"Mencintaimu tak butuh kesempurnaan, melainkan selalu ada."
***
Bangkok, Siam. 1886 Masehi.
____________________________
Sebagai pengelana berkuda, Mile selalu membawa dua pedang di punggungnya kemana pun pergi. Dia memiliki keahlian hebat dalam bertempur, tidak memiliki keluarga, hanya ingin mencari ketenangan lewat kebebasan dalam hidupnya. Mile tak meminta apapun kepada Tuhan, kecuali bernapas karena sangat menikmati rasa sakit. Kejadian kampung halaman yang hancur lebur oleh kebakaran hutan meninggalkan memori buruk di kepalanya, Mile pun memutuskan menjadi tipe tak tahu menahu. Kata orang, orang "bodoh" memang lebih baik dalam menghadapi masalah besar. Sebab senyum tetap hadir di bibir mereka tanpa mendistraksi orang lain.
Mile membuktikan hal itu sampai sekarang, dua tahun berlalu sejak kejadian besar yang disebabkan kemarau panjang, manusia kelaparan saling bertarung, serta gunung di sebelah hutan meletus tiba-tiba. Mile waktu itu tengah berburu di tempat lain, ingin hati memberikan hadiah bagi keluarga. Namun saat pulang malah mendapatkan kejutan tidak terkira: lautan api yang menjalar kemana-mana.
Mile pun kini menjadi manusia tanpa tujuan, kehilangan orangtua, satu kakak, dua adik, dan harta yang disimpan di bawah ranjang. Sejumlah uang sengaja Mile kumpulkan untuk melunasi hutang di tetangga. Sepertinya kini dia tidak perlu pusing karena mereka sudah hancur menjadi debu. Mile sempat menilik tanah yang dihiasi tulang belulang serta jejak manusia yang tidur di atas tanah. Atau lebih tepatnya, tertimpa abu vulkanik hingga terbakar habis. Mile rasa, kehidupannya adalah kutukan, namun karena syaraf kepalanya kena, lelaki itu menjadi seperti sekarang. Dia senang saja melihat dunia luar. Tidak merasakan trauma sangking sintingnya. Mile hanya ingin tidur di bawah bulan, minum air sungai, dan sesekali makan daun pun tidak masalah. Mile tidak mempedulikan bagaimana cara dia hidup asal tetap tertawa-tawa. Sayang suatu hari ada seseorang penggembala kambing yang melihat dia seperti itu.
"Hei, kau kenapa? Jangan dimakan yang itu! Beracun!" kata lelaki yang tampak lebih muda darinya itu. Kira-kira 25 tahun, dan sangat manis. Kulitnya kecokelatan dengan baju merah hati. Lelaki ini menatapnya kesal dan khawatir. Dia mengeluarkan apel dari saku untuk diberikan kepada Mile. "Kelaparan atau bagaimana, heh? Ini makan bekalku saja. Nenek masih punya banyak di rumah. Jangan mati."
Mile pun turun dari kudanya, dia menampar bagian kepala agar si kuda tidak lagi mendekati pohon yang daunnya mau dia petik. "Oh, terima kasih," katanya, lalu tersenyum seperti bocah sambil menggigit. Separuh Mile makan sendiri, sisanya untuk si kuda. Namun Mile tak berpamitan kala melanjutkan perjalanan. Dia hanya melenggang pergi begitu saja, tidak dipanggil. Mile rasa, itu adalah hari terakhir dia bertemu dengan si penggembala. Tapi dia justru salah besar.
Suatu hari, saat Mile sampai di kota besar --entah apa namanya--, dia terlolong bengong karena ada lelaki menolong waktu itu dipecut menggunakan tali yang panjang. Badannya luka semua, dan hendak dibawa pergi. Saat Mile bertanya kenapa, ternyata ayah si menjualnya karena kalah judi. Nenek yang baik pun meninggal, karena pertengkaran hebat 3 bulan lalu.
Mile pun ingin membalas budi, dia serahkan dua pedang kesayangannya ke si pemecut agar lelaki itu diberikan padanya. Lagi-lagi Mile tidak menangis, padahal dalam hati Mile sangat menyayangi kedua pedangnya. Kemana-mana Mile selalu berburu dengan menggunakan senjata. Namun, kini segalanya tiada. Tinggal lelaki itu, yang didorong jatuh ke tanah. Seolah seonggok karung isi sampah dan tidak berguna.
