Kejadian tiga tahun lalu masih terpatri kuat dalam ingatanku. Titik balik hidupku yang mengubah segalanya. Hari itu adalah awal dari perubahan besar. Kedatangan seorang ibu, yang menjadi penghancur sekaligus penyelamatku. Untuk pertama kalinya beliau menginjakkan kaki di Pulau Lapas Perempuan tempatku terpenjara dua belas tahun lamanya.
Meski sejatinya, awal cerita ini telah berlangsung jauh sebelumnya. Namun, kehadirannya di lapas di penjara yang sama denganku menjadi sebuah kejutan sekaligus titik balik dalam hidupku.
Saat itu, diriku sebetulnya telah hilang harapan. Hari demi hari hanya menjalani rutinitas menjemukan, kehidupan seorang terpidana seumur hidup yang menunggu datangnya ajal, di pulau penjara khusus perempuan yang penuh aturan dan keterbatasan.
Rutinitas Pagi di Pulau Penjara Perempuan
Denyut kehidupan di pulau penjara ini baru saja dimulai bahkan sebelum fajar, saat langit masih hitam kelam dan dingin malam masih menggigit kulit. Suara langkah berat para penjaga membunyikan lonceng, membangunkan kami para narapidana warga binaan pemasyarakatan. Kami mendengar adanya banyak korban pandemi COVID yang mematikan, beruntung keterisolasian penjara ini menyelamatkan kami.
Kami bergegas bergerak dalam barisan teratur, mengisi udara dengan gema yang sendu. Tubuh-tubuh lelah dan wajah-wajah pucat karena kurang tidur serta kekurangan asupan gizi dipaksa bersiap menjalani hari panjang di sawah ladang, peternakan, atau di mana saja sesuai arahan petugas. Tidak ada jeda, tidak ada pilihan untuk menolak; hamparan sawah dan pulau yang luas seolah mengulurkan tangan-tangan tak berujung, menanti untuk ditaklukkan.
Di tengah kabut pagi yang masih menyelimuti, awal hari yang keras menyambut kami, suara keras lonceng dan teriakan seorang petugas sipir penjara membangunkan para napi yang masih terlelap di barak. Dengan nada lantang, ia mulai memanggil-manggil.
"Ayo, jangan molor aja! Bangun! Ini udah waktunya kerja! Kalian kira ini hotel? Cepetan bangun!"
Beberapa narapidana menggeliat malas, ada yang masih mencoba menutup telinga, berharap bisa mendapatkan sedikit waktu tidur lagi. Tapi petugas itu tidak main-main. Ia mengetuk ranjangku dengan tongkat, juga ranjang beberapa narapidana lainnya yang masih memejamkan mata.
"Woi, Sarah! Jangan pura-pura tidur! Bangun! Cepat rapikan ranjang! Udah waktunya kerja!" ujarnya dengan suara tegas. Diriku yang sebenarnya sudah terbangun mengusap mata, masih mengantuk. Di tempat yang tidak memiliki jam ini, ritme tubuh tanpa disadari mengatur kehidupan kami.
Salah satu hal paling dasar yang diatur oleh ritme tubuh adalah siklus tidur dan bangun manusia atau yang disebut ritme sirkadian. Siklus ini membuat seseorang merasa mengantuk saat malam semakin larut dan terjaga ketika pagi hari. Bahkan tanpa mengetahui jam, kondisi tersebut terjadi secara otomatis.
Untuk mengulur waktu, diriku mengerang, "Aduh, Bu, kasih waktu sejam lagi. Belum adzan subuh ini. Masih ada waktu buat tidur sedikit," setengah bercanda. Tentu saja, tanpa jam atau penanda waktu yang pasti, hari-hari kami berputar sesuai dengan ritme penjara.
Petugas langsung membalas dengan nada ketus, "Subuh apa? Kau waktu subuh sudah lewat, molor terus! Ayo bangun! Kalau mau rezeki, tuh, rezeki ada di sawah. Langsung cari sendiri!"
Di sebelahku, Dina yang sudah bangun lebih dulu tertawa kecil lalu menepuk punggungku sambil berbisik, "Wis ta lah, Mbak. Gak usah ngeyel. Tuh, Bu Petugas wis arep ngamuk. Nurut ae ben aman."
Dengan berat hati, aku bangkit dan melangkah keluar barak, bergabung dalam barisan. Petugas yang tadi membangunkan kami terlihat puas melihat semua narapidana mulai bergerak.
