Hari semakin beranjak siang. Sarapan yang telah tersaji masih belum tersentuh. Beberapa gumpalan nasi putih yang tadinya hangat kini telah mendingin. Sambal merah dengan ikan teri juga telah kehilangan kehangatannya. Dua cangkir kopi yang masih tertutup menunggu untuk dinikmati. Hidangan sarapan yang telah disiapkan Ibu Wali untuk suami dan iparnya itu berada di atas meja di samping ruang semadi di rumah besar.Pak Tua Wali Sani, yang telah dicolek oleh istrinya ketika sarapan dihidangkan, masih setia menemani meditasi Pak Tua Wali Jati. Sejak dulu, kapanpun Pak Tua Wali Jati melakukan meditasi untuk pengobatan batin, Pak Tua Wali Sani selalu menjadi asistennya. Ia mengawasi pasien dan menjaga keselamatan saudaranya.Ilmu meditasi untuk pengobatan batin yang diajarkan langsung oleh almarhum kakek mereka ketika mereka masih remaja memerlukan fokus yang sangat tajam. Fokus ini dilatih melalui semadi dan meditasi bertahun-tahun. Namun, tidak semua yang menjalani pelatihan ini mampu menguasai keterampilan tersebut sepenuhnya seperti Pak Tua Wali Jati. Pak Tua Wali Sani sendiri tidak mampu bertahan dalam meditasi sepanjang kakandanya.Di kalangan warga dan keluarga dekat, terdapat beberapa remaja laki-laki dan perempuan, termasuk kembar seiras dan beberapa murid langsung Pak Tua Wali Jati yang sedang menjalani pelatihan. Namun, belum ada yang menunjukkan memiliki bakat spiritual yang kuat. Persyaratan untuk memiliki bakat tersebut tidak dapat diajarkan, karena itu adalah karunia Daya Keabadian Semesta.Di luar, matahari terus merangkak naik, menyinari desa yang mulai sibuk dengan aktivitas sehari-hari. Suara anak-anak yang bermain terdengar riang gembira, menambah semarak suasana desa yang damai. Namun, di dalam ruangan di samping tempat dua pemuda terbaring itu, suasana masih tetap hening. Pak Tua Wali Jati dengan lembut mengarahkan energi meditatifnya, tangannya bergerak dengan ritme yang teratur, seolah menari mengikuti alunan musik yang tidak terdengar oleh telinga manusia biasa.Sebentar kemudian, tangan itu kembali ke lutut dan diikuti dengan beberapa tarikan nafas panjang Pak Tua Wali Jati. Dengan kepala yang sedikit menunduk, Pak Tua Wali Jati membuka mata dan mengusap wajah tuanya itu dengan kedua telapak tangannya, kemudian perlahan mengusap keseluruhan tubuhnya. Nafasnya kembali beraturan. Mukanya dipalingkan ke arah adiknya, memberikan isyarat untuk bangkit menuju meja sarapan.Seperti seorang prajurit yang taat pada komandannya, Pak Tua Wali Sani segera bangun dan mengikuti ke meja sarapan. "Bagaimana, Kakanda?" tanya Pak Tua Wali Sani. "Dengan izin Daya Semesta, sebentar akan bangun," ujar kakaknya sambil membuka penutup cangkir kopi. Sementara itu, semua perlakuan kedua saudara tua itu tak luput dari perhatian Ibu Wali dan kedua putri kembarnya. Mereka, yang telah sejak selesai menyiapkan sarapan, tekun duduk di samping pintu dapur seolah menanti sebuah keajaiban.Aroma kopi mulai mengisi ruangan, membayangi harapan baru. Ibu Wali dan putri kembarnya, Sicantika dan Sisuntika, saling berpandangan, mata mereka penuh harap. Atmosfer di ruangan itu kian terasa magis, seakan semua kehadiran di dalamnya sedang menyatu dalam doa dan harapan yang sama."Kita harus terus berdoa dan bermeditasi," ucap lembut Pak Tua Wali Jati. "Energi yang kita kirimkan adalah kunci untuk membangunkan jiwa mereka yang masih terjaga dalam mimpi." Dia terus mengungkap sambil tangan menjamah gumpalan nasi untuk di cecah sambal teri. Tiba-tiba, Sicantika, yang sebelumnya tenang, tampak gelisah. Matanya membelalak dan tangannya menunjuk ke arah tempat tidur Wancil. "Lihat, lihat!" teriaknya dengan suara yang terkejut namun penuh kegembiraan.