Matahari mulai meninggi, menyengat kulitku yang terpapar langsung. Keringat membanjiri wajah, lenganku terasa pegal karena terus mencangkul. ku tarik nafas dalam-dalam, mencoba mengabaikan rasa lelah yang mulai menyeruak. Tiba-tiba, mataku menangkap sosok yang tak asing di ujung ladang. Seorang narapidana baru, yang baru saja menyelesaikan minggu keduanya di masa mapenaling—masa pengenalan lingkungan bagi narapidana baru.
Sosok itu, seorang perempuan paruh baya dengan tubuh tambun, wajah pucat, dan tatapan kosong, semakin jelas saat ia melangkah mendekat. "who's that?" Diriku mengerjap, mencoba memastikan apa yang kulihat. Jantungku berdegup tak karuan. Teryata benar itu dia… ibu dari mantan pacarku dulu, Bu hakim, "Bener itu ibunya Doni !"
Semakin dekat, semakin jelas sosok itu di depanku. Rambutnya yang dulu hitam kini memutih, kulitnya mulai keriput, dan langkahnya tampak berat. Ku tertegun, jantungku masih berdebar kencang. Tidak salah lagi… itu dia, ibu dari mantan pacarku. Wanita yang telah menghancurkan hidupku, bertahun-tahun lalu. "Damn, I can't believe what I see," gumamku pelan, nyaris tak percaya dengan apa yang kulihat dihadapanku, di depan mataku.
Kemunculannya memicu kenangan pahit yang sudah berusaha kuhapus selama bertahun-tahun. Ingatan buruk itu kembali menyeruak, sebuah trauma dari 12 tahun yang lalu yang selalu kucoba kubur dalam-dalam. Namun kini, ibu yang dulu kulihat masa kejayaannya sebagai seorang hakim, kini berdiri di sini, menggenakan seragam narapidana yang sama denganku.
Tanpa diriku tahu, kehadirannya akan mengubah hidupku setelahnya.
Di sebelahku, Dina berbisik sambil tersenyum sinis, memperhatikan ibu itu yang kini mencoba mencangkul tanah. "Mbak, coba deloken si ibu lemu iku? Sing jek tas teko rong minggu wingi? Jarene ibu iku mantan hakim, yo," bisiknya pelan, menahan tawa melihat ibu itu yang tampak canggung dan kaku, jelas belum terbiasa dengan cangkul di tangannya.
Diriku menggelengkan kepala tak menjawab obrolan Dina, masih tercengang. "What the hell, why is she here? What did she do?" gumamku pelan. Pertanyaan itu memenuhi pikiranku, menciptakan campuran antara amarah dan rasa penasaran yang belum bisa kutahan.
Hatiku berdebar kencang saat rasa takut mulai merayap ke seluruh tubuh. Kenangan masa lalu yang menyakitkan muncul begitu saja, membawa kembali perasaan tak berdaya yang dulu kurasakan di ruang penyidik, di pengadilan. Namun, di tengah rasa gentar yang membuncah, diriku tak memiliki keberanian untuk mendekatinya. Ada jurang besar yang memisahkan kami—jurang antara seorang ibu korban, sekaligus mantan hakim yang tugasnya manjatuhkan vonis dan seorang narapidana yang menerima vonis.
Hari itu, hari pertama beliau dipekerjakan di sawah, Wajahnya yang dulu tampak tenang dan penuh kendali kini menunjukkan kelelahan dan ketakutan. Tangannya, yang dulu begitu terampil memegang pena dan menandatangani keputusan-keputusan hukum, kini mulai melepuh dan kesakitan akibat harus mencangkul di tanah lumpur yang lengket, yang tak pernah mengenal belas kasihan. keringat bercucuran membasahi baju yang beliau kenakan, tubuhnya yang obesitas menambah kesulitan bergerak di lumpur menjadi siksaan tersendiri.
"Mbak, kok ibuk iku ketok'e keweden ngono yo?" bisik Dina padaku sambil mencuri pandang. Tatapan beliau beralih ke sekeliling, waspada, seolah-olah mencari-cari seseorang.
"iyo opo'o ibuk iku, kok iso nyasar nang kene, pejabat biasane ngadem nyantai nang kantoran, saiki macul koyok awak dewe," celetukku datar. "delok'en klambine wis teles kebes, lepek kabeh, padahal jek tas macul diluk." lanjut Dina.
