Kaki Semeru. Hening pagi terpecahkan oleh kicauan unggas. Sinar mentari masih meremang. Embun di dedaunan bersinar redup memantulkan keindahan warna alam. Sungguh begitu mendamaikan. Berlatar belakang segala sesuatu yang masih alami. Rerumput dengan tebaran helai daun juga ranting kering dan serakkan tunggul kecil termasuk semak belukar yang hijau kekuningan menyatu menjadi penutup bumi yang hitam perang. Semut dan serangga kecil sudah mulai merayap. Unggas dan burung riuh dari dahan ke dahan. Manusia banyak sepertinya terlalu asing di sini.Di sela antara dua pohon besar yang rendang dengan akar saling bertindih ada gubuk dari kulit kayu selebar empat kali lebar depa tangan manusia dewasa. Ke belakang hanya sekedar dua depa panjang. Atapnya juga dari kulit-kulit kayu dan timbunan lalang dan rumput kering. Walaupun sudah agak usang namun masih kelihatan utuh menopang di atas tunggul-tunggul kayu besar. Di tengah sisi yang panjang ada bukaan selebar sedepa tangan. Pintu gubuk tanpa daun tanpa tirai. Di samping kiri pintu ada susunan tunggul kayu tersusun rapi menjadi seperti pangkin istirahat dan santai.Di saat senja mulai merentangkan jubah keemasannya, yang perlahan memadu warna langit dari merah menjadi kuning keemasan, suasana damai menyelimuti Gubuk Tua. Hembusan lunak bayu seperti tangan yang lembut mengusap, sambil melambai-lambai menyambut kedatangan Pak Tua Wali Jati bersama dua muridnya, Wancil dan Wansar. Ada ikatan gaib yang tidak terlihat namun terasa, mengikat mereka dengan gubuk ini, seolah telah lama menantikan kepulangan mereka.Hidupan liar di sekitar gubuk, dari unggas hingga jengkrik, yang tadinya mulai meredup, kini kembali bersahutan. Suara-suara mereka bertautan, mengalun bagai irama orkestra alam yang merayakan kepulangan sosok dirindukan. Semakin langkah kaki mereka mendekat, semakin riuh rendah sambutan dari penghuni Kaki Semeru itu, dipadu dengan deruan lembut bayu senja yang berdesir melalui dedaunan.Kedua pemuda, Wancil dan Wansar, berusia sekitar 17 tahun, meninggalkan Pak Tua sejenak, berlari kecil penuh antusiasme. Mereka segera berhenti di kelompok pangkin dari tunggul kayu, melempar bungkusan mereka ke dalam dengan gerakan yang lincah. Baju mereka, yang sudah lepas dari kancing, kini tergeletak ceroboh di atas pangkin, simbol kebebasan dan kelegaan setelah perjalanan panjang. Tanpa menunggu lebih lama, mereka berlari kembali, kali ini menuju ke anak sungai yang kecil.Angin senja semakin menguat, membawa aroma basah tanah dan dedaunan yang dipercik hujan sore tadi, menambah kedalaman suasana mistis di tepi hutan. Anak sungai itu menyambut mereka dengan cerminan yang jernih, membalikkan wajah langit yang kini dipenuhi bintang pertama. Di sana, di bawah gemerlap langit yang semakin pekat, kedua murid itu berendam, mencuci penat dan debu perjalanan, sambil Pak Tua dengan langkah tenang mengikuti, membawa dengan dirinya kebijaksanaan yang akan ia bagi, seperti air sungai yang terus mengalir tanpa pernah meminta balasan.