Chereads / LOVELY GIFT [MileApo Fanfiction] / Chapter 10 - REOG PONOROGO 3

Chapter 10 - REOG PONOROGO 3

***

Hatiku terbagi menjadi dua. Pertama, Natta betul-betul niat memperkenalkan diri sebagai pacarku. Kedua, penampilan dia tidak buruk untuk diakui pacar.

Bohong jika aku tak suka visual, bagaimana pun mataku pejantan, kecantikan adalah ranking satu sebelum menilai yang lain. Jika sama-sama potensial, maka si sedap dipandang menjadi pilihan. Aku yakin rekan-rekanku paham kenapa Natta "boleh" menjadi pasanganku (meski akan banyak yang terkejut sih nantinya).

Natta punya hidung bangir, yang kurva-nya makin indah kala dipakai tersenyum. Mata-nya berbentuk meliuk, sehingga manisnya bertambah-tambah jika dipakai tertawa. Bibirnya berisi, tapi tidak setebal yang kau bayangkan. Bila dicium, sudah bisa kubayangkan rasanya lembut dan halus. Bagian itu tampak terawat, karena dibubuhi lip-gloss bening. Kadang warnanya cherry, mate peach, pink muda, juga salem yang merata. Natta lebih jago make-up daripada gadis-gadis di kampungku. Dia boleh lelaki, tapi kelopak matanya bagus diolesi shadow tipis-tipis. Rambutnya hitam terawat, tapi halus ketika disentuh. Aku tahu detail karena jemariku sempat meremasnya ketika memeluk.

Aroma tubuh Natta, tidak diragukan lagi merupakan parfum mahal. Pinggulnya kecil, kakinya jenjang seolah menjalani diet ketat. Apa Natta seperhatian itu terhadap tubuhnya? Aku ketar-ketir tak sanggup menafkahi kalau Natta serius soal barusan.

Kulihat, kening Natta berkilau bila dia berkeringat. Caranya memakai tisu hanya ditap-tap pada kulit, seolah takut sunscreen yang dipakai luntur. Padahal aku yakin bareface Natta sudah bagus dan tanpa jerawat. Meski tidak berbedak Natta tetap seperti pangeran.

"Tidak boleh."

"Yaah, Mas Mile ...." Natta mengambil tanganku dan meremasnya kuat. "Ya, ya, ya, ya? Bilang iya kok susah sih, Mas. Buat aku loh. Mmm, aku nangis nih terus bilang sama orang-orang mau diperkosa Mas."

Bedebah?!

Minat padanya saja masih mikir! Mana ada yang seperti itu.

"Sebenarnya ancamanmu tidak berpengaruh sih," kataku. "Kau kutotok sekarang saja bisa pingsan di tempat."

"Eh?"

Ekspresi Natta lucu sekali.

"Aku punya ilmu yang tidak kau tahu, Dek. Ckckck. Sudahlah astaga. Jangan banyak tanya terus, oke? Pusing Mas-nya."

Kepala Natta miring sesaat. "Kekebalan ya, Mas? Buktinya bisa gendong Reog?"

"Mirip."

"Tapi takkan dilakukan ke aku kan? Tidak kan?"

"Tergantung apa kau menurut."

Natta memandangi kedua punggung tanganku. "Ya sudah, Mas Mile mau apa sekarang? Asal jangan aku pergi, boleh deh. Seks bolak-balik juga oke. Aku bisa gaya apa saja. He he he."

"Tolol ya."

"He he he."

Kupandangi dia dari wajah hingga kaki.

"Coba berhenti tersenyum."

"Kok begitu?"

"Kau bisa mode normal kan? Jangan nge-banci terus, cih. Rekan-rekanku berdarah Indonesia. Kau tidak tahu seberapa menakutkan netizen kami kalau sudah julid. Salah-salah kau disebut waria kerasukan setan."

"Aduh."

"Makanya."

"Tapi aku punya penis loh Mas."

"Dek."

"Dua telurku juga masih lengkap kok. Mau lihat?"

"Dek Natta, bisa jangan memperumit ini?"

Kusentakkan tangannya baru tahu rasa.

