Setelah upaya bunuh diriku yang gagal, ku mulai menyadari sesuatu yang sebelumnya kabur dalam pikiranku. Terlalu banyak cara untuk mati di pulau ini—bahkan, kematian selalu mengintai dalam bentuk-bentuk yang tak terduga, entah itu penyakit, kecelakaan, hewan liar buas atau kekuatan alam yang tak bisa ditebak. Namun, ku sadar kematian bukan sesuatu yang seharusnya kita paksakan; ia adalah takdir, jalan Tuhan, datang pada saat yang telah ditentukan. Dan di tempat ini, yang mengisolasi kami dari dunia luar, yang mungkin sudah cukup lama membuat kami menahan derita, kematian kerap datang seperti angin yang tak terlihat, mengambil nyawa kami kapan saja.
Suatu hari di akhir Desember di tahun keempatku, sebuah peristiwa tragis menjadi pengingat kuat akan hal itu. Diriku masih bisa merasakan detik-detik itu dalam ingatan—langit yang awalnya biru cerah mendadak menggelap, berubah kelam dengan cepat. Diriku dan para perempuan lainnya, para narapidana yang bekerja keras di hamparan sawah Lapas kelas 1A Lembah Harapan, menatap langit dengan rasa cemas. "What's going on, storm is coming soon" Angin bertiup kencang, berputar-putar di antara batang-batang padi yang bergoyang liar, seolah memberi tanda akan datangnya sesuatu yang mengerikan. Kami saling berpandangan dengan jantung berdebar kencang, merasakan ketegangan di udara. Tetes-tetes hujan mulai jatuh, lembut di awalnya, namun dalam sekejap berubah menjadi deras. Angin menderu, mencambuk tubuh kami dan menggetarkan dedaunan.
Di tengah derasnya hujan, kilatan petir pertama membelah langit, cahayanya menyilaukan dan diikuti suara gemuruh yang mengguncang tanah di bawah kaki kami. Beberapa dari kami, dengan wajah pucat karena ketakutan, berlari mencari perlindungan. Di kejauhan tampak pohon kelapa tinggi dan rimbun, satu-satunya tempat berlindung yang terlihat. Tanpa berpikir panjang, kami bergegas ke sana, tubuh-tubuh kami gemetar dalam cengkeraman ketakutan sekaligus kelegaan sementara. Kami berpikir pohon itu akan melindungi kami dari badai yang mengamuk.
Namun, takdir sepertinya memiliki rencana lain. Dalam satu kilatan petir yang lebih terang dan kuat dari sebelumnya, sambaran itu menghantam pohon kelapa dengan suara berderak yang memekakkan telinga. Kami berteriak, menyaksikan cabang besar pohon itu terbelah dan jatuh tak jauh dari kami. Pohon yang awalnya kami anggap sebagai tempat perlindungan kini berubah menjadi ancaman, menjadi perangkap kematian. Ketakutan menguasai kami, dan kami hanya bisa saling berpegangan, tubuh gemetar, menyadari bahwa alam dapat merenggut nyawa siapa pun kapan saja.
Ketika badai akhirnya reda, kami merasa lega, tapi perasaan itu tidak bertahan lama. Salah seorang dari kami menghilang. Kami menatap sekitar, kebingungan dan panik, sementara hujan terus merembes membasahi pakaian kami. Dengan langkah tertatih-tatih di lumpur yang licin, kami menyebar, mencari di antara sawah yang hancur diterjang badai. Hingga akhirnya, seorang di antara kami menemukan tubuh rekannya yang terkapar di tengah sawah. Tubuhnya hangus, hitam legam, tak lagi bernyawa.
Dengan hati hancur, kami membawa tubuhnya kembali ke area lapas, masih dalam kondisi basah kuyup. Bersama-sama, kami memandikan, mengkafani, dan menshalatkan jenazahnya. Kami kuburkan dia dengan sangat layak, menghadiahinya penghormatan terakhir sebagai seorang yang pernah menjadi bagian dari kami, tanpa memandang masa lalunya, Dalam keheningan yang penuh haru, kami menyaksikan pemakamannya, meresapi kenyataan yang begitu dekat: bahwa di tempat ini, bagi kami, para terpidana seumur hidup, kematian adalah saat kebebasan. Kematian, dalam segala bentuknya, menjadi satu-satunya pintu keluar yang nyata dari hukuman di dunia ini.
