Sepanjang perjalanan, yang ada di pikiran Mile hanya ingin cepat-cepat sampai ke galeri. Untuk ketiga kalinya hari ini, dia membuat orang-orang di parkiran mengumpat kasar. "Brengsek! Kau ini punya mata tidak? Kalau iya dipakai!"
Mile pun mengacuhkan. Bukannya minta maaf, dia justru segera keluar dan membanting pintu. Dia berlari masuk ke galeri seni bertuliskan Meidu Art tersebut.
Lagi-lagi sayang. Baru saja Mile masuk ke dalam, mendadak rombongan pengunjung berhamburan keluar begitu saja. Mereka membawa pamflet dan majalah-majalah disertai dua orang kurator muda. Yang dijelaskan serius. Mirip kuliah seperti rasa seni dan pewarnaan cat akrilik.
Biasanya Mile akan memperhatikan hal-hal itu. Terutama saat Apo mengocehkan di sela-sela membuat desain grafis. Ajaibnya, hari ini semua itu jadi tidak penting. Bahkan Mile langsung menabraki mereka demi membuat celah lewat.
"Apo, ini Hia!" teriaknya diantara gerombolan itu. "Apo! Hia baru bisa datang, maaf ya! Kamu dengar suaraku kan?!"
Persetan dengan siapapun yang menoleh.
Persetan dengan siapapun yang mencibir seperti akting film murahan.
Persetan dengan anak-anak kecil yang menunjuknya penasaran.
Pokoknya persetan.
"Apo! Nong! Apo! Kamu dengar suaraku, kan?!" teriak Mile lagi.
Mendadak terdengar suara teriakan.
"APA HEI?! SEENAKNYA MEMANGGIL NAMAKU!"
Mile pun refleks berbalik dan menatap pria tambun berkumis yang memakai topi biru.
"Maaf, bukan Anda," kata Mile. "Yang saya cari itu pacar saya-"
"Apa?!" kaget pria itu. Refleks menyela. "Tapi kan namaku untuk laki-laki! Jadi, kau ini homo ya?!"
"Shit. Tak ada gunanya saya bicara sama Anda!" balas Mile tak peduli. Dia lalu mundur dan segera membuat jalan lagi. Menenggelamkan diri diantara orang-orang dan menulikan telinga dari teriakan selanjutnya.
"HEI! KAU KAN BELUM JAWAB PERTANYAANKU!"
"Brengsek!" maki Mile dalam hati. "Untuk apa kau peduli urusanku, dasar gemuk!"
"Apo!" teriak Mile sekali lagi. Dan suaranya mendadak berubah sedikit serak. Entah kenapa. "Hei, Hia di sini! Hia datang ke galeri, Apo! Hahh ... hahh ...."
Mile berlutut sebentar dan mencoba mengatur nafasnya. Lagi-lagi, orang-orang di sekitar saling berbisik dan mencibirnya. Matanya kini memanas.
"Maaf, Phi. Saya sekuriti di sini," kata seorang pria berseragam. "Anda bisa tolong tenang? Beberapa pengunjung mengajukan protes kepada saya barusan."
Mile bisa melihat bayang-bayang siluet sekuriti itu di depannya. Dia pun menegakkan badan, lalu menangkup kedua bahu pria itu sambil menatap matanya lurus-lurus.
"Kalau begitu maaf, Sir. Saya hanya bingung sekarang. Hah ... hah ..." katanya, masih sedikit tersengal. "Saya ingin cari seseorang. Saya pikir tadi dia masih di sini. Dia pasti belum lama masuknya. Saya yakin."
Si sekuriti pun tak jadi ingin mengerasinya. "Begitu. Tapi pamerannya sudah mau kami tutup, Sir. Ini pun sudah lewat lima menit dari biasanya.
"Ha ha ha ... begitu." Tawa Mile keluar. Dia mundur beberapa langkah. "Sebentar aja, Sir," pintanya dengan air mata menitik. "Aku benar-benar hanya butuh waktu sebentar untuk mencarinya."
____________
Siapa pun tahu, bila pria sudah mengeluarkan air matanya, berarti dia benar-benar terluka.
_____________
"Tapi, Phi! Hei!"
Maka meski sempat melarang, kaki sang sekuriti pun terpaku di tempat. Dia tak mengejar dan hanya menghela napas panjang. Toh dalam hitungan detik Mile sudah tenggelam di balik kelokan koridor galeri yang lebih luas.
Kotak-kotak, lajur rak, lukisan-lukisan berbaris ... Mile melewati semuanya. Lalu saat menemukan sebuah koridor lengang, di sana lah kaki Mile terpaku di tempat.
