Chereads / LOVELY GIFT [MileApo Fanfiction] / Chapter 11 - REOG PONOROGO 4

Chapter 11 - REOG PONOROGO 4

Natta pun menangis kencang. Kali ini ada aku yang menggenggam tangannya sampai kapan pun. Aku tahu "aku" definisi lelaki menjijikkan yang sebenarnya. Aku kotor, dan tak seharusnya dapat dia yang ternyata malaikat. Bisa kusimpulkan hari itu aku yang beruntung bertemu Natta. Jika waktu bisa diputar, maka aku akan membiarkan Natta tertawa sekencang mungkin di Dadak Merak-ku. Dia pantas untuk bahagia. Beda dengan saat dalam gendongan Niel, Natta menangis di dadaku dengan muka merah nan bengkak sungguhan. Eyeliner dan maskaranya luntur ke pipi. Natta pasrah saja begitu kurebahkan di ranjang.

"Whyyy, hiks ... kenapa harus sekarang sih, Keparat. Aku kan berantakan sekali ...." keluh Natta kala bibirnya hampir kucium.

Natta menutupi wajah yang dihiasi hitam-hitam make-up luntur, wig-nya copot, topinya kulempar, dan jeans yang tadi kukira celana tenyata rok super pendek. Desain saja yang menimbulkan ilusi itu. Dadaku berdentum hebat karena kaget masih menemukan penis di dalam sana. "Mmmhh, mmnh," keluhnya sambil menyingkirkan tanganku. "Malu, please. Bisa jangan sekarang seks kita? Maksudku ini yang pertama untuk kau dan aku, Mas ... bisa aku mandi cantik dulu? Tidak kuat--"

Bibir berlipstik-nya sudah kugerus dengan lumatan brutal hingga tercoret-coret sembarangan.

Entah karena aku istimewa, Natta insecure dengan penampilan, atau dia lama tak berhubungan seksual--yang pasti Natta di depanku benar-benar gugup seperti perjaka. Padahal dalam mimpi basahku, Natta lah yang menunggangi penisku dengan wajah dan ekspresi bangga. Namun Natta di depan mataku adalah lelaki yang kehilangan dirinya.

Natta memberontak ingin lepas, padahal mukanya merona. Terdengar jelas dadanya menggila ketika rok-nya kuangkat ke pinggang. Lelaki ini benar-benar seksi, melebihi bayanganku. Alat kelaminnya bersih tanpa bulu, sangking perhatiannya dia terhadap perawatan.

Ah, Dek. Aku benar-benar kelaparan.

"M-Mas Mile--hnngh ... jangan sentuh, aku mau cuci muka dulu, ya--hh ... tolong. Minimal ya--Mas ...." Dia memohon-mohon tidak karuan. Aku tetap menarik celana dalamnya hingga terlepas. Warnanya salem lembut, yang kuhirup di depan matanya. Bodoh amat Natta melotot karena kelakuanku. Agaknya dia pusing, akibat daya penglihatan terbatas.

"Mas Mile ...."

Kujilat celana dalam itu hingga Natta meneguk ludahnya sendiri.

Aku sendiri tak tahu kenapa semesum ini, padahal saat one-night stand dengan wanita Jerman langsung to the point ke titik sensitif. Natta kubuat panas dengan caraku menggigit karet. Benda itu kujatuhkan sebelum kucium kembali bibirnya. "Ahhh, mmhh, nnngh--" Natta menatap nanar ke langit-langit kamar. Lelaki itu blank total dengan caraku menggulat lidahnya. Natta meremas bahuku sambil mendorong terus-menerus. Aku meraba-raba dadanya penasaran apakah itu implan, atau yang serupa. Kurogoh bagian itu dengan cakaran, dan ternyata yang lepas adalah kulit sintetis. Jika kau belum tahu, ini semacam yang dipakai aktris dalam proses syuting film, atau cosplayer genderless yang yang ingin tampil maksimal.

Tidak sabaran aku pun merobek branya yang branded. Natta syok tahu aku berhasil menatap puting-puting mungilnya yang merah. Napasnya memburu karena aku benar-benar tidak berhenti menyentuh. Batinnya pasti terguncang, jika ingat aku versi dulu alergi romansa antar lelaki.