"Ya ampun, kejamnya ... padahal penampilanku masih cowok loh." Natta mengelus-elus punggung tangannya. "Segala disebut waria. What the fuck?! Kalau mau adu julid aku pasti juga bisa! Brengsek ya kalian semua! Hmph."

Natta membuang mukanya, tapi dengan cara jalan yang berubah tegap. Aku sampai bingung dia sejago itu dalam memainkan peran. Kurasa Natta bakat jadi aktor, bukannya simpanan gadun.

"Ayo jalan," kata Natta sambil melemparkan kunci mobil. "Pegang itu. Berikan padaku kalau turun taksi. Kita jemput mobilku sekarang."

Dia sudah ke mode waras, rupanya.

Begitu mobilnya ditilik, Natta menyetir setelah melempar long-coat ke kursi belakang. Caranya mengemudi ugal-ugalan, namun cukup tangguh dan gesit menyalip lawan. Natta bisa kugambarkan lelaki yang obsesif, dan juga manipulatif. Anehnya aku membiarkan dia melakukan permainan ini.

"Arah mana."

"Kanan."

"Nanti langsung bilang kalau mau belok lagi. Tidak usah menunggu ditanya lah. Paham tidak?"

Dia mendominasi percakapan kalau sudah serius begini.

Sesampainya di villa Ayah, Natta turun mobil bagaikan artis FTV. Dia dengan postur indah, memukau semua rekanku yang tengah rebutan semangka di teras. Mereka baru membelah buah dan menaruhnya di nampan. Natta melihat suasana "kampung" itu dengan menyipitkan mata. Dia tampak berpikir harus bagaimana.

"Kenapa, Dek?" tanyaku heran. "Kok malah diam begitu? Katanya mau kenalan."

Natta memandangi rekan-rekanku. "Menurutmu mereka suka versi apa? Aku sok-sok kenal? Sok-sok ramah? Sok-sok asik? Atau begini saja adanya."

Kutebak (atau ber-positive thinking) Natta hebat dalam mengubah karakter karena Om-om yang dia hadapi banyak. Natta pasti membedakan perlakuan si A, si B dan yang lain-lain karena dituntut memuaskan mereka. Mungkin dia tak ingin seorang pun protes setelah dilayani susah payah. Kuakui Natta hebat mengambil hati seseorang. Tak terkecuali diriku.

"Mungkin kau harus biasa saja. Jangan sensitif," kataku. "Orang Indonesia kan sering mengungkapkan sindiran kasar dan halus. Kau harus peka, Dek. Cukup mengabaikan yang negatif."

"Oke."

"...."

"Ada lagi?"

Natta tampak ingin menjalani perang.

"Itu saja. Toh yang paham omonganmu cuma Kak Agus."

"Really?"

"Rekan-rekanku mungkin dapat terjemahan dari dia."

"Hmmm."

Siang itu, Natta pun merealisasikan apa yang dirinya tuju. Seperti tamu biasa, rekan-rekanku menyambutnya baik karena keramahan memang "baju" orang Indonesia. Dia didudukkan diantara banyak orang, tapi Kak Agus tidak tahan menyemprotkan soda ketika mendengar faktanya.

"APO MILE?! KOE HOMOAN?!"

"Kak Agus!"

"Tak kiro girohan loh, ya gusti. Soal pacar lanang kui, koe paham guyon ra? Guyon!" kata Kak Agus lalu menatap Natta-ku. "Mosok tenan arep karo blantik gajah? Dekne nduwe celale lho Mile neng ngisor kuwi. Koe tenanan ta gelem karo gaya jaran?"

Sudahlah, Kak. Natta mau kabur saja bagus. Aku tidak tahan dengan banyaknya drama di depan.

"Kesowen lah. Aku wae seng ngomong langsung karo wong-wong. Dekne trae bento, tapi yo mbuh aku nggur pengen nulungi. Ngkok tak ceritani piye lengkap e neng mburi."

"Yo wes lah."

