Seminggu berlalu sejak sesi berbagi yang dipenuhi ketegangan itu. Segala sesuatunya tampak kembali seperti biasa, tetapi aku tahu, di balik permukaan yang tenang, ada banyak hal yang belum selesai. Diriku masih belum berani mendekati Bu Hera, dan sepertinya, beliau pun menahan diri untuk tetap menjauh dariku. Kami menjalani rutinitas harian di penjara dengan pola yang sama—pagi yang monoton, siang yang panas, malam yang sepi. Namun, di antara kami, suasana tetap penuh ketegangan, seolah ada luka yang tak sembuh, sesuatu yang menggantung di udara, siap meledak kapan saja.
Setiap kali kami bertemu pandang, tatapan Bu Hera begitu dingin, bahkan terkadang berapi-api. Diriku merasa seperti beliau menyimpan kemarahan yang tak akan pernah padam, dan kebenciannya terhadapku semakin kentara. Di balik wajahnya yang tenang, aku bisa merasakan betapa dalam dendam dan kemarahan yang tertanam. Dan di dalam diriku sendiri, aku pun tak bisa menghilangkan perasaan kesal yang kian hari semakin menggerogoti. Ada rasa tak nyaman yang menguar, perasaan bahwa kami berdua saling menyalahkan, terperangkap dalam lingkaran prasangka yang tak berujung.
Kegiatan sehari-hari, yang biasanya kulalui tanpa banyak berpikir, kini terasa berat. Aku mendapati diriku waspada, bahkan cemas, setiap kali harus berada di dekat Bu Hera. Semua orang di penjara seolah bisa merasakan suasana tegang ini, meskipun tak ada yang berani mengomentarinya secara langsung. Bahkan, mereka justru semakin menjaga jarak setiap kali aku berada di sekitar Bu Hera, seakan khawatir akan menjadi bagian dari badai yang siap meledak.
Suatu hari, saat sedang membersihkan sel, Bu Hera melintas. Diriku bisa merasakan tatapan tajamnya menghujam punggungku, dan untuk sesaat aku merasa seperti anak kecil yang tertangkap basah melakukan kesalahan. Tetapi aku berusaha untuk tidak bereaksi, menunduk sambil melanjutkan pekerjaanku.
Tiba-tiba, suara Bu Hera terdengar dingin di belakangku, "Kamu pikir semua masalah selesai hanya karena kita diam-diaman begini?"
Diriku membeku, terkejut oleh pertanyaannya yang begitu langsung. Ada rasa cemas yang mendesak, tetapi aku menahannya, mengumpulkan keberanian untuk menoleh dan menatap wajahnya. Wajah Bu Hera tak menunjukkan ekspresi ramah, tetapi juga tak sepenuhnya benci; hanya ketegangan dan kekakuan yang tergambar di sana.
"Diriku… tidak tahu, Bu," jawabku pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Diriku cuma berpikir… mungkin ini akan mereda sendiri kalau kita sama-sama menahan diri., lagian diriku tidak akan melarikan diri dari sini"
Ia tersenyum tipis, senyuman yang terasa getir. "Masalah seperti ini tidak akan pernah reda dengan sendirinya, apalagi dengan berdiam diri. Kamu tahu, kan, perasaan itu seperti api kecil? Makin lama dibiarkan, makin besar membakar."
Ku telan ludah lagi, tak bisa menampik kebenaran dari kata-katanya. "Saya cuma tidak ingin memperburuk keadaan, Bu. Saya tidak ingin… membuat Ibu semakin marah."
Bu Hera mendengus, menatapku dengan tajam. "Marah? Marah saja tidak cukup untuk menggambarkan apa yang kurasakan. Kamu tidak tahu, kan, apa yang telah kulalui selama ini?"
Diriku merasa tersudut, tetapi juga ingin mendengar lebih banyak, ingin mengerti. "Saya… saya tahu, Bu. Saya tidak pernah berniat untuk membuat Ibu merasa terlukai atau tersakiti, diriku juga korban, Bu" kataku pelan.
