Sepanjang jalan kembali ke Gubuk Tua, Pak Tua Wali Jati, dengan mata yang tajam mengamati sekeliling, menghentikan langkah setiap kali menemukan ramuan obat di tepi jalan. Wansar, yang membawa kantong besar di punggungnya, siap untuk mengumpulkan setiap ramuan yang ditunjukkan oleh Sang Guru. Setiap kali menemukan tanaman baru, Pak Tua akan menjelaskan secara detail mengenai khasiat dan kegunaannya."Ini adalah pohon Senduduk Putih," ujar Pak Tua Wali Jati saat mereka bertiga berhenti di rimbunan pohon yang terlihat agak berbeda. Pohon itu tampak lebih terang dan memancarkan aura yang berbeda dari yang lainnya. "Setiap ada pohon ini, itu menunjukkan ada perkampungan Jin Bunian di sekitar. Pohon ini adalah tanda jalan menuju ke kampung mereka." Sang Guru menunjuk ke beberapa bagian pohon tersebut seraya melanjutkan, "Daunnya bisa merawat luka, pucuk mudanya untuk menawar racun, bunganya menambah keayuan, akarnya membina kekuatan tubuh, batangnya ditakuti semua ular tapi jika diambil tanpa izin Jin Bunian, itu hanya pohon senduduk tanpa khasiat banyak."Wansar dan Wancil mendengarkan dengan saksama, menyerap setiap kata yang diucapkan Sang Guru, mengagumi betapa alam bisa menyimpan begitu banyak rahasia dan keajaiban. Mereka belajar bahwa setiap elemen di alam memiliki fungsi dan tujuan, dan manusia harus belajar untuk hidup berdampingan dengan alam, menghargai dan menggunakan sumber dayanya dengan bijak dan hormat.Wancil, dengan rasa penasaran yang membuncah, tidak dapat menahan pertanyaan yang berkecamuk dalam benaknya. Sambil melangkah perlahan di samping Pak Tua Wali Jati, ia memberanikan diri bertanya, "Maaf Pak Tua, kira-kira bagaimana caranya jika ingin meminta izin kepada Jin Bunian, apakah harus bersalaman dengan pohon?"Pak Tua Wali Jati tersenyum, menoleh kepada Wancil dengan tatapan yang mengandung kebijaksanaan. "Ah, Wancil, berinteraksi dengan Jin Bunian bukanlah seperti berbicara dengan manusia biasa. Tidak, kita tidak perlu bersalaman dengan pohon. Meminta izin kepada mereka lebih pada menyiapkan hati kita sendiri untuk menerima dan menghormati kehadiran mereka.""Ketika kita berada dekat dengan pohon Senduduk Putih ini," lanjut Pak Tua, menunjuk ke arah pohon betul di hadapannya, "kita harus menjaga sikap dan membuka hati kita. Berdirilah dengan hormat, tutup mata kita, dan ucapkan permintaan izin dengan hati yang tulus. Sampaikan niatmu untuk mengambil bagian dari pohon atau tanaman lain dengan suara yang hanya didengar oleh hati. Jin Bunian, meski tak kasat mata, mereka bisa merasakan keikhlasan dan hormat kita."Wancil mendengarkan dengan saksama, mengangguk perlahan. "Jadi, komunikasi itu lebih kepada perasaan dan niat kita?" tanyanya lagi, mencoba memahami konsep yang begitu asing namun menarik ini."Benar sekali," jawab Pak Tua Wali Jati, "Semesta ini penuh dengan misteri, dan makhluk-makhluk seperti Jin Bunian adalah bagian dari misteri tersebut. Mereka ada dalam frekuensi yang berbeda dari kita. Jadi, memang, komunikasi dengan mereka lebih pada frekuensi perasaan dan energi."Wancil merenungkan kata-kata Sang Guru, merasa ada lapisan baru dari realitas yang perlahan terbuka untuknya. Ini bukan hanya tentang belajar mengenai tanaman dan hutan, tetapi juga tentang belajar berkomunikasi dengan alam dalam arti yang lebih luas. Pelajaran hari itu menambahkan dimensi baru pada perjalanan spiritualnya, mengajarkannya bahwa setiap interaksi, bahkan yang tampak sepele, adalah bagian dari belajar hidup berdampingan dengan semua elemen alam semesta.Wansar, yang telah merenung dalam diam selama beberapa saat, akhirnya menambahkan pertanyaan yang juga bermain di pikirannya. Sambil berjalan lebih mendekat kepada rimbunan Pohon Senduduk Putih, dia berdiri sedikit di depan Pak Tua, menunjukkan rasa ingin tahunya yang mendalam. "Maaf Pak Tua, lalu bagaimana kita tahu kalau kita sudah mendapat izin?" tanyanya, matanya tertuju pada bunga putih yang penuh aura di hadapannya, hatinya sudah terpasang niat untuk memetik salah satunya.Pak Tua Wali Jati, memahami ketulusan dan kegugupan yang mungkin dirasakan oleh muridnya, berhenti sejenak, mengamati Pohon Senduduk Putih sebelum menjawab. "Mendapatkan izin dari Jin Bunian bukanlah sesuatu yang kita ketahui dengan tanda-tanda fisik, Wansar," ujar Pak Tua dengan suara yang lembut namun penuh autoritas. "Ini lebih kepada perasaan di dalam hati kita. Jika hatimu merasa ringan dan damai setelah meminta izin, jika alam sekitar terasa menyambut dan tidak ada rasa kegelisahan atau ketidaknyamanan yang