Kuperlihatkan penisku yang sudah sesak sekali. Tidak hanya restleting, kulepas celanaku sekalian agar dia leluasa melihat keperkasaanku. Natta pun terpekik, "Mas, wait--!!" sambil menahan perut berototku. Entah benar atau tidak, mungkin penisku adalah yang terbesar di antara semua penis yang pernah dia tangani. Terlihat cara Natta mundur-mundur dan ingin merangkak pergi. Kutahan pinggulnya di tempat, dan kugesekkan ujung penisku yang meneteskan setitik sperma. "MAS!! HELP! MASSSSSSSSS!!!" Dia benar-benar ketakutan waktu penis ini akan kudorong langsung ke dalam anal.

"Apa? Kenapa?" tanyaku bingung.

"No, hiks ... w-wait--ingat aku ini bukan wanita ...." keluhnya sedih. "A-Aku takkan mengeluarkan cairan putih di dalam, please hati-hati caranya bukan begitu ...." Kakinya gemetaran sangking gelisahnya.

"Oke, oke. Maaf, aku sungguh tidak tahu," kataku salah tingkah juga. Kukocok penisku selagi Natta menenangkan diri. Dia masih takut dan menggeliat gelisah akibat kelakuanku. "Terus, beritahu aku caranya. Ini pertama aku dengan lelaki, Dek. Tidak paham."

"Ya Tuhan, Mas-nya ...."

Natta pun memijit kening, padahal kami sudah sama-sama membara. Dia muram karena tak ada lubrikan di tempat ini. Apartemen Natta terlalu lama tidak dihuni, siapa yang tahu kami akan seks di sini sekarang. Malu-malu, Natta pun memberitahuku harus membaluri anak dengan sesuatu. Mungkin sperma atau saliva, yang pasti harus basah licin. Kelamaan aku pun menunduk untuk meraup liangnya dengan mulutku. Natta pucat sekali karena aku menerima saja.

"Ya sudah--"

"T-Tapi kan, Mas--ugh, s-serius mau--?!"

"Diam kau."

Aku pun menjilat anal lelaki lain pertama kali. Sangking khawatirnya Natta duduk, demi melihat prosesnya langsung. Penisku kukocok terus demi melampiaskan nafsu yang tertunda. Natta heran melihat semangatku menjilat-jilat hingga memutar di kerutan itu. Mungkin karena warnanya kemerahan, aku jadi suka dan betah sekali. Seolah tak pernah dijamah orang, anal Natta kutusuk dengan lidahku hingga dia merintih-rintih.

"Ahhh, hhh--nngh ... Mas Mile--hhhh."

Aku benar-benar makin terangsang setiap kali dia mengatakannya.

"Mas--hhh ... mnhh--akhh. Mas ... hhh Mile ... hhh nnhh ...."

Tak kusangka, aku terhibur dengan raut lelaki yang mendesah di bawahku.

Penis Natta berdiri kencang tepat di depan mukaku, degan kedua pelirnya tegang karena hasrat menumpuk. Natta suka sekali kugigit di sana dan kukulum hingga dia menjambak rambutku. Suaranya makin sensual dari waktu ke waktu.

"AHHH!! HNGGHHHH--AHHH!"

Natta meraung-raung karena gerakan mulutku semakin cepat. Kubuat Natta meneteskan sperma hingga menghiasi perut ber-pierching-nya. Untaian sakura dari emas putih itu terguncang begitu Natta kutusuk tanpa ba bi bu. Natta berteriak, "ARRGGHH! S-Sakit ... sakit--hhh," sambil mencakar bahuku.

Oh, rupanya aku membuat dia berdarah di bawah sana.

Jujur aku terkesiap kenapa itu terjadi, padahal Natta bukan perawan, tapi dia seperti punya selaput dara. Natta minta aku menatapnya usai meminta jeda sesaat. Lelaki ini menahan ngilu dan mendesis nyeri yang tidak berperi. Dia menangkup kedua rahangku sayang. Natta minta dikecup sehingga aku mengabulkannya.

"Lagi?" tanyaku, yang tidak paham apa yang dia rasakan. Meminta maaf saja tidak, apalagi membuat Natta merasa tenang. Yang kutahu penisku adalah penisku masuk, dan kami menyatu sebagai pasangan sempurna (namun inilah yang kuanggap tolol di masa depan). "Bagaimana, Natta? Huh?"

Natta mengambil rahangku lagi. "Umn, hhhh--nn ... m-mau ... mmh, hiks ... lagi ...." Aku balas mencium sambil mengguncang ranjang. Lama sekali hingga Natta menyesuaikan ukuran penisku dalam jepitan sempitnya. Kubuka lebar kedua kaki Natta agar rok jeans itu tak terlalu mengganggu. Natta terbelalak, terpejam, dan membuka mata lagi setiap aku menumbuk tepat di titik nikmatnya. Kata Natta, "Di sana, hhh--iya, Mas--di sana, nnnh d-di sana terus ...." hingga aku berpikir keras sekali.