Wajah Bu Hera melembut, meski hanya sedikit. "Kalau kamu benar-benar paham, kamu akan tahu bahwa semua ini lebih dari sekadar kemarahan atau kebencian. Ada luka yang tak bisa hilang begitu saja. Saya di sini bukan hanya karena kesalahan… tapi juga karena kehilangan, rasa yang tak bisa kau pahami kecuali kau merasakannya sendiri."
Keheningan menggantung di antara kami, dan untuk pertama kalinya, diriku bisa merasakan ketidakberdayaan di balik kemarahan Bu Hera. Ada kesedihan yang tak kasat mata, sebuah kisah panjang yang belum pernah ia ceritakan. Mungkin, selama ini, aku terlalu cepat menghakimi tanpa memahami apa yang ia bawa dalam hidupnya. Mungkin dibalik tatapan dinginnya, ada seseorang yang begitu terluka, yang hanya ingin didengar, dimengerti.
"Maaf, Bu… Saya tidak tahu apa yang sudah Ibu lalui," kataku, suara penuh penyesalan. "Tapi kalau Ibu mau, saya… saya siap mendengarkan, saya juga ingin menyampaikan kebenaran, Setidaknya mungkin itu bisa membantu kita untuk saling mengerti ?"
Tatapan Bu Hera sejenak melunak, meskipun ia tampak ragu untuk membuka dirinya. "Mungkin," katanya akhirnya, dengan nada yang hampir tak terdengar. "Tapi jangan berpikir bahwa ini akan mengubah apa pun. Kebencian yang sudah lama tersimpan bukan sesuatu yang bisa hilang begitu saja."
Diriku mengangguk perlahan, memahami bahwa tak ada jalan mudah untuk memulihkan hubungan ini. Namun, setidaknya untuk pertama kali, aku merasa bahwa badai itu tidak lagi bergantung sendirian di udara.
Kutu Rambut
Di hari minggu pagi, saat 'libur' bagi para narapidana di pulau ini, Dina, sahabatku di sini, memperhatikan perubahan diriku itu. "Mbak lapo sih meneng ae, bingung mikir opo sih ? ga tau lo, awakmu koyok ngene sak durunge" tanya Dina saat kita saling membersihkan rambut dari kutu dan ketombe yang sungguh menggangu. Diriku masih terdiam tidak membalas perhatian Dina.
Kelembaban pulau penjara ini adalah teman setia yang selalu menyertai, dikelilingi lautan dan hutan tropis membuat pulau ini dalam pelukan hangat dan lembap. Salah satu konsekuensi dari kondisi ini adalah munculnya ketombe dan kutu rambut.
Para narapidana yang telah lama tinggal di pulau penjara ini sudah sangat akrab dengan masalah tersebut, rambut mereka, yang biasanya tebal dan sehat, sering kali menjadi taman bermain bagi serangga parasit kecil itu. Gatal yang tak henti-hentinya membuat mereka hampir gila. "cuk, guatel'e ndasku iki," keluh Dina, menggaruk kepalanya. "Rasane kepingin ta gunduli ae rambutku iki." "wis ta coba kabeh sampo, sabun sing ono nang kene. Tapi gagal kabeh, ga onok sing berhasil."
Ibu tua yang sedang mengurus bahan makanan mendekat dan melihat ke arah kepala Dina, lalu mengangguk pelan. "ono opo toh nduk, kok nersulo wae, Ah, kutu rambut," gumam Si Mbah, sambil tersenyum tenang. "Iki perkoro jamak teng mriki, nduk. Tenang wae, Mbah gadah solusine."
Dina mengamati Si Mbah dengan rasa ingin tahu yang tak bisa disembunyikan.
