Chereads / MENUJU ABADI - LANGKAH TANPA NOKTAH / Chapter 6 - Hangat Cahaya

Chapter 6 - Hangat Cahaya

Di sudut gelap sebuah ruangan yang sepi, cahaya rembulan menyelinap masuk, menerobos celah-celah jendela yang terbuka. Di situ, dalam remang cahaya, terdapat sosok kecil yang tergulung rapat, mendakap lututnya yang dingin. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat, seolah-olah setiap tetes air mata membawa secercah ketakutan yang telah dia kumpulkan sepanjang hidupnya. Tangisannya, hening namun memilukan, adalah suara yang tak ingin didengar oleh siapa pun—suara kesakitan yang terlalu dalam untuk seorang anak. Kepalanya tertunduk, matanya terpejam erat, mencoba mengusir bayang-bayang yang terus menghantui pikirannya.Wancil merasa seolah-olah setiap desah napasnya mengundang lebih banyak bayangan gelap untuk mendekat.Sekujur tubuhnya menggigil, tidak hanya karena udara malam yang dingin, tetapi juga karena ketakutan yang merajalela dalam dirinya. Di antara dakapan lututnya, ia menyembunyikan wajah yang basah oleh air mata, mencoba menemukan sedikit kehangatan, sedikit keamanan dalam pelukannya yang rapuh.Tak ada yang bisa mendengar, tak ada yang bisa mengerti rasa takut yang menghunjam dalam relung hati kecilnya. Wancil merasa sendiri, terisolasi dalam dunia yang tampaknya begitu asing dan menakutkan. Namun, dalam kesendiriannya itu, dia harus menemukan cara untuk menghibur dirinya sendiri, untuk menenangkan jantung kecilnya yang berdetak kencang, karena tidak ada siapa pun di sana untuk mengusap air matanya, untuk mengatakan bahwa segalanya akan baik-baik saja."Anakku, pandanglah aku," suara lembut mendayu-dayu seakan memanggil Wancil, si anak kecil yang lagi menangis ketakutan. Suara lembut itu terus memanggil. Tubuh kecil itu tambah mengeletar karena ketakutan. Tangisannya semakin memilukan. "Jangan takut, Nak," suara lembut itu membujuk. "Angkatlah kepalamu, pandanglah ke sini."Dengan perlahan, Wancil mengangkat kepalanya, matanya yang sembab menatap ke arah sumber suara. Di depannya, siluet samar seorang lelaki tua tampak, diterangi cahaya bulan yang masuk melalui jendela. Wajahnya lembut, matanya menunjukkan kasih sayang yang dalam, sebuah kontras dengan kegelapan yang telah lama menyelimuti hari-harinya."Mengapa kau menangis, anakku?" tanya Pak Tua itu dengan suara yang menenangkan.Wancil, dengan suara terbata-bata, mencoba menjawab, "Saya takut... saya selalu takut."Pak Tua itu menghampiri, berlutut di samping Wancil, dan memeluknya dengan erat. "Tak ada yang perlu ditakuti lagi. Kamu aman bersamaku di sini," bisiknya, sambil tangannya yang hangat mengusap punggung Wancil, berusaha mengusir kedinginan yang merasuk ke dalam tulang.Pelukan itu, hangat dan menghibur, pelan-pelan mengurangi getaran ketakutan dalam diri Wancil. Air matanya masih mengalir, tetapi sekarang karena rasa lega, bukan teror. Di dalam pelukan itu, ia menemukan benteng yang telah lama hilang, suatu tempat di mana ia bisa berlindung dari badai emosi yang selalu mengancam untuk menenggelamkannya.Pak Tua itu, dengan sabar, duduk bersama Wancil hingga ia tenang, memeluknya dengan penuh rasa welas asih seorang kakek kepada cucu kesayangannya, menyanyikan lagu pengantar tidur yang telah lama dilupakan. Suara nyanyian yang lembut menggantung di udara, melawan bisikan-bisikan mengerikan dari mimpi buruk yang sebelumnya menghantui Wancil.Perlahan, pelukan itu dilepaskan. Pak Tua menggenggam tangan Wancil dan mengajaknya bangun. Wancil menurut, mengikuti arahan dengan langkah yang masih ragu. Mereka berdua bangkit. Pak Tua, sambil menggenggam erat tangan kecil itu, memimpin Wancil berjalan menuju ke arah cahaya yang menyinari. Semakin mereka mendekat, cahaya itu semakin terang dan berkilau. Dari cahaya itu, ada kehangatan yang tidak hanya menghangatkan tubuh tapi juga menguatkan jiwa Wancil. Langkah kakinya semakin mantap mendekati cahaya. Dia semakin bersemangat, ingin mendekap sepenuhnya cahaya itu. Dia sendiri tidak menyadari kapan tangan Pak Tua terlepas dari genggamannya. Dia fokus pada cahaya yang ada di depan.Tiba-tiba, cahaya itu memudar menjadi siluet yang akrab—wajah Pak Tua yang tersenyum lembut ke arahnya, penuh kebanggaan dan kasih sayang. "Lihatlah, Wancil," ujar Pak Tua dengan suara yang mengalun hangat, "ini adalah cahaya dari dalam dirimu, cahaya keberanian dan harapan yang telah lama kau simpan dalam hatimu."Wancil, kini berdiri di tengah cahaya yang hangat, menatap sekelilingnya dengan kagum. Dia menyadari bahwa ia tidak lagi berada di ruangan gelap itu, melainkan di suatu tempat yang penuh cahaya dan kedamaian. Pak Tua masih berdiri di sampingnya, tangan mereka kini terlepas, namun kehadiran lelaki tua itu masih memberikan kekuatan."Kau tidak sendiri, Wancil," lanjut Pak Tua. "Kekuatan ini akan selalu bersamamu, seperti aku akan selalu mendampingimu dalam setiap langkahmu. Percayalah pada cahaya dalam dirimu, dan jangan pernah takut lagi."Wancil mengangguk, matanya berkaca-kaca tidak lagi karena ketakutan, tetapi karena rasa syukur yang mendalam. Dia menghela napas dalam-dalam, merasakan setiap partikel udara yang dihirupnya membawa kekuatan baru. Tiba-tiba, segala ketakutan dan kecemasan yang selama ini membelenggunya mulai terlepas. Dia merasa bebas, ringan, dan penuh kekuatan.Dengan senyum yang sekarang merekah di wajahnya, Wancil menoleh kepada Pak Tua, matanya bersinar terang. "Terima kasih, Pak Tua," katanya dengan suara yang tegas dan penuh keyakinan. "Saya siap untuk menghadapi apa pun sekarang."Pak Tua mengangguk, wajahnya berseri-seri dengan kepuasan. "Itulah anakku," katanya sambil menepuk bahu Wancil lembut. "Sekarang, mari kita kembali. Ada banyak hal yang harus kita lakukan, banyak mimpi yang harus kita wujudkan bersama."Bersama-sama, mereka berjalan kembali melalui cahaya, langkah mereka ringan dan penuh harapan, siap untuk menghadapi dunia dengan keberanian baru yang telah mereka temukan bersama.