"Achilles come down. Percayalah, aku tak pernah sesakit ini mendengarkan lagu itu."
[A White Heart]
Copyright Renji, 2023
***
Kematian seringkali menjadi kejutan yang mengobrak-abrik tatanan dunia kecil seorang manusia. Tak terkecuali Orfias. Pagi-pagi sekali lelaki itu bangun penuh semangat. Pada usia 25 tahun dia siap untuk menyongsong pekerjaan baru sebagai fotografer editorial majalah HQ Thailand. Setelan baju sudah Orfias persiapkan untuk wawancara sejak semalam. Chaos Kota Bangkok hari ini bisa dia imbangi dengan senyuman yang lebar. Batin Orfias, setelah sekian lama ... akhirnya! Lepas sudah dari lingkaran kampus memusingkan, atau dosen red-flag banyak yang banyak maunya.
Orfias pun mandi bebek karena excited, dia menyemprotkan parfum sekujur badan bahkan dalam mulut juga. Rasa pahit dia telan, demi tampil stunning selama wawancara dan menyerahkan berkas portofolio ke HRD. Orfias skip sarapan demi tak terlambat. Pipi sang ayah, Prin cukup dicium ketika utak-atik masakan di dapur.
"Pagi, Natta!" sapa Prin sembari melepas apron kuningnya. "Ayo, Sayang. Makan. Ayah sudah membuatkan nasi goreng untukmu." Pria itu menyajikan dua piring hidangan yang beraroma lezat. Ada irisan telur yang bertabur di atasnya, lengkap sayur-sayuran setengah matang.
Orfias justru berlari keluar. "Ckckck, Ayah lain kali ya! Orfi mau wawancara dulu! Nanti kuceritakan hasilnya! See you, Ayah! Tidak lama kok cuma 30 menitan. Jam 9 mungkin sudah pulang. Daaan, jangan panggil aku Natta lagi! Dibilangin juga! Itu seperti nama anak gadis!"
"Eh! Tapi perutmu bagaimana? Kalau lapar Ayah akan kasih uang saku lebih--"
Orfias sudah berlalu. Suaranya pun semakin kecil karena menjauh. Lelaki itu melambaikan tangan tinggi-tinggi sebelum mengegas motor gede-nya. Orfias tak melihat ekspresi Prin yang tengah menghela napas. "Ayah juga jangan terlambat ya! Bengkelnya nanti sepi! Ha ha ha ha ha!"
Tertawa seperti itu, pertanda Orfias benar-benar bahagia meski lahir dalam keluarga cukup berantakan. Prin dan ibunya yang berdarah Yunani, Gaia Bia Theodora bercerai ketika usianya 10 tahun. Skandal perselingkuhan membuat Prin melepaskan sang istri begitu saja. Tidak banyak yang bisa dia lakukan kecuali jadi ayah tunggal. Prin merawat Orfias tanpa pernah menikah lagi entah kenap. Orfias rupanya pandai menilai orangtua mana yang benar dan salah. Dia mengikuti hati putih penuh kerelaan, meski sempat menangis tersedu-sedu. Ditabrak peluknya Prin di ruang sidang yang kacau. Dari Roma, Orfias akhirnya dibawa pulang ke kampung halaman.
Selama 15 tahun belakangan diketahui Prin selalu memperlakukan Orfias seperti bocah, padahal anak itu tumbuh setiap tahun menjadi lelaki dewasa. Mungkin karena rasa bersalah, Prin menghabiskan sisa hidupnya sebagai tukang reparasi pesawat, yang gajinya cukup besar untuk membiayai pendidikan Orfias hingga S2. Kamera DSLR Prin belikan usai menyadari hobi baru anaknya. Baru masuk junior high, Orfias jingkrak-jingkrak karena mendapatkan hadiah terbesar sepanjang hidupnya. Dia pun merawat benda itu amat hati-hati. Dijepretnya berbagai objek lalu dipamerkan kepada sang ayah. Kata Orfias, "Ayah! Suatu hari nanti aku pasti jadi fotografer terkenal!"
Prin pun memeluk Orfias dengan tawa bangga, meski secara akademik belum pernah ranking masuk ke 3 besar. "Pintanya anak ayah! Sini, Sayang!"
"Peluuuuuk!"
Kebiasaan peluk dan cium itu sudah mengakar. Orfias jadi merasa tidak membutuhkan sosok ibu lagi karena terbiasa. Dia cukup perhatian dari Prin sendiri. Senyumnya konsisten selebar itu hingga hari ini. Matanya tampak seperti kelap-kelip bintang yang berkilau. Duka seperti apapun mampu Orfias lalui, tapi tidak dengan kematian.
