Keakraban
Di pulau penjara perempuan ini, senja perlahan menyelimuti blok hunian. Seorang petugas berjalan menutup gerbang blok hunian di ujung lorong yang sempit. Para narapidana baru saja kembali dari kerja keras mereka. Letih sudah menjadi teman akrab; setiap otot di tubuh kami nyeri, kaki kami bengkak karena berdiri dan berjuang di bawah panas matahari yang membakar tanpa ampun. Tubuh kami menuntut istirahat.
Namun, sebelum kami bisa benar-benar beristirahat, ada satu hal yang sedikit mengobati kelelahan mereka—makan malam. Meski hidangan itu sederhana dan hanya cukup untuk mengganjal perut, tak seorang pun keberatan. Kami mengambil nampan rajutan rotan beralaskan daun pisang dengan pandangan yang sedikit berharap, berkomentar di sela-sela porsi kecil nasi dan sayuran yang kami terima.
"Alhamdulillah, lauk kerang rebus, btw kapan terakhir kali ada daging di sini ya? sudah lama sejak lebaran kurban" gumam salah satu dari mereka dengan nada penuh sindiran, menatap lekat semangkuk sayur yang dan ikan asin yang terlihat kering.
"Daging ojok guyon kon, lek awak dewe mangan daging ben minggu, terus sing mbajak sawah sopo?" jawab teman di sebelahnya, tersenyum kecil. "Tapi, lu kelewatan kali, pernah ada menu daging rendang lezat bulan kemarin," "iyo waktu itu, onok sing nangkap ulo piton kan !"
Semua tertawa pelan, lelah namun senang bisa sedikit bercanda, meskipun hanya soal makanan yang jauh dari menggugah selera. Suara mereka merendah ketika seorang petugas menghampiri mereka, memberikan isyarat untuk tenang.
Usai makan, mereka berkumpul dalam kelompok kecil di sudut lorong untuk sesi sharing harian. Malam itu, obrolan singkat namun akrab mengalir; mereka bercerita tentang tugas hari ini atau menggumamkan sepatah dua kata tentang dunia luar yang terasa makin jauh dan asing. Petugas itu—yang ternyata teman masa kecil, teman sekolah, tetangga salah satu narapidana—berjalan ke arah mereka, menyilangkan tangan di dada, dan tersenyum sedikit. Hubungan antara mereka kini berlapis oleh formalitas dan aturan, namun sesekali kehangatan masa lalu masih menyusup di sela-sela candaan.
"Hei, San, masih betah kan?" petugas itu menggoda sambil melirik sahabat dari kecilnya yang kini seorang narapidana.
"Wah, betul-betul perhatian kawanku petugas keren ini," balas Si narapidana itu sambil tertawa kecil.
Petugas yang berdiri di dekat selnya mendengar sepenggal kalimat yang dilontarkan si narapidana. Dengan tersenyum tipis, petugas itu mendekat, mencoba memahami pemikiran yang tersirat dalam nada bercanda namun tajam dari si narapidana.
"Ah, jadi kamu mau jadi petugas, ya?" Petugas itu bersandar di pagar sel, melipat tangan sambil memandang narapidana di depannya. "Kamu pikir enak? Tinggal tunjuk sini, tunjuk sana, semua langsung beres?"
Si narapidana tertawa kecil, sinis. "Bukannya begitu? Punya kuasa, tinggal ngomong, napi-napi pasti pada nurut, kan? Jadi petugas, nggak perlu takut sama napi. Nggak kayak aku yang tiap hari cuma bisa ngikut aturan, jadi alas kaki kalian."
Petugas itu mengangguk perlahan, memahami. "Kelihatannya memang begitu, ya. Tapi kamu nggak lihat sisi lain dari pekerjaan ini. Iya, kami punya kuasa, tapi kuasa itu juga ada tanggung jawabnya. Dan percaya atau tidak, kami juga punya banyak aturan yang harus dipatuhi."
Si narapidana mendengus, merasa tak sepenuhnya percaya. "Aturan? Ya ampun, aturan buat petugas mah beda, aturannya kamu yang buat sendiri, jadi enak aja kalau dilanggar. Nggak ada yang bakal tahan kamu di sel kayak gini kalau melanggar."
