Frankfurt, Jerman
Setelah mengajukan izin dua hari, salah pusat perbelanjaan di Frankfurt, Skyline Plaza akhirnya memberikan jawaban positif. Kami boleh mengadakan show Reog di sana, asal membagi hasil 30/70 dengan pihak Skyline. Melihat jumlah penghasilan pertama kami yang luar biasa, rupanya itu jalan berkah untuk pertunjukan berikut-berikutnya. Apalagi jejak digital kami kemarin sangat bagus. Komunitas mendapatkan insight tinggi di sosial media, penduduk Jerman banyak yang ingin melihat kami secara live dan meminta foto. Ada yang jauh-jauh menyeberang kota demi menjajaki pertujukan. Komunitas tak menyangka, orang-orang yang di depan museum belum bisa dibandingkan dengan yang di mall tersebut.
Aku tidak tahu muka-ku virall karena menjadi Pembarong pertama yang masih muda dan memenuhi standar idol masyarakat. Diminta foto dan ditarik kanan kiri rasanya langsung seperti selebriti. Tidak hanya wanita tapi juga laki-laki (ehem) gay yang kebanyakan "manjalita". Mereka tahu akulah pusat dari pertunjukan yang mengena. Hatiku kujaga dari jumawa. Bela diri tidak kupelajari untuk menyombongkan rasa. Aku terpilih, dan sakti, karena bisa memanajemen mindset dan tingkah laku. Kata guruku kemana pun kaki melangkah harus tetap baik, memijak dalam, dan menjunjung tinggi Indonesia.
Selama semuanya mengakar di dadaku, maka aku takkan mudah hancur. Bukan hanya gigi, namun otot, tulang, darah, bahkan jantungku yang menyimpan napas Pancasila. Komunitas pun kembali berlatih gigih demi menstabilkan performa. Aku banyak menyendiri untuk meditasi demi menyimpan tenaga. Pada hari-H ketiga truck sewaan sudah kucicil 30% untuk dibeli sekalian. Skyline Plaza dipenuhi sorak-sorai orang yang menyambut kami, bukan seperti pengamen jalanan waktu pertama. Identitas kami makin meroket. Kak Agus bilang ini efek ruwatan tertunda. Dia bingung bisa punya fans, sampai dikecup pipi kanan kiri juga. Betapa antuasiasnya orang-orang akan ke-virall-an rasanya harus dipertahankan dengan suatu cara.
"Aaaaa! Boleh minta tanda tanganmu di sini? Ayoo! Tuliskan nama lengkapmu!" pinta seorang wanita sambil mengulurkan spidol ke kakakku. Dia merona karena disuruh mencoret ke dada. Percayalah payudara wanita itu besar, dan belahannya mengotori mata.
"D-Di sini? Seriusan?"
"Iya! Di sini!"
"A-Ah, oke."
Para fans-ku juga begitu, tapi lebih banyak yang meminta foto sehingga tanda tangan sering tertunda. Mereka saling dorong sampai aku bingung bagaimana menempatkan diri. Meski ada gadis tercoret spidol pipinya, tetap rebutan dijepret di sebelahku. Kudengar Kak Agus dan yang lain menikmati ketenaran mereka. Para fans dan kami saling berkenalan lebih dekat.
"Siapa lengkapnya tadi?"
"Agustina."
"Hah? Bagaimana aku tidak dengar?"
"Agustina Lakeswara. Agus."
"Oh, cutieeee!" jerit wanita yang gemas kakakku. "You're so handsome pleaseee! Kalau tidak dapat adikmu, boleh tidak aku memakan kakaknya! Ya ampuun! Ilysm! Muach! Muach! Muach!" Dia memeluk dan menciumi pipi Kakak part sekian. Aku tertawa dari kejauhan menyadari sulit untuk introvert sepertinya. Kak Agus kena mental breakdance karena setelahnya banyak wanita serupa.
Pertujukan Reog dimulai pukul 9. Semua lancar, tapi ada yang tidak kusangka. Saat menghibur para penonton perasaanku aneh dari tadi. Sambil menari-nari aku mencoba mendeteksi dari mana asal "aura"-nya. Ke kanan, ke kiri. Melompat dan terbaring lagi untuk bangkit demi memikat penonton. Rupanya Natta kutemukan melihatku dari lantai 2 mall. Matanya seperti membolongi tanpa berkedip lama. Dia memakai suit dan turtle neck hitam-hitam yang elegan. Dunia seperti terbalik 180 derajat karena Natta tampak gelap. Dia tidak mengenakan baju warna-warni seperti kemarin, wajahnya dingin dengan bibir yang terkatup rapat. Bisa kunilai dia merupakan sosok yang berpendidikan. Cocoklogi dan bermain tebakan. Entah kenapa firasatku mengatakan Natta di tempat ini bukanlah kebetulan. Dia mengawasiku dari tempatnya berdiri. Mungkin sosoknya kecil dan tenggelam, tapi batinnya menyingkirkan banyak orang hingga memikat perhatianku. Dia tak membuang pandangan seperti kemarin. Sepasang bola mata itu tetap menatapku meski sudah ketahuan.