Tak ada yang tahu pasti berapa banyak napi yang ia jatuhi vonis selama berkarier. Mungkin saja napi itu menyimpan dendam dan menjadi musuhnya. Kecemasan itu tampak jelas di wajahnya setiap kali ia berusaha keras menyelesaikan tugasnya di sawah. Ketika tubuhnya lemah dan tangannya perih, rasa takut akan balas dendam membuatnya semakin terpuruk. Beliau tahu, tidak ada yang abadi, termasuk kekuasaan dan perlindungan yang pernah ia dapatkan di dunia luar. Di tempat ini, semuanya telah berubah. Ia tidak lagi seorang hakim yang dihormati, melainkan seorang narapidana seperti yang lain—terjerat dalam lingkaran penyesalan yang tak berujung.
Diriku masih belum berani mendekatinya, rasa takut, bimbang dan ragu menyelimutiku. Dari kejauhan, kuperhatikan bagaimana beberapa narapidana lain mulai mencoba mengajaknya berbicara, mungkin untuk mengenalnya lebih jauh, mungkin untuk sekadar melonggarkan rasa asing di antara mereka.
Melihat mantan hakim itu tampak ragu dan canggung, seorang narapidana senior—ibu tua yang sudah bertahun-tahun tinggal di pulau ini—melangkah mendekatinya. Ibu tua itu memiliki wajah penuh guratan usia, dan ekspresinya memancarkan pengalaman hidup yang keras. Ia menghampiri dengan langkah tenang, menatap mantan hakim itu dengan pandangan penuh pengertian, bukan dendam ataupun niat buruk, melainkan ketenangan yang tak mudah dijelaskan.
"Assalamualaikum, Bu," sapanya lembut, suaranya rendah dan menenangkan, seakan hendak mengusir kecemasan dari hati si mantan hakim. "Selamat datang di Lapas Perempuan Lembah Harapan. Jangan khawatir, bu ! Nggak pernah kebayang, ya, dulu, bakal sampai di sini?" katanya, lalu duduk di sampingnya tanpa jarak berlebihan. "Sini aja, Bu. Nggak perlu takut. Di sini, kita semua udah sama sekarang… semua sama-sama terpidana. Nggak ada yang bakal bertindak bodoh atau tindak yang membahayakan njenegan bu, asal ibu tetap sopan pada kami. Nuruti perintah kami."
Mantan hakim itu terlihat kaget sekaligus lega mendengar kata-kata ibu tua itu. Dengan wajah yang sedikit lebih tenang, ia perlahan tersenyum, menyadari bahwa mungkin di sini ia akan menemukan sisi kemanusiaan yang dulu sering ia lupakan.
Mantan hakim itu menundukkan kepalanya, matanya berkaca-kaca. Ia menyadari, di sini tidak ada lagi kekuasaan atau status yang membedakan mereka. Semua adalah manusia yang telah jatuh ke dalam jurang yang sama. Namun, meskipun demikian, ketakutan akan masa lalu tetap melekat kuat, dan penebusan dosa-dosa yang telah dilakukan tampak masih sangat jauh dari jangkauan.
Dalam tempat ini, tidak ada lagi kekuasaan, tidak ada lagi status sosial. Semua narapidana, tanpa kecuali, hidup dalam kesetaraan yang penuh kesedihan dan penyesalan. Itu adalah suara dari ketakutan masa lalunya, tetapi tidak ada racun, tidak ada hasrat untuk balas dendam. Hanya kepasrahan. Perlahan, ia menyadari bahwa mereka semua hancur oleh sistem, kini terjebak dalam siklus yang sama tak berperasaan. Ia telah takut akan kemarahan mereka, tetapi malah menemukan penyesalan bersama, bahkan di wajah-wajah orang-orang yang pernah ia hancurkan hidupnya.
"Bu, capek, ya?" tanya narapidana lain yang duduk di sebelahnya. "Sangat," jawab bu hakim sambil mengusap peluh di wajah. "Wajar, Bu. Lama-lama juga terbiasa," lanjutnya sambil tersenyum.
"Saya menyesal,Tapi itu tidak mengubah apa pun." ujar mantan hakim itu dengan suara lemah. "Menyesal itu awal yang baik, Bu. Tapi ya gitu, nikmati aja hidup di sini, apa lagi kalau panjang umur." sahut napi senior, saat mereka beristirahat sejenak dari pekerjaan yang melelahkan, sore itu.