Usai wawancara, Orfias pun pulang dengan tawa kencang. Dia ingin mengabarkan bahwa pekerjaan yang dibidik selama ini berhasil didapat. Namun, saat sampai rumah banyak para tetangga yang datang menyerbu rumah. Mereka menyambut sebuah ambulans yang baru tiba dengan mayat Prin Kochirawit Wattanagitiphat. Di meja makan, salah satu piring nasi goreng masih utuh tapi dingin seperti yang memasaknya. Tubuh Prin bersimbah darah setelah tertimpa reruntuhan sayap pesawat yang rusak. Baling-baling jatuh tepat di kepala dan perutnya hingga tertusuk. Banyak organ yang hancur berkat kejadian itu. Orfias tak pernah membayangkan betapa perpisahan dengan sang ayah akan berlangsung amat tiba-tiba. Seluruh dunianya seketika senyap. Orfias tidak merasakan apapun lagi ketika jatuh bersimpuh di sisi mayat tersebut.
"Ayaaaaaaaaaaah!" teriak Orfias dengan berkas-berkas portofolio yang jatuh ke lantai.
Orfias menciumi muka Prin tak peduli tatapan mata orang-orang. Darah masih tersisa di sana, dan belum bersih meski sempat diseka perawat. Kata mereka, Prin meninggal di tengah perjalanan menuju ke RS. Entah kekuatan macam apa yang membuat Prin kuat sadar selama beberapa saat. Prin bilang, "Suruh anakku pulang ke Roma, tolong. Uhuk-uhuk!! Jangan sampai dia kehilangan ibunya juga seperti dia kehilanganku." Pria itu meremas lengan si perawat. Darah berceceran dari perutnya. Lantai ambulans seketika anyir karena aroma karat. "Sebenarnya, uhuk-uhuk! Gaia sudah memintaku membawanya pulang, tapi--hhh ... hhh ... aku yakin Natta takkan suka mendengarnya, uhuk! Hanya saja, kali ini--hhh ... aku ingin ...." Napas terakhirnya telah menguap di udara sebelum kalimat tersebut berakhir.
Padahal setiap akhir pekan, biasanya Orfias akan marathon film dengan sang ayah. Namun malam itu dia dinner sendirian dengan nasi goreng tadi pagi. Rasanya dingin dan sudah kering terkena angin, tapi Orfias tetap mengunyah dan menelan sebisa mungkin. Seharian dia mengurus pemakaman sang ayah dengan suit hitam. Jujur lelaki itu belum sanggup melakukan kremasi, karena masih ingin merasa dekat. Diusapnya air mata yang mengalir setiap kali turun ke dagu. Banya yang jatuh ke piring nasi, tapi Orfias tidak peduli. Dia tetap menyuapkannya ke dalam mulut yang sudah memerah. Berkas penerimaan pekerjaan dia banting, karena dianggap menyimpan penyesalan terbesar mengapa tidak menerima ajakan sarapan bersama.
"Hiks, hiks, hiks, Ayah ...." desah Orfias dalam kedukaannya.
Prin benar. Seumur-umur Orfias tak pernah membayangkan akan kembali ke Roma. Namun, sampai sana Gaia malah mengajak pindahan lagi. Gaia bilang, biaya hidup di Roma akhir-akhir ini semakin tinggi. Usai menghadapi pandemi sekian tahun, wanita itu mengalami lay-off yang menakutkan. Sisa tabungan hendak Gaia pakai untuk memulai usaha kafe di Kreta, Yunani. Wanita itu pandai memasak, tapi enggan mengubahnya menjadi bisnis selama ini.
Orfias pun pasrah dan ikut kaki sang ibu. Dia melangkah saja, meski tatapannya begitu kosong. Kamera DSLR tidak lagi dia pakai untuk fotografi yang serius. Lelaki itu cukup menggunakannya sebagai penghasil memori kehidupan sekitar. Foto-foto Prin dalam memorinya dicetak semua untuk dipajang di dalam kamar. Setidaknya, dengan bentuk ribuan polaroid bisa sedikit mengurangi kerinduannya.
Orfias jarang tidur sejak saat itu. Dia mengalami degradasi mental yang begitu menguras hati. Usai memajang 1578 polaroid dia justru pergi dari rumah. Mimpi buruk di siang hari membuatnya tak ingin terkukung dalam ruangan. Orfias naik kereta api untuk menuju hutan terdekat bernama Agios Nikolaos, Kreta. Harapannya adalah di sana bisa berteriak sesuka hati. Orfias tidak berpikir dua kali untuk melepas perasannya.
"AYAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHH!"
Suaranya teredam sekat alam yang bebas. Pokok-pokok berdaun lebar membuat Orfias tenggelam di dalam sana. Setelah 3 hari kematian Prin, dia baru bisa tidur tenang di bawah naungan akar kayu. Kegelapan hutan itu tak menakutinya sama sekali.
"Hiks, hiks, hiks, hiks, ayah ...."
