Kabar tentang kedua tamu muda yang telah sadar awalnya dibagikan oleh Sicantika, yang kebetulan berada di belakang rumah saat memetik berbagai pucuk sayur untuk Paman Sotan, yang sedang merawat kebun. Dari Paman Sotan ke paman lain, kabar itu seperti angin yang menyebar, menghentikan semua aktivitas warga. Satu demi satu, mereka menuju rumah besar Pak Tua Wali Sani, tepatnya ke Serambi Besar tempat warga sering berkumpul.Serambi depan rumah, yang selama ini menjadi saksi bisu berbagai pertemuan dan perpisahan, kini dipenuhi oleh warga desa. Serambi yang unik, dengan dinding setinggi pinggang yang terbuat dari susunan papan yang dapat dicabut dan dipasang kembali, dibuat demikian untuk memungkinkan ruangan serambi diperluas—sebuah persiapan untuk menampung jumlah warga yang bertambah di masa mendatang. Tangga di sisi kiri dan kanan, masing-masing dengan tujuh anak tangga, panjangnya sekira tujuh kali panjang lengan orang dewasa, seakan menyimpan cerita tentang alam semesta. Ada tempayan besar di bawah cucur atap di tepi tangga, menampung hujan dan menjadi air untuk membersihkan diri sebelum naik ke serambi.Teriknya sinar matahari memberikan tanda, sudah saatnya makan siang. Tanpa diminta, para wanita membawa makanan dari rumah masing-masing. Para lelaki yang baru dari kebun membersihkan diri di tempayan besar. Mereka yang tiba lebih awal bersama-sama menyusun nasi dan lauk pauk di atas hamparan tikar jerami.Acara berkumpul dan makan bersama di serambi besar itu sudah menjadi kebiasaan, tanpa perlu ada sambutan atau perayaan khusus. Ini adalah praktik yang diperkuat oleh turunan anak cucu Wali Wano Ciri, yang selalu dipantau oleh Pak Tua Wali Sani dan Ibu Wali Waniton.Di dalam rumah, awalnya juga ramai, tetapi atas perintah Pak Tua Wali Jati, sebagian telah keluar ke serambi. Wancil dan Wansar, yang saat itu sudah bisa duduk, bersandar di dinding beberapa langkah dari tempat tidur mereka. Di belakang mereka, Ibu Wali menyusun bantal untuk memberikan kenyamanan. Wajah Wancil, meskipun masih terlihat lesu, tidak lagi tampak takut atau terlalu bingung seperti ketika baru membuka mata. Sedangkan wajah Wansar mulai menunjukkan senyuman, meskipun masih tampak lelah.Sementara itu, di dapur, Sicantika layaknya seorang jurnalis, bercerita di kerumunan ibu-ibu yang sedang menyusun lauk. "Mulanya hanya yang tubuhnya besar yang membuka mata. Tepatnya itu tadi waktu Sisuntika keluar dari ruang Semadi. Ketika melewati ruang depan, dia mendengar ada yang batuk-batuk. Dia tahu kalau Bapak sedang Mandi Embun. Ibu waktu itu masih di kamarnya. Aku juga di kamar, baru selesai Semadi Fajar. Dia penasaran. Dia berteriak memanggil aku dan Ibu. Iya, memang ada suara batuk-batuk lagi, cuma tidak terlalu kuat. Ibu langsung mendekat ke ruang tidur mereka. Langsung Ibu menyuruh Suntika pergi memanggil Bapak. 'Panggil cepat Bapak, anak ini sudah bangun,' kata Ibu." Peristiwa terbangunnya Wansar diceritakan dengan gaya yang mengundang kegembiraan."Sementara menunggu Bapak dan semua tiba, Ibu dan aku duduk di samping mereka. Aku juga penasaran. Tapi belum sempat aku bertanya atau berkata-kata, Ibu sudah melarang. 