Mantan hakim itu tersenyum kecil. "Duh, makasih ya jeng, sudah menghibur... susah juga ternyata, jauh lebih susah dari yang saya bayangkan."
"Yah, lama-lama juga terbiasa, Bu," balasnya, lalu mengedipkan mata. "Lagian, kerjaan di sini bikin kurus lho, Bu! Nanti Ibu bisa langsing paling tiga bulan lagi."
Wanita paruh baya itu—mantan hakim yang dulu disegani—merasa tersinggung, namun tidak terlalu dalam. Ia tahu bahwa di ladang berlumpur ini, di bawah tatapan tajam pengawas dan langit yang tak bersahabat, ia hanyalah narapidana, tak ada beda dari para napi lainnya. Berkeringat dan membungkuk, ia mengayunkan cangkulnya ke tanah lengket yang terasa begitu berat, seolah tidak peduli siapa dirinya dulu. Setiap kali cangkulnya menyentuh tanah, ia merasa seakan sedang menggali lebih dalam ke masa lalunya sendiri—ke dalam semua dosa dan kesalahan yang dulu ia anggap sepele.
Tetesan keringat mengalir di pelipisnya, jatuh ke tanah, bercampur dengan lumpur yang lengket di kakinya. Setiap gerakan terasa lamban, setiap tarikan nafas dipenuhi dengan kepenatan fisik, namun juga perih batin yang terus-menerus menghantuinya. Di balik bayangan tubuhnya yang membungkuk, di tengah sinar mentari yang terik, ada bayangan lain yang lebih gelap—bayangan masa lalunya.
Ia teringat keputusan-keputusan yang pernah ia jatuhkan di ruang sidang, dengan palu yang ia ketuk penuh keyakinan, seolah dirinya tak pernah salah. Kini, di setiap pukulan cangkul yang ia lemparkan, ia merasa seperti sedang menghukum dirinya sendiri, mencoba mengikis penyesalan yang membusuk di lubuk hati. Berulang kali ia menahan napas, menahan rasa sesak, namun tidak ada apa pun yang bisa menepis kenyataan. Mungkin benar kata orang—di hadapan waktu, semua manusia sama, tak peduli pangkat atau gelar.
Ia tersadar bahwa bukan hanya tubuhnya yang memikul beban ini. Jiwanya juga terbebani oleh rasa bersalah yang tak kunjung hilang, menghantui setiap langkah yang ia ambil di ladang ini. Mungkin, seperti yang dikatakan oleh perempuan muda tadi, ia bisa mengubah dirinya—menjadi seseorang yang lebih kuat, yang lebih tulus menerima hukuman ini sebagai cara untuk menghapus noda masa lalunya. Tapi mampukah ia?
Kesegaran Sore
Saat matahari perlahan menghilang di balik gunung, menyisakan langit yang terbakar warna oranye dan merah muda, Kami para narapidana perempuan berjalan tanpa alas kaki beriringan menyusuri jalan setapak berbatu menuju aliran sungai kecil yang tidak terlalu jauh di ujung ladang. Suara langkah-langkah kami yang pelan terdengar berirama, menandakan kelelahan namun juga harapan yang kami bawa bersama. Keringat dan debu menempel di wajah serta pakaian lusuh kami, tapi langkah-langkah itu kini lebih ringan, seolah-olah sungai yang menanti di depan memberikan sedikit pelipur dari hari-hari yang berat.
Sesampainya di tepi sungai, kami mulai melepaskan seragam kotor, melucuti segala beban yang melekat sepanjang hari. Tidak ada lagi yang peduli privasi, tak ada lagi rasa malu atau sungkan; hanya keakraban yang terjalin karena hari-hari tahu-tahun panjang yang kami lalui bersama di tempat ini. Kulit kami, yang kecoklatan terbakar matahari, menampakkan bekas kerja keras, dengan telapak tangan dan kaki yang kapalan. Beberapa dari mereka tertawa kecil, mengomentari kulit yang semakin kasar atau wajah yang tampak semakin kusam, mencoba melupakan sementara kenyataan hidup yang keras di tempat ini.
"Aduh, tangan gue udah nggak kayak tangan cewek lagi," kata salah seorang perempuan muda dengan nada bercanda. Ia mengangkat telapak tangannya yang kasar, lalu tertawa kecil.
