Hari-hari berlalu, diriku dan Bu Hera semakin akrab. Di balik tatapan tegasnya, ku mulai melihat sosok yang hangat dan penuh kebijaksanaan. Beliau sering memberikan nasihat yang menyentuh hati, dan aku mencoba memberikan semangat agar beliau bisa bangkit dari rasa putus asa.
Suatu sore, aku mendekati Bu Hera yang sedang duduk di bawah pohon tua di halaman. "Bu, saya punya ide," kataku dengan senyum kecil.
"Ide apa lagi, Sarah?" tanyanya sambil tersenyum lemah.
"Saya pikir, daripada Ibu terus tenggelam dalam kesedihan, bagaimana kalau kita mencoba sesuatu yang berbeda? Saya tahu beberapa napi asing di sini yang kelihatan kesepian. Mungkin kita bisa mencoba ngobrol dengan mereka. Ibu bisa bantu mereka dengan pengetahuan hukum Ibu, dan kita bisa sama-sama belajar bahasa mereka."
Sebagai satu-satunya penjara perempuan dengan keamanan maksimum di negeri ini, Lapas kelas 1A Lembah Harapan ini menampung narapidana dengan latar belakang yang sangat beragam. Tidak hanya berasal dari berbagai daerah di negri ini, tetapi juga terpidana dari seluruh penjuru dunia—negara Barat, Afrika, Tiongkok, India, hingga Amerika Selatan. Sebagian besar perempuan yang menghuni tempat ini adalah mereka yang terjerat dalam kasus narkoba, membawa beban masa lalu yang kelam ke tempat isolasi ini.
Bu Hera mengangkat alisnya, sedikit terkejut. "Napi asing? Sarah, kamu tahu kan komunikasi dengan mereka tidak mudah?"
"Saya tahu, Bu. Tapi saya dengar mereka juga ingin tahu lebih banyak tentang sistem hukum di negeri ini. Saya pikir ini bisa jadi kesempatan buat kita. Siapa tahu, Ibu juga merasa lebih baik setelah membantu mereka."
Setelah sedikit ragu, akhirnya Bu Hera setuju. Kami pun mulai mendekati beberapa napi asing. Salah satu dari mereka, seorang perempuan bernama Maria dari Europe, terlihat cukup terbuka untuk berbicara.
"Halo, Maria," sapaku dengan aksen yang sedikit kaku. "Apa kabar?"
Maria menatapku, lalu tersenyum kecil. "Hello. I'm… okay, I guess."
Diriku melirik Bu Hera, memberi isyarat agar beliau ikut berbicara. "Maria, this is Bu Hera. She is a former a judge in our country. Maybe she can help you understand more about the legal process here."
Bu Hera tersenyum ramah, lalu berkata dengan bahasa Inggris yang sedikit terpatah-patah, "Yes, I can explain. You… can request deportation. It is possible for you to… go back to your country to serve your sentence there."
Maria tampak tertarik. "Deportation? I didn't know that. How does it work?"
Bu Hera mulai menjelaskan dengan hati-hati, mencampur bahasa Inggris, sementara aku membantu menerjemahkan jika diperlukan. Kami juga mencoba mengajarkan beberapa kata sederhana kepada Maria dan napi asing lainnya.
"Kalau mau bilang 'terima kasih,' bilang 'thank you,' tapi dalam bahasa" kataku sambil tersenyum.
"Te-ree-ma ka-si?" Maria mencoba, dan aku serta Bu Hera tertawa kecil.
"Ya, bagus!" jawabku.
Diskusi kami berkembang. Bu Hera mulai menjelaskan langkah-langkah yang bisa diambil Maria dan teman-temannya untuk mengajukan deportasi. Mereka tampak lebih bersemangat, dan aku bisa melihat sedikit kebahagiaan di wajah Bu Hera saat beliau membantu mereka memahami proses hukum.
Setelah pertemuan itu, Maria berkata kepada kami, "Thank you, Bu Hera and Sarah. You make this place… not so bad."
Bu Hera menatapku dengan senyum hangat. "Sarah, mungkin ini pertama kalinya saya merasa sedikit berguna lagi sejak masuk ke sini."