Mile pun akhirnya tersenyum lebar, bukan karena bahagia tapi tidak bisa berekspresi dengan benar. Katanya, "Ayo, ikut naik. Akan kuajak kau berpetualang."
"Apa?"
"Naik kuda, bersamaku," ulang Mile, menegaskan. "Kalau kau tidak keberatan hanya makan daun he he he he ...."
Lelaki itu pun meraih tangannya meski ragu, ikut menunggang kuda. Namun Mile tidak tega menaruhnya di belakang. Badan lelaki itu luka semua. Tubuhnya lemas. Dia tidak memakai atasan baju karena sudah dijambak robek. Mile pun mundur untuk memberikan ruang depan. Dia memeluk lelaki itu katanya agar tidak terjatuh.
"Siap?"
"...."
Lelaki itu tertunduk usai menatapnya sekilas. Mereka tidak tahu harus bicara apa selama perjalanan, Mile benar-benar berhasil membawa lelaki itu pergi dari neraka. Mereka melewati tepi jalanan kota yang ricuh. Terus melaju. Sesekali Mile membiarkan kudanya minum sisa air hujan. Mile menimba dulu di sumur terdekat. Bila tidak ada, Mile akan turun untuk meringankan beban si kuda. Semua hal pada dirinya membuat lelaki tadi terheran, apalagi Mile makan daun lahap seolah itu daging panggangan.
"Kau benar-benar hidup begini selama ini?" tanya lelaki terluka itu.
"Ya, he he he."
Mile tidak menjawab apapun lagi. Separuh otak--tidak warasnya--mengabaikan hal yang sulit. Lalu menyodorkan daun-daun yang dipetik lengkap dahannya. Dia ingin si lelaki terluka ikutan makan, karena terpepet daun pun menjadi hidangan penyambung nyawa.
Mereka kemudian berhasil keluar dari kota dalam waktu 3 hari. Tetap seperti itu, hingga menemukan perkampungan lain yang lebih asri dan hangat. Tidak tahu apa namanya, tidak tahu seperti apa sifat penduduknya, tidak tahu juga apakah masa depan mereka akan ada perubahan meski sedikit. Mile juga tidak bertanya siapa nama lelaki itu, dia tak peduli. Mile hanya ingin terus tersenyum, sambil membalas budi hingga merasa cukup.
Mile tidak merasakan emosi lain yang lebih kompleks, tidak peka. Bahkan dia pernah tertawa karena lelaki dalam penjagaannya terkejut karena ketahuan pipis di sungai.
"AAA!! HEI! JANGAN LIHAT!! DASAR MESUM!" kata lelaki itu, yang lukanya mulai mengering. Mile mendengar suara kencang dari dadanya karena berdebar. Namun Mile terus-menerus tertawa. Aneh, tidak wajar, tidak bisa dimengerti tapi baik hati. Itulah Mile Phakphum yang sekarang, dia manusia berwujud kotak pandora, hanya tidak bisa ditinggalkan begitu saja--padahal lelaki itu sempat mengeluh karena selalu diajak memakan daun. Minggu ke 3, baru ada percakapan cukup penting. Komunikasi mereka meningkat, walau badan makin kurus karena tidak terawat.
"Aku Natta, dengar? Apo Nattawin," kata Apo memperkenalkan diri. Dia tidak tahan muntah-muntah terus jika memaksakan diri makan daun, karena itulah ingin menjalin tingkat emosional yang lebih tinggi. Apo hanya ingin Mile memanggil namanya dengan benar, bukan "Hei, hei," seperti dulu.
"Nama cantik, ayo pergi."
Namun Mile hanya mengatakan hal ringan. Dia tidak sadar hal tersebut menimbulkan dampak besar (Apo makin tidak bisa lepas darinya, meskipun bisa. Apo batal melarikan diri karena ingin ada dan menemani Mile. Apo menetap hingga tiduran di atas rumput pun menjadi hal yang biasa. Apo mulai tahu cara bertahan di sisi Mile Phakphum. Sebagai burung dengan sayap-sayap kuat hitam. Mereka bisa terbang kemana pun untuk saling memiliki.
Suatu hal yang disebut kebersamaan, maksudnya.
