-dinding putih yang membosankan, mencerminkan realitas baru yang akan kujalani—tanpa kemewahan, tanpa status.
Proses penerimaan dimulai dengan menyerahkan semua barang pribadi yang melekat padaku. Perhiasan, sepatu hak tinggi yang biasa kupakai dalam persidangan, bahkan pakaian yang terakhir kukenakan, semuanya dicatat dengan cermat. Barang-barang itu dimasukkan satu per satu ke dalam kantong plastik berlabel sesuai nomor narapidanaku yang kini menggantikan identitas yang dulu kuhormati.
Mencoba mencairkan suasana, aku berkata canggung, "Jadi semuanya harus ditinggal, ya? Bahkan cincin kawin? Semoga saja aku bisa mengambilnya lagi saat keluar… mungkin dua puluh tahun lagi?"
Petugas yang mencatat barang-barangku hanya menatap dingin dan mengangguk datar, "Jika Anda ingat nomor penitipan barangnya, tentu." Kalimat itu menghapus sisa humor canggungku, menyadarkanku pada realitas baru ini.
Lalu, tibalah saat paling merendahkan. Sebagai bagian dari prosedur penerimaan, aku diminta untuk melepas semua pakaian, termasuk pakaian dalam, di hadapan seorang petugas pemasyarakatan perempuan yang masih muda. "Apakah saya harus melakukannya? Bagaimana jika saya menolak?" tanyaku, mencoba mempertahankan sedikit privasi yang tersisa.
"Ini adalah protokol standar, demi memastikan tidak ada barang terlarang yang masuk ke area lapas. Untuk keamanan Anda juga. Jika Anda menolak, kami harus melakukannya dengan paksa," jawabnya dengan nada tegas namun netral. "Mohon pengertiannya."
Meski pemeriksaan ini berlangsung di ruangan tertutup hanya dengan dua petugas perempuan, prosesnya terasa seperti menelanjangi martabat. Setiap lapisan pakaian yang kulepaskan seolah melepas satu per satu sisa kehormatan yang dulu begitu kubanggakan. Kemeja yang pernah kupakai dengan percaya diri kini jatuh tak berarti di lantai.
"Ironis," bisikku pedih, "dulu saya memvonis, menghukum orang yang melakukan pelecehan, tapi sekarang justru saya dipaksa mengalami ini, pelecehan ini—namum legal secara hukum, dianggap wajar dan perlu."
Penggeledahan ini sangat menyeluruh dan dilakukan dengan dingin sesuai protokol, namun sangat invasif hingga membuatku merasa terpapar—baik secara fisik maupun mental. Sayaberbisik pada diri sendiri dengan nada lirih, "Oh, jadi ini rasanya telanjang di depan orang lain." Air mata mengalir pelan di pipiku. Bukan hanya harga diri yang terkoyak, tetapi juga kepercayaanku pada sistem yang selama ini kuperjuangkan.
Selesai pemeriksaan, mereka memberiku seragam dan perlengkapan penjara. Tiga set seragam kasar, sepasang sandal keras, enam pasang celana dalam, tiga bra sederhana, tiga baju tidur, handuk kasar, dan selimut tipis yang lebih terasa seperti kertas ampelas. Semua ini akan menjadi "hartaku" untuk waktu yang tak tentu, menggantikan kemewahan yang dulu pernah kumiliki.
Berusaha menyisipkan humor untuk mengurangi ketidaknyamanan, saya bertanya, "Apa ini seragam mewah penjara? Cukup lembut, ya. Apakah ini katun kelas premium, atau mungkin campuran kain karung?"
Petugas hanya menjawab datar, "Kami menyebutnya kain penutup rasa penyesalan. Cocok sekali untuk hidup yang penuh kegetiran."
Kalimat itu terasa menusuk, membawa perasaan baru bahwa hidup di sini adalah realitas keras yang tak mengenal kemegahan atau status. Aku menggenggam erat kain kasar itu, menatap kosong pada lipatannya. Petugas mengarahkan narapidana baru ke kamar mandi terdekat untuk berganti pakaian. Kain seragam tebal yang menggesek kulitku seolah mengingatkan bahwa masa lalu penuh kehormatan kini hanya tinggal kenangan.
Setelah berpakaian, saya digiring lebih dalam ke fasilitas penjara, memasuki fase yang disebut Mapenaling—masa pengenalan lingkungan yang berlangsung selama dua minggu. Ini adalah masa terberat bagi banyak narapidana, karena mereka harus menyesuaikan diri dengan kehidupan penuh tekanan dan keterasingan di balik jeruji.
