Chereads / LOVELY GIFT [MileApo Fanfiction] / Chapter 3 - BAB 3: ASTAGA, APO!

Chapter 3 - BAB 3: ASTAGA, APO!

Di depan cermin, Apo berdiri dengan wajah masam yang memantul jadi dua. Dia mendengus ketika mengakhiri panggilannya yang ketujuh.

"Hia kemana memangnya?" katanya sebal. "Ditelpon tak diangkat. Di-chat tak membalas, padahal online. Mustahil semalam ini tugasnya belum selesai."

Bible, yang juga siap-siap pergi ke galeri seni pun menoleh. "Kenapa, Apo? Kau sedih lagi?"

"Bukan, ya. Siapa juga yang sedih!" bentak Apo tanpa berpikir.

"Hah? Terus kerutan di dahimu itu apa?" tanya Bible.

"Tidak tahu! Aku hanya lagi menstruasi!" jawab Apo asal. Dia pun melipir ke lemari dan memilih-milih pakaiannya.

"Heee? Bukannya mens hanya untuk perempuan?" bingung Bible. Keningnya ikutan mengerut melihat Apo berganti baju sekilat itu.

"Lupakan saja bisa tidak? Aku mau berangkat," kata Apo, sambil menyambar headphone-nya dari atas meja.

"Hei, kau yakin tak masalah, Apo?!"

"Berisik!" sahut Apo begitu keluar dari pintu.

Bible hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya. "Kenapa lagi sih dia ...."

"Hati-hati minumnya ...." kata Mile cemas. Dia duduk tepat di samping Prof. Jeje yang terbaring lemah di sofa panjangnya begitu saja. Mereka di ruang tamu dan dia tetap menggenggam gelas berisi air putih itu sampai disuruh menaruhnya di meja.

"Kamu ini, berlebihan, Mile," kata Prof. Jeje sambil menghirupi inhaler mungilnya di mulut. "Sudah, sudah. Saya baik-baik saja sekarang. Thanks ya udah membantu saya. Padahal tadinya hanya ingin mengambil berkas cerai yang tertinggal di lac-"

"Anda tak perlu berpikir begitu. Saya kan hanya melakukan yang seharusnya. Saya kan hanya melakukan yang seharusnya," sahut Mile cepat. "Memang apa yang sudah terjadi? Bukankah Anda sudah lama tak kambuh seperti ini?

Ditanya begitu, Prof. Jeje melengos, tapi tetap menjawab pelan. "Aku dan Us," katanya tersendat. "Kami jadi cerai dalam waktu dekat."

"Ahh ... iya," desah Mile. Benar-benar lupa kalau ada masalah serius yang dialami Prof. Jeje karena kepanikan yang belum reda. "Maaf saya bertanya, Pak."

Prof. Jeje tersenyum tipis, meskipun tidak menoleh ke Mile kembali. "No, it's okay by now," katanya parau. "Memang itu salah saya yang kurang mampu merawat istri. Maksudku, dari berbagai segi."

"Oh, begitu," desah Mile. Mencoba mengerti, meskipun asalnya tidak benar-benar bisa. Bagaiamana pun kehidupan rumah tangga belum pernah dia cicipi.

"Apo saja masih sekolah. Tentu harus menunggunya lulus," batin Mile. Seketika langsung ingat sang kekasih yang masih dalam masa pendidikan. Ah, hatinya jadi hangat karena ingat bagaimana senyum lucu Apo ketika masih umur 14 tahun. Bagaimana mata besarnya menyipit, bibirnya menyungging manis, dan ibu mereka saling memperkenalkan diri.

"Halo, Apo. Ini puteraku satu-satunya. Namanya Mile. Kalian akan jadi tetangga mulai sekarang."

Kali ini Prof. Jeje menoleh. "Kamu sendiri, apa benar tak apa menolong saya selarut ini?"

"Hah?" Mile langsung tersentak sadar.

"Ini hampir jam sembilan malam, Mile," kata Prof. Jeje. "Kamu belum istirahat dari tadi pagi, kan?"

DEG!

Ditanya begitu, seketika dada Mile berdebar keras. Bukannya takut jam tidur terlanggar atau kelelahan yang merusaknya, tapi bagaimana keadaan orang yang paling dicintainya saat ini.

"Astaga, Apo!" batin Mile syok.

Prof. Jeje refleks mengerutkan kening ketika mellihat ekspresinya. "Ahh ... kamu sedang kepikiran sesuatu, Mile?" tanyanya. "Apakah ada masalah?"

Apo di kafe komik tengah-tengah kota Bangkok. Di sana, para pelanggan datang dan pergi. Sementara dirinya menilik arloji sekali lagi, lalu meletakkan gelas jus kedua yang dipesan.

Apo sempat berhenti main game dan menilik chat untuk Mile terakhir kali.

πŸ’Œ Hia, aku sudah menunggu di kafe biasa. Jangan telat.

Dan chat itu masih belum dibalas. Waktu terimanya sudah satu setengah jam lalu. Membuat mood main game-nya habis dan berantakan seketika. "Kenapa jadi begini," dumalnya pelan. "Kalo tidak bisa setidaknya kan mengabari!"