Itu Apo. Sosok manis yang perawakannya sudah dia hapal itu berdiri sendirian di depan lukisan berukuran sepapan tulis.
Potret yang terpampang adalah wanita setengah telanjang bersayap bidadari. Bulu-bulunya berguguran ke tanah dan ekspresi wanita itu terlihat sedih. Padahal tak ada satu pun lukisan air mata yang ditampakkan.
"Nong ...." desah Mile. Refleks dia tersenyum lega dan melonggarkan dasi yang terasa mencekik leher.
Apo justru meneruskan kegiatan mencatatnya lalu memotret lukisan itu seolah tak mendengar apapun.
Mile berjalan mendekat. "Maaf aku telat, Apo. Dan lagi, ini pun bukan mauku..."
CKREK!
Sebuah foto didapat, Apo lalu membiarkan kameranya tergantung di leher. Dia baru menoleh ke Mile setelahnya. Menatapnya sekilas, sebelum kemudian berjalan melewati seperti angin.
"Tak peduli. Aku akan pulang sekarang," kata Apo.
Mile pun segera mengikutinya. "Nong, let me explain first, okay?"
"Jangan coba-coba cari perhatian! Aku sudah lelah, tahu," kata Apo sinis.
"Tunggu," kata Mile.
"Ck. Menyebalkan," decak Apo kesal.
Mile pun meraih tangannya segera. "KUBILANG TUNGGU, APO NATTAWIN!!"
PLAKKHHHH!!!
Dan tangannya terhempas dalam sekejap.
"Apa sih?!" Protes Apo. Dia berbalik dan menatap Mile tajam. "GALERINYA SUDAH MAU TUTUP, TAHU! LAGIPILA INI SUDAH JAM BERAPA?! KENAPA BARU KE SINI? HAH?!"
Mendadak ada suara peringatan dari speaker ruangan. Bahwa pengunjung galeri diharapkan segera keluar sebelum gerbang dikunci oleh petugas.
"Dengar itu, kan? Aku yakin Hia tidak tuli!" bentak Apo lagi.
Namun, Mile justru kembali meraih tangannya. Kali ini dia menggenggam erat. "Kalau begitu, aku juga mau kamu mendengarkan aku."
"HEI!" protes Apo.
Pelototan dibalas pelototan.
Mile bahkan meremas tangan itu, seolah benar-benar tidak ingin dibantah. "Aku yakin kamu juga tidak tuli," tegasnya. "Jadi ikut aku sekarang."
Apo mendesis, tapi Mile tidak peduli. Dia menyeret anak itu keluar dari galeri dengan langkah-langkah urgen.
"Kenapa Hia seenaknya begini? Harusnya aku yang marah!" bentak Apo. Tapi dia malah dibanting masuk mobil begitu sampai di parkiran.
"Masuk dulu," tegas Mile.
Bukannya menegakkan duduk, Apo justru terlihat semakin murka.
"Ini juga mobil siapa, hah?! Baunya rokok dan parfum laki-laki!"
Mile justru semakin menaikkan suaranya. "Diam dulu bisa tidak?!" bentaknya balik.
Apo pun diam. Mereka bertatapan sesaat sebelum kemudian Mile mundur, menutup pintunya. Lalu masuk lagi lewat pintu kemudi. Saat mobil dilajukan, Apo baru membenahi postur duduk dan melengos ke luar jendela.
Matanya berair, tapi tidak sampai jatuh setetes pun dari sana.
"Di-chat tak dibaca, ditelpon tak diangkat, janjian di kafe tak datang, dan sekarang bertemu malah main kasar," dumal Apo pelan.
Mile hanya meliriknya sekilas.
"Kalo ada apa-apa mengabari aku bisa kan?" lanjut Apo. "Padahal panggilannya masuk, tapi memedulikanku sekali pun tidak. Hia keterlaluan sekali!"
"Terus?" tanya Mile. Kali ini tanpa melirik sedikit pun.
DEG!
"Apa?" kaget Apo. Dia menoleh sangking terkejutnya.
"Sudah begitu aja marahnya?" tanya Mile.
Apo pun mengepalkan tangan. "Hia, aku benar-benar tak percaya ini-"
"Marah aja hingga puas," sela Mile. "Nanti jika sudah lelah, aku baru menjelaskan semuanya sama kamu."
Dikatai begitu, Apo pun kembali melengos. Dia buang muka ke sisi jendela sekali lagi.
"Tidak kok. Sudah selesai marahku," katanya, terdengar menahan diri.
Mile meremas setir. "Serius?" tanyanya memastikan.
Bukannya menjawab, Apo justru memaki pelan. "Fuck."