Chereads / LOVELY GIFT [MileApo Fanfiction] / Chapter 12 - REOG PONOROGO 5

Chapter 12 - REOG PONOROGO 5

***

Brisbane, Australia

Sebagai pasangan yang lama tidak bertemu, aku berekspektasi akan dipeluk cium saat di Bandara Brisbane. Kutelusuri Natta diantara yang menyemut, kucari dia sambil teleponan intens. Kupikir keramaian di sekitarnya karena bandara padat. Aku lupa Natta merupakan ikon desainer busana di Brisbane. Dia tengah ribut dimintai tanda tangan para fans.

Natta tampak tampan dalam jeans putih dan kaus hitam pendek. Outer-nya jaket kulit berhiaskan belundru hangat. Syal sepanjang paha menghiasi leher jenjang dan sepatunya bertali rumit. Kali ini Natta mengenakan softlens biru yang kontras dengan warna lainnya. Rambut Natta ditata naik agar jidat kelihatan. Bisa kubayangkan hubungan kami takkan membosankan karena kekasihku suka memanja mata dengan berbagai kreasi. Dia pun kusapa dengan lambaian di kejauhan, Natta menoleh. Bibirnya tersenyum dan terus bicara padaku.

"Oke aku melihat Mas. Selamat datang ...."

"Terima kasih, tapi selesaikan dulu saja urusanmu. Kutunggu di kursi biru ya."

"Iya, tidak lama kok, ini hampir selesai."

"Hm. Mas tahu."

"Cinta Mas."

Dadaku bergemuruh hebat, ingin rasanya langsung membalas, tapi malah keburu malunya. Aku salting dan senyum-senyum sendiri. Kututup mulutku yang tidak bisa berhenti terkekeh. "Sial, Natta. Cepetan. Mas-nya capek ingin re-charge tenaga."

Tak kusangka Natta malah mematikan sambungan usai mengejekku.

"Wle~"

Bisa kulihat wajah tengilnya dari kejauhan. Kekasihku memang ajaib sekali.

Selama 20 menit ke depan, kulihat-lihat Natta ternyata punya manajer, asisten, dan beberapa bodyguard di sekitarnya. Dia pun pamit ke mereka sebelum datang padaku. Tak kusangka Natta membawa kotak makanan hasil masakan sendiri. Dia pamer kepadaku dengan unjuk kebolehan hobi lamanya. Jujur aku kaget dan susah percaya, sampai Natta membukakan sumpit telaten dan ingin aku mencoba. Di titik itu aku malah ingin memakannya, bukan menu-menu yang ditata rapi di hadapanku.

"Sejak kapan kau bisa melakukannya?" tanyaku, masih terpana-pana.

"Sejak kecil?"

"Seriusan?"

"Aku diajari Ibu karena kami dulu sering ditinggal di rumah sendiri," jelas Natta. "Ayah kerja, Kak Oliver diajak keliling sebagai pewaris, Mama jalan-jalan atau arisan dengan temannya--ha ha ha, kami senang kok karena habis dipukul bisa makan-makan enak."

Aku pun meneguk ludah kesulitan, kisah pahit di baliknya membuatku semangat makan. Padahal menu Barat masih nomor 2 di lidah, tapi untuk Natta--apapun pasti akan kulakukan agar dirinya gembira--

"Tunggu-tunggu, kalau ini sih betulan enak!" batinku begitu mencoba sepotong daging ikan yang dipanggang.

"Mas Mile suka?" tanyanya.

Kami saling berpandangan. Bola mata Natta membiusku meski dia tak ber-make-up. Aneh tapi nyata, malam itu aku melontarkan kalimat yang tidak kusangka. "Bisa masak begini setiap hari?"

Natta refleks menutup bibirnya. "Bisa sih, kalau off-day ya Mas," katanya sambil terkikik. "Siap-siap saja ngafe jika aku kerja."

Aku pun ditemani makan malam di bandara. Natta bilang tidak suka membuatku menunggu sampai penthouse. Dia tahu jam 9 sudah larut untuk ukuran landing. Natta ingin aku tidak kelaparan bahkan menyeretkan koperku Dia antusias sekali menyambut. Cengirannya sulit berhenti hingga menggandeng masuk ke hotel. Dengan bangga Natta menunjukkan dunia fancy miliknya. Natta kemudian menuangkan anggur merah ke gelasku untuk merayakan dimulainya hidup bersama.

"Cheers?"

Aku menerima karena miras sebenarnya minuman favorit, walau selama di Jerman menenggaknya saat stress saja. "Cheers."

