Apo pun kelabakan menghadapi situasi ini. Tangannya bahkan tremor sampai melepaskan ponsel. Untung posisinya di atas ranjang. Apo sendiri tak tahu itu maknanya sedih, senang, gugup, marah, atau yang lain. Dia hanya ingin protes kepada Mile, tapi tak berani kepada yang lebih tua. "Ih, Phi Mile apa-apaan sih. Itu tadi uang sungguhan ya?" batinnya saat mengecek. Remaja itu meletakkan gelasnya ke atas nakas, lalu memelototi nominal paling besar yang hinggap di rekeningnya.
Apo bahkan bisa beli tiga motor dengan uang tadi, tapi hati kecilnya justru takut. Apo pun tak membalas Mile karena bingung. Sebab bilang 'Terima kasih' saja mungkin tak cukup. Dia segera mematikan ponsel. Lalu tidur memunggungi nakas. Apo berharap Mile tidak berpikiran macam-macam. Kalau bisa hari Minggu jangan cepat datang. Sayang ulangan beruntun membuat Apo berpikir kencang. Dia kalap belajar. Tahu-tahu besok sudah hari libur saja.
[Phi Mile: Po? Phi otw ya]
[Apo: Iya, Phi]
.... dan benar. Minggu pagi Mile on-time di depan asrama, padahal Apo masih mencuci baju. Dia belum mandi karena tas dan sepatunya butuh perhatian. Mile pun melihat wajah rembes Apo ketika datang. Pria itu mendongak ke remaja yang sibuk menjemur. Apo kaget. Parahnya dia hanya memakai boxer. "Ah! Phi Mile ....!" jeritnya buru-buru sembunyi. Mile pun tertawa-tawa. Lalu menunggunya sejam lagi. Mile maklum remaja seumuran Apo sering jam karet. Sebab kedisiplinan adalah hal jauh. Inner-nya masih kanak-kanak. Hanya saja badan tumbuh setiap hari.
Apo pun sibuk bergelut dengan pikiran selama mandi. Dia heran Mile tidak marah meski chat terakhirnya hanya dibaca. Apo pun makin segan karena lupa bilang 'Terima kasih'. Dia malah tak berani nge-game karena merasa top-up-nya dikurangi dari uang Mile. Ah, ya Tuhan. Stress sekali dihantam romansa mendadak seperti ini.
Apa bagusnya nanti dibicarakan?
Apo sungguh payah karena belum pernah pacaran.
"Mau kemana, Po? Jalan-jalan?" tanya Perth yang nonton TV bersama Nodt di ruang tengah. Teman-teman asramanya itu notice ketika lewat, Apo pun kikuk saat membenahi topi.
"Iya, Perth. Ada Phi Mile di luar," kata Apo. "Kami janjian mumpung sekolahku kan lagi libur."
"Eh? Seriusan?" kaget Nodt. "Kencan dong."
"Wahhh ...."
Telinga Apo pun langsung memerah. "Iya, begitulau. Tolong jangan bertanya terus. Aku marah, " katanya manyun. "Dah, ya ... titip jemuran semisal hujan."
"Okeeeee ... dah."
"JANGAN LUPA OLEH-OLEHNYA!"
Apo geleng-geleng karena teriakan barusan. Sudah dia duga Mile membawa mobil. Malu sekali saat dibukakan pintu begitu. "Pagi, Phi. Maaf telat. Aku harus selesaikan semuanya dulu," katanya.
Mile malah tersenyum lebar. "Iya, tak masalah. Ayo masuk. Kalau kesiangan namanya tidak sarapan."
"Eh? Tapi aku sudah minum susu kok."
"Itu saja?"
"Aku memang begitu setiap pagi."
Mile pun menghela napas panjang.
"Iyaaaa, kalau belum makan namanya bukan sarapan," katanya. Membuat Apo diam karena canggung. Remaja itu pun masuk dan duduk rapi, dalam hati tahu Mile sedang meneliti penampilannya yang tabrak warna. Mulai dari topi, baju, celana, bahkan kaus kaki yang semerah darah.
"Apa Phi akan meledek seperti teman-temanku dulu?" batin Apo. "Tapi aku nyamannya begini ...."
Berbanding terbalik dari perkiraannya, Mile justru puas dengan fakta di depan mata. Mile ingat kucingnya dulu juga suka warna-warni. Mungkin baginya menarik mata.
"Santai saja. Kita cuma jalan-jalan biasa," kata Mile. "Terus, nanti malam ada beberapa konser di kota. WIAI4, FD-Man, JAX Rose, Zuzu, MANZet, Not-7, Remedies--kira-kira mana yang paling kau suka?"
