Chereads / MENUJU ABADI - LANGKAH TANPA NOKTAH / Chapter 16 - Jin Siluman Ular.

Chapter 16 - Jin Siluman Ular.

Di sisi lain, Wancil memulai perjalanannya mengikuti arah matahari terbenam. Di tengah keheningan pagi yang masih basah oleh embun, Wancil melangkahkan kakinya dengan penuh keyakinan. Langkahnya tegap, namun penuh kehati-hatian. Hutan lebat di hadapannya dipenuhi oleh suara burung dan serangga, menciptakan simfoni alam yang menenangkan sekaligus memperingatkan. Setiap langkahnya ditemani oleh suara gemerisik daun dan ranting yang patah, seolah-olah hutan itu sendiri menyambut kehadirannya.

Namun, perjalanan itu tidak selamanya tenang. Ketika melintasi sebuah bukit curam, tanah di bawah kakinya mendadak longsor. Dalam sekejap, Wancil kehilangan pijakan dan terjatuh ke dalam sebuah lubang besar yang tersembunyi di balik semak-semak. Tubuhnya terhempas keras di dasar lubang, membuatnya terdiam sesaat karena rasa sakit yang menjalar.

Saat Wancil mencoba bangkit, matanya tertumbuk pada pemandangan yang mengerikan. Dia menemukan dirinya dikelilingi oleh ular-ular besar yang tampak seperti penjaga sebuah sarang kuno. Ular-ular itu melingkar di sekelilingnya, menatap dengan tatapan dingin dan penuh ancaman. Di tengah-tengah mereka, seekor ular raksasa muncul, badannya berkilauan dalam cahaya remang-remang lubang itu. Mata ular itu berkilat penuh kebencian, seolah menantang Wancil untuk melawan.

Ular raksasa itu, ternyata adalah siluman ular dari keturunan Jin, makhluk yang sangat kuat dan berbahaya. Tanpa ragu, ular itu melancarkan serangan, membuka mulutnya yang besar dengan taring yang tajam, siap mencabik-cabik Wancil. Dalam sekejap, pertarungan pun terjadi. Wancil mengerahkan semua ilmu yang dia pelajari dari Pak Tua Wali Jati, menggunakan jurus-jurus Jurus Jari Kayangan untuk melawan siluman ular itu.

Gerakan Wancil lincah dan cepat, menghindari setiap serangan mematikan dari siluman ular. Dia menangkis dan menyerang balik dengan pukulan yang kuat, namun setiap kali dia berhasil melukai ular itu, luka tersebut sembuh dengan cepat. Kekuatan siluman itu terlalu besar. Wancil merasa kewalahan dan hampir menyerah ketika ekor ular melilit tubuhnya, menekan keras hingga napasnya terasa sesak.

Dalam keadaan terdesak, Wancil ingat akan Puteri Jin Bunian yang pernah dia temui dalam meditasinya. Dengan segenap kekuatannya yang tersisa, dia memanggil Puteri Jin Bunian, memohon bantuan. "Puteri Jin Bunian, tolong aku!" teriaknya dalam hati, berharap panggilannya akan didengar.

Seketika, suasana di sekitar berubah. Cahaya lembut dan menenangkan memenuhi lubang itu, mengusir kegelapan dan rasa takut. Puteri Jin Bunian muncul dengan aura yang memancarkan ketenangan dan kekuatan. Dia melayang di udara, melihat langsung ke mata Wancil dengan senyuman yang menenangkan.

"Bertahanlah, Wancil," kata Puteri Jin Bunian dengan suara yang merdu dan menenangkan. "Aku akan membantumu."

Dengan gerakan tangan yang anggun, Puteri Jin Bunian mengeluarkan sinar cahaya yang memukul keras ke arah siluman ular. Ular itu mengeluarkan raungan kesakitan, melepaskan lilitannya dari tubuh Wancil. Dengan bantuan Puteri Jin Bunian, Wancil merasa kekuatannya kembali pulih. Dia berdiri tegak, bersiap untuk memberikan serangan terakhir.

"Serang titik lemah di lehernya," bisik Puteri Jin Bunian.

