Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 9 - Mulai Membuka Diri

Chapter 9 - Mulai Membuka Diri

Beberapa malam berlalu dalam keheningan yang tak terpecahkan antara diriku dan Bu Hera. Namun malam itu, hanya ada kami berdua yang masih terjaga di dalam sel sempit kami, dan ku rasakan dorongan kuat untuk membuka percakapan. 

Berita di koran lusuh beberapa hari lalu masih membekas dalam benakku, dan dari bisik-bisik rekan-rekan sesama napi, gosip tentang masa lalu Bu Hera mulai menyebar. Diriku tahu ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk bertanya, untuk akhirnya mengungkapkan pemikiranku yang selama ini tertahan, dan mungkin, jika beliau bersedia, mendengar kebenaran dari sudut pandangnya sendiri.

"Assalamualaikum, Bu," ucapku pelan, berharap membuka percakapan dengan damai. "Beberapa hari lalu saya baca koran, ada cerita tentang Ibu, tentang .... alasan di balik korupsi dan manipulasi hukum yang pernah Ibu lakukan. Apa benar, Bu, kalau kehilangan Doni dan... rasa dendam pada saya itu alasan di balik semuanya?" tanyaku pelan, mencoba memahami.

"Bu, saya sudah coba jelaskan, saya tidak bersalah! Tapi kalau Ibu masih belum percaya, masih menyimpan dendam, masih sakit hati pada saya... saya rela kalau Ibu bunuh saya." Diriku mencoba menyusun keberanian yang tersisa. "Toh saya sudah jadi terpidana seumur hidup yang akan mati di pulau ini. Kalau saya mati pun, tidak ada lagi yang peduli pada saya." Diriku merasa sedikit lega telah mengatakan hal itu.

Bu Hera menatapku dalam-dalam, ekspresinya tak bisa kutebak. Untuk beberapa saat, ia tak membalas, tak membenarkan atau menyangkal apa yang kuutarakan. Hening yang terjadi terasa begitu tebal dan berat, hingga akhirnya beliau mulai bicara, suaranya pelan, hampir berbisik.

"Doni itu satu-satunya anak yang saya punya," katanya, suaranya bergetar. "Saya mencintainya sepenuh hati, seluruh harapan dan masa depan saya ada padanya. Kehilangannya... rasanya seperti hidup saya sendiri ikut terkubur waktu itu." Matanya menerawang jauh, menatap sesuatu yang hanya bisa dilihatnya dalam kenangan. "Lalu tiga tahun lalu, suami saya juga pergi. Kalah melawan kanker."

Setelah jeda panjang, Bu Hera melanjutkan, suaranya lebih lembut tapi sarat dengan kepedihan yang dalam. "Saya tahu rasanya kehilangan semuanya, Sarah. Ketika seseorang pergi, mereka membawa sebagian dari diri kita. Rasa sakit itu... terkadang berubah jadi kebencian, terutama jika kita tidak benar-benar menahan diri dan berserah."

Ada sesuatu dalam tatapannya yang berubah. Seolah untuk pertama kali diriku melihat luka yang tak pernah sembuh, luka yang menyatukan sekaligus memisahkan kami. Diriku bisa merasakan kekosongan yang beliau rasakan—kekosongan yang juga kurasakan selama bertahun-tahun di tempat ini. Bu Hera tak mengatakan lagi apa-apa, dan kami berdua larut dalam hening, masing-masing tenggelam dalam rasa kehilangan yang sama, yang meski berbeda, kini seolah saling memahami.

"Saya menghadiri pemakaman orang yang sangat saya cintai dua kali," katanya lagi dengan nada hampa. "Dan sekarang... saya benar-benar merasa sendirian. Orang-orang di sekitar saya hanya berbelasungkawa seadanya, menawarkan bantuan yang tak pernah benar-benar berarti. Mereka tak akan pernah memahami bagaimana rasanya." Bu Hera menjeda, lalu menyapu wajahnya dengan tangan, seolah ingin menghapus luka yang terus membekas.

Hening menyelimuti kami, tapi entah mengapa keheningan itu terasa berbeda, penuh pemahaman yang tumbuh sedikit demi sedikit. Kuberanikan diriku bertanya, walau tahu jawabannya mungkin tak mengubah apa-apa. "Bu, kalau saja saya bisa mengembalikan waktu..."

Bu Hera menoleh padaku, matanya tak lagi sedingin dulu. Ia mengangguk pelan, lalu berkata, "Kamukan sudah tahu, ada banyak hal dalam hidup yang tak akan pernah bisa kembali." Ia menatapku dengan raut wajah yang lebih lembut. "Tapi kalau ceritamu memang yang sebenarnya. Mungkin ini satu-satunya kesempatan kita untuk benar-benar saling memahami." "Saya akan mulai mempercayaimu, dan kalau kamu tidak bersalah, apa yang harus dimaafkan, justru saya yang akan minta maaf kepadamu."