Mile menunjukkan Apo tempat-tempat lain. Rupa mereka semakin buruk bahkan tulang pun sampai terlihat. Saat Mile menemukan kain di tengah malam dia memberikannya kepada Apo. Mile ingin teman hidupnya mulai berbaju karena demam datang menerpa. Mile tidak tahu cara merawat seperti dulu. Dikiranya demam Apo akan menghilang, seperti luka-lukanya yang sembuh sendiri setelah kering.
Semakin hari demam Apo semakin parah, dia muntah-muntah dan isi perutnya merupakan adonan daun bercampur darah. Mile terlambat mengerti arti mencuri demi bertahan hidup. Apo sendiri tak berani mengambil resiko seperti itu. Sekalinya kain membalut tubuhnya, malahan panas. Apo pun terjatuh dari kuda pada Minggu ke 4. Pingsan. Begitu saja.
Mile pun tertawa-tawa bahagia. Lagi-lagi lelaki itu tidak paham rasa sakit yang sebenarnya. Kadang dia waras, kadang dia gila. Namun Mile akhirnya menangis.
Dia tidak tahu kenapa begitu, karena ini pertama kalinya setelah sekian lama.
Air mata tidak berhenti mengucur dari pelupuk, dia masih terbahak. Kudanya pun meringkik keras dengan ketukan kaki yang ribut. Agaknya hewan itu lebih perasa soal situasi. Dia berlari menjauh saat Mile turun dari punggung untuk menyentuh Apo. Saat itu adalah sore yang gelap. Cuaca buruk dengan aroma hujan yang kental. Air mulai jatuh dari langit, tapi seperti menggoda. Kadang turun, kadang berhenti, dan kadang mengguyur deras. Dunia ini seolah tahu ada dua hati yang bergejolak dengan tanpa prediksi.
Mile pun menangis semakin kencang. Dia mengguncang tubuh Apo sambil meringkuk seolah kedinginan. Dipeluknya tubuh itu di dadanya sambil tertawa kembali. Rasa kehilangan keluarganya saja tidak pernah sesakit ini. Mile tidak paham, tapi raungannya begitu keras hingga matahari mulai tenggelam. Tidak ada yang keluar dari penduduk sekitar karena jarak rumah perdesaan saling berjauhan. Mile pun tidak mendapatkan bantuan. Dia didera sukma rasa takut hingga kudanya kembali membawa seorang lelaki muda.
Suara larinya gaduh sekali, orang itu turun. Lalu mengecek di denyut nadi.
"ASTAGA!! DIA DEMAM TINGGI! TIDAK BISA! HARUS SEGERA DIBAWA!" teriak lelaki itu frustrasi.
Mile pun membiarkan Apo digendong pergi. Dia ditinggalkan, tapi tetap tertawa aneh. Saat dijemput ulang, suaranya sudah menghilang. Serak-serak seperti yang tadi pun tidak ada. Mile lelah berteriak hingga pita suaranya lecet. Dia dibawa pulang serta ke hunian lelaki tadi. Untung Apo sudah dalam kondisi lebih baik. Dia terbungkus selimut hangat, walau tidak tebal. Mile jongkok di sebelah ranjangnya untuk menonton. Dia menolak disuruh mandi dulu ke belakang. Dipandanginya muka pucat itu. Disentuhnya helaian rambut Apo dengan jemari.
"Natta, Natta," kata Mile sambil menoel pipi Apo. "Natta, Natta. Natta, Natta," gumamnya walau nyaris tidak terdengar. Semakin bersuara, tenggorokannya semakin sakit. Mile tertidur di sisi Apo dalam kondisi tubuhnya basah.
Pagi hari itu Mile tidak menemukan Apo di ranjangnya. Kompres ditinggalkan, dan ternyata lelaki itu berdiri di teras rumah. Apo sudah memakai baju lain lagi karena disuruh ganti. Lelaki itu membaik, walau bibirnya masih pucat sekali. Dia senyum dengan seringaian tipis, Mile bingung. Mereka berdua dibawakan nampan berisi nasi dan ikan goreng.
"Hei kalian, ayo makan. Tapi Mile harus mandi dulu karena kotor," tegur lelaki yang menyelematkan mereka semalam.
Dengan tatapan tegas itu, Mile harusnya takut atau minimal menurut. Namun Mile sang burung bebas berlari kencang. Dia menabrak peluk Apo dengan kerinduan yang dalam. Jantungnya berdebar, dan pelukan itu menularkan debaran serupa di dada Apo.
"Natta, Natta!" seru Mile dengan suara yang jelas.
