Melepas ego
Hari itu kami kebagian tugas penyediaan air dan mencuci baju, tugas yang biasanya diberikan kepada kami yang sedang menstruasi. Walau rasa sakit di perut sering mengganggu, tugas ini masih terasa lebih ringan dibandingkan kerja keras mencangkul dan membajak di bawah terik matahari. Supply Air untuk hidup sehari-hari di pulau penjara yang terpencil ini selalu menjadi tantangan besar bagi kami, para narapidana. Air, kebutuhan dasar untuk bertahan hidup, dan setiap hari menjadi perjuangan untuk mendapatkannya. ketidakadaan sistem pipa penyediaan air yang memadai membuat kita mengabil air timba demi timba.
Saat fajar menyingsing, kami tau hari ini giliran kami penyediaan air dan mencuci baju, terbangun lebih awal dengan bunyi lonceng yang nyaring, menandakan dimulainya hari yang melelahkan.
Sumur batu bundar tua yang terletak di sudut halaman sel kami adalah satu-satunya sumber air bersih di areal hunian. Sumur ini dalam sekitar tiga puluh meter dan sudah ada sejak jaman kolonial, dindingnya hijau lumutan. Pagi itu, Kami mulai berkumpul di sekelilingnya, membentuk antrean saat menunggu giliran untuk mengambil air dengan tali dan ember.
"Din hebat yo sumur Iki, wis onok kaet jaman Londo, ga tau sat banyune." Ujarku
"Loh ngerti teko endi mbak?" Sahut Dina.
"Awakku dikandani Oma Londo sing jogo sumur Iki" Candaku.
Penampakan sosok hantu perempuan Belanda memang menjadi rumor bahkan legenda di penjara ini. Memang penjara ini merupakan bekas rumah penampungan dan pengasingan penderita kista di jaman kolonial. Diriku tidak pernah melihat dan percaya bahwa hantu itu nyata adanya.
"Wah isok ae pean iki" balas Dina.
Sepanjang hari, kami menimba ember penuh air dari kedalaman sumur. Setiap ember air sangat berharga, digunakan dengan hemat hanya untuk hal yang penting—membasuh tubuh, membersihkan pakaian, dan yang paling penting, untuk menyiram jamban toilet di setiap sel.
Di dalam sel, tidak ada pancuran, tidak ada wastafel; hanya tersedia ember kecil air di setiap sel, hanya digunakan untuk menyiram toilet, dan cebok.
"Pancen sehat urip nang penjara!" ujarku dengan nada sarkastis, sambil mengangkut ember. "iso nge gym gratis, lak iyo?"
"iyo bener awakmu! Sopo sing butuh nge gym, sopo sing butuh Sanyo nang kene, nimbo banyu bendino teko sumur tuwo iki lak metekel, langsing dewe awakmu." kawanku Dina menjawab, menahan tawa sambil melihat air kotor yang tertampung di ember. "sing penting awak dewe tetep sehat, terus panjang umur ben ga metek nang kene"
Jamban hanyalah lubang-lubang sederhana yang terletak di sudut area sel. Kami diharuskan membawa ember untuk menyiram toilet secara manual, satu sel satu ember. Hembusan angin di pulau ini membantu menyamarkan bau limbah ke udara. Meski kebersihan hampir mustahil dipertahankan, tetapi kami berusaha sebaik mungkin untuk mengelola dengan sedikit air yang bisa kami ambil dari sumur.
"lek ga onok banyu ambune kamar'e awak dewe suweger tenan yo, teko toilet awak dewe," Dina menambahkan dengan sarkasme, membuatku tertawa.
"Yo, ben isuk mesti rebutan ngoyo karo ngesing, tapi ga onok sing gelem nimbo banyu dewe, pancen njengkelno !" dia menjawab sambil mencibir, sebelum kami melanjutkan tugas kami.
Selesai mengisi bak air di setiap sel, kami beralih mengumpulkan pakaian kotor dari keranjang di depan sel masing-masing, tugas rutin yang harus kami lakukan setiap dua kali sepekan. Seperti layanan di hotel, pakaian kami dicuci oleh kelompok yang sedang bertugas hari itu. Tapi, di balik kemudahan itu, terselip makna yang getir. Tak ada kepemilikan pribadi di sini; setiap pakaian, termasuk pakaian dalam kami, bercampur dalam satu tumpukan, tanpa tahu itu bekas dipakai siapa.
