Chereads / MENUJU ABADI - LANGKAH TANPA NOKTAH / Chapter 10 - Hukum Rimba

Chapter 10 - Hukum Rimba

Fajar mengecat langit dengan warna cerah merah jambu dan oranye, seolah menghidupkan kembali semesta setelah beristirahat dalam gelapnya malam. Matahari, raja siang, perlahan menampakkan diri di balik rangkaian pohon-pohon yang menjulang tinggi, menciptakan mozaik cahaya dan bayangan yang menari di bumi yang masih tertidur. Embun pagi bersinar bagai mutiara yang terserak, menjadi saksi bisu akan kesucian yang belum terjamah oleh waktu. Hawa dingin pagi menyentuh kulit, membangkitkan semangat mereka yang terbaring dalam pelukan malam.Dari kedalaman Gubuk Tua, tempat cerita dan kenangan bersarang, tiga sosok melangkah keluar untuk memulai ritual Mandi Embun. Tanpa kata, hanya suara alam dan desahan nafas yang beradu dengan bait-bait keramat yang pelan mereka lantunkan. Wansar, dengan langkah yang tertata, mengambil bungkusan makanan yang telah disiapkan di atas pangkin tua berbalut cerita.Langkah mereka, setiap detik dan helaan nafas, seakan menyatu dengan alam yang mengelilingi. Gemericik air sungai kecil yang mengalir bebas mengiringi suara merdu burung-burung yang terbang mencari makan, menghidupkan suasana yang semula sunyi. Pepohonan rindang berdiri gagah, memberikan teduh dan menyambut setiap mata yang memandang dengan seribu satu warna bunga liar yang merekah tanpa dipinta.Di kejauhan, Gunung Semeru berdiri kokoh, megah dan abadi, menjaga alam sekitarnya dengan sepenuh hati.Saat berjalan pelan menyusuri anak sungai, mereka menyapa dedaunan yang masih basah, memberikan hormat dengan tiap sentuhan pada embun yang jernih, menggambarkan permulaan yang baru. Wancil, mengingat kembali hari-hari pertamanya belajar Mandi Embun, terkekeh dalam hati saat mengenang Sicantika yang pernah menertawakannya karena salah mengucap mantra keramat. Rasa hangat mengisi dada, mengingat jalan yang telah dilalui bersama.Di tengah ritual Mandi Embun, setiap butir embun yang menyentuh kulit tidak hanya basah, tapi juga pelajaran dan cerita. Telapak kiri di bawah, daun di tengah, telapak kanan di atas, memahami bahwa setiap usapan adalah doa, setiap tatapan adalah syukur. Kulit Wancil tidak hanya menjadi saksi atas embun yang menyembuhkan, tapi juga atas cahaya yang pelan-pelan menyinari pikiran dan jiwa.Mereka melanjutkan langkah, mendekap rahasia yang hanya diketahui oleh mereka yang berani mendengar bisikan alam. Setiap gerakan, setiap suara air yang menari di antara batu, menambah harmoni pada pagi yang sejuk dan menyegarkan itu, mempererat ikatan yang tak terlihat namun terasa di dalam dada. Mereka adalah bagian dari alam, dan alam adalah cermin dari jiwa-jiwa yang terus mencari arti di balik setiap embun dan setiap sinar yang menembus daun.Saat sinar matahari pagi yang keemasan menyentuh setiap daun dan batu, mewarnai dunia dengan hue yang penuh kehangatan dan kedamaian. Mereka berhenti, terpesona oleh keindahan air terjun yang mengalir tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Air jernih itu jatuh dari ketinggian, menghasilkan suara gemuruh yang merdu, sebuah simfoni alam yang memikat telinga dan memanjakan mata. Suasana dramatis itu, penuh dengan keajaiban alam, menyambut mereka seolah-olah alam sendiri mengakui kedatangan tamu-tamunya yang telah lama menapak di jalur-jalur hutan ini.Mereka mendekati tepi kolam yang dihiasi dengan batu-batu besar dan pepohonan yang rimbun mengelilingi air terjun. Sang Guru, dengan gerakan yang tenang dan berwibawa, memberi isyarat kepada Wansar untuk membuka bungkusan makanan yang telah mereka bawa. Di atas batu besar yang datar, Wansar membentangkan kain kecil sebagai alas makanan mereka.Sambil mereka menyantap gumpalan nasi dan sambal teri, Sang Guru mulai berbicara, suaranya mengatasi gemuruh air terjun. "Apa itu hukum rimba?" tanyanya, lalu terdiam sejenak, seolah memberikan ruang bagi murid-muridnya untuk merenung dan menanggapi.Wancil, dengan suara yang tenang namun pasti, menjawab sambil memasukkan sebongkah nasi ke mulutnya, "Yang kuat mengatasi yang lemah." Rasa nasi dan sambal teri yang pedas mengisi mulutnya, menggugah indra rasa sambil menstimulasi pikirannya."Iya, yang kuat mengatasi yang lemah. Itu dasar hukum rimba," timpal Wansar, menelan bongkahan nasinya, rasa asin dan pedas dari sambal teri membaur sempurna dengan kehangatan pagi yang mereka rasakan.Sang Guru mengangguk perlahan, menyimak jawaban mereka. "Benar," ujarnya. "Namun, apakah itu berarti yang lemah tidak memiliki tempat di dunia ini? Apakah kekuatan fisik dan kekuasaan adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup?"Wancil dan Wansar terdiam, mencerna pertanyaan itu. Air terjun terus berbicara dalam bahasa alamnya, menawarkan latar belakang yang sempurna untuk diskusi filosofis ini.Di sisi tebing yang menjulang dengan gemericik air terjun yang menari, Sang