TUJUH bulan kemudian, sebenarnya Apo sudah dikejar-kejar suasana ujian akhir karena memasuki semester dua. Hari-harinya diisi oleh belajar, les, ulangan, sekolah, tidur. Belajar, les, ulangan, sekolah, dan tidur lagi. Pokoknya pola itu terulang-ulang sampai Apo stress. Untung Mile selalu mengawasi kekasih mungilnya. Dia pun memberikan bantuan untuk si manis. Apo diberi pilihan mau guru privat apa saja, yang akhirnya terpilih menu matematika + sempoa, biologi, fisika, kimia, Bahasa Inggris, Sastra Thailand, dan TOEFL. Total ada 7 guru yang keluar masuk apartemen Apo setiap pukul 7 hingga 9 malam. Tepatnya usai jam makan dan beres-beres. Apo memang tidak lagi tinggal di asrama agar belajarnya lebih tenang, dia persetan dengan jerawat yang mulai muncul karena fokus membidik universitas bergengsi.
Percayalah, momen ini belum lama dari hari lamaran, dan Apo masih 17 tahun saat dihantam konflik pendidikan. Mile saja tak bisa mengajak dia keluar seperti dulu--terlalu sibuk Apo-nya! Namun sebagai yang dewasa Mile pengertian. Sebelum tidur Apo hanya ditanya lewat chat singkat, seperti 'Bagaimana belajarnya tadi?' atau 'Uang jajannya masih atau tidak?' dan 'Kalau mau healing keluar bilang saja lho. Phi antar.' dan jawaban Apo berbeda-beda. Kadang mood, kadang tidak mood. Mile sering jadi sasaran marah kalau nilai Apo turun di luar prediksi, atau lagi murung saja seperti hari ini.
[Apo: Sastra Thailand-ku hari ini biasa aja kok. Tidak meningkat. Cuma 82, Phi. Aku targetnya 90 belum sampai-sampai. Susah]
Mile yang log-in mode kerja langsung log-out karena dapat balasan chat 2 jam lalu. Lelaki itu tersenyum di balik work-desk pribadinya, lalu segera membalas si mungil manja.
[Phi Mile: Pelan-pelan saja. Semester kemarin sudah mampu rangking 4 kan? Itu keren lho. Dari yang dulunya cuma mentok di urutan ke 7]
[Apo: Iya, tapi ini sekolah terakhirku. Aku sudah kelas XII Masak tidak pernah 3 besar. Paling tidak naik ke 3 lah Phi. Aku mau ngerasain naik panggung pakai toga. Pasti luar biasa sekali. Ih ingin tahu lihat yang bawa buket tapi juga piala. Kalau masih 4 tetap saja tertinggal di bawah]
[Phi Mile: Slow dulu, jangan dipaksa. Nanti pusing malah jatuh sakit. Tetap tidur awal seperti biasa. Atau mau Phi pesankan grab food? Es krim mungkin? Bagaimana dengan kue manis seperti ini ... ]
[Phi Mile: -sending you 3 picture-]
Di sana Apo malah meninggalkan ponsel dan masuk ke kamar mandi. Dia cuci muka, pipis, dan sikat gigi. Lalu keluar untuk ganti piama. Apo baru mengecek ulang setelah berbaring di atas ranjang, dia tergiur namun ini sudah pukul 10.
[Apo: Mau lihat muka Phi Mile saja, tapi aku jerawatan lagi. Malu VC]
[Apo: Aku juga tidak tahu mau ngomong apa. Jamet ]
[Apo: Kalau Phi Mile bosan nanti bagaimana. Diam-diaman sama aku tidak seru?]
Mile langsung video call begitu membaca chat barusan. Menurutnya jerawat normal pada masa puber, toh nanti tinggal di-treatment kalau Apo sudah lulus. Masukkan si manis ke salon dan selesai. Lalu belikan dia skincare sesuai saran dokter. Mile tidak mau terlalu ambil pusing. Dia malah senang karena emotikon yang Apo pakai makin bervariasi. Sang kekasih mungil lebih berani mengekspresikan dirinya. Bahkan kadang menggunakan stiker seperti sekarang.