Orfias pikir, dulu impiannya adalah yang paling penting. Ternyata setelah Prin pergi, rasa cinta-nya kepada sang ayah lebih besar daripada dunia fotografi. Lelaki itu memeluk dirinya sendiri diantara dedaunan rontok nan lembab, tubuhnya meringkuk seperti terenggiling yang kedinginan. Alarm ponselnya berbunyi berkali-kali, begitu pun panggilan dari Gaia. Orfias sendiri yang menyetel, tapi dia juga yang mematikan. Entah kenapa emosi sekali sampai tidak mau pulang.
Sementara tolong biarkan aku sendiri dulu! Bisa tidak?! Ibu kau takkan pernah bisa mengerti!
Lagu-lagu greek mengalun dari ponselnya,
entah kenapa Orfias tak bisa membenci budaya Yunani, meski sang ibu brengsek berdarah sana. Mungkin karena Prin mencintai Gaia, meskipun pernah dikhianati. Orfias pikir, jika memang Prin suka, dia pun tak bisa membenci 100%. Lagipula, nama lahirnya pun bercorak Yunani. Orfias cukup menyisihkan ibunya saja, bukan yang lain-lain. Sayang cinta yang teramat dalam justru membuatnya kesulitan bangkit kembali. Orfias selalu teringat kematian sang ayah, bahkan hingga hutan itu hampir gelap. Dia tidak mau pulang, tapi dimarahi penduduk lokal.
"HEI, BOCAH! JANGAN BERADA DI TEMPAT ITU! BERHANTU! KAU BISA KERASUKAN SALAH SATUNYA!"
Dua diantaranya bahkan menyeret Orfias keluar. Mereka menaruh kayu bakar di tanah demi memisahkan Orfias ke wilayah yang lebih terang. Lelaki itu diawasi hingga mau menjauh dari dalam hutan. Mau tak mau Orfias pun pulang, meski sampai rumah hanya bisa memeluk diri sendiri. Dia terjembab dalam luka yang tidak berperi. Kehilangan seseorang tak pernah sesakit ini.
Sejak saat itu, gejala insomnia Orfias pun mulai datang. Dia kesusahan tidur hingga dibawa Gaia ke dokter agar tak makin berlarut-larut. Setelah 2 minggu lebih tak teratur dan sering bangun di tengah malam. Dengan mata berbayang, tubuh kurus, dan bibir kering lelaki itu pun diberikan obat atas resep khusus. Setelah minum 3 hari, gejalanya justru mulai berganti lagi. Kualitas tidur Orfias semakin jelek karena bisa tidur, tapi durasinya begitu panjang. Sehari 24 jam, tapi Orfias bisa menghabiskan 20 jam-nya untuk tenggelam di dalam mimpi. Ketika terbangun pun jantungnya berdebar kencang, tapi langsung mengantuk lagi dan rasanya tak tertahankan.
Saat bulan pertama, Orfias pun berupaya mandi agar segera terkena air dan bisa bangun. Namun stimulus otaknya sungguh tak manusiawi. Alarm tidur seolah-olah datang setiap saat, bahkan sanggup membuatnya pingsan di atas trotoar bila tak dituruti. Itu bukan nightmare, bukan sleep paralysis, atau yang lain-lain. Melainkan memang ada titik kurang beres dalam otaknya karena depresi terlampau parah.
Bulan kedua, Orfias pun divonis mengidap hipersomnia, yakni kondisi dimana seseorang tak bisa menjalani kehidupan normal lagi, karena hidupnya habis untuk tertidur. Dia kadang mengigau dan marah-marah selama tidur. Disebutnya nama sang ayah dengan seluruh jiwa yang kering. Jika bangun, Orfias pasti langsung makan dan buang air. Dia tak mau menghabiskan waktu untuk hal-hal kurang penting karena bisa berakibat pada kesehatannya.
Awalnya, Gaia kurang percaya ada penyakit yang seperti itu. Dia sempat menganggap Orfias hanya malas dan tidak mau bekerja membantu dia. Namun, setelah kejadian koma seminggu dan bangun lagi. Wanita itu akhirnya menyadari bahwa kenyataan bisa begitu rumit. Pikirnya, jika Orfias tinggal bersamanya di Kreta mereka bisa melakukan pekerjaan bersama. Saling bantu dan bahu-membahu. Nyatanya Orfias justru yang butuh uluran tangan. Gaia sendiri tak bisa membenci, karena sebenarnya wanita itu tak bisa memaafkan diri sendiri setelah, memporak porandakan rumah tangga hanya demi selingkuhan yang membawa kabur uangnya.
Kini tinggal Orfias yang masih tersisa. Keluarga dari mana pun malu tak mau menerimanya lagi sebagai salah satu anggota Marga Theodora.