Serius kupikir hanya perempuan yang memiliki tempat seks nikmat di ujung sana. Rupanya penis Natta malah berdiri lagi usai klimaks yang pertama. Katanya dia senang karena penisku besar sehingga hampir selalu mengenai bagian yang dia suka. Aku heran, tapi bersyukur jika memang akhirnya begitu. Kucicipi kedua puting Natta walau agak kesusahan. Sebab ukurannya tak sebesar milik wanita. Kugigit-gigit bagian itu susah payah agar bisa mengeras karena permainan kecilku. Lupakan penampilan, aku makin senang membuat Natta awut-awutan. Diantara semuanya aku tetap paling senang melihat analnya banjir oleh spermaku. Percaya atau tidak, dari dadaku ada rasa syukur karena Natta bukan transgender (meski kalau iya, tak masalah, tapi aku lebih suka bagaimana dia apa adanya).

Natta pun kehentak ketiga kalinya. Pinggul lelaki ini kuat juga, walau kaku setiap kuhantam dinding liangnya. Keterbatasan pengetahuan seks sesama membuat pengalaman ini agak "biasa". Lain kali aku ingin lihai dalam memanja tubuhnya, dengan cara memakai Natta selagi kami berdua sempat.

Ahh, Bedebah. Siapa bilang berhubungan sesama tak nikmat? Aku sudah membuktikan rasanya luar biasa. Jika bisa aku ingin memperkosanya setiap hari.

"Ahhh! Ahhhh! Hnhh! Ahhh! Massssssss!" jerit Natta tak henti-henti.

Biasanya aku benci pasangan berisik, tapi kali ini suka. Hasratku semakin naik karena lubang hati Natta sama-sama sembuh sepertiku. Mungkin pilihan kami akan kebersamaan tepat. Bagaimana Natta ikut mengguncang pinggulnya diantara hentakanku membuat suara seks pun makin kencang di kamar ini. Kulihat Natta menyentuh perutnya yang penuh karena nikmat. Anehnya dia bertahan dengan segala perlakuanku, mungkin karena sudah terbiasa melayani orang. Mengingat hal itu, dadaku sakit sehingga tamak ingin menghapus jejak penis para lelaki sebelumnya. Entah berapa jumlah mereka, yang pasti aku semakin menggila.

Pertemuan tubuh kami membuat bagian areal selangkangan panas. Syaraf-syaraf sensitif di areal sana menambahkan stimulasi kebahagiaan hebat ke otak. Ini merupakan obat stress berkelanjutan yang paling manjur. Kukecup jemari Natta dan kubisiku telinganya sebelum kami telanjang total. Hmm, kuakui aku sinting pada siang ini. Staminaku tidak bisa diimbangi Natta, tapi dia tahu cara menyiasati permainan ini. Jumlah seks boleh berjalan seperti keinginanku. Namun untuk bertahan lama Natta mahir dalam menangani persoalan penis.

Masuk ronde keempat aku kaget kala Natta bangkit turun dari ranjang. Kupeluk dia dari belakang karena kukira selesai. Natta ternyata menahanku untuk tetap duduk. Dia membuka kakiku agar bisa memberikan servis mulut andalannya. Lidah Natta menari di penis tebalku. Kepanjangannya dia kecup dari ujung hingga pangkal dengan gerakan beringas. Natta seolah tidak pernah merasakan penis sebelumnya. Dia antusias menghirup selangkanganku, dan membuatku muncrat di wajah. Dengan profesional Natta langsung menggosokkan pipi ke pahaku. Dia tak rewel dan mengeluarkan sisi binalnya yang tadi hilang. Natta menjilat sperma di jarinya, yang diusap dari wajah. Bibir dengan lipstik kacau itu pun kuusap jemari hingga menyeruduk tanpa aba-aba.

"Dek!"

Natta mengocok penisku, juga penisnya sendiri di bawah sana. Tubuhnya meliuk bagai ular yang sedang menari. Pada ronde kelima, Natta mulai kehilangan rasa gugupnya. Dia menaiki pahaku dengan telapak kaki yang halus, kemudian menggeseknya perlahan-lahan. Dia menghirup ubunku sambil memainkan penis dengan jari-jemari kakinya. Natta menggerakkan naik turun kaki itu hingga aku tak tahan untuk membalas. Kuraih bokong Natta yang sintal menggoda. Kuremas-remas bagian itu dan kuusap basah sperma yang menempel di sana. Dia tampak puas melihatku menjilat sebagian yang berhasil kurogoh. Natta menciumku lagi dan membuatku lupa dunia.