"Ada apa?" pikirku, tapi segera kutepis agar fokus pertujukan hingga selesai. Aku tak bermaksud menemuinya. Kubantu rekan-rekan memberesi barang karena tak ada urusan khusus. Saat kami mau pergi, justru Natta yang mencegatku di depan. Aku 100% yakin dia ingin bicara padaku, hanya saja dipanggil seseorang dari belakang.
"Natta."
Natta menoleh ke pria itu. Pakaiannya sama memesona dengan dasi merah. Aku pun melirik sekilas sebelum pergi. Mungkin tadi hanya perasaanku saja yang terlalu peka.
"Ayo pergi."
Pria itu menyentakkan kepalanya. Bisa kulihat Natta tidak nyaman, karena di belakang ada banyak bodyguard necis. Aku mengalihkan perhatianku darinya. Kursi di sebelah sopir truck siap membawaku pergi seperti kemarin.
"Tidak mau." Natta malah mengabaikan pria tersebut. "Kakak kan cukup di sini, aku seharusnya tak perlu ada. Bye."
"Natta!"
"Kita ketemu besok saja pas pertemuan keluarga."
Natta memasukkan tangannya ke saku celana. Dia berjalan melenggang dan menghentikanku di pintu truck. "Hai," sapanya, membuatku menoleh. "Namamu Mile, kan? Boleh aku minta foto denganmu juga?"
"Apa?"
"Tidak boleh, ya? Aku kan salah satu fans-mu."
Darahku mendidih panas.
Apa-apaan lelaki ini? Dia bercanda ya? Atau hanya ingin mengerjaiku? Tidak lucu.
"Salah orang?"
"Siapa yang namanya Miliendra Linggarsana di sini, ada yang lain?"
Ngomong-ngomong dia tahu namaku dari mana.
"Hm, oke lah." Aku pun mengangguk kecil, walau menyipitkan mata padanya. "Dimana, Dek?"
"Di sini."
Natta mengeluarkan ponsel Apple-nya yang mengkilat, untuk ukuran 2015, itu merupakan benda yang mewah kulihat. Di Indonesia baru virall ponsel Nexian, BlackBerry, Vertu, Esia, Sonny Ericsson, LG, dan sejenisnya. Disuruh memegang Apple untuk selfie dari sudut pandangku pun kubalas gelengan.
"Adek saja, aku tidak paham," kataku. "Atau suruh orang memfotokan kita."
"Baiklah."
Natta pun menyerahkan ponsel ke orang terdekat. Bisa kusadari siapa pun di sekitar Natta tak berani kemari. Lelaki ini punya banyak bodyguard mengikuti. Pantas dari tadi fans-ku adem ayem saja. Mereka memilih berlalu, membiarkan Natta memepetku sendirian. Foto bersama kami pun dia jepret, rekan-rekanku masih menunggu. Mereka takkan pergi makan siang tanpa ketuanya hadir.
"Sudah?"
"Belum."
"Apa lagi."
"Mau tanda tanganmu di jasku."
"Apa? Sinting ya?" kagetku.
Bajunya kan mahal sekali.
"Memakiku apa barusan?"
Natta versi normal memang terkesan mengintimidasi.
"Es tut mir leid," kataku refleks meminta maaf. "Tidak dulu sekarang. Aku mau pergi, mencurigakan juga orang kaya meminta tanda tanganku. Salah-salah nanti kau fitnah aku mencoreng fabrik mahal."
Aura Natta menggelap. "Harusnya kau minta maaf sudah berpikiran jelek juga."
"Apa?"
"Lupakan. Sebaiknya bilang ke rekanmu kita akan makan siang bersama."
"...."
"Aku janji tidak mengajakmu seks, kecuali kau sendiri yang nanti mau."
Aku pun semakin bingung. Dia suka padaku betulan atau bagaimana? Rasanya sulit tidak negatif thinking karena dia anak gedongan. Bisa saja tingkahnya kini hanya karena penasaran.