Singkat cerita rekan-rekanku pun sama syok-nya. Bagusnya komentar apapun takkan bisa dipahami Natta. Meski janggal, mereka tetap menjabat tangannya. Satu yang benar-benar tidak mau adalah si pemusik gong bernama Bono. Lelaki itu melipir pergi karena tidak biasa. Natta bisa mengartikan dia diterima, tapi juga dapat penolakan.

"Bagaimana?" tanyaku setelahnya. Natta kuajak ke dapur untuk mengambil minuman di kulkas. Rekan-rekanku auto pergi melihatnya datang kemari.

"Tidak buruk kok, tapi ya sakit hati sedikit."

"Adek kan sudah kubilang, homo tidak lazimnya di Indonesia. Itu dilarang."

"Iihh, negaramu keras ya, Mas?"

"Masih keras keluargamu sih, kalau menurut pendapatku."

Obrolan kita malah terasa normal jika Natta jadi "manjalita".

"Mas betulan tak ingin tinggal di sini sama aku?"

Usai meneguk kopi kalengan, aku menghela napas panjang. "Natta, kalau kabur kusarankan pindah dari Jerman sekalian. Jangan cuma ganti kota. Bahaya."

"Tapi bagaimana, ya ...."

Kakinya digoyang-goyang.

"Apanya yang bagaimana."

"Mas masih kelihatan tidak suka Adek. Jadi ragu kalau mau kabur."

Aku tak bisa membalas.

"I mean, nanti kalau sudah pergi dan menikah. Mas Mile malah pulang ke Indonesia. Kesal ...." katanya. "Aku tidak ada teman dong di rumah. Ugh, tidak bisa main penis suami sendiri."

Kenapa mikirnya dia kejauhan?

Omongan tadi saja kuanggap garansi. Jika Natta sudah kabur, aku ingin melepasnya bagai burung bebas. Maksudku, masak sih untuk ukuran S3 tidak mampu membiayai diri sendiri? Pasti dapat kerjaan bagus kan di tempat baru? Natta punya lebih banyak bekal daripada aku.

"Dek, dengar ya."

Kuremas bahu kanannya.

"Cium ...."

"Dek Natta, bisa serius sedikit?"

"...."

Bola matanya berkaca-kaca.

"Aku tidak bisa dengan lelaki."

Natta langsung terkesiap.

"Mas harus pulang ke Ponorogo, oke? Cepat atau lambat pasti kembali karena banyak yang kutinggal di sana," tegasku. "Murid-murid bela diriku, rekan-rekan sanggarku, belum lagi Bapak-Ibu dan Adek-adek. Kak Agus tidak bisa kuserahi semuanya sendirian. Apalagi mereka masih sekolah. Dia tidak masuk silat sejak kecil, yang ditekuni ilmu logika dan rasional."

"...."

"Makanya dia lulus kuliah, akunya tidak."

"...."

"Kami punya prioritas masing-masing."

Natta segera melepas tanganku. "Kalau begitu sejak awal tidak usah pedulikan aku saja. Bodo," protesnya kesal. "Sudahlah, malas. Mas Mile tidak ada bedanya dengan mereka, hiks ...."

"Natta!"

Dia meninju perutku sekuat tenaga.

"Brengsek ya, minggir! Aku mau pulang saja!"

Natta pun menerobos orang-orang tanpa pamitan. Dia jadi drama queen, tetapi versi gaharnya. Natta melirik orang-orang yang heran padanya. Dia abai dan menyetir mobil keluar gerbang. Beberapa rekanku memang mengintip kami sedari tadi. Mereka penasaran bagaimana hubungan gay, walau tidak paham satu pun obrolan. Kepalaku rasanya pening sekali. Jujur tidak enak, tapi hatinya tetap kusakiti. Aku hanya ingin tahu bagaimana perasaanku sendiri. Tekanan dari orang-orang di sekitar sungguh memualkan. Ketertarikanku masih kalah dengan kolotnya pemikiranku. Mungkin jika tinggal di Jerman sejak kecil, aku pasti homo sendiri tanpa digoda. Kak Agus menghampiriku karena khawatir. Beberapa rekan baru muncul setelah tahu perdebatan kami. Ada kak Agus, Mbak Menik, Mbak Rima, dan Dek Bayu yang masih remaja.