Belum selesai acara bersungut-sungutnya, seorang waiter menghampiri mejanya dengan nampan kosong.

"Permisi, Nong. Apa boleh saya ambil gelas Anda?" tanyanya. Ahh ... pengusiran halus. "Soalnya hari ini pelanggan kami sedikit lebih banyak dari biasanya."

Apo pun paham. Dia berdiri dari sana dengan sedikit guncangan di meja. "Kalau begitu ambil aja. Lagian aku juga udah selesai," katanya kesal. Lantas keluar dari kafe dengan langkah menghentak setelah membayar bill ke kasir.

Di halaman kafe, Apo menendang batu kecil hingga melesat ke jalan raya. Benda itu menggelinding begitu saja hingga dilindasi berbagai macam ban kendaraan. "CK. TAK PEDULI! JIKA TAHU BEGINI AKU PERGI SAJA SENDIRI!" teriaknya kesal. Tak emosinya itu menciprat ke sopir taksi yang dihentikannya. "Apa lihat-lihat!" bentaknya saat si sopir mengintip lewat kaca depan. "Aku lagi marah, tahu. Jadi jangan macam-macam dan jalan saja oke?" katanya bermonotom. Sebab si sopir pun memfokuskan diri ke jalan raya setelah itu. Tanpa komentar. Tanpa protes apalagi balas membentak.

Mungkin karena dadanya terlalu nyeri, napas Apo pun terasa sesak. Tidak hanya itu, memikirkan berbagai kemungkinan ... kini pelupuk matanya mulai tergenangi air mata.

"Anak ini sudah besar kan," batin si sopir. "Baru kali ini melihat lelaki seumuran dia begitu."

Mile lagi-lagi panik memarkir mobil audi Prof. Jeje dalam hitungan detik. Dia hampir lupa hati-hati memperlakukan properti orang sejenak tadi. Dia meloncat keluar dari kursi kemudi, lalu menyasar pintu masuk kafe yang biasa dijadikan pertemuannya dengan Apo.

BRAKHH!

Klinting-ting-ting ...

"Sedang mencari siapa, Phi?" tanya si petugas kasir.

Mile pun langsung menghampirinya. "Yang pesan meja namanya Apo. Nomor berapa?!" tanyanya hampir dengan nada membentak.

Si petugas tahu dia gugup dan segera membuka data daftar pelanggan di layar komputer. "Sebentar saya lihat dulu."

"CEPAT-CEPAT!!" kata Mile urgen. Kuku-kukunya mengetuk beberapa kali, dan keringat menetes di pelipisnya. Tahun lalu Apo pernah minta break karena dirinya tidak bisa tepat saat anniversary. Alasannya simpel: thesis Mile ada rekapan mendadak dan harus diselesaikan secepat mungkin. Alhasil, waktu itu tidak ada perayaan apapun.

Apo bahkan hampir minta putus, tapi dengan segala cara Mile pun mencegahnya.

"Kita sudah tahu satu sama lain sejak kecil, Apo," kata Mile. Dia bukan pria yang mudah menangis, tetapi saat itu berkaca-kaca saat menatap sang kekasih. "Jangan membuat ini menjadi sulit kuterima."

"Tapi, Hia selalu menomor duakan aku," kata Apo. Dia mendorong Mile kasar. "Aku tahu aku masih remaja. Aku memang mudah emosi. Hanya saja, ini sudah yang kedua, Hia! Aku lelah karena selalu begitu."

Saat baikan, Mile pun berjanji akan meluangkan waktu untuk tahun ini sebagai pembayaran hutang. Yah walaupun dengan perjuangan yang lumayan rumit.

Mile menandai hari-hari penting mereka di kalender meja. Memasang alarm pengingat di ponsel dan apapun yang sekiranya membuat dirinya ingat. Dan siapa pun kau, bisa jangan menghakimi? Ini bukan karena Mile tak cinta, tapi dunia orang dewasa memang sulit dikendalikan meski keinginan untuk itu sangat kuat.

"Barusan yang bernama Apo sudah keluar, Phi," kata si petugas kasir. "Sekitar sepuluh menit yang lalu."

"Shit," umpat Mile refleks. "Tapi, thanks," katanya sebelum keluar. Menimbulkan kegaduhan lonceng kafe seperti sebelumnya. Dia masuk ke dalam mobil dan menampar setir kesal. Buagh! "Ponselku ... ya ampun! Kenapa waktu begini ikut tertinggal?!" dumalnya seorang diri. "Apa aku balik dulu saja-tapi arrgh!"

Benar-benar membingungkan. Mile terlalu kalut sampai-sampai mengikuti insting tanpa berpikir lagi. "Ck. Lebih baik kususul ke galeri saja. Siapa tahu dia sudah pergi sendiri."

Gas langsung diinjak. Seperti sudah mahir saja. Persetan. Kalau ada kerusakan mobil ini pasti masih bisa dia usahakan nanti. Beda lagi dengan sang kekasih hati.