Bulan ketiga, kondisi Orfias semakin parah. Dia tidak bisa dibangunkan bagaimana pun caranya hampir seminggu. Lelaki itu berada di ambang kematian, tapi napasnya yang masih kembang kempis menunjukkan nyawa masih ada. Uang pesangon pun dipakai Gaia untuk melakukan perawatan di rumah memakai alat-alat medis dan selang panjang.
Bagusnya, hal itu dibarengi dengan bisnis rumah makan Gaia yang semakin laris. Setiap kali dapat uang laba wanita itu langsung membaginya menjadi 3, antara dipakai bertahan hidup, bisnis, dan biaya pengobatan sang anak.
Akhirnya, bulan keempat kondisi Orfias membaik. Dia bisa bangun lagi, meski durasinya hanya 3-4 hari. Tubuh lemas membuatnya tidak banyak membantu di rumah. Gaia melarangnya macam-macam karena Orfias pernah jatuh di dapur setelah memaksakan diri ikut-ikutan mengupas buah. Pisau nyaris melukai tangannya sendiri karena berjarak sejengkal dari belender pecah.
"Mama, Mama ... Orfi bisa--Mama ...."
Gaia pun mengekspresikan rasa tanggung jawab itu dengan memeluk sang anak tunggal. "Tidak, Sayang. Kau istirahat saja sementara ini, ya? Nanti bahaya kalau jatuh lagi seperti tadi. Silahkan nanti kalau sudah sembuh total, ya Tuhan ... kenapa anakku bisa begini ...." Kepala Orfias dipeluknya di dada. Rambut lelaki itu diremas dan diusap-usap sepenuh hati.
Orfias mengaku tak pernah bermimpi sejak dinyatakan hipersomnia. Igauannya pun hanya lewat belaka. Tidak ada kaitannya gejala itu dengan apa yang dia lihat di alam bawah sadar. Dia tampak linglung karena kebanyakan tidur, tapi memang tak terkendali. Suatu hari Orfias digotong pulang menggunakan mobil pick-up karena sepulang check-up, niatnya jalan-jalan sebentar di toko roti. Gaia harap anaknya bisa bahagia jika makan croissant atas pilihan sendiri. Baru saja cap-cip-cup, Orfias sudah pingsan lagi hingga menabrak meja dan kursi. Kepalanya terbentur lantai dan ambulans jauh dari toko itu.
Mau tak mau kepala Orfias akhirnya diperban selama 6 hari penuh. Darah mulai mengering, karena lukanya tak dalam.
Bulan kelima, Gaia pun berinisiatif untuk membawa pulang alat detector tidur. Mesinnya seperti robot berbentuk teko teh yang diletakkan di atas nakas. Benda bermata mesin itu akan mengawasi Orfias selama 24 jam. Kapan Orfias tidur, bangun, mendengkur, bersuara, dan bergerak tak nyaman. Gaia harap, alat itu bisa membantu, meskipun merogoh koceknya begitu dalam. Orfias juga diajari bagaimana cara mengecek kondisinya jika terbangun. Setidaknya dengan begitu Gaia yang tengah bekerja tidak selalu mengerjakan keseluruhan tugas.
"Begini, Orfi. Kau harus memencet layarnya di bagian kanan. Tahan tombol merahnya. Terus di sini bisa dapat statistika yang cocok berdasarkan waktu tidurmu."
"Oke, Mama."
"Hati-hati, ya. Semoga alatnya bisa membantu. So, kita bisa tahu apakah kau punya pola tertentu sebelum pingsan, dan bagaimana cara menanggulanginya nanti."
Sebuah kecupan didaratkan Gaia ke pelipis kanan. Orfias yang 25 tahun, tampak seperti anak-anak karena ekspresinya sangat penurut sejak sakit-sakitan. Lapisan hitam di bawah matanya hilang karena kualitas tidur yang kebanyakan. Malahan cenderung bengkak karena kadang menangis selama lelap.
"Iya."
Hal yang perlu Orfias syukuri adalah setelahnya dia mampu bangun tidur setiap hari, meski hanya beberapa jam seperti awal gejala. Orfias berpikir itu tanda dia akan sembuh, namun ekspresinya tampak aneh saat mendengarkan hasil rekaman "time leap" selama tertidur semalam.
[Rekaman 1] || 00:00 a.m
"Hirrkskskikikiki! Hsshhh hsss!"
Suara kuda yang jelas sekali.
[Rekaman 2] 01:01 a.m
"Hirskskskksk! Hssshhh! Hssshh!"
Lagi-lagi suara kuda.
Dengkuran Orfias sampai kalah karena begitu dekat, tapi mana mungkin sih kuda ada di kamar? Masuknya dari mana coba? Jendela tempat ini saja cuma seukuran nampan kotak.
[Rekaman 3] 01: 15 a.m
"Jangan ke sini, brengsek! Pergi!"