[Apo: Huaaaa, kaget. Maaf kepencet reject. Phi Mile sudah dibilang juga aku mode buruk rupa]
"Ha ha ha ha ha ...."
[Phi Mile: Angkat saja ]
Apo pun menyisir rambutnya dengan jari dulu, setidaknya biar yang kusut dan tuing-tuing agak hilang. Apo tidak sempat turun untuk mengambil sisir betulan. Dia lalu mengangkat video call dengan pipi yang merona. "Halo ...."
"Halo, juga. Malam," sapa Mile yang berjalan ke arah balkon.
"Malam, Phi Mile." Apo membenahi posisi tidurnya karena malu. Padahal video call sudah mulai sering, tapi tiap kejadian pasti ada saja dramanya. Apo juga menjilat bibir agar tampilannya tak terlalu kering, padahal dia belum cinta tapi mau kelihatan menarik terus kepada calon suaminya itu. "Umn, Phi sudah makan belum? Itu di work-desk? Wah, lagi kerja dong. Aku ganggu ya?" tanyanya.
"Sudah lah. Ini pukul berapa. Jangan basa-basi kalau tak ingin membahas topik tertentu. Kau diam pun aku lihat dari sini."
Rona Apo pun makin tebal. "Ih, astaga. Jelek ...." katanya sambil menutup bibir dengan punggung tangan. "Ya sudah aku diam saja. Phi Mile diajak asik, tapi sangat sulit. Padahal aku usaha ...."
"Hhhh, iya. Tapi memangnya nyaman begitu?"
"Tidak."
"Nah."
Mile dan Apo akhirnya benar-benar tak bicara selama 7 menit, mereka hanya saling pandang dan tersenyum tidak jelas karena pikiran random di kepala masing-masing. Lalu Apo menggigit bibir bawahnya karena sadar bagian itu dilihati.
"Phi mesum. Bukannya fokus ke jerawatku yang di hidung," protes Apo sambil memencet lembut bagian itu. "Di pipi juga sangat besar, nih. Nih. Terus di daguku ada kecil juga. Di jidat--"
"Ha ha ha ha ha. Mukamu lucu kalau kucel begitu. Mirip 404 not found," tawa Mile menyela. ".... tapi Om-om ini memang ingin menciummu lagi. Kapan bisa? Baru dua kali saja, sadar kan? Pas di center-town dan pulangnya di mobil. Sudah kangen, jujur. Tapi kulihat jadwal sekolahmu memang menyaingi kantorku. Hebat."
Apo tanpa sadar menjilat bibirnya lagi. "Eh? Phi dapat jadwalku dari mana? Mama?" tanyanya, walau dada selalu berdebar kelojotan tiap kali ditatap penuh nafsu oleh mata Mile.
"Iya, kan kemarin nanya kau langsung malah lupa dijawab. Chat-nya tenggelam karena terlanjur curhat nilai kimia lagi. Ya sudah, tanya Bibi May saja daripada kau makin emosi."
"Oh ...."
"Besok Phi temui di gerbang sekolah, boleh tidak?" tanya Mile. "Aku takkan turun kalau kaunya takut malu. Cukup buka jendela mobil saja. Phi mau kasih sesuatu langsung. Biar ketemu sekalian. Lumayan beberapa detik biar Phi semangat kerja. Ya, Apo?"
"Ugh ... tiba-tiba?" Apo pun menggaruk pelipis yang tak gatal. Dia salah tingkah karena nyaris 2 bulan tidak apel, tapi komunikasi selalu setiap hari.
"Iya, mau charge batrei saja. Sudah lowbat. Aku mau kucing kecilku ...."
Apo menghela napas panjang. Dia mengangguk juga pada akhirnya, walau pada kenyataan tak seperti rencana. Saat mobil Mile mendekat, Apo auto menoleh. Lalu dia masuk mobil dan mengunci jendela.