Tak banyak yang kami lakukan setelah itu. Kami hanya menikmati pemandangan malam Kota Brisbane yang penuh lampu. Deep-talk sesi kesekian, lalu bertukar hadiah yang sudah disiapkan, meskipun tanpa janjian. Natta memberiku 2 pasang sepatu branded, sementara aku memberinya batik Solo berbagai motif. Padahal dari segi harga, tentu njomplang, tapi Natta senang sekali mendapat tumpukan kain dariku. Bagaimana pun Natta desainer, otak kreatifnya auto jalan-jalan ke luar bumi. Dia bilang akan menjahit semuanya agar menjadi bahan trend-fashion musim depan.

"Ihh, Mas Mile tahu saja aku lagi pusing," kata Natta. "Sempat kehabisan ide, tahu. Tapi batiknya bagus sekaliii! Aku akan mengkombinasikannya dengan beberapa bahan lain kalau begitu. Ugh ... tidak sabar banjir uang bulan ini. Xixixixi."

Aku turut senang mendengarnya.

"Good."

Kekasihku pun ganti tempat duduk agar di sisiku. Tanpa permisi langsung merangkul lengan, dan maju mengecup bibirku. "Cinta Mas pokoknya." Dia berbisik sambil menatap genit. "Cinta, cinta, cinta sampai rasanya terbang ke awan."

Ini yang kusuka dari orang-orang Barat. Mereka talkactive dan sering mengatakan isi pikiran sesuka hati. Semakin mereka ekspresif, semakin egoku sebagai orang Asia terpenuhi. Ya, bukan semuanya sih, tapi kebanyakan memang begitu kan? Aku mengakui, sisi kolotku masih ada meski sudah memutuskan datang kemari. Natta kadang meraih daguku dan mengelusnya, jika ingin pujian balik.

"Cinta juga, makin-makin, hmm--besar ... setiap harinya," kataku agak terbata.

Kau tahu? Ngomong di belakang tak seperti langsung ke kekasih. Apalagi Natta itu lelaki. Aku sempat cringe, mengingat dulu sosokku tidak romantis. Namun dengan Natta aku benar-benar berusaha mengimbangi.

"Lagi-lagi!" pinta Natta.

Sialan!

Aku semakin gagu tak jelas.

"Cinta, kamu, Dek--ehem ... ha ha ha ha--brengsek ... pokoknya ya cinta sekali."

Terlampau senang, Natta menyerangku dengan ciuman bertubi-tubi. Dia bahkan meletakkan gelas, menindihku di sofa, dan resleting celanaku langsung diturunkan, karena dia ingin mengulum penisku--gila ya?! Ah ... maksudku, aku belum terbiasa dengan gaya berhubungan sefrontal ini. Karena tempatnya di luar, bukan dalam kamar seperti seks pertama kami.

Natta benar-benar nafsuan waktu membuka celana dalamku. Dia tidak peduli, digenggamnya ketebalan alat kelaminku dan dimasukkan langsung ke mulut sambil terpejam. Lidah Natta memanjaku dengan gerakan yang cepat. Dia ahli dalam memberikan servis lama dan brutal. Natta membuatku pusing diantara tingginya nikmat yang menyerbu kepala. Pandanganku buram sesaat, padahal dia sempat terbatuk-batuk tapi tak menyerah memuaskanku. Entah sangking hebatnya, atau memang dia sedang melepaskan rindu. Yang pasti Natta menahanku dalam kuluman hebohnya hampir sejam lebih, jika boleh kuperkirakan sih tapi tidak tahu juga.

Natta tak menghindar setiap spermaku muncrat ke tubuhnya, entah kena baju, celana, lantai atau bahkan wajahnya. Dia cukup mengusapnya dengan syal yang berakhir dilempar, dan permainan ternyata masih berlanjut hingga dia memuaskanku dengan liang anal. Apa yang pernah kubayangkan baru terjadi sekarang. Natta menunggangiku dengan bokong naik turun mencelup penisku, padahal kami masih berbaju. Hanya berdua, diantara angin malam yang seharusnya tak sehat. Natta dan aku menghangatkan diri dengan suhu tubuh kami yang berpadu dalam gairah.

"Ahhh, Natta--hmnngh, pelan sedikit--hnggh ... Natta--"

Justru aku yang sering memohon, sambil menahan pinggulnya agar tidak berulah.

Keberuntungan atau kesialan, Natta membuatku sinting dengan jam terbangnya di bidang seksual. Aku sampai meneteskan air mata dengan keyakinan bahwa pilihan ini, takkan pernah kusesali sampai kapan pun. Kupandang ekspresi menarik Natta setiap kali mendesah. Kupeluk perut rampingnya, yang menyimpan spermaku sambil berusaha mengendalikan betapa bahagianya aku di tempat ini.

"Hhh, hhh ... hhh ...."

"Mas Mile, hhhh ... kenapa?"