"Huh?"
Mereka saling lirik lewat spion depan.
"Apa kau tak suka konser?"
Apo pun memainkan tali ransel karena gugup. "Suka sih, suka sekali, Phi, " katanya. "Aku suka semuanya. Jadi, tidak masalah yang mana saja."
"Begitu."
"Aku suka mendengarkan lagu ketika belajar."
Mile mencatat informasi di dalam otaknya. "Apa tidak punya yang favorit? Misal lagu band yang mana ... begitu? Kalau semangat kan makin seru nontonnya."
Sampai sini Apo paham dia sedang didekati. Namun dia merasa aneh karena menurutnya ada hal yang lebih penting untuk dibahas. "Phi."
"Hm?"
"Uang kemarin kok banyak sekali. Aku kaget," kata Apo terang-terangan. "Terus, Phi Mile dapat norek darimana? Ayah? Kok langsung dikasih begitu saja?"
Mile pun menyusun kalimat yang kemungkinan diterima. "Iya, dari Paman," katanya. "Tapi aku sendiri kok yang meminta. Jangan khawatir. Phi cuma mau kasih uang jajan. Pakai saja."
Kalimatnya ringan sekali. Apo jadi jengkel karena Mile apa adanya. Dia pun makin tak nyaman. "Umn, terima kasih," katanya. "Tapi itu sudah cukup buat setahun. Phi-nya jangan begitu lagi. Aku bingung kalau kebanyakan."
"Setahun?"
Mile nyaris tertawa.
"B-Buat jajan kan? Ya iya lah, Phi. Kan banyak," kata Apo gugup. "Habis ini aku bilang ke Mama kok. Biar tidak dikirimi uang saku. Makasih sekali lagi."
Mile sulit berkata-kata.
Kenapa Apo begitu polos?
Bagaimana jika sudah begini?
Dia harus jadi sosok ayah juga untuk mengajari Apo satu per satu?
"Iya, sama-sama. Tapi menurutku jangan begitu," kata Mile. "Jajan ya maksudnya apa saja yang kau mau, Po. Ingin sepatu baru, beli. Ingin tas baru, beli. Ingin traktir teman, kasih. Asal jangan kebablasan atau mudah tertipu orang."
"Eh?"
Apo pun siap mendengarkan karena nada Mile tiba-tiba mirip orangtuanya.
"Ya, pokoknya jangan terang-terangan soal nominal rekeningmu kepada orang. Kalau ada teman yang ingin meminjam, lihat dulu kira-kira mau dipakai apa. Atau bisa mengembalikan tidak sesuai janjinya. Jangan asal-asal kasih," kata Mile. Berubah jadi sosok 'ayah' betulan. "Punya uang banyak bukan berarti boros. Punya uang sedikit juga tak harus pelit. Sesuaikan saja dengan kebutuhan, situasi, dan keinginanmu. Paham?"
Meski bingung, Apo tetap mengangguk saja. "Iya, Phi."
"Jangan tolak lagi kalau Phi kasih. Simpan saja," imbuh Mile. "Ditabung juga tidak masalah. Jadi kalau ada yang mendadak bisa kau ambil. Misal baru ingat hari ultah temanmu. Nah ... karena punya uang tinggal belikan barang."
Apo pun mendengar nasihat Mile sepanjang jalan. Remaja itu--entah kenapa--lebih nyaman bicara dengan Mile begini, daripada menyerempet cinta-cintaan. Apo juga lebih vokal saat membahas sekolah, impian, kuliah, hobi, dan hal sejenis--tapi langsung kikuk jika pria ini menguarkan aura romantis. Misal saat sarapan tadi. Melibat sendoknya jatuh, Mile langsung memberikan miliknya. Toh masih belum dipakai. Mile justru yang minta baru. Mungkin dia tidak mau Apo sungkan kepada waiter-nya.
Saat berjalan Apo juga sering digandeng. Apalagi di tengah konser yang ramai. Mile seolah tak ingin Apo hilang mencadak. Apalagi tingginya baru sebahu orang dewasa. Apo memang masih kecil seperti kata orangtuanya, tapi Mile takkan pernah keberatan. Dia senang melihat Apo tersenyum. Saat pulang pun digendong belakang sangking capeknya berjalan.
"Phiii ... aku malu," kata Apo sambil menduselkan wajah ke bahu Mile.
"Hmph, kenapa?"
Sambil menyeringai, Mile pun melirik ke belakang sekilas.
"Di sini banyak orangnya, ugh ...." Pelukan Apo ke leher Mile mengerat. "Harusnya tidak perlu begini. Aku pasti berat sekali."