Kehidupan di Balik Barak penjara, di sudut ruangan, antrean untuk kamar mandi sudah ramai. Hanya ada lima bilik toilet sederhana, dibatasi kain tipis dan dinding yang hanya setinggi leher, tanpa privasi. Suasana tak nyaman dan aroma tak sedap melingkupi ruang.
Seorang napi mendesak dari belakang, "Cepet, woi! Mules, nih, nggak tahan lagi!" yang lain menyahut sambil cemberut, "Sabar, bentar lagi selesai!"
Antrian panjang di pagi hari ini sudah menjadi bagian dari rutinitas, sekadar mencuci muka atau memenuhi kebutuhan dasar di toilet yang jumlahnya jauh dari cukup. Privasi adalah kemewahan yang tak pernah kami miliki. Di balik punggung sesama napi yang berdesakan, diriku rindu aroma sabun bertemu air yang telah lama tak kuhirup. Tidak ada sabun bermerk buatan pabrik di sini; semua ini telah menjadi bagian dari keseharian yang kami terima dengan terpaksa.
Setiap pagi, kami segera berbaris di depan blok sel, tanpa sempat mandi atau bahkan mencuci muka dengan layak. Tak ada pasta gigi atau sikat gigi. Sebagai gantinya, daun sirih menjadi andalan kami untuk menjaga kebersihan mulut. Ku gigit selembar daun sirih dan mengunyahnya perlahan, merasakan getir dan pahit yang menyelusup di sela-sela gigiku. Mereka bilang, daun sirih memiliki antibakteri alami. Walaupun tak sebersih yang kuharapkan, itu cukup untuk membuat kami merasa sedikit lebih layak.
Mengunyah daun sirih setiap pagi menjadi ritual sederhana namun bermakna, seolah memberiku sedikit kendali atas diriku sendiri di tengah dunia yang tak lagi kumengerti. Hal-hal kecil seperti ini membuat kami merasa memiliki secuil harga diri. Gigi yang kuat dan mulut yang bersih mungkin tampak sepele bagi mereka yang di luar sana, tapi bagi kami, ini adalah bagian dari mempertahankan diri.
Setelah petugas melakukan penghitungan pagi untuk memastikan jumlah kami dan tidak ada yang kabur, kami mendapatkan jatah sarapan sangat sederhana. Sepotong ubi rebus atau jagung rebus menjadi menu yang hanya cukup untuk sekadar mengganjal perut.
Kami melangkah berbaris rapi, berjalan tanpa alas kaki menuju ladang atau aktivitas lain yang ditentukan petugas. Seorang petugas bercanda di sepanjang barisan, "Nah, gitu! Kerja yang rajin, olahraga gratis. Badan kalian sehat, nggak perlu bayar gym, lho. Tiap hari begini, dijamin bugar langsing!"
Salah satu narapidana, tersenyum dan menanggapi, "Wah, Bu. Kalau terus gini, kami bisa jadi model fitness, nih!"
Petugas tertawa, "Iya, kan? Nanti kalau sudah keluar, bisa buka gym sendiri!"
"Kalau gitu, kami minta bonus susu protein, dong," sambung yang lain sambil mengedipkan mata.
"Bonus? Bisa aja, kalian perah sendiri dari kandang sapi! Coba nanti saya tanya komandan," jawab petugas sambil mengedipkan mata kembali, Lapas ini juga memelihara sapi untuk memenuhi kebutuhan protein susu kami.
Beberapa dari kami tertawa pahit, sementara yang lain hanya menghela nafas, melangkah berat menuju ladang. Tubuh yang lelah sudah siap untuk hari panjang berikutnya, kembali membanting tulang di bawah sinar matahari yang tak pernah berbelas kasih.
Saat di ladang, petugas lain datang mendekat, "Ingat, ya. Kalau kerja yang rajin begini, siapa tau bisa cepat dapat grasi!"
"Ya, bu! Kalau bisa kasih grasi minggu depan aja," balasku sambil tersenyum lebar.
Bagi kami, terpidana seumur hidup dan hukuman mati yang tinggal di lapas ini, remisi pengurangan hukuman adalah sesuatu yang tak pernah kami miliki. Satu-satunya jalan adalah memohon grasi kepada Presiden, Kepala Negara, meskipun tak ada jaminan itu akan diterima. Bahkan untuk mengajukan grasi, terpidana harus mengakui kesalahannya terlebih dahulu.
"Kalau mau minta grasi, kamu harus mengakui kesalahanmu," ujar petugas dengan nada tegas. "Kamu harus bilang, 'Ya, saya dihukum karena kesalahan saya. Saya menyesalinya.' Negara sudah memberikan hukuman yang benar, dan kamu baru bisa minta pengampunan kalau mengaku salah."