"Mbak, iki klambine sopo yo? ambune apek, sing jelas dudu wek ku?" tanya Dina seraya memegang dater coklat polos berwarna pudar.
Diriku hanya mengangkat bahu, lalu tertawa kecil. "wes talah, iku kan ambu apek keringet sak wis's digawe kerjo panas-panasan? nang kenekan awak dewe ga duwe opo-opo, sing penting umbahen sing resik, sopo ngerti klambi iku sesuk mbok gawe," balasku setengah bercanda.
Dina menggeleng dan tersenyum pahit. "iyo nang kene pancen aneh, mosok BH karo kampes kadang yo iso ga sengojo ketuker."
Kami tertawa kecil, meski getir, sadar bahwa inilah kenyataan hidup di dalam penjara. Begitu pakaian kering setelah dijemur, kami biasanya langsung mengambil dari tumpukan. Kadang setelah mandi sore, kami bahkan asal mengambil yang terlihat bersih dan memakainya, tanpa pernah tahu pasti siapa pemilik terakhirnya.
"iyo wis umbah'en sing resik klambi-klambi iki," tambahku, berusaha mengabaikan rasa jengah yang kadang muncul.
"yo ya opo maneh," jawab Dina pelan. "iyo ben ga onok konflik, nang kene ga onok barang pribadi, kabeh barang milik bersama."
Kami tertawa kecil, bercanda di tengah realita yang kadang sulit kami terima. Momen-momen sederhana seperti mengambil baju dari tumpukan, berbagi sesuatu yang seharusnya menjadi milik pribadi, menjadi rutinitas yang mendekatkan kami. Di balik tawa itu, aku merasakan ada sesuatu yang lebih dalam di antara kami, pengakuan yang tak terucap tentang apa yang kami relakan—dan tentang ego yang selama ini menjadi beban, baik di luar maupun di dalam penjara ini.
"Mbak kadang awakku mikir," ujar Dina pelan sambil menatap lantai, "Loh iso mikir ta awakmu Din," gurauku. "Ojok ngono Peyan iku, awak dewe nang kene iki ance ga duwe opo-opo, ga cuma ga duwe barang tok, tapi yo ilang harga diri awak dewe."
Diriku, membalasnya. "Ga lah, masio awak dewe Napi tapi jek duwe harga diri, iku ga iso ditukar karo opo ae. koyok awak ku masio nang penjara tapi jek yakin awakku bener, awakku ga salah. wong liyo kudu ngerti keyakinan awak'e dewe."
Dina menghela napas panjang, menatapku dengan sorot mata yang lebih lembut dari biasanya. "Iyo, iku awakmu, lah awakku kan pancen salah dadi yo nerimo ae." Diriku terdiam, "iyo bener awakmu luwih enak nerimo takdir, urip nyantai, ga usah repot mikir, ga wedi kehilangan."
Diriku merasakan dadaku sesak, memikirkan bagaimana dulu aku selalu ingin membuktikan sesuatu, selalu ingin diakui. Namun sekarang, kebanggaan itu terasa seperti angan-angan yang jauh. "Tapi, tetep abot yo, Din. Ego ku jek kuat," Diriku berkata sambil menyentuh dadaku. "Rasane koyok kepingin bebas, terus pas awaku sadar, angel nuruti iku."
Dina menatapku dengan pandangan yang dalam. "Mungkin iki pelajaran gawe awak dewe, Mbak. duduk tentang bertahan ato mbuktekno maneh … tapi musti nerimo opo onok'e."
Keheningan kembali mengisi ruangan, namun kali ini rasanya lebih menenangkan. Dalam sunyi yang terasa ringan itu, aku menyadari bahwa mungkin di sinilah aku akan belajar arti kebersahajaan, arti dari berbagi ruang dan waktu tanpa perlu merasa kehilangan diri.