Dia mengelus-elus rambutku yang menempel di otot perutnya.

"Tidak ada."

"Kok diam saja sedari tadi. Sudah mengantuk ya? Atau masih mau lagi? Yang barusan kurang enak atau bagaimana--"

"Bukan, bukan. Aku hanya agak kelelahan. Ha ha ha," tawaku. "Ingat, Dek. Aku di udara tadi hampir 13 jam--hhh ... bisa kita begini saja sebentar?"

Natta pun mengecup ubun dan leherku di balik kerah. "Oke."

Sesekali lelaki itu menggerakkan bokong amat pelan. Dia tetap naik turun agar rasanya tidak tersangkut di dalam. Aku senyum saja merasakan pinggulnya selentur itu. Kupandangi ceruk aset Natta dengan mata yang meredup. Kadang kubelai juga dengan napas memberat. Natta suka sekali bokongnya diusap sayang, atau dipijat di bagian mendekati lubang. Jika penisku merosot keluar untuk memproduksi sperma, dia sering merintih karena liang itu kugodai jari-jari gemas. Padahal sering tidak sampai kumasukkan, tapi Natta merona hebat karena kerutan masuknya kubelai-belai. Katanya itu justru sangat seksi. Natta mengocok penisnya sendiri sangking tidak tahannya ditusuk ulang.

"Ahhh, hhhh ... Mas Mile, cepat ...."

Natta memandangku dengan mata yang berkaca-kaca.

Aku pun menggesekkan ujung penisku ke sana. Kugoda dia dan terus begitu, meski sudah tegang lagi. Aku --entah kenapa-- senang melihatnya tidak sabaran. Rasanya gemas saja melihatnya memohon-mohon balik begitu.

"Mas aku marah ya kalau begitu terus."

Natta sampai meremas tanganku dan berusaha memasukkannya sendiri.

"Ha ha ha ...."

Aku pun menciumnya, yang langsung menyambut panas. Natta tampak puas merasakan penisku menerobos ke dalamnya hingga ke ujung. "Mmnhh, mmngh ... nngh." Geraman erotisnya benar-benar sanggup membuat telingaku memerah.

Natta membelainya dan merapikan rambutku. Dia bilang, dia punya ide untuk gayaku yang versi baru. Aku sendiri tidak ingin berambut pendek, itu aneh karena sudah kebiasaan sejak dulu. Namun Natta membuatku yakin dengan usulan tersebut. Obrolan kami tak habis-habis, karena usai seks, dia masih mengajakku membahas itu pertanda dia serius.

Dia kupeluk di sofa itu karena tak mau diajak pindah. Natta cukup meremot tutup rooftop dengan kaca darurat malam hari agar udaranya tak semakin dingin. Dia bergulat padaku seperti kucing besar, padahal sebenarnya aku malu tidak diberikan kesempatan turun dulu untuk bercelana.

Kami benar-benar separuh telanjang hingga pagi tiba. Natta tampak biasa saja melakukan itu karena cara bicaranya tetap terdengar natural.

"Mas ...."

"Hm?"

Tangan Natta membelai-belai dadaku, pipinya ingin kugigit karena bersandar gemas di sana. Barusan lelaki ini sudah melepas softlens agar tidak kelamaan, tapi aku sedih melihat kondisinya yang separuh abu-abu.

"Kalau pekan ini langsung kuajak menemani operasi ... berani tidak?"

Aku terdiam sesaat. "Adek sudah mendapatkan donor?"

"Iya." Dia tampak ragu-ragu. "Pas Mas bilang mau pindah, aku langsung memikirkannya dong, mmm ... terus sekarang Mas-nya sudah di sini."

Aku mencubit pipi hangatnya.

"Boleh."

"Seriusan?"

"Mas pokoknya siap kalau Adek sudah niat."

"...."

"Kenapa lagi?"

"Aku diantar sampai ruang operasinya, tidak?" tanya Natta. "Tanganku dipegang kan selama di dalam? Soalnya--mm ... yang menakutkan itu bukan alat-alat dokter, tapi aku benci ingat kalau dipukuli Kak Oliver terus dapat itu."

Sampai sini aku paham masalahnya.

"Mas nanti izin sama dokternya dulu ya, Sayang."

"Iya."

"Rasanya tidak enak ya, cuma melihat sebelah."

"Tidak enak ...."

"Mmh, mhh."

Aku geregetan, terenyuh, bercampur gemas padanya. Kuacak-acak rambut kekasihku dan kuremas hingga makin berantakan. Dia patuh saja, walau kadang kegelian.

"Nnnng ... apalagi kalau lagi desain loh Mas. Deadline-ku sering tertunda gara-gara kumat pusing migrain lagi. Harusnya aku bisa menyaingi rival-rivalku. Aku hanya sering kalah karena tidak bisa secepat mereka. Sebal ...."