Di tengah kesunyian yang menghantui, pikiran dan perasaanku berputar seputar makna kehidupan dan kematian. Aku duduk di sudut sel, meresapi setiap momen yang ada. Suasana di sekelilingku seolah memanggil, dan ketika petugas yang pernah berbicara denganku itu mendekat, aku merasa ada peluang untuk berbagi.
"Sarah, ku lihat kamu tampak merenung," ucapnya, duduk di sampingku. "Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"
Diriku menghela nafas dalam-dalam, mencoba merangkai kata-kata. "Tadi, ketika kami mengalami badai dan kehilangan teman kami… diriku mulai berpikir tentang kematian. Seperti, kenapa kita di sini, dan apa artinya semua ini?"
Petugas itu mengangguk, memberikan isyarat bahwa ia memahami. "Kematian memang sering kali membuat kita merenung. Bagaimana menurutmu tentang kepergian temanmu?"
"Rasanya sangat tragis," jawabku. "Tapi di sisi lain, aku merasa seolah dia kini bebas dari semua ini. Di sini, kita terkurung dalam hukuman kita, menunggu sesuatu yang tak pasti. Kematian… mungkin itu satu-satunya cara untuk keluar dari semua ini." Suaraku mulai bergetar, mencerminkan betapa dalamnya perasaan ini.
Dia menatapku, matanya menyiratkan empati yang dalam. "Memang, ada banyak cara untuk melihat kematian. Untuk sebagian orang, itu adalah akhir dari penderitaan. Tapi untuk yang lain, itu adalah kehilangan. Seperti, siapa yang lebih beruntung, yang terkurung dalam sel atau yang sudah pergi?"
"Benar," kataku pelan, "Tapi ku masih merasa tersesat. Apakah kematian benar-benar solusi? Apakah kita seharusnya menganggapnya sebagai kebebasan? Di luar, mungkin orang-orang tidak memahami pemikiran kita."
"Bisa jadi," jawabnya, "Tapi ingat, setiap orang memiliki pandangannya masing-masing tentang hidup dan mati. Kematian bukan hanya akhir; bisa juga menjadi awal dari sesuatu yang baru. Kita tidak bisa memaksakan pandangan kita kepada orang lain. Di sini, mungkin kita belajar untuk menerima takdir."
Ku terdiam, mencoba merenungkan kata-katanya. "Tapi diriku merasa seolah-olah kami semua hanya menunggu untuk mati. Tidak ada harapan, tidak ada jalan keluar."
"Sarah, hidup kita mungkin tampak tidak berarti di sini, tapi kamu masih memiliki kekuatan untuk menentukan bagaimana kamu ingin menjalani sisa waktu ini. Kamu bisa memilih untuk menunggu kematian atau menemukan cara untuk hidup meski dalam keadaan yang sulit," ujarnya dengan suara menenangkan.
"Bagaimana mungkin?" tanyaku, merasa putus asa. "Di sini, semua terasa lumpuh. Tidak ada pilihan."
"Tapi kamu masih memiliki pilihan, meski kecil," katanya. "Kamu bisa memilih bagaimana cara melewati hari, menikmati setiap momen. Melalui kenangan, harapan, atau bahkan rasa syukur. Dalam kegelapan ini, carilah cahaya, Sarah. Itu bisa menyelamatkanmu."
"Cahaya…" ulangku, merenungkan kata-katanya. "Apakah ada cahaya di tempat seperti ini? Apakah harapan itu benar-benar ada, ataukah itu hanya ilusi?"
"Kadang, cahaya paling kecil bisa jadi yang paling terang, terutama di kegelapan. Kamu tidak pernah tahu seberapa besar dampak dari satu harapan. Dalam kesedihan, carilah hal-hal kecil yang bisa membuatmu tersenyum. Temukan cara untuk merayakan kehidupan meski dalam batas yang ada. Itu bisa memberi makna," jelasnya.
"Ku akan mencobanya," kataku, merasakan secercah harapan mulai tumbuh di dalam diriku. "Mungkin ku bisa mencoba lebih banyak menghargai setiap momen, setiap kenangan. Mengingat apa yang telah hilang dan berusaha untuk menemukan kembali diri sendiri."