Jantung Orfias langsung bergemuruh karena tiba-tiba ada suara pria bicara, atau lebih tepatnya membentak tepat setelah dengkuran halusnya yang stabil. Orfias tersentak karena bentakannya tak hanya sekali. Bahkan kadang bercampur ringkikan kuda dan gonggongan anjing. Hanya saja, jarak kuda dan pria ini dekat, tapi si anjing begitu jauh. Kadang-kadang juga dekat, tapi langsung jauh lagi. Konsistensi terletak di duo kuda-pria yang ada setiap malam.
Orfias nyaris tak menyangka, tapi malam-malam berikutnya juga ada rekaman yang sama. Hasilnya mirip dengan rekaman saat ini, tapi kadang bertambah dengusan jengkel.
[Rekaman 4] 02:12 a.m
"KAU MENDEKAT KESINI LAGI KUBUNUH!"
Lama-lama Orfias pun minta CCTV juga. Gaia pun sigap membelikan, karena dia curiga ada pencuri di rumah. Takutnya semacam psikopat yang mengintai puteranya setiap malam. Akhirnya didapatlah sebuah file setelah hari pertama CCTV dipasang. Siang itu pukul 1, Orfias mengecek pemutaran video CCTV, meskipun baru terbangun. Dengan dengan durasi yang dipercepat dia meneliti agar segera bisa melihat apa yang terjadi semalam, lalu mencocokkannya dengan suara rekaman.
Mata Orfias melotot melihat seekor unicorn bertanduk dan bersayap biru terbang menembus dinding kamarnya. Makhluk mitologi itu selalu datang pukul 12 malam. Dia mendengkur dengus sebagaimana kebiasaan. Tanduk pada dahi begitu panjang mungkin setinggi lengan orang dewasa. Rambutnya menyala seperti kunang-kunang yang bertebaran. Secara keseluruhan dia tampan, dengan sayap yang mengepak-ngepak. Setelah beberapa sepasang sayap itu menutup agar kakinya bisa bersimpuh di sisi Orfias. Kadang kala selimut di atas dada digigit agar bisa kembali rapi seperti semula. Anehnya, mata unicorn itu tak pernah tertidur. Gelapnya malam menjadi teman, selama Orfias mengigau-igau.
"Huhu, Ayah ... Ayah ...."
Jika Orfias mulai bersuara gelisah, unicorn itu berubah wujud jadi manusia. Dia sangat tampan, tapi baju yang dikenakan merupakan ala-ala gladiator jaman dulu. Ada pedang pendek (gladius) di tangan kanannya, perisai besar (scutum) di tangan kirinya a, berbaju besi, helm berjambul bulu burung, pelindung lengan (manica), sepatu, dan pelindung khusus tulang kering. Sorot matanya begitu tajam selayaknya ksatria Romawi, tapi kenapa dia ada di sini?
Orfias sebenarnya tak percaya mitologi Yunani, atau Romawi yang beredar di khalayak umum meski dia punya keturunan sini. Menurutnya itu irrasional hingga terlihat sosok pria tersebut. Dia menatap wajah tidur Orfias dengan sorot sendu yang dalam, kadang lembut, kadang jeli, kadang juga beringas saat mahluk lainnya datang mengintai. Itu adalah makhluk yang ternyata menggonggong ala anjing, karena memang berbentuk anjing kepala 3: Cerberus. "Guk! Guk! Guk! Guk! Guk!"
Harusnya mereka tak terlihat kamera CCTV andaikan memang asal-usulnya hanya roh.
[Rekaman 9] 01: 48 a.m
"Guk! Guk! Guk! Guk! Guk!"
Benar saja, suara rekaman di alat Orfias sama persis dengan gerak mulut makhluk aneh itu.
"AWAS KAU KESINI, BUKAN HANYA ADIKMU YANG MATI! KAU JUGA!"
Oh, rupanya entah berapa mahluk yang sudah mengintai Orfias selama ini. Pasti si gladiator selalu membunuhnya sebelum masuk jendela. Cerberus bersaudara mungkin hanyalah salah satunya. Tapi, kenapa mereka menyerang Orfias? Apakah Orfias mengganggu mereka? Jangan-jangan pas berteriak di hutan itu ....
[Rekaman 16] 03:20 a.m
"Akhirnya aku menemukanmu juga, Pollux," kata pria berpakaian gladiator itu, pada hari kelima CCTV dipasang. Tak seperti biasanya, dia mulai bicara banyak saat menjaga Orfias. Bukannya diam dan hanya melawan musuh. Orfias pun memundurkan video tidurnya 20 kali lipat ke belakang, tepatnya ke bagian pose duduk di tepi ranjang yang lengang. Kamar Orfias memang cukup luas untuk ukuran tempat yang digunakan hanya untuk tidur, apalagi tanpa kegiatan lain seperti belajar dan me-time khusus. Bagi pesakitan seperti Orfias, bisa sembuh pun sudah bagus. TAPI SEKALI LAGI, KENAPA PRIA ITU MENYEBUTNYA POLLUX?! SIAPA SIH POLLUX-POLLUX INI?! PLEASE! ORFIAS TIDAK MAU MAKIN PUSING!