Perut Mile serasa dihinggapi kupu. "Ha ha ha, mana ada. Kau paling hanya 40 kiloan, ya kan?"
Apo pun menyahut samar-samar.
"Umn, bobotku 39."
Tawa Mile pun semakin kencang. "Ha ha ha ha ha, Po! Barbel gym-ku bahkan lebih berat darimu ...."
Keduanya lantas pulang awal, sebab asrama Apo memiliki jam malam. Si remaja bilang harus kembali sebelum pukul 10, kalau tidak maka gerbangnya ditutup.
"Wah, sebenarnya sayang sekali, ya. Soalnya tadi pundak acara," kata Mile sambil menaikkan gendongan Apo. "Tapi Phi lebih tidak suka kalau kau tumbuhnya terganggu, oke? Lekaslah tidur, jangan begadang. Biar tinggimu tak kalah dariku."
"Um."
"Kau pasti bisa menyaingi aku, Po. Kapan-kapan ...."
Lama-lama, keramaian tempat konser pun hilang dari telinga Apo. Malahan remaja itu mulai nyaman di punggung Mile Phakphum. Dia memperhatikan wajah tampan itu. Tatapan hangatnya. Lalu ke bibir lembutnya.
"Phi."
"Hm?"
Apo sulit berkedip entah kenapa. "Phi ... kok rasanya serius denganku, ya?" celutuknya. "Maksudku, hanya karena aku mirip kekasihmu dulu?"
"Maksudnya?"
"Ya ... cuma penasaran sih. Bagaimana kalau aku ternyata bukan reinkarnasi?" tanya Apo. "Aku hanya takut Phi Mile membohongi diri sendiri seumur hidup."
Mile pun terdiam lama. Dia memandang jalan setapak hingga sampai ke parkiran. Lalu menata tubuh Apo agar duduk di sebelah kursi kemudi. "Dengar, Po. Aku sangat mencintai dia," katanya, lalu meraih pipi Apo lembut. "Dia berwujud apapun, aku suka. Dan menjadi siapa pun kuterima."
Apo terhenyak karena tak paham konsepnya. "Phi ...."
"Saat melihatmu pekan lalu. Jujur aku mengikuti kata hati saja. Aku suka," kata Mile. "So, mau reinkarnasi atau tidak. Kau terpilih, Po. Jadi jangan tanya-tanya lagi hal seperti itu. Tidak perlu."
"Ugnh," lenguh Apo, membuang muka merahnya. Remaja itu kaget karena bibirnya diraba jari. Pipinya merona, tapi Mile hanya memandang. "Jangan--"
"Dengar aku takkan menciummu. Bukan sekarang. Jadi tolong lihat aku."
"...."
"Apo ...."
Si tunas ranum pun menghadap Mile lagi. ".... apa."
"Phi benar-benar ingin menikahimu suatu hari, pada saatnya," tegas Mile. "Sekarang jangan berpikir aneh-aneh dulu. Belajar yang rajin. Aku akan mendukungmu mau kemana pun setelah lulus, hm?"
Apo akhirnya mengangguk. "Mn." Remaja itu ternyata penurut, walau sisi inferiornya ingin Mile pacu. Bagaimana pun Apo tetap lelaki, maka bila masa depan ingin menerjangnya keras. Mile rasa harus menempanya mulai sekarang.
"Good. Sekarang kuantar kau pulang dulu. Ketemunya pun tidak harus setiap Minggu," kata Mile. "Silahkan hang-out dengan temanmu juga, seperti biasa. Kalau kuajak pun boleh menolak, paham? Asal bisa jaga diri."
"Iya, Phi."
Mile menepuk ubun Apo sebelum melajukan mobilnya. "Dan bila nanti berani, kapan-kapan aku juga ingin diajak dulu. Jangan takut," katanya. "Pasti kuusahakan waktu untukmu, Apo. Hhmanya harus sesuaikan jadwal saja."
"Iya."
Malam itu Apo ketiduran di kursi mobil tanpa sadar. Topinya lepas. Untung gerbang belum ditutup saat sampai di asrama. Mile punya waktu 15 menit untuk memulangkan Apo. Satpamnya ronda. Beberapa teman Apo tampak kaget melihat Mile menggendong sang calon istri di dadanya.
"Maaf? Boleh permisi sebentar?" pinta Mile.
"Oh, iya, Pak. Silahkan! Silahkan! Hati-hati kepala Apo bisa kena pintu."
Perth, Nodt, Win, dan Gulf pun ribut sendiri. Mereka bingung mau tertawa atau menangis karena Mile dikira ayah Apo Nattawin.
Bersambung ....