Di tengah sentuhan tiba-tiba Natta melompat manja padaku. Dia mengapit pinggangku dengan selangkangan dan menggesekkan penis tegangnya ke perut. Ototku mulai diraba-raba begitu cepat. Natta menjilat leherku, dan menggigitnya. Aku pun menyerang balik pada bagian tengkuk yang berceruk dalam. Ruas punggungnya kuusap terus ke bawah, kuabsen jumlah rusuknya satu per satu, seolah penasaran apakah jumlahnya lengkap semua. Kami jarang bercakap pada ronde yang keenam. Entah hasrat kebinatangan macam apa yang merasuki kami, karena Natta malah menyeringai mendengar dengusan harimau-ku di dalam sana.

"Mas ...."

Natta tidak takut akan apapun rahasia ilmu bela diriku. Dia menarikku berdiri dan memintaku memeluk dari belakang. Kami seolah bisa bertelepati sembari melakukan seks selanjutnya. Natta menghentak bokongnya ke belakang, selagi aku meninju terus-menerus ke depan. Gerakan kami saling berpadu di ruangan itu, lantai kamar pun basah oleh ceceran sperma tak berkesudahan. Pierching di perutnya kuremas lembut nan pelan, Natta tersenyum puas merasakan sensasinya.

Usai membanjiri pahanya hingga sperma mengalir ke betis, Natta berbalik lagi untuk mengangkat satu kakinya sendiri. Aku mengerti dan kupengangi lutut dalamnya. Natta merangsang terus penis lemasku karena mulai lelah ejakulasi. Dia menggigiti leherku seperti kucing. Dadaku tidak luput dari endusan taringnya yang tajam. Dia kudorong karena aku tiba-tiba tidak sabar. Natta paham penisku berdiri lagi sehingga langsung memasukkannya ke anal mandiri.

Siapa pun di dunia, ini adalah seks terpanjang yang pernah aku alami. Dengan menarikku ke dinding, lalu berpegangan ke lemari adalah cara Natta mengajariku seks dengannya yang berlangsung di masa depan. Dia memintaku masuk lagi sambil menggoyang pinggulnya sehingga tidak tahan untuk tak menampar bokong itu, tetapi dia menangis. "Akhhhhhh! Nnhhhnghh---hiks ... sakit ...."

Sial, sial. Aku lupa kontrol diri, sampai tenaga dalamku ikutan keluar.

Hal itu pun membuat bokong Natta merah seperti terkena beret. Tanganku sendiri baru merasakan panasnya setelah selesai.

"Oh, my god, it's my fault. I'm so sorry, Natta? I do really sorry ...."

Natta pun mengangguk saat kugigit telinganya. Dia mendesah lagi begitu bokongnya kuremas-remas. Suaranya mulai melembut, dan berat karena aku kuat mengangkatnya dalam seks yang nyaris mustahil. Tubuh Natta boleh besar, tapi sebagai Pembarong, ingatlah aku ini mampu mengangkat yang lebih berat. Kedua lutut dalamnya pun kupeluk sehingga posisinya mengayun di atas angin. Dia takut jatuh hingga berpegangan ke tembok, tapi aku justru mundur sambil mendekap pahanya. Kugigiti tengkuk Natta yang penuh keringat itu. Aku tak peduli dia protes karena lelaki ini sepenuhnya milikku.

Anal lentur Natta bisa kutusuk-tusuk dari posisi yang aneh ini. Punggung Natta menggesek dadaku dengan kurva yang melengkung ke depan. Dia berteriak lagi sebelum memuncratkan klimaks kesekian kali. Entah berapa ronde total seks tersebut, yang pasti Natta kacau karena aku bisa memberikan lebih banyak pengalaman akan seks. Posisi-posisi sulit--yang mana setelah angkat hadap depan, dia masih kupuja seperti piala. Natta benar-benar triggered waktu kugotong setara kepala sebelum kulempar ke ranjang lagi.

"Ha ha ha ha ha."