Kami duduk bersebelahan, terdiam dalam pemikiran masing-masing, namun ada perasaan lega yang samar. Di penjara ini, mungkin ego adalah satu-satunya hal yang sebenarnya bisa kami tinggalkan tanpa beban.
Percakapan kecil itu menjadi pengingat bahwa di balik dinding-dinding ini, kami tak hanya kehilangan kebebasan, tanpa kepemilikan pribadi, juga sedikit demi sedikit melepas ego diri kami dan menerima keadaan.
Bertahan Hidup
Siang itu, sambil mengumpulkan tumpukan baju kotor di keranjang depan sel kami, tak sengaja kulihat Bu Hera terbaring di ranjang selnya, wajahnya lesu. Sudah beberapa hari dia tak terlihat di ladang, jadi kuhampiri beliau untuk sekadar menanyakan kabar dan berbagi cerita, mencoba meringankan beban pikirannya dengan mengenang masa lalu.
Enam bulan setelah tiba di pulau penjara ini, tubuh beliau jauh lebih proporsional, berat badannya kuduga turun sekitar 20 kg. Indeks massa tubuhnya sebentar lagi akan mencapai angka normal, 20 kg/m². Di tempat ini, tak ada ruang untuk obesitas dan gaya hidup tidak sehat. Program self sustain swadaya penjara telah membuat tubuhnya lebih sehat, seperti para narapidana lainnya. Tapi siang itu beliau terlihat lemah.
"Assalamualaikum, Siang Bu, apa kabar? boleh ngobrol sedikit, daripada melamun," sapaku dibalas anggukan "Saya masih ingat ketika Doni dan saya merencanakan masa depan kami," kataku pada Bu Hera sambil menatap kosong ke arah jeruji. "Kami bercita-cita punya keluarga kecil yang bahagia, rumah sederhana dengan kebun... semua itu terasa begitu jauh sekarang."
Bu Hera mengangguk pelan, wajahnya menampakkan simpati yang mendalam. "Kehidupan sering membawa kita ke arah yang tak kita duga," ujarnya lembut. "Tapi kamu masih muda. Masih ada waktu untuk membangun kembali. Jangan pernah kehilangan harapan."
Saat diriku memperhatikannya lebih dekat, kulihat wajahnya semakin pucat. Aku meraba dahinya, terkejut dengan suhu panas yang kurasakan. "Bu, Ibu demam," gumamku cemas. Mungkin kecapaian atau belum sepenuhnya terbiasa dengan kerasnya kehidupan di pulau ini. Atau, kemungkinan terburuk, demam berdarah, penyakit mematikan yang sering mengintai penghuni pulau ini.
Pulau ini memang indah, tetapi di balik keindahannya tersimpan bahaya besar. Panas dan kelembapan tinggi membuat penyakit tropis mudah menyebar. Melihat Bu Hera yang lemah di tempat tidur mengingatkanku pada hari-hari ketika diriku terbaring di sini dulu. Aku sendiri pernah merasakan kerasnya demam berdarah di sini. Suatu pagi yang lembab, Ku terbangun dengan tubuh basah oleh keringat, demam tinggi, menggigil hebat, nyeri otot yang menyiksa, dan sakit kepala yang membuat suara-suara di sekitarku seperti pukulan, seakan-akan tubuhku sedang berperang melawan sesuatu yang tak terlihat. Kini, tampaknya penyakit itu menimpa Bu Hera juga.
Setelah meminta izin dari sipir, ku bantu Bu Hera berdiri. "Ayo Bu, kita ke ruang perawatan," kataku sambil memapahnya. Tubuhnya lemah dan terkulai, jelas sudah terkuras tenaganya.
"Pelan-pelan, Bu," ujar seorang sipir wanita yang membantu kami dengan nada datar.
Di ruang perawatan, kami disambut oleh pemandangan yang mengerikan—narapidana lain terbaring lemah, beberapa batuk, yang lain menggigil demam. Ruang perawatan ini hanyalah bangunan kecil dengan penerangan remang di sudut penjara.
Di sana, seorang dokter -yang juga narapidana kasus pembunuhan mertua perebutan harta warisan- mengawasi para pasien. Meskipun beliau Narapidana, keahliannya sangat berharga bagi pihak penjara. Sudah bertahun-tahun dia merawat para tahanan yang sakit, melakukan yang terbaik dengan peralatan seadanya dan staf yang minim.
