Pak Tua Wali Sani dengan lembut membantu Wansar untuk menyesap air, dan ruangan itu dipenuhi keheningan yang tegang, hanya dihiasi oleh suara kicauan burung di fajar yang menembus melalui jendela terbuka. Tenggorokan pemuda itu bergerak perlahan, menelan cairan yang sejuk yang tampaknya diresapi lebih dari sekadar kelembapan—seolah-olah ia minum dari sumur kebijaksanaan kuno yang menjadi ciri khas Pak Tua bersaudara.Setelah dia minum, Pak Tua Wali Jati menatap dalam ke mata Wansar, yang perlahan terbuka, menunjukkan campuran kebingungan dan kejelasan yang baru muncul. "Kamu aman sekarang," gumamnya, suaranya menenangkan dalam suasana yang tegang. "Daya Keabadian Semesta mengalir dalam tubuh mu."Di luar, desa mulai hidup saat sinar matahari pertama merayap melintasi jalan batu, menciptakan bayangan panjang dan mewarnai rumah-rumah dengan nuansa emas dan kekuningan. Tawa anak-anak terdengar dari kejauhan, dan aroma roti segar menyebar dari jendela terbuka, bercampur dengan kabut pagi.Di dalam rumah, ketegangan mulai mereda saat kesadaran Wansar kembali. Ia melihat sekeliling, tidak hanya melihat Ibu Wali dan dua gadis kembar, yang telah kembali ke sisinya, tetapi juga wajah-wajah penasaran namun penuh perhatian dari penduduk desa lainnya yang berkumpul di luar pintu terbuka, mengintip untuk menyaksikan keajaiban yang telah mereka dengar sedang terungkap.Pak Tua Wali Jati melanjutkan, suaranya kini perintah yang tegas namun lembut, "Istirahatlah sekarang. Kamu sekarang menjadi bagian dari desa ini, bagian dari keluarga ini."Wansar mencoba duduk, ingin berbicara, tetapi kata-kata tersangkut di tenggorokannya. Dia masih bingung. Pandangannya jatuh pada Wancil, yang masih belum bergerak di sampingnya. Hatinya ada kesedihan mendalam untuk temannya yang masih tergeletak. Masih bungkam terpejam.Pak Tua Wali Jati memperhatikan tatapan khawatir Wansar dan menenangkannya, "Jangan khawatir untuk teman mu itu. Dia akan bangun pada waktunya, seperti kamu. Daya Keabadian Semesta bekerja baik di tubuh maupun di jiwa, dan terkadang jiwa membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh."Wansar berbaring kembali, menutup matanya sekali lagi, membiarkan kedamaian desa meresap ke tulang-tulangnya. Meskipun ada ketidakpastian yang ada di depan, ia merasa memiliki rasa kebersamaan yang mendalam. Orang-orang yang belum dia kenali, di daerah yang asing ini, memperlakukannya bukan sebagai orang asing, tetapi sebagai anak yang telah lama hilang dan kembali pulang. Wansar merasa aman dan hangat, beristirahat dalam tidur yang nyenyak.Melihat Wansar mulai lena dengan wajah yang memancarkan sinar lembut penuh ketulusan, Pak Tua Wali Jati memberi isyarat agar semua yang ada untuk menguruskan hal mereka masing-masing. Setelah semua telah pergi, tinggallah Pak Tua bersaudara, Ibu Wali, dan gadis kembar yang masih tetap di samping dua pemuda yang kini menjadi bagian dari mereka. Mereka berlima terhanyut dalam keasyikan menatap wajah tulus Wansar. Ada rasa berat untuk pergi meninggalkannya, dan ada keinginan untuk mendekap si anak itu di hati keibuan Ibu Wali. Sejenak, Pak Tua Wali Sani mencolek Ibu Wali yang tampaknya tenggelam dalam lamunan. Tersentak dan tersadar dari lamunannya, Ibu Wali memandang Pak Tua Wali Sani dengan raut wajah bertanya tanpa kata-kata. Pak Tua Wali Sani memberi isyarat hanya dengan memalingkan kepala mengarah ke dapur. Hanya gerak bibir tanpa suara. "Sarapan." Ibu Wali segera mencolek gadis kembar dan bangun menuju ke dapur. Gadis kembar tidak segera menuruti. Masih ingin berlama-lama di tempatnya, namun saat mata mereka menangkap kerlingan Pak Tua Wali Sani, tubuh mereka menjadi ringan. Bangun dan berjalan ke dapur.Sementara semua itu terjadi, Pak Tua Wali Jati telah jauh berada dalam meditasi. Matanya terpejam, wajah tua yang melintasi usia 65 itu tampak sangat tenang. Napasnya berirama, sama panjang dan pendek. Tangan di atas lutut mengadah ke atas seperti mengharap dan meminta sesuatu. Sesekali, bait-bait keramat terucap dari bibirnya.Pak Tua Wali Sani, yang sangat mengerti perlakuan saudara tuanya itu, hanya duduk mengawasi. Fokus matanya terarah ke wajah Wancil, seolah menanti jawaban dari wajah itu. Hanya tidak dalam meditasi, bibir Pak Tua Wali Sani juga mengungkap halus bait-bait keramat.