Dia tersenyum. "Itu langkah yang baik. Ingatlah, hidup ini adalah perjalanan, bukan hanya tujuan. Bahkan dalam kesulitan, ada pelajaran dan keindahan yang bisa kita temukan."
Saat dia beranjak pergi, aku merasa seolah ada beban yang sedikit terangkat dari pundakku. Mungkin, hanya mungkin, aku bisa belajar untuk menjalani hidup dengan cara yang berbeda. Takdir mungkin mempertemukan kami dalam situasi yang tragis, tetapi itu juga memberi kami kesempatan untuk saling memahami, untuk menemukan kekuatan di antara kerapuhan.
Kehilangan itu terasa tragis, namun di baliknya tersirat makna kebebasan yang diam-diam kami semua pahami. "She's free now" dengan mata berkaca-kaca. "Iya... untuk kita yang di sini, kematian adalah satu-satunya jalan kebebasan yang pasti!" Sesuatu yang mungkin terasa asing bagi mereka yang hidup di luar, tapi bagi kami, yang menjalani hari-hari dalam penantian panjang, kematian di tempat ini adalah saat kita kembali kepada Tuhan, penebusan atas kesalahannya di masa lalu.
Kematian yang dipaksakan
Satu lagi kematian memilukan di pulau penjara ini. Namun, kali ini kematian itu tidak datang dari alam atau tragedi biasa. Kematian ini dipaksakan oleh hukum, oleh negara, atas nama keadilan: eksekusi mati. Meskipun blok hunian terpidana mati terpisah dari kami, kepergiannya terasa dekat, membekas dalam benak setiap penghuni dan petugas yang mendengar kisah hidupnya.
Ia dikenal sebagai legenda kelam di penjara ini. Seorang wanita berusia 50-an, istri seorang teroris yang ditakuti. Dua puluh tahun ia menjalani hidup dalam bayang-bayang, disandera oleh keyakinannya. Ia dihukum mati atas perannya dalam pengeboman di sebuah kedutaan besar yang menewaskan dua puluh orang, sebuah serangan yang dipimpin oleh suaminya, yang tewas dalam ledakan itu. Ketika dunia menuntut jawaban, ia tetap diam—tidak menyerahkan nama siapa pun yang terlibat, tidak merinci jaringan yang mereka bangun. Dalam hatinya, ia percaya bahwa ini adalah kebenaran yang layak diperjuangkan hingga akhir hidupnya.
Selama persidangan, dia berdiri di hadapan pengadilan dengan keyakinan semu, tidak menunjukkan sedikit pun penyesalan atau rasa takut. Tidak ada air mata, tidak ada permohonan ampun. Ideologinya terlalu kokoh untuk dihancurkan oleh kata-kata hakim atau sorotan kamera. Ia memegang prinsipnya seperti benteng yang tak tergoyahkan. Hidup dalam penjara pun tidak mampu meluruhkan keyakinannya, dan ia tak pernah mencari pengampunan. Dua dekade berlalu dalam kesendirian yang dingin, karena tak seorang pun mampu menembus dinding keyakinan yang ia bangun di sekelilingnya.
Di antara para narapidana lain, ia adalah bayangan yang enggan dijamah, seorang yang hidup di antara kenyataan dan ideologi. Banyak yang mencoba berbicara dengannya, mengajaknya berbagi cerita atau hanya sekadar bertukar pandang, tapi ia selalu menolak dengan ketenangan yang penuh ketegasan. Bahkan para penjaga akhirnya menyerah; setiap usaha untuk terhubung dengannya berhenti di hadapan penolakan yang tenang.
Seiring waktu, dunia luar berubah. Konflik berganti, namun ia tetap terperangkap di masa lalu, berpegang teguh pada ideologi yang sudah memudar dalam ingatan publik. Sorot matanya, yang dulunya menyala karena perlawanan, perlahan memudar seiring bertambahnya usia. Tetapi api dalam hatinya tak pernah benar-benar padam. Di matanya, ia bukan seorang penjahat, melainkan seorang martir yang tak pernah melepaskan cita-citanya.