Diriku menatap Bu Hera yang duduk di ujung ranjang. "Bu, saya tahu sulit, bahkan tidak mungkin untuk bisa mengubah apa yang Ibu pikirkan, Ibu rasakan, tentang saya selama ini. Tapi, kalau Ibu berkenan, saya ingin menceritakan sedikit…"

Beliau mengangguk, matanya tak lagi sedingin biasanya. "Silakan, saya mendengarkan."

Ku ambil nafas dalam. "Saya ini pernah bahagia, Bu, dulu, dan mungkin hidup saya berarti. Saya cukup pintar untuk bisa masuk sekolah yang bagus—dan di sanalah saya bertemu Doni Hermawan, putra kesayangan Ibu." Diriku tersenyum kecil, meski dua belas tahun berlalu, kenangan tentang pacar gantengku itu masih hangat. "Hubungan kami baik, Bu. Saya pikir, walaupun saya hanya berasal dari keluarga biasa, Doni benar-benar menerima saya. Itu masa yang membahagiakanku."

"Tapi setelah... kejadian itu, semua berakhir. Saya terkurung di pulau penjara ini dan menyadari betapa berjaraknya keluarga saya sendiri. Sudah bertahun-tahun tanpa kabar dari mereka, tanpa ada yang peduli lagi kepadaku. Saya kesepian di tengah keramaian penjara ini."

Bu Hera menatapku dengan pandangan baru. "Kehidupan kita mungkin berbeda, tapi rasa sakitnya sama," jawabnya. "Saya berjuang menghadapi kesedihan saya dengan cara yang salah. Saya menggunakan kekuasaan untuk membalas dendam, dan itu membuat saya kehilangan arah. Sekarang saya merasa terjebak dalam penyesalan yang tiada henti."

Diriku merasakan getaran emosional di antara kami, seolah-olah jalinan hidup kami yang terpisah oleh dinding penjara ini mulai menemukan titik temu. "Saya juga berusaha mengatasi kesedihan saya, Bu. Setiap malam, saya bertanya-tanya apa yang salah. Apakah saya salah memilih jalan? Apakah semua yang terjadi ini memang takdir?"

"Kadang, kita tidak bisa memahami apa yang terjadi di balik keputusan-keputusan yang diambil oleh hidup kita," kata Bu Hera dengan bijak. "Yang bisa kita lakukan adalah belajar dari pengalaman itu. Mungkin saja ada pelajaran yang bisa kita ambil dari rasa sakit ini."

"Pelajaran?" Diriku mengulang kata itu. "Tapi, Bu, bagaimana jika pelajaran itu terasa terlalu menyakitkan untuk dipahami?"

"Setiap luka akan sembuh seiring waktu, meskipun mungkin tidak akan pernah sepenuhnya hilang," jawabnya bijak. "Dan dalam proses penyembuhan itu, kita bisa menemukan kekuatan baru yang tidak kita ketahui ada di dalam diri kita."

Diriku menundukkan kepala, merenungkan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Dalam hatiku, ada rasa harapan yang mulai tumbuh, meski kecil. "Apa yang bisa kita lakukan untuk memulai proses itu, Bu?"

Kami berdua terdiam lagi, tapi kali ini dalam keheningan yang tidak lagi menyesakkan. Duduk di malam sunyi itu, di balik dinding penjara yang dingin, kami berbagi cerita yang selama ini terpendam dalam hati, membawa cahaya kecil ke dalam luka yang telah lama tersembunyi.

Ditinggal Ibu

Pada momen itu diriku teringat kembali saat-saat menydihkan kehilangan orang yang terkasih itu, selain tangisku saat mengetahui kematian Doni.

-------------

Kabar duka tiba ketika diriku baru menjalani hukuman dua tahun di pulau ini. Saat itu di siang hari, saat kami penuh dengan kesibukan kerja di kandang ayam. Tiba-tiba, seorang petugas memanggilku. "Sarah, Kamu bisa ke sudut halaman sebentar, ada panggilan penting," katanya singkat namun serius.

Diriku berjalan mengikuti petugas itu, hatiku sudah penuh firasat. Sampai di sudut halaman yang sepi, dia menyerahkan sebuah telepon, tanganku bergetar saat meraihnya. Dia berdiri tak jauh dariku, mengawasi dalam diam sebagai bagian dari program kemanusiaan penjara, yang memberi kesempatan napi untuk tetap terhubung dengan keluarga dalam situasi darurat.

Jantungku berdetak kencang, pikiran sudah dipenuhi bayangan buruk. "Halo, Assalamualaikum?" sapaku dengan suara bergetar.