Dokter Gina, satu-satunya dokter yang kami miliki di sini, tak pernah mendapat bantuan medis dari luar. Semua pengobatan dan perawatan harus ia tangani sendiri, dengan keterbatasan yang kadang sulit dipercaya. Stok obat yang sangat minim sering kali menjadi masalah serius di penjara ini. Tidak jarang, dia harus mengandalkan pengetahuan herbal dan menggunakan ramuan dari tanaman-tanaman yang tumbuh di kebun dan hutan di sekitar pulau ini.
Diriku membantu Bu Hera berbaring di salah satu ranjang kosong, menarik selimut lusuh yang hanya setengahnya bersih. Dokter Gina, menghampiri kami dengan langkah mantap namun penuh ketenangan. Dia melihat wajah Bu Hera dengan cermat, memegang pergelangan tangannya untuk mengecek denyut nadi, lalu menyentuh dahinya dengan ekspresi serius.
"Demam tinggi," ujar Dokter Gina sambil mengangguk kecil. "Kondisi kulit tangan Bu Hera berbintik merah. Gejala seperti ini bisa mengarah ke demam berdarah, tapi juga bisa hanya karena dehidrasi atau infeksi biasa."
Aku merasa sedikit lega mendengarnya, namun kecemasan masih menguasai hatiku. Pengalaman sakit di penjara ini adalah ujian tersendiri; di tempat yang serba terbatas, penyakit kecil saja bisa menjadi ancaman besar.
"Bu Hera perlu istirahat total. Sebaiknya ia menghindari pekerjaan fisik sampai kondisinya membaik," lanjut Dokter Gina sambil melihat ke arahku dan Bu Hera bergantian. "Saya akan mencoba memberi perawatan dengan obat-obatan yang ada, tapi…" dia terdiam sejenak, menatap stok obat yang terbatas di rak usang di belakangnya.
"Kami akan bantu, Dokter," kataku pelan, menenangkan diri sendiri lebih dari siapa pun. "Kalau ada yang perlu kami lakukan, kami akan usahakan. Benar kan, Bu?" Aku menatap Bu Hera yang terbaring lemah, namun ia hanya tersenyum tipis dan mencoba menganggukkan kepalanya, meskipun tampak jelas bahwa ia kelelahan.
Dokter Gina mengambil kotak obat di sudut ruangan dan mengeluarkan beberapa butir pil. "Ini antipiretik untuk menurunkan demamnya sementara waktu," jelasnya. "Kalau kondisinya makin parah, kita harus segera laporkan ke sipir dan minta bantuan sesepuh untuk membuat ramuan herbal. Meskipun kita tahu bagaimana sulitnya proses itu di sini."
Dokter Gina menyadari betul pentingnya pengetahuan tradisional untuk mengatasi kelangkaan ini. Ia sering mengajak para narapidana belajar tentang tanaman obat yang tumbuh di sekitar penjara. Bersama beberapa napi yang membantunya di kebun, ia meracik daun dan akar tertentu untuk mengatasi demam, sakit kepala, dan luka-luka ringan. Bahkan, kunyit dan jahe yang sering tumbuh liar di sekitar area penjara kini menjadi bahan andalan untuk menangani infeksi ringan dan meningkatkan kekebalan tubuh.
Klinik di pulau penjara ini benar-benar suram, kurang peralatan, dan berjuang memenuhi kebutuhan kesehatan dasar bagi kami semua yang terpenjara di sini. Ruangannya kecil, hanya tujuh tempat tidur, satu-satunya fasilitas medis yang tersedia untuk seluruh penjara. Menyusuri dindingnya, perawat dan dokter yang juga adalah napi di sini, menebus masa lalu kelam mereka. Mereka menjalankan peran vital, tapi apa daya, persediaan obat terbatas, dan alat-alat medis yang ada sudah sangat tua.
"Hari ini kita cuma punya beberapa butir obat penurun panas dan penahan nyeri," dokter Gina berkata pelan pada perawat. Suaranya terdengar putus asa. "Kalau ada yang butuh lebih, kita cuma bisa kasih setengah dosis."