"Mile! Yok opo suwiii? Arep mangan iki! Ngelih!" panggil Kak Agus tiba-tiba. Dia keluar dari dalam truck mengingatkan rekan-rekan lapar ingin sudah makan. Ekspresi mereka tampak jengkel, karena kepanasan juga.
"Sek!" kataku. "Nteni sedelok, Kak! Aku tak omong sitik karo dee!"
Natta menimpa obrolan kami. "Pergi saja! Dia sama aku!"
"Maaf?"
"Nanti pasti kuantar pulang!"
Kak Agus pun menatapku. "Yo wes!"
Aku belum sempat protes, karena Kakak lebih cepat menutup truck belakangnya. Dia mengomando rekan-rekan kami untuk pergi ke tempat makan. Aku kesal dengan Natta ini. Seenaknya saja bilang A, B, C, D hanya karena konglomerat. Aku menatap dia malas, lebih-lebih seragamku belum sempat ganti. Atasan topless, hanya dengan hiasan di bagian bahu pun dihiasi rumbai ala para Pembarong di Ponorogo. Namun, diantara semuanya. Tidak membawa uang adalah hal yang paling menjengkelkan, padahal aku punya banyak dalam truck kami.
"Tolol."
Aku tega memakinya kali ini.
"...."
"Sekarang tunjukkan jalannya. Jangan lama-lama. Penampakanku sudah macam gelandangan."
Natta pun tersenyum kecil. Tak kusangka dia happy karena aku menurutinya. "Tunggu!" katanya, seperti bocah dapat permen. Natta merangkul lengan kiriku yang licin. Lupakan mode normal karena dia jadi "manjalita" lagi. "Xixixixixi, ihh ... senengnya. Umm, bau keringatmu enak ya! "Pangeran" mau ganti baju apa? Kubelikan ya di butik! Let's gooooo!"
"Cih, minggir kau."
Natta tetap merangkul lagi, meski aku menyentak tubuhnya.
"Gemes deh. Aku tidak sabar melihatmu memakai Versace!"
Terserahlah!
Apapun itu lebih baik daripada luntang-lantung tidak jelas. Apalagi jarak villa Ayah dari sini jauh. Natta menguasaiku seharian, aku dipakaikan baju butik betulan. Dia membelanjakan alat mandi agar aku bisa bersih-bersih. Lelaki gay ini mondar-mandir memusingkan. Dia mengambil baju berbagai gaya untuk ditempelkan ke badanku. Pujiannya atas visualku setelah ber-bathrobe membuat risih telinga. Aku mencium aroma lelaki ini hanya sedang bosan hidup. "Umm, yang mana ya ... hijau? Merah? Putih?" Ekspresinya (kuakui) imut sekali. "Putih saja pasti keren ya? Kau blasteran atau bagaimana. Kok kulitmu sebagus ini. Xixixixi."
Suara manja Natta macam kuntilanak saja.
Kutebak-tebak Natta versi "manjalita" sulit sakit hati. Kecuali topiknya sensitif untuk didengar telinga. Ku-roasting dia beberapa kali. Tak tanggung-tanggung seperti, "Bokongmu gatal atau bagaimana? Jika suka ditusuk kenapa tidak jual badan?" tapi malah terkikik padaku.
"Iya, gatal." Dia melirikku dengan mata centil. "Mau memasukiku setelah ini? Hm? Orang kampung sepertimu boleh kok tidur denganku. Asal kuizinkan saja."
Hubungan kami red-flag rupanya.
Natta telaten mengancingkan baju dan jaketku. Dia menata setiap detail penampilan bagaikan stylish pribadi. Miring sedikit saja tidak luput dari mata. Kuakui Natta orang yang perfect sekali. Dia puk-puk bahuku untuk memastikan finishing yang pantas. Aku tak percaya mukaku sendiri di cermin itu.
"Aww, gantengnyaaa ...." puji Natta sambil merangkul dari belakang. "Senang kan glowing sehari? Aku makin betah kalau kau sebersih ini. Ummm." Dia mengecup pipi kananku sekali.
Sumpah bulu kudukku merinding karena dia sebinal ini. Bukan maksudku menjadi gay, tapi Natta beda dari semua pacarku di kampung. Mereka tidak agresif melainkan malu-malu. Diajak bercinta saja selalu minta dikejar dahulu. Aku kadang merasa capek, tapi (waktu itu) kebutuhan seks mendera hebat sejalan dengan hormon remajaku. Mau tak mau kurayu mereka dengan kata-kata sok puitis sebelum adu kelamin di ranjang. Oh, bahkan ada juga yang harus surat-suratan dulu selama 2 minggu (penisku keburu malas, tapi pas dapat, gas saja lah kan sudah terlanjur).