Diriku hanya mengangguk, merasa lega bahwa upayaku membantu beliau tidak sia-sia. Dari sana, hubungan kami dengan napi asing semakin dekat. Setiap sore, kami mencoba berbicara dengan mereka, mengajarkan mereka bahasa Indonesia, dan mendengarkan cerita-cerita mereka.
Bagi Bu Hera, ini menjadi jalan untuk menemukan kembali rasa percaya dirinya. Dan bagiku, ini adalah pengingat bahwa bahkan di tempat tergelap sekalipun, selalu ada cara untuk membuat hidup menjadi lebih berarti.
Kesalah pahaman
Hari itu, diriku dan Bu Hera kembali duduk bersama Maria dan beberapa napi asing lainnya di sudut halaman. Salah satunya adalah seorang perempuan berkulit gelap dari Afrika. Dia adalah sosok yang ramah, tetapi bahasa Inggrisnya penuh aksen dan sulit dimengerti. Kami mencoba berbicara, tetapi semakin lama, percakapan kami menjadi lebih membingungkan.
"Amina," kataku pelan, "Do you understand what Bu Hera explained about deportation?"
Amina mengangguk dengan cepat, tapi wajahnya tampak bingung. "Yes, yes. Deportation… I know. But… how? Papers… what is…"
Diriku menatap Bu Hera, berharap beliau bisa membantu. Namun, Bu Hera juga tampak bingung dengan cara Amina berbicara. "I… explain again. Deportation needs request to government… uh… negara. Papers, uh… dokumen."
Amina memiringkan kepala, mencoba memahami. "Dokumen? What is dokumen? Is it… like… permission?"
"Yes, permission," jawabku cepat. Tapi ternyata kata itu pun tak sepenuhnya dimengerti.
Maria, yang ada di dekat kami, ikut bicara. "Sarah, maybe she doesn't understand what you mean. Explain slower."
Aku menghela napas panjang. "Oke, Amina, listen. You need to write… a letter. A letter to your embassy. Embassy will help… send you back to your country."
Amina mengerutkan dahi. "Embassy? My country no embassy here. What do I do?"
Ketegangan mulai terasa. Diriku dan Bu Hera saling melirik, tak yakin bagaimana menjelaskan lebih jauh. "Kalau negara mereka tidak punya kedutaan, gimana, Bu?" bisikku dalam bahasa Indonesia.
Bu Hera menghela napas. "Itu masalah besar, Sarah. Kalau tidak ada kedutaan, mereka harus mengandalkan pihak penjara untuk menghubungi pemerintah negaranya. Tapi bagaimana menjelaskan itu ke mereka…"
Akhirnya, aku mencoba menjelaskan dengan menggunakan gerakan tangan. "No embassy? Then… we… write to government. Big… uh… big office in your country."
Amina akhirnya mengangguk, meskipun raut wajahnya masih menunjukkan kebingungan. "Okay, write letter. But… what letter say?"
Bu Hera mencoba membantu dengan mengajarkan beberapa kalimat dasar dalam bahasa Indonesia. "Tuliskan ini: Saya ingin kembali ke negara saya. Itu artinya, 'I want to go back to my country.'"
Amina mencoba mengulang, tetapi pengucapannya sulit dimengerti. "Say-ya in-ting kem… kem-bali ke negara say-ya."
Diriku mencoba menahan tawa kecil. "Good, Amina, that's a start!"
Namun, Maria yang duduk di dekatnya menghela napas panjang. "This is too hard. Why can't the prison just help us? Why must we do everything ourselves?"
Bu Hera menjelaskan dengan sabar. "The prison will help, but… you need to start first. They… follow procedure. Sistem di sini, uh, berbeda."
Maria menatap kami dengan mata penuh frustasi. "System here is crazy. So complicated. I don't understand why it has to be like this."
Bu Hera hanya bisa mengangguk pelan. "I understand. Sistem ini memang sulit. But… we try, together."