Diriku mendengarkan penjelasan petugas itu dengan hati berdebar. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti pukulan keras yang menghantam batinku. Bagaimana ku bisa meminta grasi jika itu berarti harus mengakui kesalahan yang tidak pernah kulakukan? Keyakinanku tetap sama: diriku tidak bersalah, i'm innocent. Tetapi keyakinan itu pula yang menjadi penghalang untuk bebas dari tempat ini.
"Sarah, kamu kan masih berkeras ngaku ga bersalah. Kalau begitu, kamu tidak akan bisa mengajukan grasi," lanjut petugas itu, menatapku lekat. "kau tahu kan, grasi hanya bisa diajukan kalau kamu sudah mengaku salah. Jadi, akui aja kesalahanmu, terima nasibmu, bertobat, berharap suatu saat kamu akan bebas dari pulau penjara ini."
Kata-katanya menancap dalam pikiranku, memicu gejolak perasaan yang sulit ku kendalikan. Di satu sisi, ku tahu bahwa mengakui kesalahan adalah satu-satunya jalan untuk mendapatkan grasi. Namun di sisi lain, bagaimana bisa mengakui sesuatu yang tidak pernah kulakukan? Perasaan terjebak ini seperti berada di jurang yang semakin dalam, tempat harapan untuk bebas semakin sulit dijangkau.
Namun, diriku masih memegang teguh keyakinan bahwa keadilan suatu hari akan terungkap. Harapan itu kecil dan samar, tetapi cukup untuk membuatku bertahan. Ku tahu jalan ini berat dan penuh duri, tetapi akan terus kuperjuangkan kebenaran.
Tiba-tiba, suara petugas perempuan itu memecah lamunanku. "Ayo, cepat bergerak! Semangat! Kerja keras itu bukan cuma untuk grasi, tapi buat kesehatan kalian juga biar panjang umur!" katanya sambil membentak.
Diriku melihat teman-teman sesama narapidana mulai beranjak, menjalani rutinitas sehari-hari di dalam penjara ini. Obrolan ringan seperti tadi, meskipun tampak sederhana, setidaknya bisa sedikit meringankan beban di hati mereka. Namun bagiku, perasaan tidak bersalah ini membuatku merasa seperti terjebak di dasar jurang yang paling gelap. Setiap harapan untuk bebas terasa semakin mustahil.
Di balik dinding-dinding penjara ini, senyum dan canda tawa adalah barang mewah yang harus kami syukuri. Tetapi bagiku, senyum itu hanya menutupi rasa putus asa yang kian mendalam. Aku tahu, hidupku di sini adalah menerima nasib, menjalani hari demi hari tanpa ada kepastian untuk bebas. Namun, di sudut hatiku yang paling dalam, aku masih berharap kebenaran suatu hari nanti akan menang.
Obrolan ringan seperti ini, meski terkesan sederhana dan sepele, setidaknya bisa sedikit meringankan beban bagi yang lain. Karena di balik dinding penjara ini, senyum dan canda tawa adalah barang mewah yang harus kami syukuri. Namun bagiku yang merasa tidak bersalah, membuatku terjebak di dasar jurang yang dalam. Setiap harapan untuk bebas terasa mustahil, membuat diriku hanya bisa menerima nasib, menerima keadaan, menjalani hidup di penjara ini tanpa ada kesempatan untuk bebas.
Pulau Penjara perempuan
Pulau ini merupakan satu-satunya maximum security prison bagi narapidana warga binaan pemasyarakatan perempuan di negeri ini. Mempunyai nama resmi Lapas Perempuan kelas 1A Lembah Harapan, diriku tak mengerti kenapa dinamakan Lembah Harapan, Di sini, harapan tidak lebih dari bayangan samar yang sulit diraih. Bagi kami sekitar 200 narapidana, harapan untuk bebas sudah hampir padam.
Penjara ini bukan lapas sembarang, 'tempat pembuangan' dirancang khusus bagi kami, para narapidana warga binaan pemasyarakatan yang dianggap sebagai 'kasus tak tertolong', Kami yang dijatuhi hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati.
Diriku, kami, dikirim ke sini untuk diasingkan dari dunia luar, terputus dari masyarakat yang pernah kami kenal, seolah hidup kami telah dipisahkan secara permanen dari kehidupan yang pernah kami jalani. Tak ada harapan untuk kembali, tak ada jalan untuk membuktikan perubahan kami, karena hukuman ini bukan sekadar penahanan fisik, tapi sebuah pengasingan tanpa akhir.