Natta (sebetulnya) punya kriteria pasangan yang aku suka. Memori tentang gadis desa bernama Laeli hilang total, meski dulu sempat menghantuiku setelah kurelakan untuk Pak Dokter mapan. Natta membuatku tersanjung, bukan aku yang harus menyanjung 24 jam ke lawan jenis pasif. Kelelahan mental akan romansa dibangkitkan Natta lagi karena dia suka menempel padaku.
"Vielen dank vur alles," kataku, entah kenapa ingin berterima kasih dari hati terdalam. Natta pun tersentak mendengar kosa kata yang kupilih. Dia menyorotku dari samping dengan mata cantik itu. "Ya, mungkin yang kita lakukan bukan apa-apa. Kuprediksi aku pun lelaki ke-sekian yang kau goda selama ini. Tapi aku belum pernah berpakaian label branded. Pengalaman yang kau berikan memang sedikit berkesan."
"...."
"Maksudku, pasti kuingat ini jika sudah meninggalkan Jerman."
Natta mempererat rangkulannya. "Iya, sama-sama." Suaranya terdengar sedih. "Hanya saja, aku jadi kepikiran. Kau akan pulang ke Indonesia ya setelah kaya? Tidak ingin menetap di sini?"
"Buat apa?"
"U-Umn, setidaknya bisa kulihat?"
"Buat jadi hiburanmu? Aku kerja dan hanya butuh uang banyak, Dek," kataku. "Komunitasku takkan jalan tanpa aku. Begini-begini aku tetap ketua mereka. Sanggar Reog akan kubesarkan di tanah air. Tujuanku adalah membuat bangga keluargaku."
"Aku ingin melihat keluargamu."
"...."
Kami bertatapan dari samping.
"Pasti harmonis ya? Kau punya saudara yang amat baik," kata Natta. "Maksudku, setidaknya ayah, kakak, dan ibumu saling peduli. Bukan seperti keluargaku, yang diam aku dipakai konglomerat lain."
"Apa?"
Aku susah mendeskripsikan situasi itu.
"Ha ha ha, ada yang tua, muda, gembrot, beristri galak sampai pernah menggampar di tempat umum--ada juga yang berkumis tebal, bau mulutnya rokok, dan masih banyak lainnya," kata Natta tepat di sisi telingaku. "Aku selalu membayangkan dapat suami ganteng dan baik seperti dirimu."
"...."
Deep-talk siang itu pun tak terhindarkan. Selanjutnya aku tahu Natta punya sisi gelap menakutkan. Lelaki ini ternyata anak haram sepertiku. Ibunya sudah dibunuh istri pertama ketika usianya 7 tahun, tepat 12 hari setelah dinikahi. Natta melihat sendiri kejadian itu. Sang ayah sempat marah besar hingga hubungan keluarga renggang. Setelah itu, karena kecewa, nasib Natta seperti burung cantik yang dituntut menggoda orang. Sejak usia 14 dia sudah dicicipi gadun gembrot berbau alkohol. Keluarganya tak bertindak karena itu kesepakatan bisnis. Natta harus bersyukur karena penis gadun itu tidak besar. Setidaknya bokong Natta tidak robek ketika diperjakai. Digilir pun pernah karena Natta punya fisik bagus sejak dulu.
Tadi pagi sebenernya juga begitu. Natta dibawa sang kakak tiri ke mall Skyline untuk menanti Om-om barunya. Sebenarnya Natta bersamaku karena malas bertemu. Bercinta dan seks sudah seperti darah dalam nadi, tapi bukan karena perasaan cinta. Yang bagus adalah sampai sekarang lelaki ini sehat saja. Pipinya memerah kala mataku fokus ke bibir ranumnya. Dia siap dicium, tapi aku kembali memandang cermin. Kehidupan gay seharusnya jadi pilihan terakhir.
"Kau tahu, Dek? Orang Indonesia sepertiku banyak," kataku. "Mereka ke luar negeri karena kurang dihargai. Lalu tidak pulang selamanya. Tapi, aku berpikiran lain. Ponorogo bukan sekedar rumahku. Itu adalah syurga yang ingin kuperjuangkan. Syukur-syukur hadirku di sini membuat budaya kami terkenal. Bapak, Ibu, Kakak, dan keempat Adek kembarku yang lucu butuh lambang diri. Mereka pasti bangga jika Reog tidak dipakai "mengamen" selamanya. Aku membayangkan setelah ini akan punya lebih banyak murid. Sanggar kami dibuatkan tempat khusus yang isinya pembelajaran cinta negeri. Tujuanku besar, bukan sekedar wacana. Itu kutulis dalam buku, walau kuliahku tidak rampung."