'Tunggu Bapak, jangan apa-apa.' Aku diam. Aku melihat dengan dekat apa yang satu lagi juga sudah bangun. Nyatanya belum. Ibu hanya mengusap-usap kepala si besar itu sambil memintanya tenang dan sabar. Hingga tidak lama kemudian Bapak dan semua tiba," sambung Sicantika. Beberapa ibu bergumam sendiri, beberapa bertanya, "Sudah tahu siapa mereka? Dari mana?" "Masih belum," potong Sicantika.Tiba-tiba dari dalam rumah, suara Ibu Wali terdengar agak keras, memerintahkan ibu-ibu di dapur agar segera membawa makanan ke serambi. Mendengar itu, sang "jurnalis" segera bangun, mengambil dulang berisi lauk dan berjalan keluar lewat pintu dapur menuju serambi, diikuti rombongan ibu-ibu dengan dulang di tangan mereka.Di serambi, rupanya Pak Tua bersaudara sudah siap di tempat duduk khusus mereka di satu ujung di sisi pintu masuk ke dalam rumah, menghadap ke deretan lauk dan nasi. Pantas, Ibu Wali bersuara keras. Ada sekitar 8 deretan lauk dan nasi. Antara deretan itu, para warga baik lelaki, wanita, dan anak-anak berdempetan. Seketika, semua memalingkan kepala mereka ke kiri dan ada yang ke kanan, semua mata tertuju ke arah Pak Tua bersaudara. Pak Tua Wali Sani mengangkat tangan mengadah ke langit. Secara serentak, tangan warga juga diangkat mengadah ke langit. Pak Tua Wali Sani dengan suara yang begitu teratur, sambil kepala sedikit menunduk, menuturkan bait-bait keramat. Warga juga turut menunduk. Setiap kali Pak Tua Wali Sani melengkapi serangkap bait-bait keramat, setiap kali itu juga disambut warga dengan "terimalah." Pak Tua Wali Sani menutup bait-bait keramat dengan tangan yang mempersilakan semua untuk makan.Sementara di dalam, duduk bersama Wansar dan Wancil, Ibu Wali, kembar seiras, dan dua ibu-ibu, ada dua mangkuk bekas bubur nasi yang lumat. Ada juga cangkir dan kendi air putih termasuk dua mangkuk kosong yang ada sisa cairan berwarna kuning pekat, sisa ramuan obat. Sebelumnya, saat Sicantika yang pertama kali melihat tangan Wancil tergapai-gapai dan berseru "lihat, lihat," membuat Pak Tua bersaudara yang sedang sarapan, segera mendekat. Pak Tua Wali Jati segera meletakkan telapak tangan kanannya di dahi Wancil. Pak Tua Wali Sani tanpa perintah, memegang kedua kakinya. Pak Tua Wali Jati menuturkan bait-bait keramat dengan perlahan, seperti ada suatu yang magis dan sakral, bersamaan dengan hembusan lembut ke wajah Wancil, disertai desiran bayu lembut. Tubuh Wancil yang sebelumnya agak tegang, telah kembali normal dan benar-benar sebuah keajaiban, mata Wancil perlahan dibuka. Lesu, layu, meminta welas asih. Saat matanya telah sepenuhnya terbuka dan berkedip-kedip, sinar matanya memancarkan isyarat kebingungan. Merenung tajam ke wajah Pak Tua Wali Jati. Seperti mengirim kata-kata. "Ini kakek?" Pak Tua Wali Jati seperti mengerti, perlahan menganggukkan kepala dua tiga kali dan tersenyum dengan raut wajah tuanya yang menghantar getaran kasih seorang kakek. Suasana sekitar menjadi sangat hening. Semua mata bulat fokus kepada peristiwa yang sarat dengan berbagai emosi.Pak Tua Wali Jati terus mengusap kepala Wancil. Bersama setiap usapan lembut itu ada aliran tulus ikhlas kasih sayang seorang kakek kepada sang cucu. Pak Tua Wali Sani yang masih di kaki Wancil angkat bicara sambil memaling muka ke Ibu Wali. "Bubur nasi dan ramuan obat sudah disiapkan?" Ibu Wali menjawab, "Mahu diambil sekarang?" menunggu perintah selanjutnya. "Nanti diberikan, ketika keduanya bangun dan bisa duduk," kata Pak Tua Wali Sani. Saat kata-kata itu dilontarkan oleh Pak Tua Wali Sani, Wansar masih tidur nyenyak. Namun, Pak Tua itu menyuruh memberi makan keduanya? Nyata seperti kakandanya, Pak Tua Wali Sani juga punya daya firasat yang lumayan tajam. Tiba-tiba, tubuh