"Walah, walah. Mas ... lanangane tenanan seneng toh. Tak kiro lak nggur dulinan. Aku yo jijik, tapi nek weruh langsung kok rodok sak ake," komentar mbak Menik, salah satu penari Jathilan. "Maksudku, dia kelihatan sedih sekali. Mbok apain sih iso terkewer mak ser ngunu? Ono-ono wae setilahe."

Aku pun menggeleng kecil. "Mbuh lak mbak. Lagek telung minggu wae wes digudaki. Koyone aku salah milih negoro." Kupijit kening yang terasa pening. "Pikirku lak, eee ... cedak Ayah. Mesti bakal direwangi koyo ngene. Buktine yo penak tenanan."

"Yo masuk akal sih, tapi awakmu dewe piye loh Mile?" Kak Agus tiba-tiba kepo. "Suka atau tidak sama dia? Kok kelihatannya tertekan? Jangan jadikan aku alasan ya, kalau mau menetap di sini. Misal sanggar balik ke Indonesia pun dua pembarongmu bisa aktif lagi. Mereka cuma tidak mau ke luar negeri kan? Ponorogo mah tidak perlu kau khawatirkan. Banyak guru silat juga di sana. Yang sudah sabuk biru, pasti naik ke hitam kok. Beda lagi kalau di sini. Cuma kamu yang bisa ikutan."

"Kakak kok berubah-ubah?" celutukku kesal dadakan. "Gek maeng A, sak iki B. Jujur kalian maunya apa?"

Semua orang terdiam.

Aku pun murka, lalu menendang kaki meja hingga roboh. Makanan di atasnya jatuh ke lantai dan terbalik berceceran. Ada nasi, cumi-cumi bakar, buah-buahan, roti-roti plastikan, dan entah apa aku tak peduli lagi. Pelototanku terlanjur tampak, maka aku harus menyendiri kalau sudah begini. Jangan sampai khodam-ku ikut keluar dan kasar. Bisa-bisa tubuh ini mengamuk ke semua orang tanpa bisa kukendalikan.

"ARRRRGHHHH!"

Barang-barang di kamar kubanting semua.

Dari friksi dinding ketahuan semua rekanku melipir pergi. Mungkin karena setinggi apapun tingkat silat mereka, masih jauh di bawahku. Ada yang masih dasar, junior, pendekar muda, asisten, dan pelatih madya--intinya yang warga hanya diriku di komunitas.

Kak Agus saja baru berani mendekat setelah bunyi napasku normal. Tidak ada lagi geraman harimau putih karena perasaanku mulai tenang sekitar jam 9 malam.

"Mile."

"Opo."

Aku merapikan kamarku perlahan-lahan.

"Kau kelihatan stress sekali."

"Yo."

"Kita batalkan show besok kalau begitu."

"Ora usah katek ngono!"

"Mile."

"Arep nggawe perkoro ta?" tanyaku sambil melempar bantal yang baru kugenggam. Posturku tegap nan keras. Sadar tidak sadar aku tegang lagi.

"Tidak, bukan begitu. Hanya saja show kan pusatnya di kamu. Mana ada Reog kalau Pembarongnya kacau balau," kata Kakak, sambil menarikku duduk di tepi ranjang. "Dan ... aku tadi sudah bicara dengan mereka--ehem, maksudku rekan-rekan komunitas. Mereka minta diwakili minta maaf, karena takut ke kamu."

"Yo."

"Please, Mile. Rekan-rekan cuma kaget dengan kedatangan Natta. Apalagi belum pernah ada model begitu diantara kita. Kalau ditanya ganteng atau tidak sih, Kakak bilangnya ganteng sekali. Mana dia tinggi, manis. Jago paes natural seperti artis."

"...."

"Kakak mungkin juga belok kalau dia menargetnya aku. Ha ha ha ha. Pokoknya kau tak perlu sungkan."

Kakak malah bertingkah sok asik. Sungguh basa-basi yang menjengkelkan.

"Kak," panggilku dengan nada lelah.

"Hm?"

"Penghasilan komunitas sekarang berapa?" tanyaku. "Kita masih lama ya di sini? Kakak kan bendaharanya. Pasti bisa kira-kira."