Wancil mengangguk, fokus matanya tertuju pada titik lemah siluman ular. Dengan kecepatan yang luar biasa, dia melompat dan menghantamkan jurus Jari Kayangan ke titik tersebut. Siluman ular mengeluarkan raungan terakhir sebelum tubuhnya runtuh ke tanah, tak berdaya.

Wancil menarik napas lega, tubuhnya bergetar karena kelelahan dan adrenalin. Dia memandang Puteri Jin Bunian dengan penuh rasa syukur. "Terima kasih, Puteri. Tanpa bantuanmu, aku tidak akan bisa mengalahkan siluman ini."

Puteri Jin Bunian tersenyum lembut. "Kamu telah menunjukkan keberanian yang luar biasa, Wancil. Ingatlah bahwa dalam setiap kesulitan, selalu ada bantuan jika kita berani untuk memintanya. Lanjutkan perjalananmu dengan hati yang kuat. Kamu memiliki tugas besar yang menunggu."

Dengan kata-kata itu, Puteri Jin Bunian perlahan menghilang, meninggalkan Wancil sendirian di lubang itu. Namun, dia tidak lagi merasa sendirian. Dia tahu bahwa dia memiliki kekuatan dan dukungan dari dunia yang tak terlihat.

Wancil keluar dari lubang dengan susah payah, tetapi dengan semangat yang baru. Dia melanjutkan perjalanannya ke Puncak Semeru dengan tekad yang semakin kuat. Dia harus menemukan Abu Api Semeru, sebagai memenuhi amanat dari Sang Guru. Tidak seperti Wansar yang sudah mengetahui tujuan Abu Api Semeru, Wancil hanya tahu bahwa dia harus membawa pulang kristal hitam tua yang berkilau itu.

Dengan setiap langkah yang diambilnya, Wancil merasa semakin dekat dengan puncak gunung yang menjulang tinggi itu. Sambil berjalan, perasaan bermain-main di hatinya. Wajah ayu dan lenggok anggun Puteri Jin Bunian terus membayangi pikirannya. Suara lunak sang Puteri menjentik-jentik hati mudanya, membuatnya merasa tidak tenang.

"Apa yang terjadi padaku?" Wancil bertanya dalam hati, berusaha menyingkirkan bayangan sang Puteri dari benaknya. Namun, semakin dia mencoba melupakan, semakin kuat bayangan itu menghantui pikirannya. Dia teringat akan Sicantika, gadis yang selalu menyertai pelatihannya, dan membandingkan antara Sicantika dan Sang Puteri. Seperti ada rasa bersalah yang dia tidak mengerti, seolah-olah hatinya terpecah antara dua dunia.

Wancil menghela napas panjang, mencoba fokus pada misinya. Dia tahu bahwa tugas yang diembannya lebih besar dari perasaannya sendiri. Namun, rasa kagum dan ketertarikannya pada Puteri Jin Bunian tidak bisa diabaikan begitu saja. Setiap langkah yang diambilnya, dia mencoba memahami perasaan itu, sambil terus bergerak maju.

Sambil mendaki, Wancil berusaha menenangkan pikirannya dengan melafalkan bait-bait keramat yang diajarkan oleh gurunya. Mantra-mantra itu memberinya kekuatan dan fokus, membuatnya mampu melangkah lebih jauh tanpa rasa takut. Dia ingat akan nasihat gurunya tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara hati dan pikiran, dan dia berusaha menerapkannya dalam setiap langkah.

Ketika mencapai lereng yang lebih tinggi, Wancil merasakan udara semakin tipis dan dingin. Nafasnya terengah-engah, namun semangatnya tidak surut. Dia tahu bahwa dia semakin dekat dengan tujuannya. Di kejauhan, dia melihat puncak Semeru yang diselimuti kabut tebal, seolah-olah gunung itu sendiri menyimpan rahasia besar yang menantinya.

Setiap langkah mendekatkannya pada puncak, pada kristal hitam tua yang berkilau, yang merupakan Abu Api Semeru. Di dalam hatinya, Wancil merasa ada sesuatu yang penting menantinya di sana, sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Dia tidak tahu apa yang akan dia temukan, tetapi dia siap menghadapi segala kemungkinan.