Petugas itu tersenyum, kali ini lebih serius. "Mungkin kamu nggak tahu, tapi tiap petugas di sini sebenarnya juga 'terpenjara.' Kamu lihat kami tiap hari di sini, kan? Bukannya kami nggak pengen hidup bebas, punya waktu sama keluarga, kayak orang biasa. Tapi kerja di sini, jauh dari kota, dekat sama napi-napi yang kadang nggak suka sama kami, bukan hal yang gampang kawan."
Si narapidana menatap petugas itu, tak menyangka ia akan mendengar cerita seperti itu. "Hidup di penjara… tapi di luar sel, di asrama yang nyaman banar" gumamnya, memikirkan ucapan petugas itu.
Petugas mengangguk. "Benar. Kadang, kami di sini sebulan penuh, nggak pulang, nggak ketemu siapa-siapa kecuali kalian. Kalau ada masalah, kami yang harus menyelesaikannya. Kalau ada yang melawan aturan, kami harus bertindak tegas. Dan tiap hari kami harus siaga, mengawasi, memastikan semua aman."
Si narapidana menatap lantai, tampak termenung. "Jadi… mungkin nggak juga ya, seindah yang kupikir kalau jadi petugas?"
Petugas tersenyum tipis. "Nggak seindah yang kamu bayangkan. Punya kuasa itu tanggung jawab. Kadang, malah lebih banyak yang menuntut kita daripada yang kita peroleh. Kuasa bukan buat menikmati, tapi buat menjaga kalian. Dan itu nggak selalu mudah."
Si narapidana terdiam, lalu mengangguk pelan, seolah mulai memahami sesuatu yang baru. "Jadi… semua petugas di sini, ya terkurung juga, cuma cara kurungannya beda lebih nyaman."
Petugas tersenyum, kali ini dengan kelembutan yang jujur. "Bisa dibilang begitu."
"Tapi bukankah petugas yang baik itu justru memberi kita banyak waktu istirahat, bukan kerja paksa di sawah?" celetuk Si narapidana.
"Ya udah kalo gitu, besok dirimu kerja di kandang sapi aja." Petugas itu tertawa, nada narsistik terjalin di candaannya. "Mungkin perlu kerjaan lain biar ga bosen. Siapa tahu nanti aku bisa kasih 'bonus' beberapa jam untuk latihan fisik produksi pupuk organik buat kebun kita."
"Ga papa juga, klo dirimu ikut menemaniku. Kau ini bisanya nyuruh aja, ga pernah bantuin."
Sahabatnya hanya mendengus, memutar mata seolah-olah jengkel, tapi terselip senyum kecil di sudut bibirnya. "Percaya deh, aku tidak akan meninggalkanmu di sini."
"Wah memang bener-bener sahabat yang setia." sahut petugas itu. "Tapi maaf-maaf klo aku yang tidak bisa jadi sahabat setia bagimu, nanti klo aku sudah pensiun akan ku tinggal kau sendiri di sini."
"Wah jahat banget, klo kamu pergi jangan lupa ajak-ajak sahabatmu ini, biar kita bisa jalan bareng." balas sang napi.
"tapi mungkin bisa aja, paling sekitar dua puluh tahun lagi. Klo aku udah jadi kepala penjara di sini, akan ku bantu urus permohonan grasi mu."
"Persahabatan bukan tentang siapa yang datang lebih dulu atau tinggal lebih lama, tapi tentang siapa yang datang dan tidak pernah pergi."
Sahabatnya, narapidana itu, hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. "Kau betul-betul tahu caranya memotivasi orang, ya," katanya, terkekeh lelah. "Oh iya kalau pulang ke kota besok, titip salam sama ibuku ya!"
"Iya nanti ku sampaikan salammu. Mau titip oleh-oleh apa? Heroin sekilo?" balas petugas sambil mengedipkan sebelah mata. Candaan itu mengingatkan napi sahabatnya akan aksi nekat penyelundupan narkoba internasional yang membuatnya terpenjara selamanya di pulau ini.
Percakapan mereka seolah melintasi sekat waktu, kembali ke masa ketika mereka masih setara. Kini, tembok-tembok tebal itu menjadi saksi hubungan yang tak lagi sama namun tetap terasa akrab. Mereka tertawa getir bersama, terjebak dalam ironi yang tak terhindarkan.