Dan akhirnya, pemerintah memutuskan untuk mengakhiri penantiannya. Kepala penjara menyampaikan kepadanya bahwa eksekusi akan dilaksanakan dalam tiga hari. Ketika ia mendengar berita itu, tidak ada perubahan di wajahnya. Tidak ada ketakutan, tidak ada amarah. Dia hanya mengangguk pelan, menolak permintaan terakhir, menolak memberikan pernyataan terakhir. Dunia mungkin telah melupakannya, tapi di dalam penjara, kabar itu menyebar cepat, memantik bisik-bisik di antara kami yang telah mendengar legenda hidupnya.
"Dia benar-benar tidak takut, ya?" gumam seorang narapidana yang pernah berinteraksi dangannya, menatap kosong ke arah sel isolasi tempat wanita itu ditempatkan.
"Dia sudah siap mati sejak lama," jawab yang lain, dengan nada rendah, seolah berbicara terlalu keras akan mengganggu ketenangan yang telah ia jaga selama ini.
Pada malam eksekusi, regu tembak telah bersiap di ujung pulau, jauh dari blok hunian kami. Lautan yang berombak menjadi saksi sunyi atas akhirnya sebuah keyakinan yang teguh. Di waktu yang ditentukan, ia berjalan keluar dari sel dengan tenang, tidak ada isak tangis atau wajah penuh penyesalan. Mungkin dalam benaknya, ia telah berjanji pada suaminya untuk mati dengan tegak.
Saat ia duduk di kursi eksekusi, satu perwira penjara menatapnya dengan ragu, seolah mempertanyakan apakah keyakinan seperti itu benar-benar bisa tetap utuh hingga saat-saat terakhir. Wanita itu hanya tersenyum tipis, seakan berkata tanpa kata bahwa semua sudah sesuai dengan rencana.
Akhirnya, suara tembakan memecah keheningan malam. Pulau ini menjadi saksi atas nyawanya yang akhirnya berakhir, nyawa yang penuh dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Di kalangan narapidana, malam itu menjadi bisikan panjang tentang akhir yang sunyi dari hidup yang begitu keras kepala, tentang harga yang dibayar untuk sebuah ideologi. Dan bagi kami yang tertinggal di pulau ini, eksekusinya hanya menyisakan satu pertanyaan di udara: berapa banyak yang rela mengorbankan seluruh hidup, bahkan nyawanya, untuk suatu keyakinan?
Di tengah kesunyian yang menyelubungi blok penjara, kabar kematian yang dipaksakan ini mengendap dalam benakku. Kematian bukan hanya tentang fisik; itu adalah akhir dari sebuah perjuangan, sebuah ideologi yang terpaksa mati dalam gulungan hukum. Aku teringat saat pertama kali mendengar kisah tentang wanita itu. Bagaimana ia bertahan di tengah ancaman, tak pernah menyerah pada ketidakadilan yang dijalani.
Sambil berbaring di ranjang sempitku, aku menggulirkan pikiran tentang kematian yang dipaksakan ini. Kematian sebagai keadilan…? Apakah itu hanya ilusi? Apakah dengan mengakhiri hidup seseorang, kita benar-benar menemukan keadilan? Seorang petugas mendekat, melihatku yang terbenam dalam pikiranku.
"Sarah, kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan suara lembut, menandakan perhatian yang tulus. "Kabar tentang eksekusi itu… mengganggu banyak orang, termasuk diriku."
Ku tatap petugas itu, merasakan kedalaman empati di matanya. "Ku tak tahu, mungkin… diriku tidak bisa memahami semua ini. Bagaimana bisa hidup seorang wanita diakhiri begitu saja? Di balik semua itu, dia juga seorang manusia, dengan perjuangannya sendiri."
Petugas itu mengangguk, merenungkan kata-kataku. "Kematian di penjara ini memang sering terasa tidak adil. Seperti kita yang terkurung di sini, seolah-olah semua harapan dipangkas habis. Tapi setiap orang punya cara untuk memperjuangkan keyakinannya, meski terkadang itu harus dibayar dengan nyawa."
"Diriku mengerti, tetapi dalam hal ini… Apakah kita benar-benar bisa menyebutnya keadilan?" suaraku bergetar, penuh kebingungan. "Kita menjatuhi hukuman mati kepada seseorang yang sudah menderita dua puluh tahun dalam penjara. Apakah ada keadilan dalam membunuh seorang ibu, hanya karena pilihan yang diambil suaminya?"