Kakakku mengingat-ingat rincian. "Mmm... berapa ya kemarin ...." gumamnya. "Tiga truck tinggal 1 yang belum lunas. Terus jatah tiket untuk pulang semua."

"Oke."

"Kita tinggal menabung uang untuk pembangunan sanggar. Cuman, menurutku harus ada simpanan juga modal masa depan. Menurutku, uang ada kan harus diputar biar setelah pulang tidak habis. Kita jangan sampai ke sini lagi, cuma karena mengais dari awal lagi."

"Aku setuju."

"Terus maksudmu bertanya apa?"

"Aku ingin cepetan balik ke Ponorogo."

Kukira Kak Agus menyerah setelah aku menegaskan. Tak kusangka dia meremas tanganku begitu lembut. "Yakin arep ngono, Mile?"

Aku pun segera protes. "Yok opo sih kok tanya maneh. Aku males bahas omong songko awal!" bentakku tidak sabaran. "Kak Agus ini--"

"Mile, kau ingat Laeli, tidak?"

"Ngopo bahas dee maneh?" semprotku. "Sudah menikah dengan Pak Dokter juga."

"Ya, justru itu. Dari dulu kan kau selalu mencurahkan perhatian ke orang lain. Bapak dan Ibu, Adek-adek lengkap sekolah mereka. Sanggar, murid-murid, komunitas, Reog, dan masih banyak lainnya ...." kata Kak Agus tiba-tiba. "Kau lebih mudah mengalokasikan uang untuk mereka, daripada keperluanmu sendiri. Jadinya malah tak lulus kuliah, gagal menikah, terus berlari ke tempat ini."

"Aku tidak lari, Kak. Kita sama-sama ada di Jerman."

"Aku hanya ikut, agar kau tidak pernah sendiri."

Aku pun terdiam lama.

"Sekali-kali, boleh kok Mile. Pikirkan hati dan kehidupanmu. Bagaimana masa depan nanti. Opo arep urep dewe nganti tuo? Ingat Pembarong pun takkan aktif selamanya. Contoh Pak Danu yang tua dan memberikan jabatan ke kamu. Beliau ingin me-time dengan keluarga, dan mungkin menurutmu happy ending. Namun coba pikirkan sudut pandang mereka. Setiap hari, selama puluhan tahun, Pak Danu jarang di rumah untuk kehidupannya sendiri. Keluarga lupa identitasnya sebagai ayah dan tampuk yang harusnya dipegang. Kembali lagi ke dirimu. Kalau pun kau tertarik ke si A, atau B, C, D, E, F, G ... sampai Z--lakukan saja maumu. It's okay."

"...."

Kak Agus menepuk-nepuk bahuku. "Di usia yang sekarang. Harusnya kau tidak bingung dengan diri sendiri."

Aku ditinggalkan setelah itu. Tak satu pun rekan yang mengajak bicara ketika aku keluar. Siapa pun memberi jalan, karena tidak mau kena amuk. Aku dibiarkan pergi, hingga sayup-sayup kudengar show akan dibatalkan betulan. Kegalauanku tak masuk akal dan rasanya berat. Dadaku kusentuh sendiri karena begitu sakit.

Mas Mile! Mas Mile! Mas Mile

Entah kenapa aku ingin mendengar Natta berisik lagi.

***

Berlin, Jerman.

Sejak saat itu, Natta tak pernah muncul di hadapanku. Baik sebagai "fans" bohongan, maupun lelaki misterius yang memakai suit. Dia benar-benar hilang seperti ditelan bumi. Frankfurt terasa sepi tanpa godaan darinya. Setelah menjajaki kota itu 11 kali, komunitas pun pindah ke Berlin. Aku memakai alasan bahwa, insight Frankfurt sudah mulai turun. Namun menggelar pertunjukan di kota baru, pasti penonton membeludak lagi. Rekan-rekanku setuju saja dan tak pernah membahas Natta. Mereka menjaga perasaanku, yang sering diam usai "si manjalita" pergi. Aku sendiri bingung kenapa begitu, padahal miras mulai kucoba untuk mengobati hati. Butuhku memanggul Dadak Merak, ya sudah kulakukan saja. Euro terus berdatangan, dan mereka mulai berbaur dengan masyarakat lokal. Sedikit demi sedikit bahasa Jerman me-lidah di setiap orang. Hubungan kami seolah membaik, padahal aku kacau di dalam dadaku.