"Kita semua berada di keluarga penjara sekarang," pikirnya, merasakan kehangatan aneh dan sedih dalam hati. "Inilah rumah kita sekarang, tempat di mana kita semua akan menua bersama."
Mungkin bukan impian yang pernah ia bayangkan, namun nyatanya inilah satu-satunya kenyataan yang ia miliki. Ia membayangkan kehidupannya di luar, suara-suara yang samar namun terus menggema seperti panggilan yang mustahil ia abaikan. Jika suatu hari kebebasan bersyarat itu datang, apa yang akan ia temui?
Di benaknya, ia melangkah perlahan keluar dari gerbang, sosok yang jauh lebih tua, tubuh renta yang tak lagi sekuat dulu. Dunia di luar sudah tak lagi sama, berputar begitu cepat seperti pusaran yang membuatnya goyah. Ia bertanya-tanya, apakah ia akan mampu menyesuaikan diri? Apakah ia akan diterima? Apakah ia punya tempat lagi di dunia yang sudah lama meninggalkannya?
Getir ia tersenyum. "Sekarang siapa yang bisa ku hubungi?" pikirnya, sadar bahwa meski kebebasan itu datang, ia akan tetap menjadi orang asing di antara gedung-gedung tinggi dan teknologi yang asing di kota. Dunia telah maju jauh tanpa menunggunya, sementara dirinya hanyalah bayang-bayang masa lalu yang tak tentu nasibnya di masa depan.
Percakapan mereka, yang awalnya sekadar gurauan, menarik perhatian beberapa narapidana lain yang ikut tertawa getir mendengar canda dan keluhan mereka. Di balik status yang jelas berbeda, ada kemitraan aneh dan penuh humor yang terjalin—suatu hubungan ganjil yang, entah bagaimana, menghadirkan sedikit kehangatan di tengah rutinitas hari-hari yang keras.
Setelah sesi singkat, mereka kembali ke sel masing-masing, wajah-wajah lelah mereka diterangi oleh cahaya remang yang masuk dari jendela berjeruji. Di sana, di balik tawa kecil dan candaan ringan, tersimpan sebuah pertemanan yang dulu penuh kebebasan, kini berubah namun masih menyisakan secuil kenangan masa lalu.
Keberanian menyampaikan Kebenaran
Malam berikutnya, setelah cahaya lampu minyak mulai redup dan kawan napi telah tertidur lelap, ku merasa semua beban emosional ini harus dikeluarkan. Diriku gelisah tak bisa tidur, duduk di ranjang susun tua, Apa yang bisa ku katakan? kata hatiku. Haruskah aku mulai menceritakan kisah itu versiku?
Dengan suara yang hampir tak terdengar, akhirnya ku beranikan memecahkan keheningan. "Permisi Assalamualaikum Bu, saya perlu memberitahumu sesuatu," ucapku pelan, mengalihkan pandanganku ke arah lantai. Beliau terbangun, matanya membelalak kaget. "Waalaikumsalam, Apa yang kau inginkan?" Suaranya datar, penuh ketidakpedulian.
Bu Hera mengangkat kepala, menatapku, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menunggu, seolah ingin mendengar apa yang akan kuungkapkan.
"Bu, diriku mencintai putramu, Doni, saya tidak mungkin membunuhnya" kataku, dan aku bisa merasakan betapa beratnya kata-kata itu. "Atau, setidaknya, tolong ibu pikir kembali apa alasan yang bisa membuatku melakukannya." ku gigit bibirku, berusaha menahan air mata. "Kami pergi ke pegunungan, hanya untuk menghabiskan waktu bersama, teman-teman kami juga ikut saat itu. Tapi semuanya berjalan salah."
Haruskah ku lanjutkan? ku bertanya pada diriku sendiri, tetapi rasa sakit itu harus dikeluarkan. "ditengah hujan deras, Kami bertengkar... karena sesuatu yang bodoh. Ku tak ingat lagi apa yang terjadi. Diriku sangat marah sehingga ku pergi meninggalkannya. Ku berpikir akan kembali setelah tenang. Tapi saat diriku kembali, dia sudah tidak ada."
Suasana menjadi semakin berat. Bu Hera tidak mengucapkan sepatah kata pun, tetapi aku bisa merasakan ketegangan di antara kami.