Petugas itu menundukkan kepala, sepertinya berusaha meresapi pertanyaanku. "Kadang, keadilan itu tidak selalu hitam dan putih, Sarah. Beberapa orang mungkin menganggapnya sebagai langkah untuk menghapus ancaman, meskipun itu mengorbankan nyawa. Namun, di sisi lain, itu juga membuktikan betapa rapuhnya kehidupan dan betapa sedikitnya pilihan yang kita miliki."
"Dan apa yang tersisa bagi kita?" tanyaku lagi, merasakan gelombang kemarahan dan kesedihan yang saling berkejaran dalam dadaku. "Kita di sini, melihat orang-orang terpaksa mati, dibunuh oleh sistem yang seharusnya melindungi kita. Kenapa semuanya terasa seperti siklus yang tidak ada habisnya?"
Petugas itu menatapku, tatapan yang dalam dan penuh makna. "Kita bisa memilih bagaimana kita merespons, meskipun pilihan kita terbatas. Kita bisa mengingat mereka yang telah pergi, merayakan kehidupan mereka, dan berusaha untuk memahami bahwa setiap orang memiliki cerita yang berbeda. Apa yang terjadi pada wanita itu tidak dapat diubah, tetapi kita bisa mengubah bagaimana kita mengingatnya."
Diriku merenungkan kata-kata petugas itu, merasakan beratnya makna yang tersemat di dalamnya. "Jadi, kita hanya akan terus menunggu kematian, sementara kehidupan di luar terus berjalan?"
"Tentu saja tidak," jawabnya tegas. "Kita harus berjuang untuk lebih dari sekadar menunggu. Mungkin di dalam hati kita, kita bisa melawan ketidakadilan, meski dalam cara yang lebih kecil. Kita bisa saling mendukung satu sama lain, menciptakan ruang untuk berbagi cerita dan memperkuat satu sama lain dalam situasi yang sulit ini."
Dengan perlahan, rasa putus asa yang menghimpitku mulai melonggar. Kematian tidak harus mengakhiri segalanya. Di balik semua kesedihan dan kehilangan, masih ada harapan yang bisa kami genggam. Kami bisa berbagi kisah, mengenang mereka yang telah pergi, dan menyuarakan rasa kemanusiaan yang takkan padam.
"Terima kasih," ucapku, merasakan secercah harapan muncul di antara gelapnya penjara ini. "Aku ingin mencoba. Mungkin, inilah saatnya untuk merayakan hidup, meski kita terjebak dalam kematian yang dipaksakan."
Petugas itu tersenyum, menandakan bahwa dalam kegelapan ini, cahaya masih ada—meski redup, namun mampu memberi arah pada jalan yang tak pasti.
Kematian itu membawa keheningan yang berat, keheningan yang tak bisa kami hilangkan. Keesokan paginya, blok penjara kami tetap hening, dan kami melanjutkan hari dengan perasaan campur aduk. Seorang teman berbisik padaku saat kami melintasi sawah, "Apa yang dipikirkan orang-orang itu, ya? Seberapa dalam keyakinan mereka sampai... sampai begini?"
Aku hanya menggeleng, kata-kataku tertahan. "Mungkin dia merasa itu hidupnya yang sesungguhnya. Hanya saja... kita takkan pernah benar-benar tahu."
Aksi Nekat
Lalu, ada saat-saat menegangkan ketika kami harus berurusan dengan konflik antar narapidana. "Why did it have to get so loud?" aku bergumam, mengingat keributan yang terjadi. Suara keras sering menggema di koridor, tapi itu juga mengajarkan kami tentang keberanian dan persahabatan. "Kami selalu saling mendukung, kan?" pikirku dengan rasa syukur.
Di tahun kelima hidupku di Lapas Perempuan Kelas 1A Lembah Harapan, aku menyaksikan sesuatu yang tak pernah kulupakan. Satu sore, di bawah langit berwarna jingga menyala, sekelompok narapidana wanita memulai pelarian putus asa dari pulau penjara yang terisolasi itu. Tekad mereka lebih kuat daripada rasa sakit atau ketakutan yang mengintai mereka. Dalam beberapa minggu, mereka berhasil mengumpulkan kayu gelondongan secara diam-diam, menyembunyikannya di antara peralatan dan puing-puing dari tugas harian. Potongan-potongan kayu itu telah mereka ikat dengan kain robek, membentuk rakit sederhana yang diharapkan bisa membawa mereka pada kebebasan.