"Lagi-lagi, kan?" sahut perawat itu, mencoba membalas dengan nada bercanda. "Penyakit parah cuma bisa nunggu keajaiban."
Dia menatap Bu Dokter sejenak, menghela napas, lalu mengangguk. "Begitulah. Tapi kita semua cuma bisa bertahan sebisanya."
Kondisi ini mendorong kami untuk mencari alternatif. Di sekitar penjara, terdapat hutan luas dengan segala macam tumbuhan tropis. Setelah beberapa tahun, kami belajar tanaman apa saja yang bisa mengobati luka infeksi, demam, atau masalah pencernaan.
--------
Diriku teringat suatu sore "Ayo, sini, ku ajarin kamu buat ramuan herbal," salah satu sesepuh yang paham soal obat-obatan herbal mengajakku. "Ini daun seribu, bisa untuk luka dan bengkak. Nanti kita buat salep sederhana."
Bersama-sama, kami mulai mempersiapkan daun-daun itu, memotongnya menjadi kecil, dan merendamnya. Setiap tahapan ada tujuan, dan entah bagaimana, belajar hal seperti ini membuatku merasa punya sedikit kontrol di tempat yang penuh keterbatasan.
Para tahanan yang sudah punya pengetahuan tentang pengobatan alami mulai mengajarkan yang lain cara menyiapkan dan menggunakan ramuan herbal ini. Mereka yang terluka atau sakit ringan, misalnya, akan mendapatkan kompres dari daun-daun lokal untuk mengurangi bengkak atau teh herbal untuk mengatasi rasa nyeri dan meningkatkan imun tubuh.
Saat ada yang membutuhkan lebih banyak tumbuhan, kami bergiliran mencari di area yang sudah ditentukan di sekitar penjara di bawah pengawasan petugas. Tak banyak yang bisa kami lakukan, tapi sedikit usaha ini memberi harapan—betapapun kecilnya.
-----------
Diriku menggenggam tangan Bu Hera, memberikan kekuatan sebisa mungkin. "Ibu, bertahanlah. Kita akan lewati ini bersama," bisikku lirih. Aku tahu bagaimana ganasnya penyakit di sini, namun melihat ketenangan Bu Hera membuatku tetap berusaha kuat.
"Sarah, jangan khawatirkan saya terlalu banyak," kata Bu Hera dengan suara serak. "Kau harus tetap fokus pada tujuanmu, pada hidupmu. Apa yang kau alami di sini adalah bagian dari pelajaran, termasuk merawat orang lain."
Kalimat itu membuat hatiku bergetar. Meski tubuhnya lemah, ia tetap mencoba memberiku nasihat, menekankan bahwa hidup di tempat ini, meskipun sulit, tetap bisa memberikan makna yang dalam. Di tengah kegelapan dan keterbatasan, ia terus mengingatkanku tentang alasan dan tujuan yang lebih besar.
Dokter Gina yang mendengar pembicaraan kami tersenyum kecil, kemudian melanjutkan memantau pasien-pasien lain. Ia beralih dari ranjang ke ranjang dengan sabar, sesekali menyeka keringat para pasien atau memeriksa luka ringan. Narapidana yang dulu pernah kulihat sebagai sosok keras kini tampak penuh kelembutan dalam peran tak resmi sebagai dokter lapas.
Dokter Gina memberikannya ramuan dari daun sirih, kunyit, dan sereh yang direbus. "Ini memang tidak sehebat obat yang kita harapkan dari luar, tapi ini bisa menurunkan panas dan memperkuat tubuhnya," katanya sambil memberikan ramuan dalam gelas kecil pada Bu Hera. Ia menyarankan kami untuk terus mengumpulkan tanaman tertentu dari kebun agar pasokan tetap cukup.
"Aku sudah lama belajar cara membuat ramuan ini dari sesepuh," kata Dokter Gina sambil tersenyum tipis, matanya tampak lelah namun tegar. "Di sini, kita harus memanfaatkan apa yang ada. Kalau kita tunggu bantuan, bisa terlambat. Lagipula, banyak dari tanaman ini yang sebenarnya lebih baik dari obat buatan kalau tahu cara menggunakannya."