"Iya, sabar dulu oke? Lebih baik rencanakan kapan mau konsultasi. Bagaimana kira-kira proses operasi nanti. Mas pasti antar kamu ketemu mereka."

"Benar ya."

"Ckck, tentu saja. Kok lihatnya julid begitu."

"Soalnya ada tuh, pacar berotot besar, mana ganteng, tapi kalau lihat darah lemah. Ugh, Mas bukan tipe yang begitu kan? Tidak kan? Nanti sudah masuk, malah pingsan pula di dalam sana. Kan tidak lucu ...."

Aku tertawa mendengarkan rajukannya. Sumpah ini menghibur, karena mukanya tetap serius. Kucubit bokongnya pun dia tidak terpengaruh. Natta mode marah memang paling lucu sedunia. Anehnya dia bisa tidur begitu kunyanyikan not lembut ala gamelan degung - Sabi Lulungan. Mungkin alunan semacam ini unik di telinga orang kota macam Natta. Dia tidak pernah hidup di desa yang hijau, bahkan hanya bisa membayangkan seberapa nyaman ketenangannya.

"Hmm, kapan-kapan kuajak Adek liburan ke Jawa ya," batinku. "Kau harus tahu indahnya sawah, Bukit Jaddih, Pantai Kedung Tumpang, Air Terjun Tancak Jember, dan menunggang sapi di Alas Purwo."

***

Satu Minggu kemudian ....

Nama Nattasvory J Inglebert sudah tertulis di kartu pasien nomor 3 yang akan operasi mata hari ini. Kekasihku tampak gugup, walau sudah kupuk-puk 7 hari penuh. Dia bahkan sempat kena insomnia dua hari hingga mendesain banyak baju di tengah malam. Natta bilang ingin melampiaskan rasa dengan bekerja gila-gilaan. Aku bahkan tidak tega meninggalkannya untuk cari pekerjaan sendiri. Ya, setidaknya menjadi satpam atau apa tak masalah lah. Namanya juga pertama menetap. Aku tidak mau menggantungkan hidupku terus-menerus ke Natta, atau nanti lama-lama uangku yang menggunung akan habis karena tidak ada pemasukan. Namun sangking cemasnya Natta dia seperti sudah masuk ruang operasi, aku pun menemaninya terus hingga tak bisa kemana-mana.

Natta kadang cerita soal part yang membuatnya trauma, kadang mengungkit masa-masa dia mendapatkan mimpi buruk, atau menggigil betulan karena terserang halusinasi. Dia pun kupeluk, kalau sudah terhantam emosi tidak jelas. Natta biasanya tidur di pangkuanku kalau sudah bisa tenang.

"Mas ... Mas ...."

Dia sering menyebutku di dalam anxiety yang berkelanjutan.

"Iya, Dek. Astaga ... bangun dulu, Mas kan ada di sini. Coba buka matanya sebentar?"

"Mas Mile, hnngh--Mas ...."

"Adek ...." Kugosok-gosok tangannya yang kaku. "Ayo dong ah. Shhh ... Mas tidak kemana-mana loh. Masih sama kamu ini ... Adek ...."

Natta malah mendusel-dusel dan meringkuk di perutku sambil menangis.

Aku pun mengusap-usap punggungnya selembut mungkin. Kejadian-kejadian itu membuatnya punya kantung mata untuk pertama kali (setidaknya saat di depanku). Natta pucat hingga pasrah kubuatkan minuman apa saja dia mau. Mau itu jamu jahe, kunyit, dan segala herbal-herbal yang kupelajari di Indonesia--dia minum cepat-cepat tanpa merasakan anehnya pada lidah karena ingin sembuh. Aku pun senang, walau jariku jadi kuning semua. Blender Natta di dapurnya juga ikut kuning karena benda itu kupakai secara rutin. Setiap hari dua kali, pagi-sore. Aku berharap depresi Natta menurun karena dia tidak suka pil. Sedikit banyak aku bersyukur, dia bisa bekerja sama walau sebenarnya kurang suka.

Natta muntah-muntah suatu malam. Dia tidur di marmer balkon karena lemas tak kuat ke kamar lagi. Katanya itu bukan karena kunyit, tapi mual ingat mulutnya disumpal penis. Natta sempat sesak napas karena waktu itu sang kakak tiri membuka kaki di wajahnya dan memaksa oral sampai tenggorokannya luka. Herannya, dia baik-baik saja dengan aku. Maksudku, tidak trauma atau apa jika lawannya berbeda.