Namun, bagiku, hukuman seumur hidup memberikan "privilege" aneh untuk segera dipindahkan ke blok pengamanan maksimum, terpisah dari narapidana lainnya. Di blok maksimum, aku mendapati keterasingan yang berbeda. Hanya ada empat narapidana lain, masing-masing terisolasi dalam selnya sendiri, tanpa interaksi, tanpa riuh penjara. Hanya ada keheningan yang dingin dan pekat.
Hari-hari berlalu dalam ritme monoton yang menyiksa, setiap detik seolah mempertebal beban yang tak kasat mata. Hingga kabar yang sangat kutakuti akhirnya tiba, mengguncang dunia kecil yang sudah penuh ketakutan. Hanya delapan bulan di Lapas Perempuan Provinsi, tanpa satu pun kerabat atau teman mengunjungiku. Hanya sesekali pengacara yang hadir, tanpa banyak harapan untuk membantuku. Waktu berjalan lambat, setiap detiknya adalah siksaan perlahan. Dan kini, kabar itu tiba, pemindahan ke lapas khusus di pulau terpencil, sebuah pukulan yang tak bisa kuhindari.
----------
Setelah mendengar cerita Bu Hera yang panjang dan penuh lika-liku, aku duduk diam, mencoba mencerna semua yang baru saja dia bagikan. Raut wajahnya terlihat lelah, tetapi ada semacam ketenangan dalam tatapannya—ketenangan yang mungkin datang dari menerima semua kesalahan dan akibatnya.
"Bu Hera...," suaraku hampir berbisik, mencoba mengatasi perasaan yang mengganjal di dada. "Apa Ibu pernah... menyesal?"
Bu Hera menatapku sejenak, lalu menghela napas panjang. "Sarah, kalau saja kau tahu, penyesalan itu bagiku tak terhitung lagi jumlahnya." Suaranya berat, tapi tenang. "Awalnya aku berpikir, apa salahnya? Sedikit saja, tidak akan ada yang tahu. Tapi keserakahan itu seperti lubang hitam, semakin dalam kau masuk, semakin sulit untuk keluar."
Aku mengangguk, merasakan emosi yang bergejolak. "Tapi... bagaimana rasanya, Bu? Maksudku, ketika semua itu mulai terjadi? Apakah Ibu merasa bersalah?"
Wajah Bu Hera terlihat tegang sesaat. "Tentu saja, Sarah. Pada awalnya, ada rasa bersalah yang terus menghantui. Tapi entah bagaimana, aku menemukan cara untuk membenarkan setiap tindakan. Aku selalu berkata pada diriku sendiri bahwa aku pantas mendapatkan itu. Semua jerih payah selama bertahun-tahun... aku merasa berhak. Sampai suatu hari, aku sadar bahwa yang kulakukan justru menghancurkan hidup banyak orang."
Aku terdiam, memikirkan perjalanan hidupku sendiri, berusaha memahami posisinya. "Dan sekarang, setelah semua yang Ibu lewati... apakah Ibu merasa tenang?"
Bu Hera menunduk, seolah merenungkan pertanyaanku dalam-dalam. "Ada saat-saat, Sarah, saat aku merasa semua ini adalah hukuman yang layak. Namun, di lain waktu, aku justru berterima kasih. Penjara ini... mungkin satu-satunya tempat yang membebaskan aku dari godaan yang selama ini menguasai hidupku. Di sini, aku bisa menghadapi kesalahanku tanpa ada jalan untuk lari."
Aku mencoba tersenyum, meski dengan sedikit getir. "Ibu hebat bisa mengakui semua ini. Tidak semua orang punya keberanian seperti itu."
Ia menatapku dengan tatapan lembut. "Sarah, penyesalan itu tak seharusnya hanya menjadi beban. Jadikan itu pelajaran, karena hidup adalah tentang bertumbuh, bukan hanya tentang terbebas dari hukuman."
Kalimatnya menyentuh sesuatu dalam diriku, sesuatu yang selama ini mungkin kuabaikan. Aku merasakan dadaku menghangat, seperti memahami sebuah kebenaran yang sederhana namun dalam. "Terima kasih, Bu. Aku akan mencoba mengingat itu."
Bu Hera tersenyum, lalu menepuk tanganku dengan lembut. "Kamu masih punya masa depan, Sarah. Jangan biarkan apapun atau siapapun menghancurkan jalanmu untuk menemukan keadilan yang sesungguhnya."