"Eh? Kau pernah kuliah rupanya?"
"Hm, jurusan arkeologi."
"Oh."
"Aku suka sejarah dan budaya dunia. Otakku ini tak sebodoh bayanganmu, oke? Buang jauh-jauh pikiran seperti itu."
"Sorry."
Atribut Pembarong-ku pun dimasukkan dalam paper-bag. Natta membawanya bak kelakuan istri walau sudah kularang. Lelaki itu memang manis jika sudah sangat clingy. Dia sulit kutolak karena sudah mengerti sudut pandangnya. Kami akhirnya menuju restoran terdekat. Menu daging-dagingan tidak membuatku senang, tapi cukup mengisi tenaga. Salah satu hal yang paling kurindukan dari Indonesia adalah masakan penuh rempah. Duduk fancy begini membuatku stress karena harus sok mendetail padahal biasanya muluk.
Kau tahu kan, maksudku?
Orang Jawa kebanyakan makan pakai tangan.
"Umm, soal tanda tanganmu tadi aku serius. Bisa tidak kau coret di sini, biar nantinya jadi kenangan."
Natta tiba-tiba mengeluarkan pulpen dari dalam saku jasnya.
"Ckckck, ada-ada saja."
Aku pun geleng-geleng tapi bagian itu kucoret betulan. Dia malu-malu menunjuk dada sebelum aku tandai. Natta bilang akan menggantung jas luarannya di dalam lemari, biar kalau rindu sang "Pengeran" bisa membukanya lagi.
"Ngomong-ngomong, kau tidak pernah suka wanita?" celutukku sambil menaruh daging ke panggangan menggunakan capit stainless.
"Memang tidak."
"Kenapa."
"Ya karena seks pertamaku dengan pria. Aku tak tertarik lagi dengan payudara."
"Hm."
"Lagipula role-ku bawah. Otakku jungkir balik kalau tiba-tiba disuruh mendominasi gadis. Aku bingung harus melakukan apa."
"Ho."
"Anu, bisa tidak kau pertimbangkan aku?" tanya Natta mengejutkan. Aku terkesiap, tapi tetap tenang. Desir dadaku hanya sedetik, sebelum kembali normal.
"Untuk seks?"
"Untuk seks dan lain-lain. Serius aku belum pernah dapat firasat sebaik ini. Rasanya hanya--umm ... aman dan menyenangkan kalau bersamamu."
Aku pun menghela napas panjang. "Jika kau belum tahu, Dek. Aku benar-benar baru seminggu di sini," kataku. "Sudah ditabraki gay-vibe saja. Bisa biarkan aku kerja tenang? Kau lelaki, pasti bisa selesaikan masalahmu sendiri."
Natta seketika menunduk lesu. "Oh, iya, ya," katanya. "Aku sering lupa kalau punya penis."
Kami melanjutkan makan siang dalam keheningan, lama-lama rasanya tak enak selama mengunyah apalagi menelan daging. Mungkin karena yang barusan cukup keras. Aku pasti melukai perasaan si manis ini. Teori toxic masculinity memang nyata. Aku berakhir tak tega, mengingat dia tidak protes melihatku muluk di tempat seperti ini (ya, walau ada sekat tebal di dalam restoran, pasti beberapa orang melihat betapa kampungannya aku).
"Baiklah, begini," kataku sambil mencabuti tisu untuk mengelap tanganku. "Kita hanya bertemu dua kali sejak di Staedel. Lantas kenapa kau seyakin itu? Jangan menjawab firasat, Dek. Itu tidak masuk akal untuk orang rasional sepertiku."
Natta terlihat begitu kaget. "J-Jadi, umn ... sebenernya kau tidak jijik padaku?"
"Jijik."
"...."
"Bagaimana pun aku tidak pernah menyentuh lelaki lain dengan hasrat. Otakku juga dicuci lama selama di Indonesia. Bagiku gay tetaplah tabu, tapi coba katakan hal yang masuk akal."
Natta terlihat gelisah, bagaimana pun ini kesempatan yang hanya datang sekali. Dia sepertinya takut kehilanganku jika salah bicara. "Sebelum itu ... b-boleh aku tahu umurmu berapa?" tanyanya. "Kenapa memanggilku "Dek, Dek," dari awal. Siapa tahu aku lebih tua."
"28."
"U-Umn, pantas sexy. Aku baru 24."
"Masih kecil sekali rupanya."
"Aku tidak kecil! Aku sudah bercinta berkali-kali!"