Aku kagum dengan daya tahan mental Natta. Hanya saja, kadang-kadang muncul pemikiran ingin kubunuh si Oliver kalau macam-macam lagi. Natta bilang adanya banyak bodyguard karena dia takut kena seret. Bagaimana pun dia tokoh publik, tapi sejauh ini aman saja (mungkin terpengaruh penampilannya yang berubah-ubah kali ya). Kekasihku bilang "terima kasih" berkali-kali. Dia merasa beruntung kutemani, padahal tak harus begitu.

Natta aku adalah milikmu, Mas-mu.

Lantas kenapa sesegan ini?

Aku ingin mengatakannya, tapi tidak mau makin membebani. Yang penting Natta sembuh pada hari ketujuhnya, dan bilang siap menjalani prosedur apapun.

Singkat cerita, aku benar-benar menemani dia di ruangan operasi. Sembilan hari kemudian, perban mata Natta dibuka dengan warna cokelat mengagumkan. Dari dekat memang kelihatan bedanya. Satunya bening asli, satunya lagi lebih gelap karema donor. Bagusnya jila jarak 1 meter, semua itu tidak kentara. Natta pun menjerit senang padahal baru gemetar hebat karena takut hasilnya tak bagus.

"Mas Mile! Aku bisa lihat lengkap lagi, Mas! ini rasanya keren sekali! Ha ha ha ha ha ha ha!"

Aku tak pernah melihatnya segirang itu.

"Selamat ya, Tuan Natta."

"Selamat, Sayang."

"Anda layak mendapatkannya. Take care. Jangan lupa diminum obat nyeri kami, dan konsul kemari kalau sudah tiba saatnya."

"Iya, Dok! Thank you! Pasti aku akan datang! Aaaaa! Senaaaang! Ha ha ha ha!"

Aku dan si dokter pun geleng-geleng kepala.

Natta membuktikan semangatnya dengan betul-betul minum obat. Kali ini dia tahan bau menyengatnya meski banyak pil berbeda yang harus ditelan secara berkala. Kubantu dia saat mendesain sisa project, bahkan meski harus begadang beberapa hari. Kekasihku rupanya tipe pekerja keras, walau seberat apa hari yang dia jalani. Tidak heran Natta terbentuk seperti ini. Etos mumpuninya kuakui jempolan, padahal usianya belum genap 26 tahun.

"Lihat itu deh Mas, lucu ya?"

Akhir bulan, usai menyelesaikan pekerjaan, kukira Natta tipe orang kaya yang jalan-jalan sesuka hati. Perkiraanku salah karena dia malah mengajak ke swalayan berbeda, yang dibeli pun barang random setelah pakaian berbagai jenis. Segala macam barang dia masukkan ke keranjang, padahal tidak selalu berguna. Saat inilah aku sadar, Natta masih belum sedewasa itu. Dia punya sisi childish dimana menganggap stiker anak TK bagus. Natta bahkan mencopotnya langsung untuk ditempelkan ke jaketku beberapa.

"Eeeh? Belum dibayar lho, Dek. Tidak boleh ...."

"Siapa yang bilang begitu? Nanti dibayar kok. Tenang saja."

Natta tetap mendekorasi sambil senyam-senyum.

"Ya ampun."

"LMAO."

"Habis ini ke resto dulu ya? Mas-nya sudah lapar belum makan siang."

"Jangan ah, nanti kumasakkan saja di rumah. Mending ikut Adek potong rambut!"

"Apa?"

"Ayolah ... Mas sudah janji tidak gondrong lagi. Seribet banget aku lihatnya!"

"Dek!"

"Ha ha ha ha ha."

"Natta ...."

Lelaki itu menyeretku ke barbershop terdekat. Aku pun menyesal sempat bersyukur dia dulu lupa total. Rupanya topik ini kembali juga. Sambil menatap cermin, Natta cekik-cekikik melihatku "botak" kumis, "botak" jenggot tipis-tipis, "botak" pula cambang seksi di rahangku. Untung rambutku tidak ikut dibotaki. Natta hanya menyuruh si pemangkas menjadikan pendek, lalu memilih pomade mana yang kupakai mulai sekarang.

"Nah, begini kan makin seksi. Kelihatan muda lagi, Mas. Jangan seperti Om-om dong kan baru 29 tahun."

"Hmm, jika Adek belum tahu, di Indonesia 29 tahun itu sudah Om-om."

"Ha? Iyakah Mas?"

"Pakde-pakde malah nyebutnya."

"Ihhh."

"Ha ha ha, mukamu lebih julid daripada netizen di Indonesia."

Natta pun merangkul aku. "Tidak boleh, ya. Pokoknya mulai sekarang biar aku yang mengatur style Mas. Jangan protes."

"Mana ada aku protes."

"Tapi muka Mas kelihatan tidak rela."