"Diriku tidak tahu... itu adalah terakhir kalinya ku melihatnya hidup. ku tak membunuhnya. Diriku bersumpah Demi Allah, ku tak melakukannya. Ku hanya pergi meninggalkanya sendirian, dan ku tak tahu apa yang terjadi setelah itu."
Suaraku hampir tidak terdengar saat aku melanjutkan. "Satu minggu kemudian, diantara berita koran tentang banjir besar yang melanda ibukota, kubaca berita yang mengagetkanku, seorang petani lokal menemukannya... tubuhnya. mayat Doni.. di dasar lembah. Dia pasti jatuh. Batu-batu di sana tajam dan keras. Satu langkah salah dan..." Suaraku terputus, dan aku menutup wajahku dengan tangan, menangis pelan.
Kenapa diriku merasa begitu hancur? Dengan berat ku berujar. "Diriku berada diwaktu dan tempat yang salah saat itu, Why Why all of this happening to me?"
Beberapa saat kemudian, Bu Hera akhirnya berbicara. "Saya sudah membenci kamu selama dua belas tahun ini," suaranya rendah, tetapi ada kepedihan di dalamnya. "Tentu Saya menyalahkanmu atas semuanya—atas kematian putraku, atas hancurnya hidupku. Saya pastikan kamu membayar atas apa yang kamu lakukan."
Hatiku bergetar mendengar kata-katanya. "I know. Saya memahami perasaan, kehilangan Ibu, dan saya pun telah berjuang selama ini untuk memahami mengapa. Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa saya tidak bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya?" Balasku.
Untuk sesaat yang lama, Bu Hera, mantan hakim itu, tidak berkata apa-apa. Tangisanku mulai terisak di kegelapan sel, mengisi ruang di antara kami. Napi lain telah tertidur lelap, suara dengkuran mereka dan suara jangkrik menjadi latar belakang kesedihanku.
Diriku mengusap air mata yang menetes tanpa kusadari, wajahku pasti sudah pucat dan lelah, tapi aku memaksa diriku untuk terus berbicara. Ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menyuarakan kebenaran yang terkubur selama bertahun-tahun. "Polisi menangkapku saat ku bersiap berangkat kuliah," kataku, suaraku bergetar namun tegas. "Mereka datang ke rumahku dengan surat perintah di tangan, seolah-olah diriku telah merencanakan semuanya dari awal." ku berhenti sejenak "Dari situ, semuanya berubah. Teman-temannya—teman-teman kami—mulai menyalahkanku. Mereka bilang diriku pasti mendorongnya setelah kami bertengkar."
Kuhela nafas panjang, berusaha menenangkan detak jantung yang masih tak teratur. "Mereka memberi tahu polisi tentang pertengkaran kami hari itu. Dan tiba-tiba saja, ku bukan lagi pacar yang berduka... diriku menjadi tersangka, menjadi seorang pembunuh di mata mereka. dimata anda, Semua yang kukatakan diabaikan; pendapatku dianggap pembelaan kosong." ku berhenti sejenak, membayangkan tatapan tajam, tudingan, dan rasa tidak percaya dari semua orang yang dulu kuanggap teman.
"Polisi memeriksa HP-ku," lanjutku, mengusap pipi yang dingin, "Memang di sana ada perdebatan kami. Tapi itu cuma obrolan biasa, seperti pertengkaran yang sering terjadi di antara kami. Kami memang sering berdebat—tentang hal-hal sepele, tentang mimpi dan rencana masa depan yang tak selalu sejalan. Namun, pada akhirnya, kami selalu baikan lagi. Mereka tidak mau tahu itu. Bagian yang mereka ambil hanya potongan kecil dari kenyataan, menjadikanku sebagai dalang segalanya."
Diriku kembali menghela nafas dalam-dalam, saat mengingat mimpi buruk persidangan. "Di pengadilan, mereka bilang diriku telah mendorongnya dalam amarah, bahwa ku telah merencanakan untuk membunuhnya karena pertengkaran kami sebelumnya. Jaksa Penuntut Umum menuduhku dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain", sebagaimana Pasal 340 KUHP sebagai dakwaan Kesatu Primair. Dan persidangannya berlangsung begitu cepat. Seolah tidak ada yang peduli dengan apa yang sebenarnya terjadi."