Entahlah, waktu itu Natta malah tertawa ribut. Bisa kusimpulkan seks tersebut berjalan tak buruk-buruk amat. Aku akan memutar dunia Natta terus seperti itu. Biarkan dia betah denganku karena Natta tak boleh dengan lelaki lain lagi. Siang pun perlahan berganti malam, kami baru mau mengakhirinya dan lelap hampir tiga jam lamanya. Hebatnya Natta Natta memaksa jalan sendiri ke kamar mandi, padahal kakinya lemas dan tremor hingga merosot dari dinding. Kata Natta, dia sudah biasa begini. Harusnya bisa, tapi karena tadi kubuat berdarah, lelaki ini akhirnya menyerah dalam gendonganku.

"Ha ha ha, yakin tidak mau pakai mobil?"

"Tidak, tidak. Aku bisa."

"Hmm, baiklah tapi bilang ya kalau kenapa-napa."

"Ih, plis. Aku bukan perjaka ya, Mas. Kupukul kepalamu nanti baru tahu rasa."

"Ha ha ha ha ha."

Pagi harinya, Natta pun kuajak jalan-jalan di sekitar Gerbang Brandenburg, Berlin. Dia memakai dandanan aneh lagi, karena tidak mau ketahuan keluarganya di Jerman. Kubiarkan dia berkreasi bagaimana pun maunya. Kali ini Natta tampil androgini dengan suit hitam atas hingga bawah. Bedanya dengan versi biasa adalah potongan loose chest yang menampakkan dada rata tanpa dalaman. Bagian luar pinggulnya disabuk, dan celananya mengepas kaki ramping yang dimasukkan dalam sepatu boot tinggi bergerigi kasar. Natta juga memakai wig panjang lagi, kali ini versi diikat tinggi ponytail. Wajahnya tertutupi topi berkain jaring-jaring seperti trend 90-an. Bibirnya dipoles lipstik lebih merah dari kemarin, membua Natta menjadi ikon street style fashion paling eye-catching sepanjang kami berjalan.

Aku sendiri digandeng Natta, karena sudah di-recreate dalam pakaian branded part. 3. Kurasa Natta menipu orang lain dengan identitasku sebagai Pembarong karena aku yang sekarang lebih seperti model dadakan (ckckck, apalagi dengan kacamata hitam ini). "Dek, ini hebat, hanya saja Mas belum terbiasa dengan tatapan kagum orang-orang," celutukku. "Maksudku, ha ha ... cuma untuk jalan-jalan dan ngopi, dandannya seribet ini."

Natta melirikku lewat ekor mata. "Tenang saja, Mas-nya nanti juga terbiasa."

"Ha ha ha, oke."

Kami pun mengobrol lebih banyak di kafe terdekat. Berdua saja saling memandang dan bertukar hal pribadi seperti tempat tanggal lahir, alamat tinggal, alamat apartemen, nomor telepon, hobi, warna favorit, dan lain sebagainya yang bahkan tak penting. Kekasihku ini makin memikat setelah kuketahui nama lengkapnya, yakni "Nattasvory J Inglebert" dengan pengejaan e pertama seperti kau membaca "e-book" dan e kedua, seperti kau membaca "effect."

Natta pun kembali ke Brisbane setelah menyelesaikan transaksi penjualan apartemen. Dia kulepas di bandara dalam penampilan normalnya lelaki. Kekasihku tumben hanya memakai kemeja dan celana pendek. Katanya lebih nyaman free-style saja jika di dalam pesawat. Natta bermasker dengan kacamata bening yang menampilkan bola matanya. Namun dia memakai lensa kontak, agar orang lain tidak tahu dirinya separuh buta.

"Sudah siap?"

"Belum ...." rajuk Natta dalam versi yang aku rindukan.

"Kok begitu? Apa ada yang masih ketinggalan?"

Natta menggoyang-goyangkan kakinya seperti dulu. "Mas-nya kan ketinggalan di sini. Humph." Pipinya menggembung lucu.

Aku pun tertawa saja. "Ha ha ha, nanti kan juga menyusul, Dek. Mas masih harus berpamitan dulu."

"Ciumnya?"

Mata Natta mengerling nakal padaku.

Aku seketika menghela napas. Keningnya kutoyor-toyor, tapi wajahku dihiasi senyum yang begitu lebar. "Adek kan sekarang bermasker, ya dilepas dulu dong ah, gemes Mas-nya."

Natta memajukan wajahnya. "Kening saja ...."

Tanpa basa-basi aku pun menarik kepala Natta mendekat. Kukecup bagian yang dia mau, berikut bibirnya, walau terhalangi masker hitam. Dia tertawa dengan bentuk mata yang lucu sekali. Rasanya tidak rela kubiarkan pergi setelah seks panas kami berdua.