"Sayang memang, tapi aku tampan juga di tanganmu."

"Kannn ...."

"Jadi ingin poligami 5."

"Apa? Penis Mas yang kutebas kalau begitu."

"Ha ha ha ha ha."

Begitu urusan Natta selesai, giliran dia yang berfokus kepadaku. Penampilan sudah, bagi tugas penthouse sudah, cari katalog model rumah baru sudah, tinggal wawancara pekerjaan dan tes kuliah di kampus terdekat. Jika bukan satpam atau buruh, aku berencana memilih pekerjaan remeh temeh seperti admin toko, atau waiter di sebuah kafe. Toh tidak muluk yang penting aku bisa menyusul Natta. Terbiasa sederhana membuatku tidak memiliki ekspektasi. Aku juga hilang ketertarikan terhadap seni arkeologi mengingat perjuanganku dalam bidang Reog sudah diteruskan generasi muda.

Hanya saja Natta marah-marah. Dia yang perfectionist mengarahkanku untuk target lebih tinggi.

"Begini saja. Mas kumasukkan dalam daftar modelku. So, musim ini fokuslah latihan catwalk dan pose berfoto. Biar musim depan bisa ikut pagelaran."

Bola mataku refleks menegang. "Apa?"

"Bagus kan? Badan Mas kan sudah bagus. Bareface saja yang tinggal dipoles."

Aku yang sedang ngopi di couch sampai kehilangan selera karenanya. "Adek, tidak serius kan?"

"Ya iyalah! Masak bercanda." Natta tiba-tiba duduk menyamping di pangkuanku. "Mas punyaku ya. Masak para model, yang notabene orang lain kurawat banget tapi Mas Mile malah tidak. Jelas kepikiran dong."

"Waduh, tapi model loh Dek ...."

Aku deg-degan sangking gugupnya.

Maksudku, orang kampung sepertiku. Cuma Miliendra yang semula tinggal di Tanjungrejo, Badegan--

"Mas-nya Natta itu ganteng, percaya kan?"

Napasku tertahan sesaat.

"Gantengan Kak Agus perasaan."

Natta mencubit kedua pipiku. "Ihh! Kenapa malah bahas orang lain? Jangan-jangan Mas insecure sama dia ya selama ini?"

"Kan memang begitu adanya. Kak Agus mah, mirip Aliando Syarief."

"Ha? Siapa dia?"

"Artis sinetron di Indonesia."

"Malah sinetron dibawa-bawa. Pusing ...."

"Hhhh ...."

Ngomong-ngomong, aku suka komuk dramatis lelaki ini.

"Bodo ah! Daripada jadi satpam, mending kerja jadi bodyguard-ku saja, hm? Kugaji besar loh Mas. Biar macam film yang kau sebut. Cintaku Kepentok Bodyguard Ganteng--ha ha ha ha," tawa Natta.

"Itu sih FTV namanya. Beda lagi."

Natta mengayun-ayunkan tangannya.

"Alah, pokoknya itu lah. Gara-gara Mas nih, beranda YouTube-ku kebanyakan rekomendasi konten Indonesia. Siapa pula yang tidak kepo soal partner yang super hot?" Dia meremas perutku, tepat bagian pusat dimana ada bulu halus favoritnya.

"Iyakah? Mas Mile malah tidak tahu."

"Mas kan memang tidak perhatian, tapi Adek cinta."

"Wkwk, ya sudah masalah selesai."

"Jadi, mau belajar dunia model kan?" Natta terus mendesakku. "Bilang iya! Iya! Iya! Nanti kudandani super duper keren."

"Mas benar-benar tidak tahu apakah bisa melakukannya."

Lelaki itu mengecup bibirku. "Pasti bisa," katanya. "Mengangkat Dadak Merak saja sanggup, masak sih begitu saja sudah K.O? Tidak sepadan dong."

"Kalau begitu ajari Mas sampai jago."

"Oke!"

Sejak saat itu, perputaran hidupku menjadi cepat. Hari-hari yang kujalani dipenuhi pembelajaran dan kesibukan kuliah di bidang politik ekonomi. Demi menyesuaikan diri dengan kehidupan di Australia, aku memang memilih jurusan itu atas rekomendasi Natta. Daripada pegawai perusahaan, Natta bilang lebih suka aku jadi dosen. Lebih bagus lagi jika mengajar di kampus bergengsi. Natta menyuruhku berusaha keras, walau capek. Dengan begitu dia bisa memanfaatkan channel mitra yang disimpan dan nantinya aku dapat nilai "layak" menuju ke arah sana.

Ah, Adek. Mas hampir lupa kalau kamu pernah jadi dosen. Pantas punya link kerjaan banyak sekali.