Perempuan tua itu telah lebih dari lima puluh tahun tinggal di balik tembok penjara ini. Tidak hanya sendirian, ada tiga belas narapidana lanjut usia lain yang masih survive di pulau ini—mereka semua saksi bisu dari sejarah yang suram. Mereka dulunya tokoh sentral dalam kudeta politik yang dipimpin oleh kelompok kiri radikal di tahun 1960-an. Awalnya, mereka dijatuhi hukuman mati karena keterlibatan dalam perang saudara yang menelan ribuan nyawa. Namun, takdir membawa mereka pada hukuman penjara seumur hidup.
Kini, Si Mbah dan kawan-kawannya tetap menjadi narapidana tertua di pulau ini, bekerja di dapur setiap hari, menyiapkan makanan untuk seluruh komunitas penjara, sebuah tugas yang tergolong ringan yang masih bisa mereka tangani.
Selama lebih dari setengah abad, mereka telah dikurung begitu lama hingga dunia luar terasa seperti kenangan usang yang kabur. Kebanyakan dari mereka mungkin sudah dilupakan oleh keluarganya, atau keluarganya sendiri sudah tiada. Tak ada berita, tak ada harapan untuk kembali, bahkan mimpi tentang kebebasan sudah lama mereka tinggalkan.
Si Mbah, tubuhnya kurus tapi wajahnya cerah penuh ketenangan, menyodorkan sekumpulan daun nimba kering yang mudah ditemukan di pulau ini. "godong Iki, coba digodhog ngaggo banyu nganti umup, nduk, terus banyune kangge mbilas rambutmu. Kutune bakal mati," instruksi sederhana keluar dari bibir Si Mbah.
Dina menerima daun-daun itu dengan takjub. "Nggih Mbah, mangke kulo rebus sedaya toyo lan ghodong niku nganti umup". Dina tak bisa menahan rasa penasaran yang menggelitik dadanya, dan akhirnya dia bertanya, "Mbah, ngaputen badhe tanglet njenengan," Si Mbah mempersilahkan "tanglet nopo nduk" Dina melanjutkan "niku Mbah, nopo rahasiane njenengan saget tetep sehat sampai umur sakmeniko?"
Si Mbah tertawa kecil, lalu kembali mengaduk ramuan di panci dengan santai. "Menawa kulo tasih urip teng mriki niku amargi kulo mboten katah mikir, mboten stress, nyantai wae lakoni opo anane, teng dunia, urip mung mampir. Ojo dumeh, ojo kagetan, nrimo ing pandum saking kanjeng Gusti, makaryo ing nyoto. Cah-cah nom kuwi grusa-grusu, opo-opo pengin cepet, dadi gampang gerah. Pungkasane, dudu angka taun ing urip sampeyan sing dianggep, namung urip iku opo sing peyan lakoni."
Kata-kata Mbah mengalir lembut, namun dalam hati Dina terasa seperti tamparan yang membangunkannya dari lamunan panjang. Ia teringat bagaimana hidupnya dulu penuh dengan impian yang serba cepat dan keinginan untuk segera meraih segalanya. Kini, dalam keheningan penjara, ia merasa Mbah telah menemukan kedamaian yang tak pernah ia bayangkan ada di tempat seperti ini.
Dina menatap wajah tua itu—garis-garis keriputnya adalah saksi waktu, namun matanya tetap hidup. "Mbah, menawi tasih pingin niggalne penjara niki ?" Dina bertanya pelan.
Mbah hanya tersenyum, tatapannya menerawang jauh. "Tansah kepinginan, nduk, nanging kuwi mbiyen. Nalika rumiyin, taun-taun kapisan… rasa pengin medhal saking penjara mriki kuwi kuwat banget, pengin ketemu kalian sanak keluarga, kanca-kanca. Nanging saiki Mbah pun sadar, pun nerimo kahanan, Dunia punika mboten kados mbiyen malih. Tiang-tiang sampun kolo menika menawi kathah ingkang purna, anak-anak sampun sami lali. Saiki yo mung bisa pasrah wae, amarga penjara iki wes kaya omahku sing pungkasan, seda teng mriki ya mboten nopo-nopo."