Pulau penjara itu tidak memiliki dinding tinggi atau kawat berduri. Seringkali tampak damai, hampir seperti tempat peristirahatan. Pada siang hari, kami bekerja di sekitar pulau, memperbaiki infrastruktur, mengurus kebun, atau berkeringat di bengkel. Namun, penjaga sebenarnya bukanlah para petugas, melainkan lautan ganas yang memisahkan pulau ini dari daratan sejauh enam puluh kilometer. Belum pernah ada yang berani mencobanya.
Diriku mengingat saat itu dengan jelas—bagaimana keributan terjadi begitu tiba-tiba di sore yang kelam itu. Para napi yang berusaha kabur tampak begitu yakin, seolah tidak ada yang bisa menghentikan mereka. Di satu sisi, aku bisa memahami dorongan nekat mereka. Di balik setiap dinding penjara, ada kisah penuh luka dan penyesalan yang mendorong seseorang untuk berjuang sampai batas terakhir. Meski aku tidak pernah berencana kabur, rasa keputusasaan dan keinginan untuk bebas yang membakar mereka seolah menjadi cerminan emosi yang terpendam dalam diri semua narapidana di sini.
Sore itu, saat matahari mulai tenggelam di cakrawala, para wanita itu bergerak cepat, penuh keyakinan. Mereka tahu pola penjaga—patroli mereka yang malas dan giliran yang terprediksi. Staf yang terbatas dan ilusi keterpencilan pulau telah membuat penjara itu terlena. Rakit pun diluncurkan ke laut, hati mereka berdetak kencang. Mereka mendayung dengan dayung darurat, air asin menciprati wajah mereka, namun itu tak berarti dibandingkan api dalam dada mereka.
Namun, alam selalu punya rencana.
Saat malam tiba, laut mulai mengamuk, seakan tahu ada yang menantangnya. Ombak tinggi menghantam rakit, merendam mereka dengan air dingin. Lengan mereka lemah, tubuh mereka bergetar, tapi mereka terus maju. Di penjara, penjaga mulai menyadari ada yang tidak beres. Alarm berbunyi, sorotan lampu menembus kegelapan, mencari ke segala arah. Laut hitam dan pekat menelan jejak mereka, dan meskipun para penjaga mulai mengirim perahu pencarian, lautan tampak terlalu luas dan tak terjangkau.
Di atas rakit, keputusasaan mulai menggerogoti semangat mereka. "tidak seperti yang dibayangkan," bisik salah satu dari mereka dengan suara lemah. Yang lain menguatkan diri, "dayung terus !!, kita akan berhasil."
Namun, keletihan membuat tangan mereka mati rasa. Ombak semakin besar, mengancam akan menelan rakit itu. Tak ada daratan di depan, hanya kegelapan laut yang meluas. Beberapa wanita mulai berdoa, sementara yang lain terdiam, tenggelam dalam ketakutan. Mereka telah melangkah sejauh ini, tapi harapan itu semakin memudar.
Pagi harinya, patroli penjaga pantai menemukan mereka, basah kuyup, tubuh kedinginan dan putus asa. Para penjaga membawa mereka kembali ke pulau dengan wajah-wajah kosong; mereka sudah kalah, dan tak ada perlawanan yang tersisa dalam diri mereka. Setibanya di penjara, para wanita itu dibawa ke sel isolasi, satu demi satu. Kegagalan mereka menjadi peringatan yang cepat menyebar di kalangan narapidana lainnya. "Jangan pernah nekat mencobanya lagi," teriak seorang penjaga kepada mereka saat cerita itu mulai beredar.
Kisah pelarian mereka tak lagi menjadi sekadar cerita nekat—itu menjadi peringatan yang diucapkan dalam bayang-bayang malam.
Seorang petugas yang sudah lama bertugas di penjara ini, Pak Budi, pernah mengatakan kepadaku, "Kadang aku merasa kalian ini seperti air yang ditekan terus ke bawah, dan saat tekanan itu tak tertahan lagi, ledakan pasti terjadi."
Aku memandangnya, berusaha memahami sisi pekerjaannya yang penuh dengan bahaya dan ketegangan. "Pak Budi, apa pernah terlintas di pikiran bapak tentang kenapa kami bisa bertindak nekat seperti itu?" tanyaku suatu hari, mencoba menelusuri pikirannya.
