Di malam ketiga ini, suasana ruangan terasa damai dan khusyuk saat Pak Tua bersaudara, dalam ruangan khusus yang diisi dengan aroma harum dari dupa yang membakar, memulai ritual spiritual mereka. Cahaya gemerlap lilin yang menari-nari memantulkan bayangan lembut di dinding, menciptakan suasana yang magis dan sakral. Kedua mereka duduk berdekatan dengan anggun dan tenang, postur badan mereka tegak namun rileks, seolah-olah menyatu dengan energi kosmis yang mengalir di sekitar mereka.Sementara itu, di ruang lain, dua tamu muda masih terbaring dengan tenang, wajah mereka tenang dan damai seperti bayi yang sedang tertidur. Ibu Wali, dengan penuh kasih sayang seorang ibu, terus merawat mereka, memancarkan kehangatan dan harapan dari setiap sentuhan dan senyumnya. Semua yang hadir di rumah besar ini merasakan kekuatan ikatan spiritual yang mengikat antara mereka dan tamu muda seperti saudara, meskipun baru saja bertemu.Dalam ketenangan malam yang semakin larut menuju fajar dinihari, Pak Tua bersaudara terus tenggelam dalam meditasi mereka, melafalkan bait-bait keramat dengan penuh ketulusan dan kekhusyukan. Suara mereka bergetar dengan harmoni alam semesta, seolah-olah menjadi bagian dari irama kosmik yang abadi. Mereka sungguh sedang berusaha untuk membangunkan tamu belia secara rohani.
Ketika saatnya fajar subuh benar menyinsing, kedua Pak Tua melanjutkan ritual mereka dengan semadi fajar. Usai dari itu, sudah menjadi amalan hidup, mereka turun ke tanah, melakukan ritual mandi embun di sekitar desa. Warga desa satu persatu keluar menyusul. Setiap mereka tanpa kata apalagi canda, berjalan dengan santai, seketika berhenti di rimbunan pohon dan dedaunan. Tangan mencapai setiap dedaun. Telapak tangan yang basah dengan embun pagi di usap ke muka, kepala, seluruh tangan dan anggota badan. Ada bait-bait keramat dilafal tanpa henti. Ritual mandi embun warisan tetua dahulu yang terus mereka rawat dan amalkan.
Ritual mandi embun berakhir dengan semua warga berkumpul di satu lapangan. Pak Tua Wali Jati memimpin gerakan jurus Jari-Jari Kayangan dengan penuh semangat. Hening damai pagi menjadi terpecah oleh suara keras para warga. Seperti layaknya pendekar yang sedang bertarung, setiap langkah jurus dilepaskan dengan penuh tenaga. Gerakan tubuh Pak Tua Wali Jati bergantian antara tangkas dan lincah, meliuk-lintuk, mendekatkan diri ke tanah, dan meloncat tinggi. Dengan penuh semangat, gerakan tersebut ditiru oleh seluruh warga, menciptakan harmoni dan kekuatan kolektif dalam pagi yang indah ini.Dengan tiba-tiba, Pak Tua Wali Jati berhenti, dan semua orang ikut berhenti. Pak Tua Wali Sani mendekati kakandanya dengan cepat, sementara semua mata tertuju pada satu arah. Sisuntika berlari menuju lapangan dengan tangan melambai-lambai, suaranya memecah hening dengan jeritan kegirangan, "Mereka sudah bangun! Mereka sudah bangun!" Kedua Pak Tua saling memandang tanpa kata-kata, namun ekspresi wajah mereka dipenuhi cahaya lega dan syukur yang dalam. Dengan langkah cepat, mereka menuju ke rumah, diikuti oleh seluruh warga yang mulai bergerak. Melihat kedua Pak Tua dan warga sudah bergegas, Sisuntika berhenti menunggu. Saat kedua Pak Tua tiba di ruangan, Ibu Wali dan Sicantika tampak sedang berbicara tentang sesuatu yang serius. Kedua anak muda masih terbaring di tempat tidur. Wajah Wansar jelas memperlihatkan kebingungannya. Matanya yang lesu terus melirik ke sekeliling, menunjukkan ketidakmengertian atas situasinya. Kepalanya terasa sangat berat dan berdenyut. Meskipun mencoba untuk bergerak dan bangun, badannya tidak berdaya. Di sampingnya, Wancil masih belum membuka mata. Sepertinya hanya Wansar yang terbangun sendirian.Pak Tua berdua mendekat. Ibu Wali memberi ruang, dan Sicantika bangun untuk mengundurkan diri ke samping. Pak Tua Wali Jati meminta agar diambilkan secangkir air kosong. Ibu Wali mencapai kendi dan cangkir yang telah ada sejak awal disamping tempat tidur, lalu diserahkan ke Pak Tua Wali Jati. Sambil bersila, kedua Pak Tua sekarang berada di samping Wansar. Pak Tua Wali Jati menuangkan air ke dalam cangkir, kemudian membawanya dekat ke bibirnya. Dia mulai membaca bait-bait keramat. Tangan Pak Tua Wali Sani dan semua yang hadir di ruangan itu menadah ke atas tanpa perintah. Mata Wansar kembali terpejam, menyerah pada nasibnya sekali lagi.Pak Tua Wali Jati membasahi tapak tangan kanannya dengan air dari cangkir. Sambil terus melafalkan bait-bait keramat, tangan yang basah mulai mengusap dari dahi hingga seluruh wajah Wansar. Setelah tiga kali di muka, sekarang seluruh kepala juga diusap dengan air dari cangkir. Pak Tua Wali Jati memberi isyarat kepada Pak Tua Wali Sani untuk membangunkan sedikit Wansar agar bisa diberi minum.