Mataku bertemu dengan mata Bu Hera, memohon pengertian. "Tidak ada bukti langsung saat itu, tapi juga tidak ada pembelaan. Mereka tidak mendengarkanku. Diriku terus memberitahu mereka bahwa saya tidak mendorongnya,"
"Satu-satunya kesalahan ku hanya berada disana di waktu yang tidak tepat." lanjutku.
"Itu adalah sebuah kecelakaan—atau setidaknya, ku pikir begitu. Tapi tidak ada yang mempercayai ku." Tanganku bergetar saat menghapus sisa air mata.
"Hakim membacakan putusan vonis ku,"
M E N G A D I L I :
1. Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Melakukan Pembunuhan berencana", sebagaimana dalam Dakwaan Kesatu Primair.
Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Sarah Ratnawati binti H. Suryo Subranto, oleh karena itu dengan pidana penjara SEUMUR HIDUP."
"Diriku masih berusia 18 tahun ketika mereka memasukkanku ke penjara, diriku menjadi napi termuda saat itu."
"Setahun lamanya, ku coba mengajukan banding dan kasasi, berpikir mungkin seseorang, siapa pun, akan mendengarkan. Tetapi hal yang sama terjadi lagi. Tidak ada yang mempercayai aku. Semua orang melihatku sebagai gadis yang sengaja mendorong pacarnya hingga mati."
"sudah cukup kau ceritakan kisahmu sedihmu itu, negara telah menghukummu, keadilan telah ditegakkan" sela Bu Hera. "Mau apa ku sekarang, kita berdua ada disini, di penjara ini"
Saat Bu Hera memotong ceritaku, ku terdiam, tertunduk, membiarkan pikiranku merenungi kegetiran yang selama ini kugenggam erat. Di usiaku yang baru saja dewasa, hidupku telah terenggut oleh vonis yang, bagi dunia luar, terlihat sebagai keadilan yang ditegakkan. Namun di sini, di balik jeruji, kata "keadilan" terasa asing, seolah hanya menjadi kata tanpa makna yang sebenar-benarnya.
Bagiku, hukuman seumur hidup ini terasa seperti kematian yang dijalani perlahan. Bukan hanya tubuhku yang terkurung, tetapi juga mimpiku, harapanku, dan keyakinanku akan hidup bebas. Aku tahu, di mata hukum, aku sudah divonis bersalah; aku tidak diberi kesempatan untuk berbicara atau membela diri lagi. Hukum negara mengatakan aku pantas untuk dihukum, tapi dalam hatiku masih tersisa sisa kecil harapan—meskipun samar—bahwa kebenaran suatu saat akan muncul.
Diriku terdiam, memikirkan semua ketidakadilan yang telah kuterima. Menurut hukum negara, vonis seumur hidup berarti aku tidak akan mendapatkan kesempatan untuk bebas, terpenjara sampai mati di sini, kecuali ada perubahan hukum, grasi dari Presiden untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Itu pun diriku harus mengakui kematian Doni sebagai kesalahanku. Selain itu grasi sangat sulit didapatkan, banyak yang terpaksa menunggu lebih dari 20 tahun untuk mendapatkannya.
Bu Hera menatapku dengan pandangan tajam, matanya menyimpan kelelahan yang kukenali di wajah-wajah para penghuni lama penjara ini.
"Nak, sudah berapa lama kau akan bertahan dengan harapan yang menggantung itu?" ucapnya datar, namun dengan nada yang entah mengapa membuat jantungku terhenyak. "Saya tahu, kau masih merasa tidak bersalah. Tapi harapan yang tak pernah kau lepaskan itu bisa berubah jadi rantai di sini. Terus-menerus menunggu keadilan dari dunia yang telah menghukummu, bisa menghancurkanmu dari dalam."
Ku berupaya membuka mulut untuk membalas, tapi Bu Hera mengangkat tangannya, menyuruhku diam.
"Dengar, Sarah. Kehidupan di sini keras. Rasa sakit, penyesalan, dan harapan yang terpendam—semua itu bisa membunuh perlahan-lahan kalau kau biarkan. Jadi, kalau kau ingin bertahan di sini, kau harus belajar menerima, meski itu pahit. Kau bisa menunggu keajaiban, tapi jangan biarkan penantian itu menjadi penjara baru bagimu. Belajarlah hidup di tengah kenyataan ini. Itu satu-satunya cara agar kau tetap waras."