Bagi Dina, pernyataan itu menyakitkan sekaligus membuka matanya pada realita yang selama ini coba ia hindari. Para perempuan tua itu tak lagi melihat penjara ini sebagai kurungan, melainkan sebagai rumah—tempat di mana hidup mereka akan berakhir dalam kedamaian. "urip niku kudu dilakoni, nrimo, nduk. pean kudu nglatih batin, nopo wae sing bisa kelakon, dilakoni. teng mriki, urip ora ngganthi impene karo pengenmu ae, tapi ngganthi opo sing dikandhakake Gusti kanggo pean."
Akhirnya, ramuan daun nimba siap. "Coba, nduk. Mboten usah dipikir, nopo iso po ora, sing penting dicobo."
Dina memandangi cairan hasil rebusan daun nimba yang tampak sederhana namun penuh makna itu. Ia tersenyum kecil, skeptis namun penuh harap, dan mengangguk. Di dalam hatinya, kata-kata Mbah terus terngiang, mengajarkan arti hidup yang sesungguhnya, bukan dalam kebebasan atau keberhasilan, melainkan dalam penerimaan dan ketenangan yang datang dengan ikhlas.
Hasil yang mengejutkannya, bilasan herbal itu bekerja dengan baik. Gatalnya mereda, dan kutu-kutu tampaknya menghilang. Aku, ikut terkesan hingga mencoba ramuan yang sama dan mendapatkan hasil yang sama.
"Mbah, matur nuwun nggih, njenengan musti dukun herbal hebat," candanya, sambil tertawa. "Coba njenengan buka praktek teng kota musti laris !"
Sejak saat itu, bilasan herbal menjadi bagian rutin perawatan rambut mereka. Mereka tidak lagi perlu khawatir tentang kutu kepala yang mengganggu, dan bisa hidup di pulau penjara tanpa gatal yang terus-menerus.
Percakapan antara diriku dan Dina berlanjut. "Mbak, Ibuk sing wingi ngamuk nang awakmu iku sopomu seh?" tanyanya sambil menyipitkan mata, menunjukkan rasa penasarannya yang menggebu. "Wis sak minggu kok ga mbok ajak ngomong maneh?."
Diriku menatapnya, berpikir apakah aku seharusnya bercerita atau tetap diam saja. Lalu, dengan suara setenang mungkin, aku menjawab, "Wes talah, Dina. ga usah kepo kon, iku urusanku dewe."
Dina mengangkat bahu, mengangguk seakan mengerti, meskipun raut wajahnya menunjukkan dia masih penasaran. Dina sahabat baikku, masih sangat muda 28 tahun, sudah 8 tahun tinggal di lapas, kasus pembunuhan pacarnya juga.
Dengan basa-basi untuk mengalihkan pembicaraan, aku bertanya balik ke Dina "ya opo hubungan mu karo Mas Agung?" Dina, selalu saja bisa menebar kehangatan di tengah suramnya tempat ini. "Lho awakmu, kok ngerti soal Mas Agung?" Dina pura-pura terkejut, sambil melemparkan pandangan ke arah lain, tapi raut wajahnya yang tegang memberi petunjuk lain. "Wes, wes. Nggak perlu bahas iku, bahaya iki," Dina memotong pembicaraan, "tapi Din, tak delok-delok, wis sak ulan iki awakmu tambah raket karo Mas Agung." diriku coba mengejar "ngateli mbak iki, suwe-suwe dibahas malah repot aku," katanya lagi, suaranya rendah seperti takut didengar. Dina juga mengelak bercerita tentang hubungan terlarangnya dengan seorang sipir tampan di sini.
Diriku tertawa kecil melihat usahanya menghindar, tapi kuputuskan untuk tak mendesaknya lebih jauh. Ku tahu, di tempat seperti ini, bahkan seorang sahabat pun menyimpan rahasia untuk bertahan hidup.