"He?" kaget Mile.
"Mau ketemu kan? Kalau beberapa detik namanya lewat. Phi mau ngasih aku apa?" tanya Apo sambil meremas tali ransel.
"Oh, sebentar."
Mile pun mengambil paper-bag mungil dari jok belakang. Lalu mengulurkan benda itu ke Apo. Apo sendiri langsung disuruh membuka, dan ternyata isinya kotak bekal buatan Mommy Nee, plus box hape baru berlogo Apple digigit.
"Wah ... seriusan, Phi?" tanya Apo dengan mata berbinar-binar.
"Yups, ganti saja. Kau kan begitu kerjaannya," kata Mile dengan cengiran. "Mau Phi transfer berapa pun uang ke rekening, jarang beli-beli barang mahal sendiri. Dibuat apa memangnya? Cuma ditabung?"
"I-Iya, kan sayang ...." kata Apo, yang langsung membuka ponsel impiannya. "Maksudku, rasanya buang-buang uang kalau beli gadget yang seharga motor. Ih, Phi Mile."
"Ha ha ha."
"But, thank you. Xixi. Salam juga untuk Mommy Nee. Bekalnya pasti aku makan nanti pas istirahat." Apo pun tertular cengiran Mile sambil menempelkan ponsel itu ke pipinya. Si mungil terlalu bahagia hari ini, membuat Mile sulit mengalihkan pandangan dari wajah (berjerawatnya).
"Oke."
Apo bahkan bingung mau membuka ponsel atau bekal dulu, karena tampilan isinya imut sekali. Mirip yang ada di gambar tadi malam! Dia pun memeluk dua-duanya, sementara Mile menepuk ubunnya lembut. Apo pun menoleh dengan senyum termanisnya pagi ini, tahu-tahu wajah Mile sudah begitu dekat. Dia bilang, "Eh?", tapi sadar situasi itu. Lalu menjilat bibir lagi karena gugup.
"Boleh cium, tidak?"
"S-Sekarang?"
"Satu atau dua kali?"
"Umn, s-satu kali."
"Fine."
Apo pun terbius aroma parfum mahal Mile, lalu memejamkan mata untuk menikmati lumatan sang calon suami. Jemarinya bertaut dengan Mile Phakphum, dan punggung tangannya dibelai lembut karena terasa langsung berkeringat dingin. Ciuman itu diakhiri dengan kecupan, sementara Apo memeluk Mile dulu karena deg-degan.
Brugh! "Umn, m-malu ketemu sama teman-teman. Plis aku mau di sini dulu, Phi ...." adunya.
"Hmph, kemari." Mile tentu saja memeluk punggung Apo dengan satu lengan, itu pun sudah melingkar sempurna karena kecil. Apo sibuk sembunyi hingga sambil menghirup kesegaran dari jas Mile Phakphum, hingga dia tenang butuh hingga 10 menitan. "Yakin sudah?"
"Sudah."
Apo mengangguk kecil dan memalingkan pandangan.
"Baiklah, coba berbalik ke sana. Phi masukan bekal dan ponsel barunya ke dalam tas. Nanti teman-temanmu melihat."
"Oke ...."
"Terus ponsel yang lama kau bawa?"
"Umn, di saku."
"Nanti pulang sekolah langsung diganti, ya. PAP kepadaku kalau sudah selesai."
"Iya, Phi."
Apo tidak tahu saat Mile menata hadiah diantara buku-bukunya, lelaki itu juga menyelipkan uang kertas ke pojokan tas ransel si manis. Dia terkekeh melihat botol air mungil di dalamnya, literally remaja ini masih tak berubah walau usianya sudah legal. Pesonanya masih gemas seperti saat mereka bertemu di kafe. Apalagi saat pamit masuk.
"Dadah, Phiii ...."
"See you."
Mile pun membalas lambaian tangan Apo, lalu membenahi dasi sebelum melanjutkan perjalanan ke kantor.
Bersambung ....