Lapas di Pulau ini dijalankan dengan konsep swasembada self sustain yang ketat. Pemerintah sengaja mendirikan penjara ini untuk mengurangi biaya pengelolaan, memaksa kami menjalani hidup dengan aturan keras yang meminimalkan pengeluaran negara. Tidak ada tempat bagi kemewahan atau kelonggaran.
Di sini, kami narapidana harus bekerja sama sebagai komunitas untuk memenuhi kebutuhan kami sendiri, dari pertanian, peternakan, hingga perkebunan. Keberhasilan menjadi milik bersama namun kegagalan satu orang menjadi kekagalan komunitas.
Sawah yang kami garap adalah sumber pangan kami, ladang yang kami olah dengan tangan kasar dan tubuh yang lelah menjadi jantung keberlangsungan hidup di sini. Energi listrik sepenuhnya bersumber dari tenaga surya, dan baterai cadangan seringkali hanya cukup bagi kebutuhan petugas, meninggalkan kami dalam gelap saat malam datang.
Selain menanam, memanen, memelihara ternak, kami juga bertanggung jawab atas setiap aspek perawatan pulau ini. Setiap sudut penjara kami bangun dan pelihara sendiri—dari memperbaiki bangunan yang lapuk, merawat pagar keliling yang mulai berkarat, hingga memahat kayu dan memotong logam. Setiap hari menjadi serangkaian kerja fisik yang tiada habisnya. Namun, di balik semua ini, ada ironi yang menggelitik; kehidupan di sini, dalam banyak hal, terasa lebih mandiri dan bekerja keras dibandingkan ketika kami bebas di luar sana.
Realita ini adalah tamparan keras, seolah-olah hidup kami di pulau ini hanyalah pengingat bahwa kami dianggap sebagai beban oleh masyarakat luar.
Pulau ini sendiri adalah bagian dari kompleks vulkanik aktif, membentang seluas 13 kilometer persegi. Puncak gunung berapi di pulau ini menjulang hingga 1.949 meter di atas permukaan laut. Meskipun hidup di sini keras dan penuh ketidakpastian, iklim tropis lautnya cenderung nyaman, dengan suhu yang berkisar dari 19°C di malam hari selama musim hujan hingga mencapai 36°C saat siang hari di musim kering. Curah hujan moderat turun antara Juni hingga September, sementara pada bulan-bulan lain hujan lebat mendominasi, dengan rata-rata tahunan mencapai 3.200 mm—menjadikannya tanah yang ideal bagi pertanian kami di tengah keterasingan ini.
Kompleks penjara ini berdiri sekitar satu kilometer dari garis pantai, tersembunyi di antara pepohonan, di pantai terdapat sebuah dermaga kayu tua yang terhubung dengan jalan setapak berbatu menuju gerbang penjara. Dermaga itu menjadi satu-satunya akses penghubung dengan dunia luar.
Berdiri di ketinggian 30 meter di atas permukaan laut, penjara ini terasa terasing dan diam, namun cukup aman dari ancaman gelombang besar Tsunami yang bisa menerjang sewaktu-waktu.
Kompleks bangunan penjara ini menempati area dua hektare, dikelilingi pagar kawat berduri tinggi yang berkarat. Awalnya kupikir pagar ini dibuat semata-mata untuk menjaga kami tetap di dalam, mencegah kami kabur, membuat seolah-olah dunia tak ingin melihat kami lagi. Namun, kemudian hari diriku menyadari bahwa kawat berduri itu lebih dari sekadar alat pembatas. Pagar merupakan pelindung, perisai yang menjaga kami dari penghuni asli pulau ini yang tak kalah buas.
Pulau ini bukan sekadar tempat pembuangan bagi kami yang dianggap 'tak layak'. Di balik deretan pohon rimbun yang mengelilingi pagar, pulau ini merupakan cagar alam kehidupan liar yang terus berdenyut. Tiap malam, suara jangkrik, katak, dan binatang malam lainya sering terdengar, menciptakan rasa cemas yang mengintai dalam kegelapan bagi yang baru tiba di sini. Seringkali, kami menemukan kemunculan jejak macan kumbang di sekitar area pertanian. Makhluk itu, hitam dan besar, adalah penguasa asli pulau ini, predator yang bergerak dalam kesunyian hutan, mengintai dari bayang-bayang.