Aku tidak bisa menemukan Natta, karena tak pernah bertanya dimana alamatnya. Siapa nama lengkap Natta saja aku tidak tahu. Natta tidak mengemperi di Skyline seperti dulu, padahal Oliver masih sering mondar-mandir seperti hantu Poltergeist. Pernah ingin kutanya Niel, namun yang bersangkutan tak pernah muncul. Circle Natta selain dia, aku tidak hapal seorang pun. Kini kusadari, Natta hanyalah tinggal kenangan. Aku disadarkan dunia, betapa abai perhatianku dulu padanya.

Apakah Natta sudah kabur? Ini hampir setahun, sejak dia mengejarku dengan seluruh kegigihannya. Jika sebelumnya aku tak pernah menyesali sesuatu, maka Natta adalah satu keping yang tidak bisa kuhapus. Lelaki itu kadang muncul dalam mimpiku. Aku dan komunitas mulai terpengaruh oleh budaya barat seiring waktu. Selain cara berpakaian, gaya rambut, dan selera makanan. Beberapa dari kami one night stand dengan partner yang dianggap menarik kala bertemu. Kami setuju menetap dulu setelah mampu sewa villa Ayah sendiri. Para penariku ada yang berpacaran dengan bule sini, bahkan ada yang mau ingin menikah. Mereka sudah seperti keluarga, karena ikut mempromosikan Reog Ponorogo.

Aneh tapi nyata, selama 6 bulan itu kami lewati bersama. Bono yang dulu jijik dan menolak tangan Natta, suatu hati malah mengaku diajak tunangan seorang gay kaya. Efek kabarnya cukup mengejutkan hingga satu komunitas sempat pecah karena kontroversi. Aku sendiri menghindarinya karena ingat masa lalu. Kehambaran luka Natta mengingatkan aku bahwa ini agak tidak adil.

Apa ini disebut merindukannya? Kurasa tidak.

Dimana pun Natta berada, aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja.

"Mile," panggil Kak Agus suatu hari.

"Ya, Kak?"

"Senang, ya ... kita sekarang punya hape bagus-bagus. Tak seperti dulu, cuma aku yang memegang Motorola."

"Ha ha, iya."

"Adek-adek juga tidak rebutan sepeda lagi. Mereka rukun," kata Kak Agus sambil memperlihatkan PAP Nakula. "Wkwkwk, kemarin mereka jalan-jalan di Senggudini, sekalian merayakan kondisi Bapak yang membaik. Katanya senang, bisa makan mekdi pertama kali."

"Hmm." Aku tersenyum menatap foto tersebut. "Baguslah kalau begitu. Kebun Ibuk juga semakin rimbun."

"Iyo."

"Dibelikan lahan segitu doang loh, bisa ditanami sayur jenis apa saja."

Kami mengenang kerasnya perjuangan komunitas cukup lama. Waktu mengobrol antar saudara memang sudah jarang, tapi jika bertemu selalu disempatkan. Anggota Reog seringkali sibuk sendiri. Pertama, kami sudah tinggal terpisah di rumah susun, tak satu tempat seperti dulu, kala masih kekurangan uang. Kedua, kami sepakat memastikan "orang rumah" ikut makmur dulu, tak hanya sanggar di Ponorogo. Tujuan pulang ke Indonesia pun tertunda, tidak seperti rencana awal.

"Tapi diantara semuanya, Kakak rasa komunitas ini takkan sama kalau nanti sudah buyar."

"Aku pernah berpikir begitu."

"Nah, kan." Kak Agus geleng-geleng memikirkan plot-twist kami justru berada di sini. "Sebagian mau menetap, sebagian pulang ke Indonesia, sebagian lagi bilang ingin kuliah atau kerja di negara lain."

"...."