Wansar sedikit menggeliat, seperti baru dikejutkan dari tidur. Matanya perlahan dibuka, berkedip-kedip. Melirik ke sekeliling, seperti tadi, dia masih agak sedikit bingung tetapi perlahan kendur. Dia sudah bisa mengangkat kepala dan sudah bisa menopang tangan untuk bangun. Pak Tua Wali Sani bertukar duduk. Mendekat ke Wansar, membantu anak itu memenuhi hasratnya untuk duduk.Setiap wajah di ruangan itu terpancar rasa syukur. Rasa puas. Rasa seperti baru diselamatkan dari sebuah kecelakaan. Sunti kembar seiras tersenyum penuh gembira sambil mengangkat badan, posisi merangkak mau maju mendekati. Ibu Wali perlahan meraih kedua telapak tangan ke muka. Kepala sedikit mendongak. Ada genangan air mata menanti saat untuk turun mencurah. Dengan nafas yang dihembus panjang terbata-bata, air mata Ibu Wali membasahi telapak tangan. Kepala menunduk perlahan. Tangisan kasih seorang ibu. Tanpa disedari, tangannya merangkul kedua-dua kembar seiras yang dari awal sentiasa di samping kiri dan kanan. Ketiga mereka berdakapan.Pak Tua Wali Jati kini menopang kepala Wancil dengan tangan kirinya. Tangan kanan mengambil bantal di samping dan menambah bantal yang sudah ada di bawah kepala Wancil. Itu membuat tubuh Wancil sedikit terangkat. Pak Tua Wali Jati meminta cangkir air putih. Seperti yang dilakukan ke Wansar, itu dilakukannya ke Wancil.Wansar yang kini sadar, Wancil telah sadar, dengan segala kekuatan yang ada, wajahnya terutama matanya, melotot besar, mulutnya terbuka, tubuhnya berputar merapat. "Wancil... cil.. cil.. kamu telah bangun!!"Pak Tua Wali Jati, selesai menyapukan air ke kepala, muka dan sebagian badan Wancil, terus mengusap lembut kepala anak itu. Wancil hanya membiarkan sambil memaling kepala memandang Wansar. Seperti Wansar, raut wajahnya yang walau masih lesu kini penuh kegembiraan. Hanya kerana belum punya tenaga sekuat Wansar, suaranya masih jauh ke dalam. "Wansar... sar.. sarrr". Suara Wancil terbata-bata. Tangan kirinya merayap-rayap meraba tubuh Wansar. Tangan Wansar menangkap tangan kiri Wancil dan mengenggamnya erat. "Anak-anak ku. Kamu sekarang aman. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Tidak ada yang perlu kamu takuti. Kamu adalah bagian dari kami. Kamu sekarang ada di rumahmu sendiri". Suara Ibu Wali memecah sunyi. Membujuk dan menenangkan. Wajah keibuannya merenung lembut, ikhlas ke wajah dua anak muda yang baru di ikrarkan sebagai anaknya. Sambil tangannya masih tetap merangkul kedua puteri kembar seiras. "Kamu sekarang punya dua kakak lelaki. Kamu harus bantu mereka" Suara Ibu Wali sambil menepuk-nepuk tubuh dan memandang tepat ke wajah kedua puterinya itu. Sang puteri membals dengan senyum yang berbaur malu sambil menganggukan kepala. Pak Tua Wali Jati. "Benar kata Ibumu. Kamu berdua adalah bagian dari keluarga ini. Sekarang, kamu harus makan dan pulihkan diri. Ibu akan merawatmu. Nanti setelah kamu sedia, kita akan santai bicara." Sambil menopang tangan untuk bangun. Di turuti Pak Tua Wali Sani yang memperlihatkan senyuman seraya berkata. "Makan yang banyak". Mereka berdua berjalan menuju serambi. Ibu Wali mengikuti di sisi Pak Tua Wali Sani sambil menjerit dengan suara tegas. "Itu yang di dapur cepat bawa semuanya ke serambi". Pak Tua wali Jati berhenti dan melihat ke Ibu Wali. " Nanti jangan banyak nanya ke anak-anak. Biarkan mereka sendiri yang menceritakan." Melanjutkan jalan ke serambi untuk bersama keluarga lainnya.