"Itu tidak menjadi acuan."
"Ugh ...."
"Kecil-kecil itu seharusnya fokus kuliah. Kerja yang benar. Biar masa depanmu nanti cerah."
"Aku kan sudah lulus S2. Akselerasi."
"...."
"A-Aku masuk S3 kemarin. Baru sebulan."
Sampai sini "bandrol" Natta pun melejit di mataku. Insecurity datang beberapa detik, karena pendidikan memang hal minus dariku. Kubuktikan hipotesis tadi memang benar. Anak gedongan sepertinya jarang terbelakang kalau soal materi-teori.
"Itu lebih menunjukkan aku tak pantas untukmu. Menyerah saja."
"Tidak mau."
"Dek."
"Aku harus memanggilmu apa kalau memakai ala Ponorogo." Natta tidak terlihat tersinggung. "Masak Herr Linggarsana, ihh ... berasa berhadapan dengan Bapak-bapak tua berkumis."
Mataku memutar jengkel. "Mas saja."
Natta tampaknya begitu senang. "Oke, Mas Mile!"
"Rasanya aneh kalau kau yang bilang begitu."
"Xixixixi."
"Kakakku saja geli sampai tidak mau menoleh."
"Iyakah? Ha ha ha."
"Makanya kupanggil dia "Kakak" sampai sekarang."
"Mas Mile! Mas Mile! Mas Mile!"
"Bisa diam tidak?"
Natta justru tertawa semakin kencang. Aku tidak habis thinking dengan pertemuan ini. Namun kekecewaan Natta tentang penolakanku sedikit berkurang. Dia paham sepertinya aku butuh ruang. Si manis mengurangi ke-agresifannya dan membuat jarak. Selama 2 minggu hariku berjalan normal. Aku mengadakan Reog berpindah-pindah, tapi yang kuherankan Natta sering hadir selama berkesempatan. Dia adalah stalker paling niat sepanjang hidupku. Lelaki itu tidak segan-segan melempar uang 2-3 gepok dari dalam saku long-coat hingga membuatku heran. Apa Euro mulus berbau bank tak berarti bagi orang sepertinya? Untung gepokan uang itu tertimbun lembaran lain. Belajar dari pengalaman (diambil lagi oleh orang), sekarang penariku berkurang 2 demi menjaga kotak memutar. Mereka mengawasi jalannya saweran sehingga semuanya aman.
Natta juga berperilaku seperti fans-ku pada umumnya. Dia tak minta perlakuan khusus seperti dulu, melainkan foto-foto bersama fans lain. Setelah jepret sana-sini dia langsung pulang. Namun aku sendiri merasa khawatir karena yang barusan ada bekas luka di lehernya. Apa dia baru kena masalah? Kenapa Natta segigih ini? Pada pagelaran ke-9 kupanggil dia sebelum masuk ke mobil.
"Dek Natta."
"Iya, Mas?"
Cih, sial. Merinding kalau kejadian begini lagi
"Panggil "Kak" saja deh. Aku berubah pikiran. Biar persis seperti Kak Agus."
"Tidak mau. Sudah terlanjur!"
Ckckckck, benar-benar keras kepala.
"Ya sudah. Sekarang kutanya lehermu kenapa? Kau dicekik?"
Natta pun batal masuk ke mobil. "Mas Mile cemas?" tanyanya.
Bajingan!
"Tidak, hanya ingin tahu saja."
"Ahh, bukan apa-apa." Natta menyentuh bagian ceruknya. "Cuma karena seks seminggu terakhir. Ha ha ha. Dijambak dan dicekik sedikit masih enak kok. Cuma yang semalam agak kasar."
Siapa sih partner ranjang dia kali ini?
Lama-lama Natta bisa mati.
Meski ragu, aku pun tetap bertanya. "Siapa?"
"Apanya?"
"Orang yang begitu padamu siapa."
"Kakak."
"Hah?"
Natta tersenyum begitu manis. "Biasa sih. Kak Oliver kadang masuk ke kamarku kalau birahi."
Aku kehilangan kata-kata.
Jangan-jangan Oliver yang dulu lewat di Skyline Plaza.
Tubuh Natta kutelusur beberapa detik. Lelaki itu biasa saja tanpa adanya trauma. Dia hanya sedih diperlukan seperti gigolo. Hidupnya mungkin akan stuck seperti ini jika seseorang tak mengeluarkannya dari sana.
"Sebelumnya pernah begitu?"
"Memang itu urusan Mas?"
"Kan tetap harus diobati."