"...."
"Maaf aku butuh waktu lama untuk memecahkan teka-tekinya. Tapi semua ini bukan salahmu, paham? Kau kesini karena kehilangan ayahmu, kau pun kembali kemari tanpa kesengajaan. Kau mengganggu musuh-musuhmu di masa lalu juga tanpa ingat siapa mereka, tapi tenang. Aku akan tetap ada untuk menggantikanmu menghancurkan mereka semua."
Daripada mencerna omongan si gladiator, Orfias lebih pusing karena menurutnya kehadiran pria itu sudah mengandung teka-teki lebih parah. Kenapa dia di sini? Untuk apa? Siapa si Pollux itu?
Penasaran, Orfias pun membuka ponselnya sebentar, walau benda itu sudah berdebu sangking jarangnya disentuh. Beruntung pulsa Orfias masih ada, walau paketannya kadaluwarsa. Dia pun browsing sebentar siapa "Pollux", siapa Cerberus, dan siapa kira-kira si gladiator. Ternyata jawabannya seperti ini:
GOOGLE ||
[Pollux adalah saudara kembar superfekundasi heteropaternal Castor, yang terlahir bersamaan dari rahim satu ibu: Leda. Namun ayah mereka berbeda.
Pollux merupakan anak dari Zeus, sementara Castor adalah anak dari Kepala Suku Sparta, Tyndarius.
Ketika terjadi perseteruan dengan kedua sepupu, Idas dan Lynceus. Castor dan Pollux bekerja sama untuk membalas dendam keburukan mereka, sayang Castor dibunuh terlebih dahulu. Kemudian Idas hendak membunuh Pollux sebagai target berikutnya.
Hampir saja Pollux terbunuh juga dalam peristiwa itu, namun Zeus murka sehingga melemparkan petir ke bumi agar anaknya tetap bisa bertahan.
Pollux sendiri tidak bisa hidup tanpa saudara kembarnya, karena itu dia memohon separuh keabadiannya untuk dibagi kepada Castor.
Pollux dan Castor akhirnya diangkat Zeus untuk menjadi konstlasi zodiak Gemini di langit]
Oke?
Zodiak pun menurut Orfias sama-sama tidak nyata.
[Cerberus merupakan anjing kepala tiga yang mampu menyemburkan api. Dia adalah peliharaan Hades, dan penguasa wilayah bawah tanah]
Hmmm ...
Sampai sini Orfias rasa bisa dicocoklogi-kan.
Mungkin begini, ya--mungkin.
Si gladiator menganggap Orfias semacam reinkarnasi Pollux, dan dirinya adalah Castor. Cerberus sendiri mungkin bersekongkol dengan Idas dan Lynceus--tapi Orfias sudah pingsan lagi sebelum menyelesaikan analisanya.
Malam itu, entah sangking kepikirannya atau bagaimana, Orfias mendadak bermimpi setelah sekian lama. Dia melihat si unicorn tampan berlari kencang ke arahnya. Lalu tubuh kecilnya dikelilingi seolah diajak bermain. Dengusan si unicorn biru terdengar begitu riang. Saat rambut dan keningnya disentuh baru mau berhenti berlari. Dia benar-benar berubah wujud lagi jadi manusia, tapi Orfias belum sempat meng-googling tentang si unicorn bagaimana.
"Hai, hai, hai, makhluk cantik. Aku sudah melihatmu," kata Orfias. "Kau ini sebenarnya siapa? Kenapa terus ada di sampingku? Coba mengaku padaku."
"Cih, aku bukan makhluk cantik. Namaku itu Felipe Millerius Eustas. Panggil Millerius! Andai kau ingat aku itu kembaranmu ...." kata si gladiator kesal.
Oh, shit?! Gladiator kenapa manja sekali padanya?
Terus kembaran dari mana, kecuali analisis Orfias ada benarnya.
Kalau memang reinkarnasi hanya jiwa mereka yang kembar. Bukan berarti tubuh mereka sekarang kembar. Lagipula, Orfias kini manusia biasa. Bukan seperti Millerius yang bisa berubah menjadi unicorn, ya kan?
Harusnya Millerius ini bisa move-on.
"Oh, baiklah. Maaf," kata Orfias.
"Jangan minta maaf, tolonglah. Kau kan memang layak mendapatkannya," kata Millerius. "Dulu kau membelaku di hadapan Zeus kan? Sekarang giliranku membelamu di hadapan para makhluk kotor itu."
Orfias bingung cara menjawab Millerius kecuali mengangguk. "Oke." Yang tak Orfias sangka adalah Millerius tiba-tiba memeluknya. Dengan otot liat keras itu pun membuat Orfias tercekik hingga tak bisa napas. "Aduh! Millerius--!!"