Yang lain di sebelahnya menimpali, "Sama, semua di sini jadi serba sama. Cantik, jelak, putih, item, semua nggak penting lagi." kami tertawa bersama, tawa yang melepas ketegangan sejenak.
Air sungai yang sejuk menyapa saat mereka mulai berendam, menenangkan otot-otot yang lelah. Kami biarkan air membasuh debu, rasa letih, dan segala beban yang menumpuk. Suasana menjadi lebih ringan; terdengar suara tawa dan canda yang mengisi udara. Beberapa dari mereka mulai memercikkan air, saling beradu percikan, seperti anak-anak yang bermain bebas tanpa peduli waktu.
"Eh, jangan basahin rambutku, dong!" teriak salah satu dari mereka sambil tertawa lepas ketika yang lain memercikkan air ke arahnya.
"Lah, kenapa? Rambut kita udah kayak sapu ijuk gini. Basah dikit malah bagus, sekalian kondisinya," balas yang lain, menggoda.
Tidak ada sampo dan sabun buatan pabrik di pulau ini, kami menggunakan bahan alami seperti daun sirih, kunyit dan buah lerak (Sapindus rarak DC) sebagai tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat sabun ramah lingkungan. Buah klerak mengandung saponin yang dapat berfungsi sebagai surfaktan alami. Mekanisme kerja saponin buah klerak sama dengan surfaktan yaitu mampu menurunkan tegangan permukaan air.
Tawa mereka mengisi senja yang perlahan mulai gelap. Sesaat, dalam dinginnya air sungai dan hangatnya tawa teman-teman mereka, segala yang berat terasa lebih ringan. Kami semua tahu bahwa kebebasan ini hanya sementara, namun itu cukup. Sesaat di sungai itu, kami merasa bukan narapidana, bukan manusia yang dihantui masa lalu; kami hanya perempuan-perempuan yang bisa tertawa, melepas lelah, dan menikmati kebersamaan.
"Kau pikir bisa merasakan kebebasan, kesegaran seperti ini setiap hari di luar sana?" tanya seorang narapidana sambil memercikkan air ke temannya.
"Setiap hari kita bisa mandi segar seperti ini langsung dari sumber air alami", "kalau ku bisa bertahan selamanya di sini," jawab yang lain "ya iyalah kita disini kan terpidana seumur hidup" sahut yang lain dengan senyum tipis di wajahnya.
Namun, tak semua tertawa. seorang narapidana baru berdiri diam di tepi sungai, membiarkan arus air membelai kakinya yang mulai kapalan, matanya menatap kosong ke arah pegunungan yang menjulang di kejauhan. Ia tidak perlu mengucapkan sepatah kata pun; tatapannya sudah cukup menggambarkan kerinduan akan kebebasan sejati yang tampak begitu jauh dari jangkauan. Diriku masih mencoba memendam ingatan yang samar tentang ibu itu.
Setelah sekitar lima belas menit, satu per satu narapidana mulai keluar dari air, mengeringkan diri mereka dengan handuk yang sudah usang dan mengenakan kembali seragam lusuh mereka. Meskipun pakaian mereka kembali mengekang tubuh, semangat mereka terasa sedikit lebih ringan. Sebuah ikatan yang tak terucapkan terjalin di antara mereka, sebuah persahabatan yang dibangun dari rasa sakit dan kesulitan bersama.
Saat kami berjalan kembali ke barak penjara, kami tidak hanya membawa kelegaan fisik dari mandi sore itu, tetapi juga sedikit pelarian dari kenyataan keras kehidupan. Meski hanya sesaat, kebersamaan di sungai itu memberi kami nafas kelegaan, kesegaran—sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh tembok penjara yang dingin dan kaku.
"Kalian tahu," bisik seorang dari kami saat berjalan beriringan kembali ke kompleks lapas, "sesederhana apapun ini, air itu... rasanya seperti satu-satunya kebebasan yang masih bisa kita punya di sini."
"Ya," jawab temannya sambil menatap langit yang mulai gelap, "setidaknya bintang-bintang dan sungai ini belum bisa mereka kurung."
Saat senja mulai tiba dan langit perlahan berubah menjadi gelap, Petugas mengingatkan kami untuk segera kembali ke barak. "ayo sudah berendamnya, cepat pakai pakaian kalian, keburu gelap." Kami bergegas naik dari sungai dengan rasa segar dan lega yang baru. Berpakaian lagi, kami berjalan perlahan kembali ke barak, tanpa beban, setidaknya untuk saat itu.