Di bawah pancuran air terjun yang menghantam dengan kekuatan yang setara dengan ketinggian sepuluh orang dewasa, Wancil dan Wansar berdiri teguh. Air terjun itu, bagaikan hujan deras yang tidak pernah kenal lelah, menghantam mereka yang berdiri setengah tenggelam, air mencapai dada. Dengan mata yang terpejam rapat, kedua murid itu menyatukan tapak tangan di depan dada, mengarah ke atas, membelah derasnya air yang jatuh dengan posisi yang tegap dan meditatif.Kedua tubuh mereka bergoyang mengikuti irama air yang memukul, meliuk lintuk seakan berdansa dengan alam, namun kaki mereka tetap terpaku kuat di dasar sungai. Sang Guru mengamati dari pinggir, matahari pagi memantulkan sinar keemasan melalui celah-celah daun, menerangi adegan meditasi yang kuat namun damai ini."Biarkan Daya Keabadian Semesta mengalir melalui kalian," Sang Guru berbicara, suaranya hampir tenggelam oleh gemuruh air terjun. "Jurus Jari Kayangan bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi tentang bagaimana kalian mengendalikan dan memanfaatkan energi alam semesta."Wancil dan Wansar, dalam keheningan meditatif mereka, mulai merasakan sesuatu yang lebih dalam dari sekedar dinginnya air atau kekuatan fisik yang diperlukan untuk bertahan di bawah derasnya air terjun. Mereka mulai merasakan aliran energi yang tidak terlihat, mengalir melalui tangan yang bersatu, masuk ke dalam tubuh, mengisi mereka dengan kekuatan yang tenang namun kuat.Dengan setiap detik yang berlalu, keduanya mulai merasakan bahwa tubuh mereka tidak lagi hanya bagian dari mereka yang berdiri di bawah air terjun; mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, sebuah kesatuan dengan alam yang mengelilingi mereka. Ini adalah pelajaran dari Jurus Jari Bayangan—tidak hanya memecahkan batu dengan tangan, tetapi memecah kebekuan dalam diri, membebaskan jiwa dari batasan-batasan yang tak terlihat.Saat mereka semakin mendalami meditasi, mereka mulai merasakan bahwa tubuh mereka seakan menjadi bayangan, ringan dan fleksibel, mampu bergerak dengan kebebasan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Energi yang mengalir melalui mereka membuat setiap gerakan terasa penuh tujuan dan kekuatan, namun sama sekali tidak membebani.Sang Guru, memperhatikan transformasi ajaib ini, tahu bahwa murid-muridnya telah memulai perjalanan untuk benar-benar memahami dan menguasai Jurus Jari Bayangan. Ini bukan hanya tentang teknik bela diri, tetapi tentang meditasi, pemahaman diri, dan harmonisasi dengan kekuatan yang mengatur semesta.Seiring dengan terbitnya matahari yang semakin tinggi, meditasi mereka mencapai puncak. Wancil dan Wansar secara perlahan menurunkan tangan mereka, membuka mata, dan melihat dunia dengan perspektif baru. Sungai, batu, hutan di sekitar mereka—semua tampak berbeda, seakan mereka melihatnya untuk pertama kalinya.Sang Guru menghampiri mereka, tersenyum lebar, "Kalian telah melampaui ekspektasi hari ini," katanya. "Kalian tidak hanya belajar Jurus Jari Bayangan, tetapi juga telah bergerak selangkah lebih dekat untuk menjadi satu dengan Semesta."Dengan hati yang penuh dan jiwa yang diperbarui, Wancil dan Wansar meninggalkan air terjun itu tidak sebagai murid yang sama yang datang pagi itu. Mereka telah bertransformasi, diperkuat tidak hanya oleh kekuatan fisik tapi oleh pemahaman mendalam tentang kekuatan yang mereka miliki bersama Daya Keabadian Semesta. Kini, mereka siap untuk menghadapi tantangan apa pun dengan kebijaksanaan baru dan kekuatan yang sejati.Selesai bermeditasi di bawah air terjun, Sang Guru, Pak Tua Wali Jati, mengumpulkan murid-muridnya untuk melakukan ritual Semadi Siang. Suasana di tepi air terjun masih dipenuhi dengan resonansi energi yang mereka rasakan tadi, membuat ritual ini terasa lebih sakral dan mendalam. Mereka duduk dalam lingkaran, mata tertutup, membiarkan suara alam menjadi mantra yang membimbing meditasi mereka. Sang Guru dengan lembut mengarahkan mereka untuk menarik nafas dalam-dalam, menghirup udara segar penuh dengan kehidupan, dan menghembuskannya perlahan, melepaskan segala ketegangan dan kelelahan.Setelah ritual tersebut, mereka perlahan berdiri, menggeliatkan tubuh yang sudah mulai kaku, dan memulai perjalanan kembali ke Gubuk Tua. Sepanjang jalan, mereka melalui hutan yang rimbun, menikmati keheningan dan kedamaian yang baru ditemukan. Namun, perjalanan mereka tidak hanya sekedar perjalanan pulang, tetapi juga sebuah pelajaran tentang alam dan rahasia-rahasianya.