Kata-katanya menggantung di udara, merasuk perlahan ke dalam diriku. Di matanya, kulihat bahwa ia juga mungkin pernah memiliki harapan yang sama, keinginan untuk dibebaskan, untuk dibuktikan benar. Namun, entah berapa lama waktu yang telah memaksanya menerima kenyataan tanpa harapan yang muluk-muluk.
Ku menarik nafas panjang, mengingat setiap kata yang diucapkannya. Mungkin benar, di tempat seperti ini, penantian tanpa akhir bisa menjadi lebih kejam daripada jeruji yang mengurungku.
Keheningan kembali menyelimuti kami. Kami terjebak dalam kesedihan masing-masing, dinding sel terasa semakin menekan. Namun, saat itu, ku rasakan ada sebuah benang tipis antara kami—benang pengertian yang mungkin bisa menjembatani semua luka ini.
Apa yang akan terjadi selanjutnya? pikirku, menatap ke arah Bu Hera. Kami berdua belum tahu. Tapi untuk pertama kalinya, kami telah berbagi kisah kami, dan itu mungkin merupakan awal dari sesuatu yang tidak pernah kami harapkan.
Suaraku merendah menjadi bisikan. "Saya sudah menerima nasib sejak lama Bu, saat akhirnya diriku dipindahkan ke sini, ke pulau penjara wanita ini, dan saat itulah ku mulai menerima nasibku, menerima mungkin ini takdirku. Tidak ada masa depan lagi bagiku." ku hela nafas sejenak, merasakan beban yang telah kutanggung selama bertahun-tahun. "Setelah dua belas tahun di sini, aku berhenti berharap akan apa pun. Aku telah berdamai dengan semua ini."
Tapi apakah aku benar-benar berdamai? pikirku, menggigit bibirku seolah mempertimbangkan apakah akan mengungkapkan apa yang ada dalam pikiranku. Kemudian, dengan sigh pelan, aku melanjutkan, kata-kataku dipenuhi campuran penyerahan dan pembangkangan. "Dan untuk apa pun itu, kedatangan ibu di sini membuka luka lama." tambahku, hampir sebagai pemikiran yang terlupakan, "ku masih gadis yang belum menikah. Aku berusaha untuk tetap lurus di kehidupan penjara, meskipun... yah, kau bisa membayangkan betapa sulitnya di tempat seperti ini."
Ekspresi Bu Hera, mantan hakim itu, sedikit terkejut, namun tetap dingin. Namun, ada sesuatu yang berkedip di balik matanya—keraguan, mungkin, atau mungkin sesuatu yang lebih dalam. Dia telah menghabiskan bertahun-tahun percaya bahwa akulah yang bertanggung jawab atas kematian putranya, bahwa aku telah mengambil anaknya yang satu-satunya. Tetapi sekarang, mendengar cerita ini, ada sesuatu dalam insting hukumnya yang terbangun. Suaraku itu tidak membawa nada seorang pendusta. Aku tidak menghindar atau mengalihkan; aku membuka jiwaku.
Apakah diriku melakukan hal yang benar? pertanyaanku terus menggelitik pikiranku, saat rahang hakim itu terkatup rapat. Dia bergumul dengan emosinya sendiri, berusaha memahami bagaimana mungkin seorang gadis yang dulu dianggap sebagai monster kini terlihat begitu rentan.
"Apa kau benar-benar mengharapkan saya untuk mempercayai itu? Setelah semua waktu ini?" akhirnya Bu Hera berkata, suaranya rendah dan penuh kekasaran. "Kau tahu, Sarah, hentikan kebohonganmu,"
"Saya seorang hakim, sudah sering kutemui kepalsuan seperti itu. Saya tahu kebohongan yang disampaikan berulang-ulang seolah-olah akan menjadi kebenaran bagimu."
Bu Hera menatap ku dengan tatapan dingin, sementara diriku mencoba menahan air matanya.