Apo Nattawin tertegun. Mukanya kaget, sedetik kemudian sudah berganti sipu. Rona tipis menyebar di telinganya. Apo balas memeluk, dan lelaki tadi terhenyak di tempat.
"Oh, astaga. Apakah kalian sepasang kekasih? Dari mana?"
Hari itu, tanpa Mile dan Apo sadari mereka sudah menemukan jalan keluar (meski kecil) mereka pun dipandu untuk melakukan pekerjaan sederhana seperti berkebun dan membajak sawah jika ingin ikutan tinggal. Usut punya usut, penolong itu bernama Napvtik, tapi Napvtik duda beristri yang istrinya mati usai keguguran janin 3 bulan. Napvtik merasa tidak bisa pergi dari rumah karena jasad sang istri di kebun. Dia menanamnya di bawah pohon, anehnya pohon itu menumbuhkan banyak jeruk yang manis.
"Kalian antarkan ini ke pasar, tolong jual. Harganya terserah yang penting kita bisa makan siang, oke? Segera kembali setelah habis."
"Oke."
Apo pun mengangguk dengan senyuman. Dia memanggul keranjang berisi jeruk separuh penuh. Mile sendiri diberikan keranjang lain yang isinya cabai dan tomat. Mereka mulai bekerja sama dan beraksi di luar kebun. Semua benda terjual habis. Sejak saat itulah Mile dan Apo hidup bersama kuda mereka di rumah Napvtik. Mereka tidak pernah memiliki kebahagiaan seperti di buku dongeng. Tidak terlalu kompleks, tapi hal seperti ini membuat senyum hadir di bibir setiap orang.
Oh, satu lagi. Napvtik pergi melipir jika melihat Mile dan Apo berciuman di kebun. Dia hanya tersenyum, walau hatinya sendiri kosong. Napvtik sempat salah memasukkan garam ke kopi dan menggosongkan ikan, padahal belum pernah begitu selama ini. Air keran juga amber karena ditinggal melamun. Membuat Apo peka kegundahan hatinya. Dia bertanya "Kenapa?" dan "Apakah masih teringat istrimu?"
Memang apa lagi jika bukan itu? Napvtik selalu memikirkan sang mendiang istri setiap hari. Dia ingin merela, tapi gadis lain dari desa sebelah pun tidak dia pinang, meskipun cinta.
"Ah, ya ampun. Kenapa begitu? Bukankah kalian bisa sama-sama memulai? Tidak ada pasangan juga dari pihak dia--"
"Tapi orangtuanya inginkan motor, Po. Siapa yang punya jaman segini. Hanya ketua suku," bantah Natvtik. "Ini tidak seperti kau dan Mile bisa bercinta, tanpa dihakimi orang karena dianggap saudara. Membawa gadis pulang ke rumah jelas harus meninggalkan mahar banyak. Aku tak mampu."
Apo pun mengerti apa masalahnya. Dia mengangguk. Namun solusi apapun di kepalanya tidak terucap. Apo hanya takut berekspektasi sebelum bertindak, dia pergi membiarkan Napvtik memandang bulan. Mungkin Napvtik membayangkan istrinya di masa lalu, atau janin yang gagal melihat dunia. Apo mendekati Mile yang tengah mengupas sabut kelapa. Dia menghadiahi kecupan pipi, lalu Mile beralih fokus padanya.
"Apa, Natta?" tanya Mile, yang kembali ke mode warasnya. Apo tahu hal seperti ini hanya sebentar, dia harus segera membicarakan hal penting terkait kuda.
Apo ingin Mile merelakan kuda itu agar diganti motor baru. Rencananya nanti dijyal kontan. Biarkan Napvtik memetik cintanya seperti mereka di jauh sana.
"Apakah boleh?" tanya Apo sambil mengharap. Mile menatap Apo dengan mata lebarnya yang cantik. Dia menoleh. Antara kuda dan Napvtik mau tak mau harus dipilih satu sahaja.
"Jual, besok," kata Mile pada akhirnya. "Jual, besok. Natta. Jual, besok. Natta. Sendiri. Yang. Harus. Jual," lanjutnya sambil menangis.
Detik itu perasaan Mile makin terasah kembali, biar pun hanya kuda mereka sudah menghabiskan banyak waktu bersama selama ini. Apo pun memeluk Mile untuk meredakan hatinya. Apo mengelus punggungnya lalu keesokan pagi pergi sendirian ke pasar. Mile tidak mau ikut dan hanya memetik cabai. Apo pun menunggang kuda itu, lalu pukul 10 kembali dengan bergepok-gepok uang di karung berbau timun.