Bukan hanya itu, kawanan kera liar juga tinggal di sekitar sini, melintasi pohon-pohon tinggi sambil melengking tajam, seolah memberi tahu kami bahwa yang benar-benar bebas adalah mereka sedangkan kami terkurung, terpenjara. Sesekali mereka muncul mendekati pagar, mencari makanan di sawah ladang kami atau sekadar menatap kami dari kejauhan, seperti mengamati makhluk asing yang terkurung hilang kebebasan. Kehidupan kami di sini adalah ironi besar; kami yang terpenjara justru membutuhkan perlindungan dari alam liar di luar, dan pagar yang seharusnya menjadi simbol pembatas secure area malah menjadi pelindung. pagar itu bukan sekadar membatasi, melainkan menyelamatkan. Di balik kawat berkarat ini, kami menyadari bahwa kami hanyalah penghuni, pendatang di pulau ini, dengan alam liar, kebuasan dan kebebasannya, adalah pemilik yang sebenarnya.
Namun, seiring waktu, suara binatang-binatang itu menjadi bagian dari keseharian. kicau burung, derik jangkrik, langkah hening macan kumbang, gemersik ular dan jeritan kera adalah pengingat bahwa pulau ini memiliki ritmenya sendiri—sebuah dunia yang tak terikat oleh hukum manusia, di mana kami hanyalah tamu tak diundang.
Komplek bangunan penjara merupakan bangunan jaman penjajahan, bergaya arsitektur kolonial didirikan di awal abad ke 20. Awalnya tempat ini bukanlah penjara, didirikan sebagai pusat penampungan penderita penyakit lepra atau kusta yang mewabah saat itu. -Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini dapat menyerang kulit, mata, hidung, dan saraf perifer. - Seiring jalannya waktu dan bertambahnya narapidana perempuan yang terlibat pemberontakan di akhir tahun 1965, dijadikanlah komplek itu sebagai Lapas khusus Perempuan.
Di luar pagar, terdapat lahan pertanian dan peternakan kami yang mencakup 20 hektare terletak di sekitarnya, di sinilah kami menggarap tanah, memelihara ternak untuk memenuhi kebutuhan makanan komunitas kami sendiri.
Di luar kompleks utama, sebuah dermaga kecil dan asrama petugas terletak terpisah, menyediakan akses terbatas dan pengawasan bagi kami yang menghuni pulau ini.
Demi keamanan, penduduk asli yang dulunya menetap di pulau ini telah dipindahkan ke pulau lain yang berdekatan, sehingga kini hanya tersisa kami, para narapidana, dan petugas yang bertugas mengelola tanah dan menjaga penjara.
Para perempuan yang terpenjara di sini, meski jauh dari jangkauan dunia luar, hidup dalam lingkungan yang sepintas mendukung produktivitas—namun, produktivitas ini tak lebih dari tuntutan kemandirian tanpa imbalan kebebasan atau peluang reintegrasi ke masyarakat.
Di dalam kompleks penjara, tempat tinggal kami sederhana: lima blok penjara masing-masing terdiri dari 10 kamar sel berukuran 3x5 meter, setiap sel menampung lima narapidana dalam ranjang susun. Jendela kecil dengan jeruji, sebuah WC, dan bak kecil adalah satu-satunya fasilitas yang ada. Setiap ruangan terasa sempit, tanpa perabotan lain untuk kenyamanan. Tanpa jaringan listrik, tanpa jaringan air bersih.
Dampak keterbatasan dan ketiadaan fasilitas penunjang sempat mengguncang ku. Diriku mengalami culture shock saat pertama kali menghuni pulau ini. Tidak ada teknologi. Informasi dan pengetahuan kami akan perkembangan dunia juga minim karena sumber informasi seperti televisi, radio, internet tak ada.
"Beradaptasi dengan lingkungan baru itu tantangan terberat. Diriku yang terbiasa dengan hingar bingar kehidupan kota, lalu harus hidup, tinggal di suatu tempat yang sama sekali tidak terdapat listrik," tuturku.
Di tengah kompleks, ada halaman terbuka yang menjadi tempat berkumpul kami, lengkap dengan lapangan voli sederhana dan beberapa bangku kayu—salah satu dari sedikit fasilitas 'rekreasi' yang ada. Gedung administrasi, ruang makan, dan klinik kecil juga berada di sekitar area ini.
Pulau penjara ini mencerminkan pendekatan pemerintah yang sangat hemat anggaran, dengan fokus utama pada isolasi dan swasembada. Tidak ada kemewahan atau program rehabilitasi di luar keterampilan dasar untuk bertahan hidup di sini. Kami hidup dalam kondisi yang keras, dengan pengawasan yang terbatas, dipaksa membangun dan memelihara kehidupan kami sendiri dalam keterasingan yang nyata dari dunia luar.