Tetapi ceritaku ini bukan cerita yang mudah untuk dibagi dengan orang lain. Dan mungkin aku sendiri belum siap untuk berbagi lebih jauh.
Masih tidak yakin
Hari-hari berlalu dalam keheningan yang menggantung berat di antara kami. Bu Hera dan aku hanya mengisi waktu dengan rutinitas, bertukar pandangan dingin tanpa sepatah kata. Seolah-olah keheningan itu sendiri adalah bahasa baru yang kami gunakan—menyiksa, penuh kebencian tersembunyi, namun tak ada yang berani memecahnya.
Sebenarnya, ada begitu banyak yang ingin kukatakan padanya. Kata-kata yang tertahan di tenggorokanku, berat dan menyiksa. Mungkin hanya ingin bertanya, atau sekadar berbicara. Tapi kenapa rasanya sulit sekali? Dalam setiap detik yang berlalu, ada dorongan untuk melontarkan kalimat—mengatakan bahwa aku juga menyesal, atau mengungkapkan bahwa diriku bukanlah monster yang dibayangkan. Namun, keberanian itu selalu hilang di tengah jalan, tenggelam dalam kemarahan dan penyesalan.
Bagaimana ini bisa terjadi? pikirku, menahan diri agar tidak mendesah keras. Jemariku mengepal erat, menahan emosi yang semakin mendidih. Dia Bu Hera—dia adalah orang yang mengirimku ke sini. Dan kini, di tengah segala penderitaan ini, dia justru berada di sel yang sama, tidur hanya beberapa jengkal dariku. Apakah ini kebetulan, atau hukuman tambahan bagi kami berdua?
Setiap hari, beban masa lalu semakin berat untuk kutanggung. Dua belas tahun diriku berusaha berdamai dengan kenyataan, membangun kembali diriku dari serpihan luka yang masih berdenyut. Tapi, berada di sini, di tempat yang sama dengan orang yang bertanggung jawab atas kehancuranku, terasa seperti lelucon buruk yang kejam. Diriku dituduh, dihukum, dikurung, melakukan kejahatan yang tidak pernah kulakukan. Tapi siapa yang akan percaya padaku? Di mata mereka, aku adalah seorang pembunuh.
Beberapa kali kami bertatapan, hatiku berdebar kencang, seperti ada kebenaran yang ingin ku luapkan. Namun, kata-kata itu tetap terjebak, seolah-olah terkunci oleh tembok tak kasat mata yang kubangun sendiri. Does she know exactly who I am? Apakah dia menyadari bahwa aku bukanlah monster seperti yang beliau pikirkan selama ini?
Dipertemukan
Hingga akhirnya, sesuatu berubah. Pertukaran sel, yang rutin dilakukan mingguan untuk mengurangi ikatan antar napi, justru mempertemukan kami, diriku dan Bu Hera lebih dekat lagi. diriku terkejut mungkin juga dengan beliau. Namun aturan lapas ini tidak bisa ku lawan, mau tak mau harus ku terima. Kini diriku harus berbagi ruang sempit gelap, dengan Bu Hera, mantan hakim yang telah mengubah hidupku, ibu dari pria yang pernah kucintai dan yang juga menghantui mimpi-mimpiku.
Di malam pertama, kami masih tidak saling berbicara, hanya jika benar-benar diperlukan—hanya sapaan singkat atau peringatan saat harus berbagi fasilitas. Ketegangan yang tebal terasa di udara, seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Namun, seiring waktu, aku sadar bahwa kami tidak bisa lagi menghindari satu sama lain. Kami terjebak di sini, terpaksa berbagi momen hening yang tidak nyaman, saling menahan diri dalam kebisuan yang nyaris tak tertahankan.
Kapan ini akan berakhir? batinku. Menatap dinding sel yang dingin, aku tahu ini tidak bisa berlangsung selamanya. Salah satu dari kami harus membuka mulut, memecah keheningan yang menggantung. But who will start?