Di ujung telepon sana, suara keluargaku, adikku yang berat menjawab. "Mbak, Inalilahi wa inalilahi rojiun," jantungku berdegup kencang. "Kami... ingin mengabarkan, Ibu meninggal mbak, tadi malam. serangan jantung, sekarang kami sedang mempersiapkan pemakaman." Mendengar kabar itu, tubuhku rasanya lemas. Walaupun sudah terkurung bertahun-tahun, rasa sakit kehilangan seseorang yang kucintai tetap tajam, seakan tidak berkurang sedikit pun.

Ku tarik nafas panjang, "inalillahi wainailaihi rojiun" kucoba tetap tenang, namun air mata mengalir tanpa kusadari. "Terima kasih… sudah memberi tahu ku," kataku dengan suara tercekik. "Ku tahu… ku gak bisa ada di sana, tapi ku masih bersyukur bisa dengar kabar ini langsung dari kalian."

"Kami sudah berkoordinasi dengan pihak penjara," lanjut suara adikku dari seberang, "Mbak nanti kamu akan diizinkan untuk berpamitan lewat panggilan video."

Diriku hanya bisa mengangguk walaupun mereka tak bisa melihatku, mata sudah dipenuhi air mata yang coba kutahan. Rasanya, kehangatan hidup yang begitu kurindukan kini semakin jauh lagi.

Petugas di sebelahku tetap menjaga jarak, namun ku tahu dia mendengar semuanya. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun, tetapi sorot matanya tampak penuh pengertian. Kehadirannya mengingatkanku bahwa di balik aturan penjara yang ketat ini, masih ada sepotong kecil kemanusiaan yang diperbolehkan—sekilas kehidupan di luar sana, kehidupan yang terus berjalan tanpa diriku.

Sebelum menutup telepon, aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan kata-kata terakhir. "Sampaikan salam pada Ayah… diriku sayang padanya, ku rindu dirinya dan aku... aku minta maaf untuk semua ini," ucapku sambil mencoba menahan isak.

Saat telepon berakhir, aku menggenggamnya erat sejenak sebelum menyerahkannya kembali kepada petugas. "Terima kasih…" ucapku lirih pada petugas, yang hanya mengangguk dengan pandangan penuh empati.

Hanya melalui panggilan video diriku melihat wajah Ibu untuk terakhir kalinya.

Ketika telepon terputus, ku hanya bisa merasakan kekosongan yang mendalam, keheningan yang membeku di tengah ruangan yang penuh dengan kebisingan kecil di penjara ini. Dalam keheningan itu, aku mengingat wajah ibu, suaranya, hangat pelukannya yang entah kapan terakhir kali kurasakan. Semua kenangan itu menyeruak di benakku, membawa perih yang tak terkira. Aku terisak pelan, air mataku mengalir tanpa bisa kutahan lagi.

Tak lama, seorang petugas perempuan yang mengenaliku menghampiri. Dari raut wajahnya, terlihat bahwa ia sudah mendengar kabar tersebut.

"Sarah, kamu nggak apa-apa?" tanyanya lembut, suaranya dipenuhi empati. "Aku dengar kabar tentang ibumu. Aku... turut berduka cita, ya."

Diriku mengangguk lemah, merasa terlalu hancur untuk berkata-kata. Tapi akhirnya, dengan suara yang bergetar, aku berkata, "Terima kasih. Aku… Aku tahu ini pasti akan terjadi, tapi tidak pernah terpikir aku harus menghadapinya di sini. Rasanya… aku ingin pulang, meskipun tahu itu mustahil."

Petugas itu duduk di sebelahku, mencoba memberiku ketenangan dalam kesunyian yang kami bagi. "Aku nggak bisa membayangkan seberapa berat ini buat kamu. Tapi mungkin kamu bisa menemukan cara untuk merayakan hidup ibumu, di sini… dalam batas yang ada." Ia terdiam sejenak, memandangku dengan mata yang lembut. "Kadang, kenangan akan orang yang kita cintai itu tidak ada di mana pun kecuali di hati kita, Sarah."

Diriku mengangguk, kata-katanya benar-benar menyentuh sesuatu yang dalam di hatiku. "Dulu, saat aku masih kecil, Ibu sering memelukku sampai aku tertidur di pangkuannya. Rasanya aman… nyaman… seperti tidak ada yang bisa menyakitiku. Sekarang, aku di sini, dan ibu… ibu sudah tidak ada lagi."

Petugas itu memperhatikan dengan serius, matanya penuh pemahaman. "Rasa kehilangan memang tidak mudah, apalagi kalau kita tidak bisa ada di sana di saat terakhir. Tapi mungkin… kamu bisa tetap kirimkan doa dan rasa sayangmu untuknya. Ibumu pasti tahu, Sarah. Semua orang tua tahu betapa anaknya mencintai mereka, meski mungkin tidak sempat kita katakan atau tunjukkan."