"Masssssss, sampai jumpaaaa!!"

Aku pun membalas lambaian tangannya.

"Sampai jumpa! Safe flight!"

Nata masih menjerit meski berlari. "Natta cinta banget sama Mas-nya! Dadaaaaah!"

"Dadah balik! Mas Mile juga--"

Natta sudah tenggelam di balik gateway.

Larinya makin kencang seperti jika dalam mode manja. Caranya memanggul ransel lucu sekali, hingga aku ingin menyeretnya kembali lagi.

"Mas juga cinta banget sama kamu, Natt. Serius," gumamku, meski dia tak bisa mendengar. "Kita menikah ya setelah di Australia? Mas bener-bener ingin kamu bahagia."

***

[Kak Agus: OPO, MILE? KOE TENANAN TO BARUSAN?!! NATTA-MU TEMOK?! YAOLO YAOLO YAOLO AKU KOK BINGUNG APE NGOMONG PIYE!!]

Begitu pulang ke rusun, Kak Agus pun kuceritakan semuanya lewat voice-note 7 menit 2 detik. Dia kaget sekali, terutama bagian aku batal menetap di Indonesia, padahal semua rencanaku sudah 99% menjadi nyata. Namun aku tak mau terlalu ambil pusing. Kini aku paham sudut pandang orang-orang yang ingin memperjuangkan kebahagiaannya.

Mereka pasti punya alasan tersendiri sepertiku. Bukan berarti membenci tanah air jika tinggal di negara lain.

Kak Agus sih merestui saja, apalagi kehidupan rumah sekarang layak. Namun dia tetap menyarankan aku pulang demi pamit orangtua baik-baik, dan minta doa mereka agar selamat di Brisbane. Toh si kembar kan sudah naik ke bangku SMA. Mereka takkan kesepian, karena memiliki satu sama lain. Hanya saja dari yang awalnya ada, menjadi tiada di rumah, pastinya terasa beda. Aku pun bilang ke Natta soal itu, lewat video call kami akhirnya diskusi ulang.

"Mas, jangan lama-lama ya. Bisa kan kurang dari 1 bulan? Adek kangen ...." rajuk Natta yang tiduran di atas ranjang. "Yang penting segera pindah, oke? Di penthouse-ku dulu tak masalah. Nanti kita cari rumah barunya bersama." Kekasihku baru bangun di Brisbane, dia demam ringan karena cuaca tidak menentu. Ingin sekali aku terbang menjenguk macam superman. Lihatlah hidung merah Natta yang sering disisi karena pilek.

"Iya, diusahakan, Sayang. Show komunitas kan tinggal 2 kali lagi. Adek sabar ya ...."

"Iya."

"Jaga diri baik-baik sampai Mas datang. Minum air hangat yang banyak. Jangan memakai pakaian terbuka kalau sakit begini. Obatnya tidak boleh terlewat."

"Hnnng."

"Adek ...."

Natta menyisi ingusnya lagi. "Iya, Mas. Sorry, soalnya pahit sekali." Dia pucat, tapi tetap manis di depan mataku.

"Ckckck, ya namanya obat kan memang begitu," kataku julid. "Manja-nya ditahan dulu, ya Dek. Harus cepat sembuh pokoknya. Biar Mas tidak khawatir lagi."

Natta malah memainkan ujung selimut.

"Ihhh, padahal kalau dicium Mas Mile pasti tidak pahit lagi ...." rengeknya. "Masak ya, semalam aku bermimpi Mas ada di sini. Mana bonus sun-sun pipi lagi. Mmhh ... Mass, plis datang ya, meskipun sehari ...."

Aduh, aduh. Sakit kalau model begini malah ingin kutelanjangi dia rasanya.

"Iya, hmm."

Meski harus diskusi dengan komunitas, aku benar-benar terbang ke Brisbane sore harinya. Kutilik Natta, dan kutemani dia hingga panas tubuhnya mendingan. Kompres Natta kuganti sendiri agar jangan sampai dia merasa sendiri seperti dulu. Kucium dia dan ku-sun-sun pipinya sebagaimana di dalam mimpi. Bohong atau tidak, kekasihku tetap layak mendapatkannya. Pagi itu aku pun bertolak lagi ke Berlin karena ada jadwal aktif. Meski lelah, aku tetap menjalankan show sebagaimana rencana awal. Hal itu membuat show terakhir gagal total. Diriku, si Pembarong-nya sakit sehingga komunitas membayar pinalti 30% atas sewa tempat yang tidak jadi dipakai. Mereka sungkan ingin menyalahkan aku, karena aku tak pernah se-ambruk ini.