"Diam kau. Diam dulu!" bentak Millerius mendadak kasar. "Aku sudah kangen sekali padamu, tahu! Aku janji kau akan bangun setelah kukalahkan sisanya."
Ha?
Sisa apa?
Sisa musuh?
Memang berapa banyak jumlah mereka?!
Namun, sebelum Orfias menyanggah aneh-aneh, Millerius sudah pergi dalam wujud unicorn-nya lagi. Millerius terbang ke angkasa dengan jejak kaki seperti debu pixie, bangun-bangun Orfias menemukan kissmark dii lehernya pada keesokan pagi. Siapa lagi yang berbuat mesum di tempat ini kalau bulan si gladiator?
Masak Gaia, ibunya sendiri melakukan itu? Tidak mungkin!
Dasar mesum kau, Millerius!
Dia sebenarnya gagal move-on sebagai saudara atau wujud baru, ha?
Lagipula beda jenis mahluk juga. Mana ada cinta-cinta--
[Rekaman 26] 04:00 a.m
"Hisishsushhs! Hisssh! Hisssshh!"
Dari alat pendeteksi Orfias, tiba-tiba suara kuda terdengar kembali lagi ke dalam jendela. Padahal tadi hanya ada grasak-grusuk tidak jelas. Seperti biasa Millerius berhenti ribut setelah mengalahkan para Cerberus yang baru.
[Rekaman 27] 05:00 a.m
"Maaf, aku harus buru-buru pergi, Pollux!" kata Millerius. "Sebentar lagi matahari terbit! Tapi berhubung kau sudah ingat semua hal tentang kita, tolong ya. Cari aku di RS Hellenis Gracia. Aku di sana!" lanjutnya. "Pokoknya begitu nanti akan kujelaskan!"
Beda dari biasanya, Millerius tampaknya begitu gugup. Dia bahkan terpeleset sebelum terbang ke langit, seolah waktu habis hingga tak tersisa lagi untuknya. Anehnya lagi, Orfias merasa segar bugar tanpa sakit. Badannya tak lemas malahan bisa dipakai berlari. Karena itu, mengikuti insting yang mengganggunya selama ini. Orfias akhirnya kabur ke RS Hellenis Gracia betulan. Dia membawa dompet berisi Euro cukup untuk sewa taksi. RS Hellenis Gracia adalah peraduannya ketika check-up. Gaia yang sepintas melihatnya lari keluar pagar pun berteriak.
"ORFIAS! MAU APA?! ORFIAS!"
Persetan dengan nyata atau mimpi! Reinkarnasi atau bukan! Sihir atau mitologi!
Aku, Ignis Nattazeus Orfias tidak peduli lagi!
Jika Millerius memang mengorbankan dirinya sebanyak itu, agar dirinya bisa terbangun dan normal. Maka Orfias pun harus membalasnya juga. Dia hati-hati menanyakan nama "Felipe Millerius Eustas" ke meja resepsionis, yang ternyata terbaring koma selama 2 tahun setelah mengalami kecelakaan. Kamarnya adalah nomor 3032 B. Sangat mewah!
Orfias belum pernah melihat VVIP sebagus itu, hingga yang terbaring keluar. Rupanya si Millerius gondrong parah, dan penuh kumis jenggot tapi Orfias langsung mengenalinya.
"Millerius!"
"Pollux!"
"Ya ampun! Aku bukan Pollux, namaku itu Orfias!" kata Orfias, lalu berlari demi menabrak peluk si gladiator unicorn. "Ingat-ingat juga, oke? Aku Ignis Nattazeus Orfias!"
Millerius pun berjalan tertatih-tatih menuju "sang kembaran" di "beberapa kehidupan" sebelumnya. Dia menerima pelukan hangat dari Orfias lengkap kecupan di pipi, persis seperti cara dia menyampaikan rasa cinta ke sang ayah.
"Oke, oke. Orfias ...."
"Millerius ...."
"Aku benar-benar cinta padamu, percaya tidak? Aku kangen dan ini rasanya aneh sekali," kata Millerius. "Aku tersiksa dapat mimpi yang sama setiap hari. Brengsek! Kukira kenapa aku sakit-sakitan sedari dulu. Aku bingung. Aku seperti kehilangan kembaranku di tempat lainnya.
"Ha ha ha ha ha, itu aneh. Mana ada aku punya kembaran. Tapi ya sudahlah. Sekarang ceritakan apa yang kau janjikan di dalam mimpi.
"Oke ...."
Millerius pun menggandeng Orfias ke dalam kamar rawat inapnya. Mereka bercerita dan mengabaikan suster yang syok mengetahui Millerius bangun dan segera mengabarkan itu ke keluarga Eustas.