"Oeeee!! Oeeee!! Oeeee!!"

Saat pergantian tahun, aku dan Natta dapat kabar bagus dari Indonesia, yakni Kak Vera melahirkan bayi kembar super mirip. Nama mereka Abimana dan Adichandra. Kak Agus VC kami lewat laptop saat keduanya menangis semua.

"Mohon bersabar, ini ujian ... ha ha ha. Tapi aku suka kok di rumah makin berisik. Mereka lucu ya kalau begitu? Halo, Om Mile!"

Kak Agus menggoyangkan tangan mungil Abi. Dia dicubit Kak Vera karena bukannya ikut menenangkan.

"Halo, keponakan ganteng ...." balasku sambil tersenyum.

Setelah menghabiskan waktu mengobrol 2 jam lebih dengan mereka, aku dan Natta pun memutuskan untuk terbang ke Indonesia demi menjenguk si kembar. Kami mempersiapkan banyak bingkisan sebagai hadiah bayi. Ada baju-baju imut, stroller mahal, bouncer agar mudah tidur, perabotan bayi seperti kasur, selimut dan lain-lain. Tentu diselipi amplop tebal yang berisi cukup banyak. Kami memberikannya dalam babybox berbeda warna. Biar sosok Natta dikenal baik oleh orang-orang rumah.

"Hello, my name is Natta."

Ya, walau pertemuan keluarga tak semulus itu. Bagaimana pun Natta tidak bisa Bahasa Indonesia. Aku selalu menerjemahkan omongan dia waktu bicara dengan Bapak dan Adek-adek. Hanya aku, Ibuk, dan Kak Agus yang bisa merespon. Ibuk menanggapi baik soal hubungan kami, karena memang bukan orang kolot seperti netizen umumnya. Beliau lebih dari tahu seperti apa Jerman itu, karena tinggal lebih lama di sana daripada yang pernah aku alami. Menurutnya Natta cukup luwes. Kekasihku pun lulus sensor sebagai calon menantu baru untuknya.

"Bagaimana, senang tidak melihat Desa Tanjungrejo?" tanyaku saat mengajak Natta berkeliling. Kami berada di jalan setapak tepi sawah. Suara riak air sungai berbunyi nyaring di sekitar kami.

"Suka, suka banget," kata Natta sambil memejamkan mata. "Indonesia ternyata secantik itu, ya Mas? Segar sekali udara di sini." Tangan kanannya kugandeng terus, sementara tangan kiri menjinjing sepatu Gucci. Natta melepasnya karena daerah sini embet selepas hujan. Dia tidak mau tidak stand-out kalau sudah sampai di Sanggar-ku untuk menilik hasil jerih payah komunitas langsung. Natta tak masalah jalan basah, dan masih berkaus kaki. Orang-orang menatapnya bingung, tapi ya sudahlah dari penampilan saja kelihatan bukan orang lokal.

"Jadi tak masalah dong kalau menginap beberapa hari?"

"Eh?"

"Kau ada pekerjaan yang cukup mendesak?"

"Tidak sih, Mas."

"Kalau begitu oke, ya? Hari ini istirahat dulu, besok-besok baru kuajak liburan dan naik sapi."

"SAPI?!"

"Moooooooh!" Hewan yang disebut berteriak tidak jauh dari kami. Aku pun tertawa ribut sambil menunjuknya karena dipakai membajak sawah.

"Ituuu, lihat!"

"Aaaaaa! Tidak sangguuuup!"

Natta pun langsung kabur dan nyaris menabrak motor tukang sayur. Walau diparkir, aku tetap khawatir padanya.

"Adek! Ya ampun! Dek Natta bisa tidak hati-hati?!"

Tetanggaku sampai keluar semua karena ada percakapan Bahasa Jerman di kampung mereka (ya, walau 99% orang pasti menyebutnya dialog antar alien). Mereka melongok lewat pintu dan jendela, lalu ikut-ikutan tertawa melihat Natta kaget ada sekersek keong jatuh dari gerobak sayurnya.

"WHAT THE FUCK! MAASSSSS! APA ITU YA TUHANKU KENAPA ADA BEGITUAN DI SINIIIII!"

Natta berlari lagi setelah menabrak dadaku tanpa sengaja. Dia ngos-ngosan parah sampai sanggar, tapi langsung senang melihat namaku diukir di kantor "pendiri". Natta pun memotret tulisan "Hanacaraka" nama lengkapku di meja sebagai kenangan, dia tampak bangga walau bangku di dalamnya belum pernah kududuki.

"Aksara Jawa ternyata estetik. Aku jadi ingin mendesain baju pakai unsur itu di dalamnya," puji Natta sambil menatap hasil foto dalam ponsel.

"Adek ada-ada saja ...."