muncul, maka itu bisa jadi tanda bahwa izin telah diberikan."Wansar mengangguk, memahami bahwa proses ini lebih dari sekadar tindakan fisik, melainkan interaksi yang mendalam antara dirinya dan alam semesta. "Dan jika kita merasa ada rasa berat atau kegelisahan yang mendalam, itu berarti kita belum mendapat izin, bukan?" tambahnya, mencari konfirmasi dari Sang Guru."Benar," jawab Pak Tua, menatap Wansar dengan rasa bangga atas pemahaman yang ditunjukkan muridnya. "Itulah mengapa penting untuk selalu mendengarkan apa yang dicoba disampaikan alam kepada kita. Alam berbicara, namun tidak dengan kata-kata. Dia berbicara melalui perasaan, melalui tanda-tanda yang hanya bisa ditangkap oleh hati yang benar-benar terbuka dan peka."Wansar berdiri gagah di depan rimbunan Pohon Senduduk Putih, tempat yang kini menjadi semakin sakral. Keadaan di sekeliling mereka terasa sangat hening, seolah-olah alam sekitar turut menyaksikan momen penting ini. Wansar memalingkan wajahnya ke arah Pak Tua, matanya berbinar penuh harap, mencari restu untuk melanjutkan niatnya.Pak Tua Wali Jati, guru yang bijaksana dan penuh pengertian, membalas pandangan Wansar dengan senyuman hangat dan pengertian. Dengan sebuah anggukan kepala yang lembut namun penuh makna, ia memberi izin kepada Wansar untuk melanjutkan. Wancil, yang telah mendekat dengan langkah hati-hati, ingin bergabung dalam momen tersebut, tetapi tangan kiri Pak Tua dengan halus menahannya. Sebuah isyarat jelas agar membiarkan Wansar yang pertama kali bertindak, menghormati ruang pribadi dan momen penting muridnya itu.Dengan hati yang berdebar namun juga tenang, Wansar mengambil nafas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian dan ketulusan dalam dirinya. Ia menutup mata sejenak, meresapkan keheningan alam sekitar, dan dengan lembut ia mulai berbicara ke dalam hati, memohon izin kepada para Jin Bunian yang mungkin menghuni pohon tersebut atau lingkungan sekitarnya. "Saya datang dengan rasa hormat dan keinginan untuk belajar, tidak untuk mengambil lebih dari yang diperbolehkan," bisiknya dalam hati.Setelah beberapa saat, Wansar membuka matanya, merasa sebuah kelegaan dan kedamaian yang tidak biasa menyebar dalam dirinya. Ia merasa sebagai bagian dari alam ini, disambut dan diterima. Dengan perasaan yang penuh syukur dan tenang, ia mengulurkan tangannya yang gemetar sedikit untuk memetik satu bunga dari Pohon Senduduk Putih. Saat jari-jarinya menyentuh kelopak bunga, sebuah sensasi hangat mengalir melalui dirinya, seakan energi alam menyatu dengan tubuhnya.Dari kejauhan, Pak Tua dan Wancil menyaksikan dengan penuh perhatian. Pak Tua, dengan kebanggaan yang terasa dalam dada, tahu bahwa ini lebih dari sekedar pembelajaran tentang tanaman, ini adalah langkah besar bagi Wansar dalam perjalanan spiritualnya.Ketika Wansar berbalik, memegang bunga tersebut di tangannya, dia merasakan sebuah kekuatan baru. "Saya merasa seperti telah diberikan sebuah anugerah, Pak Tua," ucapnya dengan suara yang gemetar sedikit.Pak Tua Wali Jati mengangguk, "Setiap interaksi dengan alam harus dilakukan dengan rasa hormat dan kesadaran. Kamu telah belajar sesuatu yang penting hari ini, Wansar. Yaitu, bahwa kekuatan sejati datang dari keharmonisan dan kesatuan dengan alam."Momen itu, di bawah naungan Pohon Senduduk Putih, menjadi titik balik bagi Wansar. Dia tidak hanya belajar mengenai flora dan cara memintanya dengan benar, tetapi juga tentang hubungan mendalam antara manusia dan alam semesta. Sebuah pelajaran yang akan membimbingnya melalui banyak tantangan dan petualangan yang akan datang dalam kehidupannya.Wancil, yang telah menyaksikan seluruh proses Wansar dengan penuh perhatian, kini diberi kesempatan oleh Pak Tua untuk melakukan ritual serupa.Dengan hati yang dipenuhi rasa hormat, Wancil mendekati pohon tersebut. Dengan gerakan yang penuh kesadaran dan penuh hormat, dia menghulurkan tangan ke arah cabang yang dipenuhi bunga. Sebelum menyentuh bunga-bunga tersebut, dia menutup matanya sejenak, meresapi keheningan dan memohon izin dalam hati, "Saya memohon kebaikan dari alam, dengan harapan dapat belajar dan berbagi kebaikan ini." Setelah merasa sebuah ketenangan yang mendalam menyelubungi dirinya, ia yakin telah mendapat persetujuan dari alam.Dengan hati-hati dan lembut, Wancil memetik sejambak bunga, setiap gerakan dipenuhi dengan rasa syukur dan kekaguman terhadap keindahan alam. Energi yang ia rasakan berbeda—lebih kuat dan lebih hangat, seolah-olah pohon itu sendiri memberikan restu lebih banyak kepada Wancil.