"Apa ini?" tanya Napvtik, yang tidak pernah mengharap imbalan. Dia sudah cukup senang rumah dan kebunnya ada yang ikut mengurus. Namun pucuk dicinta ulam pun tiba, lelaki itu menangis karena Apo mengatakan yang sebenarnya.
"Jangan begitu, jangan bersedih. Mile sudah setuju agar kudanya ditukar uang. Tidak apa-apa," kata Apo sambil memeluk Napvtik. "Sekarang ambil cintamu yang baru. Bawa pulang. Aku yakin istrimu yang berbuah manis seperti jeruk akan suka jika senyummu kembali. Jangan ragu."
Napvtik pun menangis semakin kencang. Dia mengangguk. Lalu berangkat langsung ke kota besar untuk menghadirkan motor keluaran baru yang cukup keren pada masa-masa itu. Dia lamar si gadis manis dengan lesung pipi yang memerah. Napvtik peluk, dan boleh dibawa pulang. Tentunya dengan motor baru yang disetir dengan ugal-ugalan--ya namanya memang baru bisa. Konyolnya Napvtik sempat mengajak gadisnya jatuh menyusruk ke lumpur sawah dan tertena padi.
Mereka malah tertawa-tawa. Luka apapun yang terkena di badan mereka rasanya tidak berarti. Si gadis mau menuntun motor berlumpur mereka sampai ke rumah. Sementara Mile digandeng Apo keluar kebun agar menyambut keluarga baru mereka.
"Selamat datang, Davikah," kata Apo yang segera menyapa. "Kau berhak bahagia dengan lelaki ini. Pasti kami buatkan masakan yang enak untuk pesta pernikahan kalian besok."
"Terima kasih, he he he."
"Sama-sama."
Mereka berjabat tangan.
Mile cemberut, tapi dia pun berakhir luluh. Senyum bahagia Napvtik saat menatap Davikah dalam rangkulan membuatnya mengerti bahwa gadis itu adalah dunia Napvtik, seperti dirinya kepada Apo.
"Oke, besok masak," kata Mile dengan senyum tipisnya. Apo lihat itu adalah jenis yang paling tulus, selain untuk dirinya di ranjang kala bercinta. Mile langsung memeluk Davikah, meski lumpur tebal berlumuran di badan si gadis. "Selamat datang juga untuk kalian."
"Ha ha ha ha ha, terima kasih," kata Davikah balas memeluk.
Tiga tahun kemudian kehidupan yang sebenarnya pun mulai diukir. Apo dan Mile mendirikan rumahnya sendiri di sisi petak kebun Navtik. Dulunya ada barisan tomat merah, tapi kini keduanya bisa menghuni di sana. Apo tidak masalah dengan rumah kecil nan mungil. Dia sudah melupakan rasa sakit para kambingnya dulu direbut karena hutang taruhan judi.
Ya, karena Mile sudah cukup untuknya walau otaknya separuh-separuh. Keduanya berdampingan hingga Davikah melahirkan anak kedua, laki-laki lagi. Mereka berempat jadi orangtua bersamaan yang berganti tugas.
"Oh ya ampun! Terima kasih ya Mile dan Apo! Tolong dijaga bayi-bayiku! Dua hari saja kami liburan di luar kota. Dadaah!" kata Davikah, pamitan suatu hari. Davikah dan Napvtik dapat kesempatan untuk melihat air mancur yang tinggi--mereka belum pernah sama sekali--sebab Kota Siam dengar-dengar mau diganti menjadi "Bangkok". Mereka semangat melihat kota dan ingin menjelajah. Di rumah Mile tertawa karena bayi Davikah menangis jika tidak menyedot puting.
"AHHHH! YA AMPUN SAKIT!" jerit Apo saat putingnya digigit mulut tanpa gigi itu. Dia menimang bayi umur 4 bulan Davikah. Mengemongnya. Membuat Mile cukup terhibur saat menyuapi Khao si sulung yang umur 2.
"Ha ha ha ha ha ha ha, lucu," kata Mile.
Mereka pun melanjutkan hidup meski amat sederhana, bukan untuk orang lain. Namun demi bertahan dengan banyak hal yang lebih bermakna di masa depan.