Aku memandangnya dengan kekaguman yang baru. Di balik dinding-dinding yang keras dan isolasi pulau ini, dia tetap berjuang mempertahankan hidup para narapidana dengan keterampilan dan ketulusan yang luar biasa.
"Terima kasih, Dokter," kataku sambil menatap Bu Hera yang menyesap ramuan itu perlahan. Dokter Gina menepuk bahuku ringan, lalu kembali berkeliling ruangan, memastikan semua pasiennya menerima perawatan terbaik yang bisa ia berikan dalam keterbatasan.
Saat kembali mendekat, Dokter Gina berkata pelan, "Sarah, kau benar-benar harus menjaga Bu Hera baik-baik. Orang seperti beliau bukan hanya berharga di luar penjara, tapi di sini pun sosoknya membawa harapan."
Aku menatap wajah Bu Hera yang pucat namun tetap menyiratkan kehangatan, dan aku mengangguk dengan tekad. "Iya, Dokter. Saya akan melakukan apa pun yang bisa saya lakukan."
Aku duduk di sebelah Bu Hera dan menggenggam tangannya. "Bu, kita harus kuat," bisikku, "Di tempat seperti ini, kesehatan itu kunci. Kalau kita nggak jaga kesehatan, pulau ini akan menelan kita hidup-hidup."
Bu Hera menatapku lemah, berusaha mencerna kata-kataku. "Tapi… bagaimana caranya bertahan di sini?" suaranya serak dan lemah.
"Mulai dari hal kecil, Bu," jawabku sambil menepuk tangannya lembut, "Nikmati saja kehidupan di sini. Anggap kerja keras kita sebagai olahraga. Banyak minum, jaga kebersihan, dan jangan pernah lengah. Nyamuk-nyamuk, bakteri di air, dan kotoran di sekitar kita—semuanya bekerja sama untuk menghancurkan kita."
Dokter yang mendengar percakapan kami menambahkan, "Benar kata dia, Bu. Kalau nggak kita yang menjaga diri, siapa lagi? Kebersihan di tempat ini adalah perlawanan terakhir kita."
Banyak narapidana menganggap kebersihan pribadi sepele, terutama di tengah panas dan kondisi yang padat. Namun, kami berusaha mempertahankan kesehatan dengan membersihkan ruang tidur kami, menyapu, dan menggosok lantai dengan sabun seadanya yang bisa kami temukan.
Cukup lama diriku di ruang perawatan mendampingi Bu Hera, kemudian sore pun tiba, seorang sipir mendekat dan menegurku, "Sudah cukup. Kembali ke selmu sana." Aku berdiri, menatap Bu Hera yang masih terbaring lemah.
"Semoga cepat pulih, Bu. Jangan kalah dengan kerasnya hidup di pulau ini. Kataku sebelum melangkah pergi, membawa harapan kecil di dalam hati bahwa Bu Hera bisa bertahan dan menemukan kekuatannya kembali.
"Kalau aku nggak ada kalian, mungkin udah sejak lama aku nyerah," Diriku mendengar perkataan bu Dokter Gina sebelum melangkah keluar klinik, suaranya pelan tapi penuh ketulusan. Ucapan itu membuat kami semua terdiam sesaat, mengingatkan bahwa di sini, kami adalah satu-satunya penghibur satu sama lain. "Bu dokter tolong bantu rawat Bu Hera" balasku.
Keberadaan dokter seperti Gina di tempat ini adalah harapan tersendiri. Ia tidak hanya merawat tubuh kami, tetapi juga memberi pelajaran penting bahwa hidup, dalam segala keadaannya, selalu punya cara untuk bertahan dan menemukan kekuatan.
Meski kondisinya sulit dan terbatas, kami semua paham bahwa hanya dengan saling menjaga kami bisa tetap bertahan. Setiap hari, mereka yang masih kuat membantu merawat yang sakit; mengganti perban, membagikan obat kalau ada, atau sekadar berbincang untuk memberikan dukungan. Itu adalah mekanisme bertahan, karena kami tahu kami harus saling bergantung.