Malam yang sunyi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Ku tatap langit-langit sel yang suram, pikiranku berputar-putar dalam kesunyian. Pertanyaan-pertanyaan yang tak terucapkan terus berkecamuk di benakku, menambah berat beban di dada. When will this be over? Setiap hari berlalu dalam diam yang menyakitkan, kesunyian yang tak kunjung terpecahkan di antara aku dan Bu Hera. Dua orang yang terjebak di ruang yang sama, terikat oleh masa lalu yang kelam namun tak mampu berkata-kata.
Diriku teringat detik-detik yang terus bergulir. Waktu berlalu, mengikis harapan, tapi sekaligus mengasah ketahanan. Detik-detik berganti dengan detik. Menit silih berganti. Hari-hari berlalu, berubah menjadi bulan-bulan. ku yakin, suatu saat ini semua akan berakhir. Tapi kapan? Dan bagaimana?
Batin ini masih bergelut dengan perasaan getir. Diriku tidak bersalah—aku selalu tahu itu. Tapi melihat wajah Bu Hera setiap hari, aku diingatkan pada perasaan bersalah yang tak kasat mata, sesuatu yang mungkin hanya aku dan dia yang bisa mengerti. Seperti bom waktu yang setiap saat bisa meledak, keheningan kami semakin memekat.
Katakan saja apa adanya, just say it Sarah, you can do it pikirku. Satu bagian dari diriku ingin memulai, membuka diri, berbicara jujur tentang yang sebenarnya terjadi. Tetapi bagian lain takut. Bagaimana jika Bu Hera tidak bisa menerima kebenaran yang ingin kusampaikan? Bagaimana jika ini hanya membuat semuanya lebih buruk?
Namun, saat aku melirik ke arahnya—sosoknya yang tampak rapuh dalam gelap malam, pandangannya yang terarah ke suatu tempat yang jauh—aku melihat sesuatu yang berbeda. Aku mulai menyadari bahwa mungkin ia juga membawa luka yang sama, perasaan hancur yang serupa, dan kebenaran yang selama ini ia simpan sendiri.
"Selamat malam Bu, saya ingin semuanya ini berakhir," gumamku pelan, suara lirih yang seolah hanya untuk didengar oleh malam.
Mendengar bisikan itu, Bu Hera menoleh perlahan, matanya menatapku dengan sorot tajam yang entah bagaimana juga tampak lelah. Ada raut penasaran, tapi juga keraguan. Kami saling bertatapan, dalam keheningan yang terasa lebih dalam dari sebelumnya.
"Berakhir?" Beliau akhirnya membuka suara, seolah menanggapi pikiranku yang paling dalam. "Bagaimana caranya, Sarah? Dengan semua yang telah terjadi antara kita?"
Diriku menarik nafas panjang. "Dengan berkata sejujurnya, Bu. Mungkin, jika kita berbicara… kita bisa saling memahami. Saya juga ingin menyelesaikan ini, seutuhnya."
Beliau terdiam, pandangannya berubah lembut sejenak sebelum kembali keras. "Jujur apanya? Kau pikir itu bisa mengubah apa yang sudah terjadi?"
"Setidaknya," jawabku, menguatkan diri, "setidaknya kita tidak lagi harus hidup dengan kebisuan ini. Setidaknya kita bisa mencari arti dari semua yang kita lalui, meski kita tak pernah benar-benar mendapatkan keadilan yang kita harapkan."
Bu Hera menunduk, membisu, merenung. Dalam keheningan yang baru itu, diriku merasakan sesuatu yang berubah. Mungkin bukan rasa percaya, tapi ada sedikit pengertian, sebuah langkah kecil menuju pemahaman. Ku tahu, malam ini mungkin bukan akhir dari semua kerumitan yang menghantui kami. Tapi mungkin, untuk pertama kalinya, ada secercah harapan bahwa keheningan ini akhirnya bisa berakhir.