"Kalau pun sudah di Ponorogo, anggota komunitas tinggal beberapa orang. Nanti harus merekrut anak baru, walau aku yakin itu mudah. Maksudku, siapa yang tidak mau gabung ke sanggar versi lebih megah? Ponorogo bisa dibuat gempar kalau desain sanggar sudah jadi."

"Kakak dapatkan arsitekturnya?"

"Beberapa. Sekarang baru mikir-mikir nanti memakai siapa."

"Oke."

Intinya rencana kami sudah berjalan 70%, walau ada yang tidak sesuai. Kak Agus bilang tengah delima karena ditembak wanita Berlin. Dia belum menerima karena memikirkan "orang rumah", aku pun menyemangatinya seperti yang dia lakukan padaku dulu.

Kenapa tidak diterima saja? Toh aku sudah positif balik ke tanah air.

Orang cendekia macam Kak Agus, pantas dapat kehidupan bagus. Wanita Berlin itu baik kok kulihat-lihat. Dia cantik, luwes, dan punya tutur kata yang sopan. Pendidikan terakhirnya adalah S1, sehingga sepadan dengan Kak Agus. Aku sudah membayangkan mereka menikah di penghujung tahun. Anak-anak blasteran lucu mungkin akan muncul tidak lama lagi.

Aku tidak sabar akan jadi "Pakde Miliendra", sayang Oktober ini wanita itu kecelakaan hingga meninggal dunia.

Komunitas pun syok tahu tabrakan bus dan truck itu memakan banyak korban jiwa. Mau prihatin kepada Kak Agus, nyatanya Berlin berbelasungkawa untuk setiap orang yang tidak selamat. Diantara semua kabar adalah peristiwa ini yang paling merogoh batin. Kak Agus patah hati, dan ingin segera pulang ke Ponorogo. Dia pun melakukannya seminggu kemudian. Itulah awal perpecahan komunitas kami.

Beberapa rekan ikut berani speak-up padaku. Mereka ingin segera buyar agar menemukan jalan masing-masing. Aku sebagai ketua pun membuat agenda rapat.

Kami sepakat menuntaskan 30% alur rencana yang harus diperjuangkan. Beberapa show terjadwal segera dibentuk untuk meraup banyak keuntungan. Ada tiga orang yang menangis, ingin aku melanjutkan ini karena tinggal rampungnya. Kak Agus bilang lewat telepon, "Turuti mereka Mile. Karek sedelok wae kok. Komunitas tanpa Pembarong-nya bukan apa-apa. Kalau aku kan ... hanya ingin waktu sendiri."

"Kak Agus ngomongnya jangan begitu."

"Aku ra popo, serius. Malah seneng neng Ponorogo kepetuk maneh karo keluarga. Mung koe seng ati-ati neng kono. Aku ra iso ngancani."

"Hm." Aku pun mengangguk pelan. "Tapi kalau jatah uang keluarga kurang bilang saja, ya? Pasti nanti aku transferi."

Perkataan Kak Agus malah membuatku bingung. "Tidak perlu buru-buru kalau soal itu. Soalnya aku pulang bertepatan dengan ujian sekretaris desa, Mile--ha ha ha. Aneh juga kenapa kali ini daftar langsung masuk naik jabatan. Aku akan dapat seragamku besok."

Mendengarnya, aku pun terhenyak sesaat. Tak kusangka Kak Agus mendapat happy ending-nya sendiri. Aku yakin setelah ini para perawan di Ponorogo mau menikah dengan Kakakku. Pamornya sebagai SekDes benar-benar membuat nama-nya naik.

Benar saja, empat bulan berkabung cukup membuat Kak Agus sembuh. Tiba-tiba dia memberikan kabar lagi akan menyiapkan hantaran emblog kepada calon pengantin. Rupanya bungsu kepala desa lah yang dia pinang. Aku turut senang karena gadis itu

cantik sekali.

Persis seperti kemauan Kak Agus.

Sempit, legit.

Sayang itu membuatku tertawa akan nasib sendiri.

Ah, kenapa rasanya hanya hidupku yang tidak melaju ke depan?