"Kang, yok opo koe ki ranjine kok sampek mengkene," kata Bono, yang tumben sekali peduli. Dari sorot matanya sudah kelihatan kalau sifatnya berubah drastis. Bono lebih ekstrovert, mukanya cerah, auranya bijaksana, dan (kutebak) sudah merasakan penis sang tunangan. Menimbang semua itu, aku pun jujur saja kepadanya. Bono terpana-pana, lantas minta maaf soal obrolan yang telah lewat.

"Ora popo, Bon. Iki nggur masalah cilik. Aku yo menuso, mesio sak joke teko ora tahu loro."

Bono pun mengangguk pelan. Dia masih cemas karena aku terlihat tertekan. Bono pun memutuskan mengumpulkan rekan komunitas agar kami bisa diskusi bersama. Baiknya bagaimana jika aku, sebagai ketua malah mundur dan tidak kembali ke Ponorogo. Komunitas pun gonjang-ganjing, apalagi tahu sebabnya. Anehnya mereka memutuskan tidak menghakimiku seperti dulu. Mungkin karena sakitku ini pertanda yang tidak baik.

"Aku sih merasa tidak pantas menghakimi orang lain, ya. Terserah Mile saja baiknya mau bagaimana," kata Mbak Menik, yang berani menjadi juru bicara pertama. "Toh kita sepakat boleh melanjutkan hidup masing-masing. Memang dari awal ada peraturan yang melarang hanya ketua yang tidak boleh? Mile, anggaplah Kak Agus sebagai perwakilan yang menjadi pelaksanamu. Kapan pun kau mau ke sanggar, datang saja. Tempat itu adalah milik kita semua, sebagai titipan kepada Ponorogo setelah berjuang di sini."

Aku pun berusaha duduk dan memijit keningku. "Mbak, aku sih tidak masalah, tapi kalian bagaimana."

"Kita?" Mbak Menik menatap wajah rekan-rekan gantian. "Kalau kau tak kuat, maka serahkan padaku saja, Mile. Akan kubentuk panitia pengawasan yang anggotanya kita semua. Jadi, meski pencar, sanggar itu tetap jadi generasi ke-2. Enak saja langsung nangkring di balik kerja keras komunitas. Tidak bisa! Akan kutegaskan kepada Kakakmu, Kakak Iparmu, si Andrik-adrik itu, atau siapa pun yang ada di sanggar. Mereka posisinya cuma pengelola, Mile. Jadi andai diganti pun tidak masalah. Sanggar tetap milik kita, sehingga mau diapakan pun terserah kita. Maksudku jika ada penyelewengan di masa depan. Kan kita tidak tahu hati orang ya. Mau digempur, dihancurkan, dibangun ulang, diganti aset, dijual tanah, fasilitas, bangunannya, dan lain-lain sebagainya, keputusan final pun harus lewat kita dulu, lebih-lebih dirimu, Mile. Pak Danu takkan salah memilih penerus."

Bebanku terasa ringan mendengar penegasannya. "...."

"Pokoknya pertama dan paling utama, diutus saja semua surat resminya dulu. Kita yang bawa, dibagi berpencar saja agar tidak disalah gunakan. Terus, makin bagus kalau tanda tangan kita di list sebagai saksi bersama. Biar urusan hukumnya semakin susah."

"Oke, Mbak. Aku setuju. Bagaimana dengan yang lain?"

Giliranku menatap mereka semua.

"Aku setuju saran Mbak Menik sih. Masuk akal."

"Aku juga."

"Aku ikut."

"Aku pun senang mendengar ending-nya begini. Ha ha ha, maaf tapi jujur sempat kepikiran bagaimana harta kita kalau sudah dijadikan sanggar," aku Vivian, salah satu Jathilan junior. "Mana dua lagi. Satunya Reog, satunya lagi bela diri. Ya Aloh ... bagaimana pun kan itu hasil kerja bersama. Bukan uang kecil pula, karena 60% mengarah ke sana. Ha ha ha ha ha ha."