"He he he, biar Mas nanti jadi model yang memakai bajunya."

"Adek ...."

"Kenapa sih? Kan bagus di setiap tempat dapat ide. Namanya juga iinnssspiraasii! Begitu kata SpongeBob SquarePants. Mas takkan bisa menghentikanku."

Aku pun menarik Natta duduk di pangkuan. Kurengkuh dia di kursi ini, sebagai hadiah besar yang melengkapi kebahagiaan dalam hidupku. Sanggar Reog, sanggar bela diri, Nattasvory J Inglebert--semua di dalam genggamanku sekarang.

"Mas!"

"Menikah denganku ya, Dek?" kataku spontan, sampai-sampai Natta diam di kursi ukir tersebut. "Hidup sama Mas, terus-menerus seperti ini, sesekali kita pulang ke Indonesia untuk melihat keluarga Mas. Ada Bapak, ada Ibuk, ada Adek-adek, dan keponakanku lucu semua. So, kalau kamu rindu makna "keluarga utuh", semuanya tersedia sini. Jangan takut."

"...."

Kudengar jantung Natta berdebar kacau sekali.

"Ya, Sayang ya?"

Sayup-sayup suara junior sanggar mulai latihan di luar sana.

"M-Mas ... kok rasanya mendadak sekali? Jangan bilang ...."

Aku pun terkekeh-kekeh. "Tidak, tidak. Ini murni tanpa rencana, tapi aku sudah yakin. Cincinnya lho belum kubeli. Yang pasti, aku sempat bisik-bisik sama Ibu, beliau mau hadir kalau kita menikah nanti."

"A-Ah ...." Natta pun menggaruk leher salah tingkah. "Terus, kalau Bapak? Bagaimana tanggapan beliau menurutmu."

Aku menghirup bahunya sayang. "Bapak sakit Alzheimer. Sudah membaik sih, sangat-sangat bagus jika dibandingkan tahun lalu. Cuma seperti yang kau lihat tadi, Ibu bilang apa baru sedetik pasti pikun lagi. Nah, jadi tak apa kan kalau cuma Ibu yang mewakili?"

Natta menutup wajah merahnya. "Aahhh, tidak tahuuuuuu," katanya malu. "Brengsek ya, Mas. Deg-degan tahu kalau begini jadinya. Selalu waktu aku tidak siap. Mau itu seks, atau lamaran--ugh ... kenapa sih Mas tidak berubah? Capek baper ...."

Aku pun menarik bibirnya untuk kukecup. "Kuanggap iya kalau begitu."

Kekasihku makin tampak cerah. Dia mengguncang bahuku sangking senangnya. "Iya! Iya banget! Iya!" serunya bersemangat.

Kecupan itu pun kuulang-ulang. Kami berbagi kehangatan dalam dada, yang menyebar ke seluruh aspek kehidupan milik berdua. Rasanya takkan ada masalah yang terlampau sulit, bila dijalani bersama segalanya jadi terasa bisa tercapai.

Dua minggu kemudian, kami baru kembali ke Brisbane setelah kutepati impianku membelikan cincin lamaran untuknya, lalu membawa Natta ke semua tempat terbaik di Jawa. Dia juga kuajak ke Borobudur, Pantai Kuta, dan kebun teh terkenal di Bandung. Segala pengalaman itu dia simpan baik-baik di dalam memori berharga. Natta bahkan tak tanggung-tanggung memborong batik dari Solo langsung (karena ketagihan), juga tenun warna-warni sikek khas Minangkabau.

"Pssstt, pssstt ... Mas," bisik Natta, padahal baru duduk di pesawat.

"Hm?"

"Nanti, baik acara pre-wed maupun resepsi kita pakai selingi dengan pakaian adat ya? Termasuk khas Jawa dan provinsi lain. Lucu pasti kalau ganti kostum terus. Aku mau cosplay jadi Raja Singosari ahhh ...."

"Pffft--tahu apa kau soal Raja Singosari?"

"Ya ganteng lah! Macam Adek!"

"Ha ha ha, kalau Mas?"

"Mas Mile jadi Raja Sriwijaya saja. Cocok tuh."

"Hmm, jadi raja sama raja dong? Kalau permaisurinya?"

Senyum sadis Natta muncul. "Permaisurinya suruh copot jabatan jadi fujo saja. Pasti suka!" serunya tanpa berpikir. "Pokoknya Mas itu punyaku! Fix! Tak ada kesempatan buat orang yang ketiga. Jauh-jauh! Miliendra kan Mas-nya Natta seorang ...."

Jemari Natta kuremas. Wajah cerahnya kupandang sepenuh hati. "Bagus," kataku. "Natta memang Raja buat Mas sampai kapan pun."