Percakapan itu tidak selalu berjalan mulus. Kadang-kadang, perbedaan bahasa menjadi penghalang besar, membuat kami frustasi. Tapi aku tahu, dengan waktu dan kesabaran, mereka akan memahami. Dan meskipun lambat, aku bisa melihat bahwa mereka mulai merasa dihargai.
Saat sore beranjak malam, Amina menatapku dan Bu Hera dengan senyum kecil. "Thank you. You try help me. I… will try my best."
Aku menatap Bu Hera, merasa sedikit lega meskipun tahu perjalanan ini masih panjang. "Kita memang harus ekstra sabar ya, Bu," kataku sambil tersenyum.
Bu Hera menepuk pundakku. "Sabar itu kuncinya, Sarah. Kadang kita lupa, tapi kesabaran bisa membawa perubahan besar, bahkan di tempat seperti ini."
Ada solusi di setiap Perbedaan
Penjara ini terkenal keras, tetapi tetap teratur. Kehidupan di dalamnya diatur dengan disiplin ketat untuk menjaga stabilitas di tengah keragaman yang ekstrem. Namun, tantangan terbesar bukanlah kerja berat atau rasa sepi yang menyiksa, melainkan komunikasi. Dengan beragam bahasa, budaya, dan kepercayaan, interaksi sederhana bisa berubah menjadi percikan konflik. Sebuah kata yang salah atau gerakan yang keliru sering kali cukup untuk memicu ketegangan antar narapidana.
Di balik rutinitas yang teratur dan penuh disiplin, komunikasi menjadi tantangan besar. Dengan banyaknya perbedaan bahasa, budaya, dan kebiasaan, bahkan interaksi kecil pun bisa berujung pada kesalahpahaman yang memicu konflik.
Meskipun konflik kecil sering terjadi, mereka menjadi bagian dari proses adaptasi bagi semua penghuni pulau penjara. Perbedaan bahasa dan budaya yang awalnya menjadi sumber masalah perlahan berubah menjadi pelajaran penting tentang pengertian dan kesabaran.
Setiap ketegangan yang terjadi mengingatkan para narapidana bahwa meskipun mereka berasal dari dunia yang berbeda, mereka harus menemukan cara untuk hidup berdampingan di tempat yang tidak memberi mereka pilihan lain. Di balik setiap konflik, ada potensi untuk saling memahami—meskipun dengan perjuangan yang tidak mudah.
Untuk mengatasi hambatan ini, para petugas penjara mengembangkan metode unik dalam memberikan perintah, terutama kepada para narapidana asing. Mereka menggunakan isyarat tangan sederhana sebagai pengganti bahasa lisan. Isyarat-isyarat ini menjadi alat komunikasi universal yang membantu narapidana memahami tugas-tugas mereka tanpa memerlukan kata-kata. Sebuah gerakan tangan dapat menyampaikan instruksi dengan jelas—mulai dari membersihkan area, menggarap ladang, hingga mengambil alat kerja.
Namun, waktu dan kebersamaan perlahan membawa perubahan. Di tengah rutinitas yang berat, para narapidana mulai mempelajari bahasa nasional. Proses ini terjadi secara alami—melalui interaksi dengan sesama narapidana dan juga pengamatan terhadap perintah para petugas. Meskipun awalnya terpaksa, banyak dari mereka yang akhirnya mampu menguasai dasar-dasar bahasa Indonesia, membuka jalan untuk komunikasi yang lebih baik.
Proses belajar ini tidak hanya membantu mengurangi konflik tetapi juga menjadi titik awal munculnya solidaritas di antara mereka. Di balik pagar tinggi dan pengawasan ketat, para perempuan dari berbagai belahan dunia ini mulai menemukan cara untuk saling memahami. Perbedaan bahasa dan budaya yang dahulu menjadi penghalang perlahan berubah menjadi jembatan, membawa harapan kecil di tengah kehidupan mereka yang penuh batasan.
Pulau penjara ini tetap menjadi tempat yang keras dan tak kenal kompromi. Namun, di dalamnya terdapat pelajaran tentang adaptasi, ketangguhan, dan kemampuan manusia untuk menemukan harmoni meski dalam kondisi paling sulit sekalipun.