Aku pun mengangguk kepada mereka. Rapat di tengah sakitku itu menimbulkan keputusan adil. Kami saling bermaafan dan sepakat pencar dua Minggu lagi. Itu pun paling lama, sambil menunggu pencairan dana yang dibagi, lengkap surat sanggar rampung untuk disimpan rapi. Tidak ada lagi masalah yang mengganjal di hati kami. Kak Agus terima-terima saja, karena posisi dia masih bawahanku. Toh Kakak juga punya fokus yang lainnya. Dia SekDes desa yang akan lebih banyak menghabiskan waktu di kantor sendiri daripada sanggar. Yang diwanti-wanti justru si Andrik itu, tapi kulihat orangnya titen dan tidak neko-neko.

Benar saja, selang 12 hari semua yang perlu diurus pun beres total. Kami berpisah di bandara untuk melanjutkan hidup masing-masing. Rasanya terharu bisa di titik ini. Rekan-rekan sanggar bahagia karena keluarga mereka makmur, barulah mereka sendiri mengadu nasib. Tidak ada yang perlu disesali karena Jerman adalah tempat pengaduan yang bagus, meski tak ada satu pun yang menetap di dalam sana. Aku sendiri pulang ke Indonesia untuk pamitan ke keluarga. Bapak-Ibuk iya saja karena merasa ekonomi rumah kuangkat drastis. Mereka justru bilang terima kasih padaku, padahal harusnya tak perlu. Aku sudah senang melihat keluarga dapat rumah lebih bagus, Kak Agus mapan, Kak Vera hamil, si kembar makin necis dengan seragam, laptop, hape, motor, dan SIM-nya masing-masing. Mereka juga bisa ikut praktik silat, sehingga menjadi generasi ke-2 yang disebut Mbak Menik.

"Arjuna! Yudistira! Nakula! Sadewa!" teriakku begitu sampai di teras. "Kakak pulaaaang!!! Ada yang kangen ke Kak Mile tidak? Sini peluk!"

Adek-adekku pun tersentak semua, padahal tadi sedang membuat rujak bersama.

"Eh? KAKAAAAAAAAAAAK!" seru Yudistira yang suaranya paling cempreng.

"KAK MILE!"

Arjuna auto melepaskan uleg cobeknya.

"YA AMPUN KAK MILE!" seru Sadewa sambil menggebuk bahu saudaranya. "NAKULA! NAKULA! ITU NYATA! ASTAGA! KAK MILE DATANG! KAK MILE PULANG! NAKULA!"

"IYA IYA ANJIR AKU JUGA SUDAH LIHAT!" kata Nakula jengkel.

Aku pun tertawa-tawa. Mereka semua lari padaku, dan memelukku sebagaimana keluarga cemara. Awalnya memang terharu sekali, tapi tidak heran sih kalau ending-nya minta uang "jajan" padaku juga.

"AYO KAK MILEEEEEE! TRAKTIIIIIIR!! AYO MAKAAAAAANNN! HA HA HA HA HA! KAK MILE DUITNYA PASTI BANYAK KAN?"

"IYO LOH PASTI! KAK MILE MINTA PASANG WIFI DI RUMAH JUGA! BIAR TIDAK SERING-SERING KELUAR! YA YA YA?"

"PLEASE, KAK MILEEEEEE!! SADEWA KEMARIN MERUSAKKAN GAME-KU! AAAAA MINTA GANTIIII!"

"HEH SEMBARANGAN! JUSTRU KAU YA YANG MERUSAKKAN SENTERKU! TANGGUNG JAWAB ITU DULU! AYO!"

"AYO APA?! HUH? GELUT?! AYOOO!"

"AYOOOO!"

"AYOOOOO!!"

"TARUHAN SADEWA MENANG!"

"TARUHAN NAKULA SAJA AKU! 5000 PERAK!"

"TARUHAN YANG KALAH MENYAPU HALAMAN RUMAH!"

Aku pun geleng-geleng kepala, rindu sekali keributan mereka setelah selama ini kutinggal kerja. Namun, sebesar apapun perasaan itu, tawa mereka menjadi tangis 8 hari kemudian. Si kembar 4 memelukku part 2 di bandara usai aku menyelesaikan agenda pamitan. Mereka jengkel, karena seperti kena prank terburuk. Bagusnya keluargaku paham, untuk anak lelaki seusiaku takkan berada di tempat saja.

Aku memang berada di usia yang bebas.

Aku boleh terbang kemana pun sayapku mau dan menentukan sendiri masa depanku.

"Sampai jumpa lagi, Indonesia. Takkan ada yang berubah, kau tetap tempat pulangku sampai kapan pun," batinku sebelum naik pesawat. "Terima kasih sudah melindungi keluargaku sampai sekarang ...."