"Sudah diobati kok. Aku lebih paham soal itu," kata Natta. "Lama-lama lukanya sembuh sendiri. "
Aku tak tahan untuk tak menarik tangannya. "Ikut aku."
"Mas!"
"NAIK SAJA KE DALAM TRUCK!" bentakku hingga Natta ketakutan. "SANA! MASUK!!" Kutendang ban depannya berkali-kali. Natta pun gemetar, lalu duduk manis di tempatku biasanya. Percakapan kami hanya dipahami Kak Agus. Rekan-rekanku masih bodoh Bahasa Jerman karena penyerapan bahasa tak semudah yang kalian lihat di TV. Mereka diam saja, mengira aku marah ke konco temuan. Begitu gabung di dalam truck, Kak Agus berbisik di telingaku.
"Siapa Mile? Kok memanggilmu mesra sekali?"
"Orang sinting!"
"Bilang sama Kakak kalau punya pacar lanang."
"Yok opo seh!"
"Dia manis kok, tapi aku prefer sama yang perawan. Sempit, legit."
"Aku yo iyo!'
"Tapi tak sawang-sawang koyone mulus blas ra jerawatan. Cantik jelita."
"Kan memang dee perawatan!"
Rekan-rekan belum pernah melihatku sejengkel itu. Digodai, campur gelisah akan banyak hal memang baru kurasakan setelah sekian lama. Kondisi Natta berputar di kepalaku. Lelaki itu memblokade semua hal dari dada (seolah aku hanya boleh memikirkan dia). Kalau di Jawa aku pasti sudah nething dapat mahabbah santet-an. Tapi masak sih?! Natta saja terlahir di Jerman. Mana tahu soal ilmu kanuragan. Komando komunitas pun kuberikan ke Kak Agus lagi. Natta kuseret turun dari truck kami sebelum benar-benar sampai villa. Mobilnya yang tertinggal itu bukanlah urusan penting. Natta memainkan kunci kendaraan itu kala berhadapan denganku di trotoar.
"M-Mau apa."
"Bicara serius denganmu. Aku benci kau lemah begini. Lawan mereka!"
"Ugh ... itu tidak sesederhana yang Mas pikirkan."
"Kenapa? Kau takut dibunuh mereka? Tidak kan? Masak sampai bunuh segala sih? Ibumu dulu bagaimana? Sudah dilaporkan ke pengadilan?"
Natta memandangku dengan mata berkaca-kaca. "Mas, aku dibiarkan hidup pun karena jaminan Ibuku," katanya parau. "Mama sudah janji tidak akan mengutak-atik nyawaku, selama aku patuh ke mereka. Keluarga kami kan butuh kehormatan di depan media. Ini bisa disederhanakan kalau aku bisa pergi."
"Terus kenapa masih menetap? Kurang uang, Dek? Perasaan itu bukan masalahmu," cibirku julid. "Jangan menyeret orang seenaknya dalam masalahmu. Semua orang kan punya kehidupan masing-masing. Makanya cari jalan keluar. Tinggal pergi jauh saja susah. Aku yakin orang kaya sepertimu punya paspor, VISA, dan yang sejenisnya. Heran."
Tak kusangka Natta menangis. Dia meneteskan air mata, tapi nyaris tidak bersuara. Lelaki itu malah jongkok di hadapanku. Isakannya terlalu kecil nan tersembunyi di dalam rangkulan lutut. Natta sepertinya terlatih menangis diam-diam. Beda dengan saat di Staedel, dia punya pacar bernama Niel yang membuatnya berani protes leluasa. Bisa kesimpulkan Natta tipe yang submissive total. Dia benci diri sendiri hingga tidak mampir meyakini seberapa besar value yang dia miliki.
Kali ini aku menurunkan tingkat emosi. Natta kutarik berdiri agar ikut aku lagi. Anehnya, setersedu-sedu apapun Natta tetap mau bersamaku. Lelaki itu kuajak sembunyi dalam gang toko buku untuk kupeluk di dada.
"Hiks, hiks ... Mas Mile ...." dia memelukku balik. "Huhuhu. Benci ... hiks. Mmhh ... mereka membawa yang berhubungan dengan identitasku, hiks. Cuma kartu kredit yang masih kubawa, itu pun pernah dibekukan sekali ketahuan pergi. Hiks ... aku masih ingin kuliah Mas--hiks ... hiks ... aku tidak boleh kabur karena katanya berguna buat bisnis Ayah. Hiks ... jangan ikut marah, akunya takut sekali ...."