Efek kebenaran ilusi atau illusory truth effect ini merupakan fenomena di mana kebohongan yang diungkapkan terus menerus atau disebarluaskan kepada seseorang, bisa membuat orang tersebut yakin oleh kebenaran tersebut. Hal ini pertama kali diteliti pada tahun 1977 di Temple University oleh Dr. Lynn Hasher dan koleganya.
Namun, meski Bu Hera sudah mengetahui segala teori dan fakta itu, Sarah tetap menatapnya dengan penuh keyakinan.
"Bu," Diriku mulai berbicara lagi dengan suara yang hampir berbisik, "saya tidak mengharapkan apa pun dari Ibu. Saya hanya ingin Ibu tahu kebenarannya."
Di dalam sel sempit yang penuh tekanan itu, diriku mengambil napas dalam-dalam, menguatkan dirinya untuk melanjutkan.
"Saya bukan monster yang mereka sebut-sebut. Saya hanya seorang gadis yang ingin hidup normal, yang ingin melupakan masa lalunya. Tapi bagaimana saya bisa melupakan jika semua orang terus mengingatkan saya tentang kebohongan-kebohongan itu?"
Bu Hera merasakan getaran dalam suara Sarah dan sedikit keraguan mulai merayap ke dalam pikirannya. Mungkin ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebohongan yang berulang. Mungkin, hanya mungkin, gadis di depannya ini memang mengatakan yang sebenarnya.
Dalam keheningan yang tegang itu, Bu Hera merasakan hatinya melunak, sedikit demi sedikit. Mungkin sudah saatnya bagi mereka semua untuk berhenti melihat Sarah sebagai monster dan mulai melihatnya sebagai manusia.
Keheningan jatuh di antara kami lagi, menambah berat suasana. Mantan hakim itu terombang-ambing. Beliau telah membangun hidupnya di atas fakta, bukti, dan keyakinan bahwa keadilan telah ditegakkan. Tapi sekarang, duduk di seberangku—gadis yang seharusnya telah mengambil segalanya darinya— Bu Hera tidak begitu yakin lagi.
"Entahlah, dua belas tahun sudah berlalu," ujarnya, suaranya meredup, tapi ada getaran ketidakpastian. "Aku tahu. kau juga telah menghabiskan dua belas tahun di penjara ini. apakah itu cukup ? apakah waktu itu cukup untuk bisa melupakan kenangan akan Doni putraku, Aku masih menyalahkanmu untuk segalanya—untuk mengambil putraku, untuk menghancurkan hidupku.. tapi Entahlah sampai kapan semua derita ini akan pudar," Hatiku bergetar mendengar kata-katanya.
Apakah aku bisa menjelaskan? pikirku, saat Bu Hera menutup matanya, pikirannya ber flashback ke hari menyedihkan saat tubuh putranya ditemukan. Ia sangat terpukul. Para penyelidik menunjukku, Sarah, sebagai orang terakhir yang melihatnya hidup.
Tetapi sekarang, duduk di sini bersamaku, kuharap suatu hari nanti instingnya mengakui: diriku sedang berkata jujur.
Secercah harapan
"Saya tidak tahu apakah suatu saat nanti saya bisa pernah memaafkanmu," kata Bu Hera, suaranya hampir tak terdengar, "tetapi kini saya mulai sedikit percaya kau jujur, kau mungkin tidak membunuhnya."
Sebuah harapan baru? pikirku. Kami duduk dalam keheningan berat kesedihan yang kami bagi, dinding penjara seakan menekan lebih dekat di sekitar kami. Kami terhubung oleh tragedi, oleh kehilangan, dan sekarang, mungkin, oleh benang rapuh pemahaman.
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Aku bertanya pada diriku sendiri. Tidak ada di antara kami yang tahu. Tetapi untuk pertama kalinya, kami telah berbagi cerita kami, dan itu adalah awal dari sesuatu yang tidak pernah kami duga.
"Jika hanya diriku bisa kembali ke hari itu," kulanjutkan, suara ku bergetar, "Diriku ingin bisa melakukan sesuatu yang berbeda. ingin ku perbaiki semuanya."
Bu Hera membuka matanya, menatapku dengan intensitas yang tidak terduga. "Tapi bagaimana? Apakah ada yang bisa dilakukan? Kembali ke masa lalu tidak mungkin."