Pak Budi mengangguk pelan, menatap jauh ke arah luar penjara, seolah mencari jawabannya di cakrawala. "Sarah, saya nggak akan pura-pura tahu apa yang kalian rasakan, tapi satu hal yang saya pahami adalah bahwa putus asa bisa membuat orang melakukan hal-hal yang tak terbayangkan." Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, "Saya sering bertanya-tanya bagaimana jadinya jika saya berada di posisi kalian, terkunci, dipisahkan dari dunia luar, kehilangan kebebasan. Mungkin saya juga akan mencoba kabur kalau bisa."
Diriku tertawa getir, merasa ada bagian dari perasaanku yang dia mengerti. "Pak, di antara semua hal di dunia ini, kadang kebebasan itu yang paling merisaukan dan sekaligus paling berharga. Kami tahu risikonya, tapi bagi sebagian orang di sini, hidup yang penuh ketidakpastian lebih baik daripada hidup terkurung tanpa harapan."
Pak Budi mengangguk, tampak merenung. "Kalau begitu, kenapa kamu tidak mencoba kabur, Sarah? Kalau kebebasan itu begitu penting?"
Ku terdiam sejenak, mempertimbangkan jawabanku. "Karena aku ingin pulang dengan cara yang benar, Pak. Aku ingin berdamai dengan masa laluku, ingin bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Aku tidak ingin kabur dari kenyataan. Aku ingin menghadapi semuanya sampai akhir."
Pak Budi menghela napas, seolah-olah memahami beban yang kupikul. "Kau lebih kuat daripada yang kau kira, Sarah. Tak banyak orang yang sanggup bertahan di sini tanpa kehilangan dirinya. Apa yang kalian alami bukan cuma tentang fisik yang terkurung, tapi juga hati yang terluka. Kadang, aku sendiri yang di luar pagar ini, juga merasa seperti napi."
Aku terkejut mendengar ucapannya. "Bagaimana bisa, Pak?"
"Setiap kali aku datang ke sini, menghabiskan waktu berbulan-bulan jauh dari keluarga, terisolasi dari kehidupan sosial, rasanya seperti aku juga ikut terpenjara. Hidup di sini, menjaga kalian, tidak mudah. Bedanya, aku tahu bahwa aku bisa keluar setiap kali waktunya cuti datang." Pak Budi tersenyum tipis, namun ada guratan lelah di wajahnya.
Diriku menatapnya, merasa ada ikatan tak kasatmata antara kami. "Mungkin, Pak, penjara itu tidak hanya soal dinding dan pagar besi. Setiap orang, termasuk bapak, mungkin punya 'penjara'-nya sendiri yang tak terlihat."
Pak Budi mengangguk. "Kamu benar, Sarah. Setiap orang punya belenggu masing-masing. Untuk sebagian dari kalian, penjaranya nyata, seperti pulau ini. Untuk yang lain, mungkin berupa tanggung jawab atau ketakutan yang tidak terlihat. Tapi setiap hari, kita semua berjuang untuk bebas dari sesuatu."
Diriku tersenyum kecil, untuk pertama kalinya merasakan simpati yang tulus pada para petugas. Di balik sikap tegas mereka, ada hati yang juga lelah dan terjebak dalam rutinitas yang sama. Di sore itu, di tengah percakapan sederhana kami, aku merasakan sekelumit kehangatan dan pemahaman yang meredakan sedikit kekosongan dalam hati.
Mimpi perubahan dan hal baru menanti di depanku, tetapi bayangan masa lalu masih menghantui pikiranku. "What if they don't believe me?" tanyaku dalam ketakutan. Kembali ke kehidupan di luar dengan stigma terpidana seumur hidup adalah hal yang menakutkan, namun aku harus optimis. "I have to keep fighting for my freedom," aku membisikkan motivasi pada diri sendiri.
Di tengah perjalanan ini, aku tahu bahwa meskipun masa laluku kelam, ku telah belajar bertahan hidup. "These skills will help me," kataku, meyakinkan diri. Keterampilan yang kumiliki akan membawaku ke jalan baru, dan harapan akan masa depan yang lebih baik masih membara di dalam hatiku. Sekarang, saatnya untuk menatap ke depan dan memperjuangkan keadilan yang seharusnya kuterima.