Aku pun mempererat pelukanku. Tak kusangka badan dia sekecil ini, hingga tenggelam di balik punggungku. Orang-orang lewat tidak tahu yang kusembunyikan laki-laki atau perempuan. Mereka hanya melihat kaki Natta yang bersisian denganku. Isakannya pun semakin kencang. Natta menjambak hiasan bahuku berkali-kali dan mencakarnya seperti kucing. Lelaki ini tidak protes sekali pun dengan keringatku. Dia lebih butuh rasa tenang dari orang lain, dan yang dia pilih aku.
Cih, ini sangat menyebalkan.
"Natta, kau akan baik-baik saja," kataku, walau tidak tahu hal apa yang membuat dia mendingan.
"Umm."
"Kau akan keluar dari sana. Suatu hari masalahmu akan berakhir, percaya tidak?"
"Hiks, iya ...."
"Bisa bertahan sampai lulus S3-nya?"
"B-Bisa sih harusnya."
"Kira-kira masih butuh berapa lama."
"Tidak tahu. Aku kalau santai malah kerja cepat. Jangan tanya target, aku takut terlanjur janji sama Mas."
Ckckck, ya ampun. Sebenarnya aku tidak peduli sih.
"Orang-orang itu menyentuhmu kalau terluka begini?"
"Ugh, bagaimana ya--mm ... biasanya tidak sih. Mereka butuh aku kalau sehat saja."
"Oke. Kalau begitu gunakan waktumu selama sakit. Rencanakan kepergian. Pikir ID, paspor dan VISA-nya nanti saja. Yang penting kumpulkan dulu uang kertas dan barang-barang pindahan. Jangan malah tidak persiapan sama sekali."
"T-Tapi kalau ketahuan bagaimana?"
"Ya pikirkan cara tidak ketahuan. Kau kan S2, otakmu harusnya cukup digunakan merencanakan rute kabur yang rapi."
Natta pun mendongak padaku. Kuku jemarinya meremas kulitku seperti butuh diyakinkan lagi. Dia ingin punya alasan kuat untuk melakukan sesuatu. Di negara bebas, ternyata tak selalu memberikan "kebebasan" bagi seluruh penduduk di dalamnya.
"Kalau kau kabur, aku akan datang ke tempatmu melarikan diri," kataku tegas, meski tak berniat begitu. Namun Natta betul-betul antusias. Air mukanya dipenuhi harapan lari demi dirinya sendiri.
"Benar, Mas?"
"Ya."
"M-Mau jadi suamiku juga?"
".... apa?"
Air mata Natta menetes lagi. "Soalnya kalau pacar, nanti putusnya gampang, akunya ditinggal lagi."
Dia ini serius tidak sih?!
Aku benar-benar stress!
"Oke, terserah."
"Umm, serius kan?"
"Iyaaaa."
"Kalau Mas-nya tidak bisa seks denganku bagaimana?"
"Itu pikir belakangan."
Obrolan kami terdengar mudah. Hal-hal ini keluar jalur, tanpa bisa kuhentikan sendiri. Aku benci, tidak bisa bilang "tidak", padahal biasanya perkara menolak adalah hal yang paling ringan. Aku terbiasa hidup dengan keyakinan yang tertanam di jantungku, tapi kehadiran Natta bisa membuatku meminjamkan "keyakinan" untuk dia sementara.
"Senangnya ... xixixi, terima kasih!"
Natta pun melepaskanku dengan tawa riang diantara muka merahnya.
"Sudah lega?"
"Iya, sangat."
"Sekarang mau apa kalau begini."
"Mau ciuman untuk mencoba bibirku?"
Sumpah ya, Natta. Binalmu itu sudah di luar nalarku.
"Apa? Tidak perlu lah. Jangan dulu," kataku sambil menoyor keningnya. "Sana pulang. Mandi atau tidur siang. Mukamu jelek tahu kalau menangis begitu."
"He he, he he. Jadi aku cantik dong kalau tidak menangis." Natta "manjalita" pun kembali. "Ihhh, Mas Mile, ayo jujur ....." Kugandeng dia untuk keluar usai mengusap ingus yang meler. Kedua kalinya bulan itu dia mendandaniku bak "Pangeran" impian yang -katanya- tampan sekali.
"Cih, berhenti melihat atau kucolok matamu."
Di dalam butik, di depan cermin. Natta lagi-lagi merangkulku dari belakang. Dia menahan jemariku agar tidak melepas baju branded kedua darinya. Pipi lelaki itu digosok-gosokkan ke bahu kokohku. "Sudah, Mas. Dipakai saja sampai pulang nanti, ya?" Suara kikikannya (entah kenapa) terdengar psikotik. "Habis ini, umm ... boleh tidak aku berkenalan dengan semua teman Mas?"