Desa Wano Ciri. Jaraknya sekitar setengah hari berjalan kaki dari Pasar Perbatasan Kota. Hanya ada sekitar belasan rumah di sana. Kesemua warga berasal dari rumpun keluarga yang sama. Kesemua adalah petani dan juga pengumpul dan pedagang ramuan obat dari hutan Semeru. Ada satu kelebihan kepada kelompok warga Desa Wano Ciri. Semua mereka adalah ahli bela diri. Setiap orang baik lelaki juga wanita, dari remaja lagi sudah memiliki keterampilan lincah ilmu bela diri Jurus Jari-Jari Kayangan. Jurus bela diri turun temurun yang tidak diajarkan kepada orang luar. Jurus yang dapat membekukan seluruh badan lawan hanya dengan tusukan jari. Makanya, mereka memiliki keberanian tersendiri untuk tinggal agak jauh dari perbatasan kota. Juga karena keterampilan itu, belum ada yang berani datang membuat onar.Di tengah-tengah longgokan rumah, ada satu yang ukurannya paling besar. Rumah milik Kepala Desa yang juga Kepala Keluarga di sana. Pak Tua Wali Sani bersama isterinya, Ibu Wali Waniton, dan 2 anak gadis sunti kembar seiras, Sicantika dan Sisuntika. Dua gadis sunti penuh kesopanan namun tangkas dan lincah.Pagi itu, di mana saatnya semua warga seharusnya masih bersarapan di rumah masing-masing, sebaliknya mereka berkerumun di rumah Kepala Desa. Mereka mendapat tahu kalau tadi subuh ada yang membawa 2 orang anak lelaki ke rumah itu. Semua penasaran ingin tahu siapa dan kenapa dan ada apa? Setiap seorang baik laki-laki juga wanita sebentar ke dalam menjenguk dan kemudian keluar lagi berkumpul di serambi. Ada yang bersuara. Kedua anak itu pingsan. Langsung tidak sadarkan diri. Untung sahaja tidak dipatuk ular atau jengking. Ada yang menyambung. Ya. Nasib mereka masih dianggap beruntung karena ditemukan oleh Pak Tua Wali Jati dan muridnya. Kalau tidak, bau busuk mayat yang akan sampai ke kita. Ada yang bertanya. Kenapa anak sekecil itu bisa pingsan jauh dari kota? Dengan kaki luka berdarah-darah. Nyawa sudah sepertiga hilang dari badan. Ada yang menyahut. Kita tunggu mereka sadarkan diri. Itu lagi diobati oleh Pak Tua.Di dalam, di satu sudut di ruangan utama rumah. Di atas tikar jerami. Wancil dan Wansar terbaring. Luka-luka di kaki sudah dibersihkan dan dibaluti dengan kain obat. Badan mereka juga sudah dibersihkan dengan kain basah oleh Ibu Wali Waniton. Mereka sudah disarungkan dengan baju panas warna putih kelabu. Seluruh badan diselimuti dengan kain selimut dari kapas. Di dahi ada kain yang agak lembab menutupi. Setiap yang menjenguk tidak mengatakan apa-apa karena di dekat kedua anak itu ada Pak Tua Wali Sani dan Abangnya Pak Tua Wali Jati duduk bersimpuh sambil bersarapan pagi.Ketika bahang mentari mulai terasa, kerumunan telah lama tersebar. Menyisakan dua tamu muda yang masih terlantar diawasi oleh Ibu Wali serta dua gadis suntinya. Pak Tua bersaudara beserta muridnya dan beberapa warga lelaki dewasa sedang teliti memeriksa ramuan obat di gubuk tidak terlalu jauh dari rumah besar. Warga lainnya ada yang sudah turun ke lahan tani. Ada yang sibuk membersihkan dan mengurus ramuan obat yang baru dikumpulkan. Wanita desa seperti biasanya, ada yang di dapur menyediakan makan siang dan ada yang membantu suami dengan pekerjaan. Nasib kedua tamu belia terus melingkar di fikiran setiap warga.