Kata-katanya menenangkan, seperti selimut yang menutupi luka terbuka. Aku merasa sedikit lebih kuat, meskipun rasa sakit itu masih menyala.

"Ku cuma berharap… ku bisa meminta maaf ke Ibu secara langsung," gumamku. "Selama ini, aku merasa mengecewakan dia. Segala yang kuperbuat, kesalahan yang kuperbuat… entah apa ibu masih bisa memaafkanku."

Petugas itu tersenyum kecil, menepuk pundakku dengan lembut. "Sarah, seorang ibu selalu tahu betapa kerasnya perjuangan anaknya. Percayalah, di sana… ibumu sudah memaafkanmu sejak lama. Kadang, kita hanya perlu memaafkan diri kita sendiri."

Air mata yang tadinya hanya mengalir pelan kini tak bisa lagi kutahan. Seperti udara kasih yang engkau berikan, tak mampu kubalas, Ibu. Maafkan diriku yang telah mengecewakanmu. Di dalam hati, kutangisi kehilangan ini dengan sepenuh hati, dengan doa yang kutitipkan ke dalam langit yang entah kapan bisa kumaknai kembali.

Petugas itu tetap di sampingku, membiarkan aku meluapkan semua kesedihan yang tertahan selama bertahun-tahun. Mungkin aku tidak bisa ada di sana saat ibu pergi, tapi di sini, di penjara yang penuh duka dan kebisuan, aku tahu aku tidak sendirian.

---------

Ku coba menggenggam momen itu—sekilas kenangan yang bisa kugenggam sebelum kembali ditelan tembok penjara ini. Setiap detik terasa berharga, seperti butiran pasir yang perlahan mengalir di sela-sela jemariku. Kenangan masa lalu yang indah, saat hidup masih penuh dengan harapan dan cinta, kini seolah hanyalah bayangan samar di tengah kegelapan hidupku sekarang.

Sejak kematian Ibu, keluargaku tidak pernah lagi menghubungi untuk berbagi kabar. Tiap minggu berharap ada secuil kabar yang bisa membuatku merasa memiliki seseorang yang masih peduli, yang masih terikat padaku. Namun, kenyataannya, ayahku dan adikku mungkin telah melupakanku, meninggalkanku sendiri di penjara ini.

"Kenapa mereka tak pernah mengirim kabar lagi?" Aku bertanya-tanya dalam kesendirian, mencoba mencari jawaban di antara bayang-bayang masa lalu.

Bayangan wajah ibu terlintas dalam ingatanku. Ia selalu hadir dengan senyum lembutnya, menyebarkan cinta dan kasih sayang ke sekelilingnya. "Ibu, apa yang harus kulakukan sekarang? Apakah aku harus terus berharap mereka akan mengingatku suatu hari nanti?" pikirku dalam hati, berharap ada jawaban meski hanya dalam bayangan.

"Mungkin mereka memang sudah melupakanku, atau mungkin terlalu sakit untuk mereka mengingat bahwa aku ada di sini." Pikiranku terus berputar, memikirkan berbagai kemungkinan yang hanya semakin menambah rasa pilu.

Di tengah keheningan sel, aku mendengar suara detak jam yang seolah mengejekku. "Waktu terus berlalu, dan aku masih di sini, terkurung dalam penjara dan kenangan yang menghantui." Suara nafas para napi yang lelah terdengar samar, seiring dengan langkah-langkah penjaga yang semakin menjauh.

"Am I really alone? Doesn't anyone still care about me?" Rasa kesepian ini seperti jurang yang semakin dalam, menelanku perlahan. Kegelapan malam semakin pekat, seakan menyatu dengan kesedihan yang kurasakan.

"Apakah ada harapan untuk masa depan yang lebih baik? Ataukah aku hanya akan terus terjebak dalam siklus ini, tanpa ada jalan keluar?" ku rasakan air mata menggenang di sudut mataku, namun aku menahannya, mencoba tetap kuat meski hati ini rapuh.

"Adikku, ayahku, di mana kalian sekarang? Apakah kalian bahagia?" pertanyaan itu terus menghantui pikiranku. Aku mencoba membayangkan wajah mereka, senyum mereka, namun yang ada hanya kekosongan.

"Mungkin, suatu hari nanti, mereka akan mengingatku. Mungkin, mereka akan mengirim kabar, dan memberiku harapan baru." Aku berusaha menenangkan diri dengan harapan kecil yang mungkin hanya ilusi, namun itu cukup untuk memberiku alasan untuk bertahan satu hari lagi.