Guru, dengan sorot mata yang terpatri kejauhan, melanjutkan kata-katanya yang seolah mengalir seperti air sungai yang tenang."Kita," ujarnya, memulai dengan nada yang merdu, "harus memahami bahwa kekuatan sejati bukan hanya berasal dari kekuasaan atas yang lain. Kekuatan itu juga datang dari kebijaksanaan, dari kemampuan untuk hidup berdampingan dengan alam dan makhluk lain dengan harmonis."Hari ini, di bawah naungan pepohonan yang rindang dan diiringi suara alam yang menenangkan, Pak Tua Wali Jati, dengan kedalaman suara yang serupa dengan gema dari lorong waktu, menambahkan, "Setelah bertahun-tahun kamu mendampingi guru, kini saatnya kamu belajar apa yang tersembunyi di balik hukum rimba. Telah kusampaikan dan harus kamu fahami bahwa Daya Keabadian Semesta adalah penguasa semua yang ada di semesta. Hukum yang menyatakan 'yang kuat mengatasi yang lemah' itu berakar pada kenyataan bahwa Daya Keabadian Semesta adalah satu-satunya yang terkuat. Semua selain Dia di semesta ini adalah lemah. Namun, walaupun Dia, Sang Daya Keabadian Semesta, berhakikat sebagai yang terkuat, kekuatan dan penguasaan-Nya penuh kelembutan."Dia mengambil nafas, matanya memandang ke arah cahaya yang menerobos dedaunan. "Di rimba ini, Daya Keabadian Semesta memang menerapkan hukum—harimau yang kuat memakan kancil yang lemah, kancil yang kuat memamah daun yang tidak bisa melawan, elang yang gagah merajai langit dengan memburu pipit. Namun, semua itu berlangsung dalam sebuah ketertiban. Kekuatan tidak disertai dengan kerakusan atau ketamakan. Harimau, singa, dan semua pemakan daging hanya mengambil secukupnya, membiarkan kancil dan lainnya meneruskan hidup saat keperluan itu terpenuhi."Pak Tua Wali Jati, dengan pandangan yang tajam namun penuh kasih, mengakhiri pembicaraannya, "Makanya, walau hukum rimba mengatakan 'yang kuat memamah yang lemah', dan menguasai, rimba ini terus mekar dengan segala kehidupan tetap hidup dan berdampingan. Semua bisa berjalan dengan harmonis karena Daya Keabadian Semesta selalu melatari segalanya. Tidak berimbang, menjadi rakus, tamak dan melampui batas adalah perilaku yang mengingkari Daya Keabadian Semesta."Di bawah naungan pepohonan yang tua dan bijaksana, mereka berdiam diri, menyerap setiap kata yang telah diucapkan, membiarkan hikmah tersebut meresap ke dalam jiwa, membawa pemahaman baru tentang dunia alam dan tatanannya yang sempurna.Pak Tua Wali Jati menatap ke arah air terjun yang memancarkan kilauan cahaya matahari, seraya memberi isyarat kepada kedua muridnya untuk mendekat. Sinar matahari pagi yang menyinari air terjun itu menambahkan nuansa mistis pada pelajaran yang hendak disampaikan."Sekarang," ujarnya dengan suara yang berat namun penuh pengertian, "saatnya untuk kalian menghayati bagaimana caranya untuk berimbang. Pergilah berendam benar-benar di bawah terjunan air. Di situ, kalian harus bisa merasakan aliran Daya Keabadian Semesta pada terjunan air itu bersambung, menyatu dengan aliran Daya Keabadian Semesta yang mengalir dalam tubuh kalian."Wancil dan Wansar mendekati tepi air terjun, hati mereka dipenuhi dengan kekaguman dan sedikit kegugupan. Mereka melangkah masuk ke kolam alami yang terbentuk oleh air terjun tersebut, merasakan dinginnya air yang menghantam tubuh mereka dengan kekuatan yang luar biasa."Pada terjunan itu ada kekuatan yang bisa memecahkan batu," lanjut Pak Tua Wali Jati, matanya tidak lepas dari kedua muridnya yang kini berendam hingga dada di bawah derasnya air terjun. "Pada batu ada kesanggupan untuk dipecahkan namun tidak berhamburan, karena pada keduanya Daya Keabadian Semesta menjadi penyatu, mengimbangi."Dia berjalan mengelilingi kolam, suaranya bergema di antara dinding tebing yang menjulang. "Begitu juga kalian nantinya, temukan titik keseimbangan itu. Supaya jurus jari-jari kayangan yang telah kusampaikan bisa kalian tingkatkan hingga bisa memecahkan batu."Wancil dan Wansar merasakan setiap tetes air yang menyentuh kulit mereka, setiap titisan yang terciprat membasahi wajah. Di bawah guyuran air terjun yang tak kenal lelah, mereka mencoba menyelaraskan diri mereka dengan ritme alam, membiarkan suara gemuruh air mengisi pikiran mereka, menyingkirkan segala keraguan."Dengan cara ini," Pak Tua Wali Jati menyimpulkan, "kalian akan belajar untuk menghargai kekuatan dan juga kelemahan. Kalian akan belajar bagaimana menjadi kuat tanpa kehilangan kelembutan, menjadi teguh tanpa kehilangan kebijaksanaan."Air terjun itu, dengan segala kekuatannya yang dapat memecahkan batu namun tetap berada dalam harmoni yang sempurna dengan lingkungannya, menjadi guru yang sempurna. Di sanalah, di bawah siraman alam yang tak pernah henti, Wancil dan Wansar menemukan pelajaran tentang keseimbangan yang akan membawa mereka menuju penguasaan diri yang lebih dalam, sebuah langkah lagi dalam perjalanan menjadi penguasa alam semesta mereka sendiri.Bersambung.