"I know," jawabku, "tapi berbagi kebenaran ini terasa seperti langkah pertama. Setidaknya, Ibu sekarang tahu bahwa aku tidak seburuk yang Ibu kira."
Dia mengangguk pelan, dan aku bisa merasakan sebuah jembatan mulai terbentuk di antara kami.
"Malam telah larut, Tidurlah," kata Bu Hera. "Besok, kita punya banyak hal yang harus dikerjakan.", akhirnya, suaranya yang tadinya terdengar datar sedikit lebih lembut, "mungkin kita bisa mulai berbicara lebih banyak besok. Mungkin ada yang bisa kita pelajari dari satu sama lain."
Kata-katanya menggugah harapanku, dan aku merasakan sebuah benang tipis koneksi terjalin di antara kami, menyatukan dua jiwa yang terluka. Apakah mungkin, setelah semua yang terjadi, kita bisa menemukan jalan menuju pemahaman?
Mimpi Indah
Malam terus berlalu dengan kesunyian yang tebal di blok sel itu, sesekali hanya terganggu oleh suara jangkrik di kejauhan, dengkuran dari beberapa orang yang terlelap dalam keletihan, atau desahan kecil dari seseorang yang tengah mengigau dalam tidurnya. Ada juga momen ketika suara tubuh yang terjatuh dari ranjang terdengar, mengejutkan seisi blok. Nyamuk yang beterbangan pun seolah menyerah, menghentikan upaya kami untuk mengganggu istirahat para perempuan yang teramat lelah, seolah-olah menyadari bahwa lelahnya jiwa kami jauh lebih dalam daripada sekadar tidur yang terganggu.
Namun, meski terpisah dari keluarga, sahabat, dan teman-teman masa lalu, setidaknya di tempat ini kami telah menemukan sesuatu yang menyerupai keluarga. Di antara sesama napi, di tengah kerasnya hidup di pulau penjara ini, kami membentuk ikatan baru—keluarga yang, meskipun terbentuk dari luka dan dosa masa lalu, adalah satu-satunya yang bisa diandalkan.
Pada kenyataanya di sini, mimpi hanyalah mimpi, tak ada ruang untuk dongeng dengan akhir bahagia yang ada hanya harapan kosong bagi sebagian besar dari kami yang menjalani kehidupan keras di lapas ini.
Kenyataan pahit juga selalu hadir, membayang di setiap sudut, mengingatkan bahwa hidup kami di sini telah berubah selamanya. Tak ada suami yang menanti, tak ada anak-anak yang memanggil "Ibu," tak ada rumah untuk kembali. Hanya tahun-tahun panjang yang menanti, di depan. Dan ketika—atau jika—waktu kebebasan itu datang, ketika salah satu dari kami bisa melangkah keluar dari pulau ini, dunia yang ada di sana mungkin bahkan tak lagi mengingat siapa dirinya.
Hingga akhirnya, pada pukul empat pagi, lonceng nyaring memecah kesunyian, diiringi suara ayam jago yang terkaget ikut berkokok, menyambut datangnya pagi. Kicauan burung yang ikut juga membangunkan seluruh penghuni penjara itu, membuyarkan mimpi indah, membuat para napi mulai bergerak. Dengan tubuh yang kaku dan masih setengah mengantuk, mereka menggeliat, meregangkan otot yang pegal dan menggosok mata yang masih berat, bersiap menghadapi hari yang baru. Istirahat semalam yang pendek tak cukup memulihkan tenaga, namun tak ada waktu untuk memikirkan itu. Rutinitas telah menanti, dan siklus yang sama—kerja keras, lapar, dan lelah—kembali menyelimuti kami, memberi satu-satunya harapan untuk kembali ke kasur tipis saat malam tiba.
Namun, di balik semua kelelahan itu, masing-masing dari kami masih menyimpan harapan, cita-cita yang samar-samar, sesuatu yang mungkin terasa terlalu jauh untuk digapai, tetapi cukup untuk menjadi alasan kami bertahan. Setiap pagi, saat lonceng berbunyi untuk kedua kalinya, kami tidak hanya bangkit untuk bekerja. Kami juga bangkit untuk meraih impian yang hampir tak lagi terbayangkan—kebebasan, kedamaian, dan hidup di luar dinding-dinding yang selama ini membatasi langkah kami.