Usut-usut punya usut, Keluarga Eustas rupanya merupakan generasi ke-67 dari dominus Roma bernama Lavrel. Dari Romawi mereka pindah ke Yunani setelah terdapat skandal besar melemparkan pewarisnya sendiri sebagai acuan gladiator tingkat nasional yang diselenggarakan antar kedua negara. Mereka berseteru dan taruhan tanpa memedulikan asas kemanusiaan. Millerius pada masa itu merupakan reinkarnasi dari Castor si bar-bar, tapi walau menang tetap diracun di belakang panggung. Pedang pendek (gladius)-nya digunakan untuk mencacah-cacah jantung suci dari dalam dada. Lalu dirobek dan dilemparkan ke dalam penjara bawah tanah.
Mayat tersebut akhirnya ditemukan oleh Pollux, yang akhirnya ikutan dibunuh dan dijebloskan hingga membusuk berdua.
Pada reinkarnasi-reinkarnasi berikurnya mereka selalu terpisah, hingga 67 tahun kemudian.
Hitungan yang sama, penanggalan yang berbeda.
Pada suatu masa Millerius merasakan keanehan dalam dirinya. Dia terlahir lemah, padahal memiliki darah bangsawan. Lelaki itu sering dihinggapi mimpi sama tentang kehadiran seseorang, tapi dia tak pernah mengenal total siapa dia.
"Mungkin kau takkan percaya, Orfias. Tapi kata kakek unicorn adalah perwujudan jiwa yang suci," kata Millerius. "Kalau kau bisa melihat aku di hutan itu, berarti memang begitu adanya. Nah sekarang kau sudah bertemu denganku. Selamat. Ha ha ha--maksudku selamat untuk kita berdua," tawanya. "Aku benar-benar senang sekali ...."
Orfias pun ikut tertawa, walau dia tak terlalu paham apa yang Millerius katakan. "Terus, bagaimana bisa kau jadi unicorn? Astaga ... ada-ada saja."
Millerius justru mengendikan bahu. "Mana kutahu, tiba-tiba pas di alam roh aku punya kemampuan begitu," katanya. "Yang pasti aku sering jalan-jalan di langit, di hutan, di laut, atau dimana pun tempat yang menyenangkan. Untung sekali aku melihatmu waktu itu."
"Eh? Seriusan?" kaget Orfias. "Yang di hutan itu, bukan?"
"Ya! Benar!"
"Ha ha ha ha, aku sedang gila waktu itu. Soalnya Ayah baru saja pergi ..."
"Aku tahu ...." Millerius justru tak bisa mengalihkan pandangannya dari Orfias. ".... tapi, kau harusnya bahagia terus seperti ini," katanya. "Entah bagaimana pun caranya, aku akan membantumu bahagia."
Orfias pun terdiam lagi, tapi kali ini mukanya memerah karena Millerius menyingsikan anak rambutnya ke telinga.
M-Millerius kenapa sih, dasar aneh!
"Karena di alam roh aku mendapat pesan dari ayahmu, katanya dia baik-baik saja di sana. Sangat bahagia," kata Millerius. "Dan aku yakin, beliau pun akan lebih bahagia, jika melihat puteranya bahagia. Setuju tidak?"
Jantung Orfias pun berdebar kencang. Dia tak bisa bergerak kala Millerius tiba-tiba mendekatkan diri ke wajahnya. Lelaki itu baru saja menempelkan bibirnya sedetik, tapi tiba-tiba para anggota Keluarga Eustas datang berbondong-bondong.
"YA AMPUN! MILLERIUS! ANAKKU!"
"ASTAGA ANAK AYAAAAHH! KAU BANGUN, SAYANG!"
"KAKAAAAAAKK!!!!!"
"KAKAKKKKKKK!""
"KAKAKKKKKKK!!"
"ADIIKKUUUUU YANG TAMPAAAAN!"
Refleks Orfias pun mendorong dada bidang Millerius, dia membuang muka dengan debaran tak terkendali.
Oh shit! Barusan kita sedang apa sih?
Kenalan saja di alam gaib sudah main cium-cium!
"Hai, hai ... triplets! Apa kabar kalian semua?" sapa Millerius ke tiga adik kembarnya. Mereka pun menabrak peluk bersamaan. Dua laki-laki dan satu perempuan berumur 9 tahun.
"Kakak Mileeeeee!"
"Kakaaaak ugh, kangen sekaliiii!"
"Kakak boleh main sama Hera lagi?"
"Boleh, ya tentu saja bolehhh," kata Millerius sambil membelai rambut ketiganya gantian.
Namun beda dengan si kembar yang masih kecil, kedua orangtua Millerius dan kakak sulungnya melihat Orfias.
"Lho, lho. Sebentar ... Millerius Sayang? Ini yang siapa ya? Kok Ayah tidak pernah lihat. Apakah dia pacarmu?"
Millerius pun menatap penuh arti sambil tersenyum.
TAMAT