Wancil lahir di sebuah desa di pinggiran Kota Pelabuhan. Menjadi yatim piatu pada usia 4 tahun setelah orang tuanya meninggal karena demam misterius. Dia kemudian diasuh oleh keluarga dari pihak ibunya, yang tidak memiliki anak dan berdagang makanan di sebuah warung di samping jalan menuju pelabuhan. Di sana, Wancil diberi kasih sayang seperti anak kandung mereka sendiri. Namun, nasib Wancil berubah ketika ia berusia 7 tahun. Warung makan yang juga menjadi rumah mereka hangus terbakar dalam sebuah kebakaran besar, mengorbankan kedua orang yang Wancil panggil ayah dan ibu. Karena tidak ada lagi yang bersedia mengasuhnya, Kepala Lingkungan setempat menempatkannya di sebuah panti asuhan milik pemerintah.Di panti asuhan itu, Wancil berkenalan dengan Wansar. Berbeda dengan Wancil, Wansar tidak memiliki cerita masa lalu yang diketahui; dia tidak pernah tahu bagaimana dia bisa berada di panti asuhan tersebut. Saat Wancil tiba, Wansar sudah berusia 8 tahun dan dia telah menjadi bagian dari panti. Dia sangat mengenal seluk beluk kehidupan di panti, bahkan hampir semua petugas di panti dan 20 anak lainnya saling mengenal dan bersikap ramah sesama mereka.Panti itu hanyalah sebuah gedung kayu dua lantai yang sudah hampir seabad usianya. Kerana lahannya milik pemerintah kota maka semua menerima bahawa panti itu punya pemerintah. Namun sudah lebih 10 tahun selepas pergantian Pengeran Besar Kota Pelabuhan, panti tidak lagi menerima apa-apa biaya. Semua urusan dipundak Ibu Rosa dan lima ibu lainnya. Simpati dari para pedagang sekitar menjadi taruhan menyara penghuni panti dari hari ke hari. Makanya setiap anak yang masuk remaja akan keluar mencari hidup sendiri dan menjadi perpanjangan tangan panti. Sosok Ibu Rosa, wanita lanjut usia, dialah sang "ibu Kandung" Wansar juga anak-anak lain. Jika wanita lain setiap petang akan pulang ke rumah sendiri, namun tidak Ibu Rosa. Dia punya kamar peribadi agak kecil dengan perlatan sederhana di samping kanan dapur. Kamar kecil itu hanya Wansar satu-satunya yang bebas masuk dan keluar. Jika ada yang menyimpan cerita orang tua kandung Wansar, mungkin Ibu Rosalah orangnya. Namun sehingga kini tidak pernah diungkapkan. Wansar juga tidak pernah menanyakan itu. Dua tahun di panti, Wancil telah meninggalkan kesedihan lalunya. Dia begitu dekat dan akrab dengan Wansar. Kerana itu, dia juga punya izin keluar masuk kamar Ibu Rosa. Di panti itu tiada sekolah, tiada ibu guru, tiada asuhan selayakknya seperti anak-anak orang beribu bapa diluar sana. Hanya suara pesan, suara marah, suara leteran, suara nasihat Ibu Rosa dan wanita-wanita ibarat malaikat penyayang yang menjadi panutan para penghuni. Walau hari-hari yang dijalani sering dalam tidak kecukupan itu dan ini, kanak-kanak panti tetap bermain sesama mereka dengan penuh riang tawa. Seperti "abang-abang" mereka sebelumnya, semua kanak-kanak itu menanti saat untuk keluar meneroka dunia. Di usia Wancil baru masuk 10 tahun dan Wansar 11 tahun, suasana riang tawa panti berubah. Ibu Rosa di usir dan diganti oleh Pak Setru serta beberapa lelaki separuh baya. Wanita-wanita penyayang juga pergi. Pak Setru mengaku dia sudah mendapat izin Pengeran Besar Kota untuk menempati Panti Asuhan. Semua kendali adalah dibawah perintahnya. Setiap anak mulai saat itu harus keluar setiap hari berkeliling kota meminta-minta. Mengumpul uang perak atau suasa juga uang emas. Mereka diawasi sepenuhnya oleh lelaki bawahan Pak Setru. Hanya di bagi makan jika ada hasil. Dipukul dan didera jika terus berhari tiada sesuasa atau seperak.Hampir setahun berlalu, Wansar, kerana sering melawan, badannya penuh bekas sebatan. Dia sebenarnya sudah tidak tahan dengan semua itu. Namun kerana kasihan dengan anak-anak lainnya, dia terus bertahan dan berusaha sekuat mungkin memenuhi tuntutan Pak Setru buat menyelamat anak-anak lain diseksa. Setiap ada anak yang mahu dipukul, dia maju membela dan menyerah untuk dipukuli. Wancil terlalu sedih, marah dan rasa terpukul dengan apa yang sanggup dihadapi oleh Wansar.Di satu petang hampir senja. Langit redup. Di pinggiran kota. Masih agak jauh dari gedung panti. Wancil nekad untuk pergi melarikan diri. Tekad itu sudah lama dipendam. Tidak diceritakan pada sesiapa. Juga tidak pada wansar. Matanya terus melirik 2 lelaki separuh baya yang mengawasi dia, wansar dan 3 anak lainnya. Mencari kesempatan. Tekadnya adalah berlari sejauh mungkin dari kota. Dia merapati Wansar lalu berbisik. Aku sebentar lagi akan lari sekuat hati menuju arah depan sana. Kamu ikut atau tidak. Terserah kamu. Wansar menjadi berhenti dari berjalan. Dia seperti orang yang melihat suatu yang begitu menakjubkan. Tidak tahu berbuat atau berkata apa. Melihat itu, Wancil dengan keras menepuk belakang Wansar lalu berteriak. Ayuh sekarang.Wancil dengan sekuat hatinya berlari. Wansar seperti dipukau. Ikut berlari. Tanpa menoleh ke belakang, mereka terus berlari dan berlari. Melewati jalan besar, keluar masuk lorong kecil dan besar, mereka berlari. Kaki Wancil yang tidak beralas sudah mengeluarkan percikan darah. Tenaganya sudah hampir ketitisan akhir. Wansar juga seperti itu. Cuma, kerana tubuhnya yang lebih besar, juga kerana sudah sering menahan luka, tenaganya masih agak kuat. Dia mengendong Wancil dan terus berjalan laju ke depan dan ke depan. Langit sudah lama hilang cahaya. Malam sudah menyelimuti daerah luar perbatasan kota. Wansar sudah berhenti. Mereka kini berada di kawasan yang hanya dipenuhi belukar dan pohon besar. Mereka telah berjaya keluar dari kawasan pasar di perbatasan kota. Wansar menurunkan Wancil dari gendongannya. Di manakah tepatnya keberadaan mereka sudah tidak mampu difikrkan lagi oleh Wansar. Dia sudah benar-benar kehabisan seluruh tenaga. Wancil sejak dillepaskan dari gendongan sudah tidak berkata apa-apa. Hanya sahaja dadanya masih berombak, nafasnya masih keluar masuk, menandakan dia masih bernyawa. Wansar, tanpa peduli apa yang akan di timpa oleh belakangnya, terbaring, tergeletak di bumi. Mata keduanya terpejam. Lama mereka terpejam. Mereka kini benar-benar pasrah. Menyerah nasib kepada ketentuan. Berlakulah apa pun yang ingin berlaku. Mereka pingsan.