Kupandangi foto pernikahan mereka begitu kembali ke Berlin. Selama 4 hari aku pulang ke Indonesia demi menghadiri resepsi dan walik ajang Kakak sekaligus. Namun, show-ku harus tetap dituntaskan sebagaimana janji. Komunitas makin semangat karena target kami hampir tercapai semua.

Sanggar versi geden sudah jadi, Kak Agus dan istrinya, Vera menangani pendaftaran member baru Reog sekaligus. Mereka bakan membuka lapangan bela diri silat karena Andrik, kakaknya Kak Vera merupakan warga sepertiku. Aku menyetujui usulan Kakak agar Andrik dijadikan guru juga untuk untuk murid-murid baru itu, setidaknya ada yang memegang materi dasar selagi aku masih di Berlin. Kakak bilang, mereka sudah menyiapkan ruang khusus untukku sebagai pendiri sanggar, lengkap dengan meja ukir dan namaku di pintu masuknya.

[ꦩꦶꦭꦶꦪꦺꦤ꧀ꦢꦿꦭꦶꦁꦒꦂꦱꦤ]

MILIENDRA LINGGARSANA

Tanjungrejo, Ponorogo, Jawa Timur

Impianku terasa dekat sekali. Mungkin karena kuhabiskan seluruh waktu dan perhatianku ke arah sini, maka itulah yang aku dapat.

Aku memprediksi, istriku nanti juga gadis secantik Kak Vera. Karena jika aku sudah diumumkan sebagai pendiri 2 sanggar sekaligus, pamor namaku pun akan naik di Tanjungrejo sana.

"Hmm ... mungkin nanti aku akan memilih yang rambut panjang," gumamku sambil ngopi sendirian di balkon kamar. "Tapi anak siapa lagi yang secantik Kak Vera? Cih ... membayangkan baru pulang langsung berburu gadis, rasanya aku bejat sekali."

Padahal dari usia aku sudah cukup untuk berumah tangga. Toh tahun baru kemarin aku genap 29 tahun. Namun hari itu tetap kupakai bekerja. Momen-momen ramai tersebut tidak bagus kalau dipakai terlalu sentimental. Lagipula lelaki dewasa sepertiku tidak cocok mengadakan perayaan ulang tahun. Diingat orang saja tidak, maka lebih baik aku tetap fokus ke tujuan--

"Bisa tolong bungkuskan satu untukku?"

Bohong.

Maaf, dunia.

Mataku mendadak tak bisa berpaling.

"Dek Natta?"

Sosok itu membeku sejenak, barulah berbalik padaku.

"...."

"Itu benar-benar kau kan ... Dek?"

Natta menggunakan kacamata hitam yang begitu tebal. Dia boleh membohongi orang lain dengan style wanita rebel berdada, namun suaranya tak bisa menipu gendang telingaku. Lelaki ini memakai wig lurus sepanjang paha yang berbentuk potongan wolfcut. Poni tipis-tipis di keningnya jatuh ke dagu dengan bibir berpoleskan lipstick merah. Alisnya dicoret indah, kelopaknya dibubuhi eye-liner, belum lagi bulu matanya dijepit memakai maskara.

Sumpah Natta cantik sekali. Aku terpana beberapa detik sebelum dia membuang mukanya.

"Maaf, aku buru-buru. Rotinya simpan untuk pelanggan yang lain. Kembaliannya buatmu saja."

"Apa? Hei!"

Baik petugas pastry dan aku meneriakkan hal yang sama. Aku segera menyusul Natta keluar toko demi mengejarnya.

Kulihat cara jalan Natta bak model, meskipun begitu cepat. Perut rata lelaki itu kelihatan jelas karena bajunya sebatas dada. Jeans sepahanya memamerkan bokong sintal yang naik nan kencang. Ingin sekali kuremas itu karena kepadatan yang bergoyang kanan-kiri. Sepatu Natta berhak tinggi dengan bahan kulit yang didesain menutupi lutut. Wig rambutnya berkibar pelan diterpa angin saat membuka pintu mobil.

"DEK NATTA! TUNGGU!"

Pintu kendaraan itu dibanting tak manusiawi.

"ADEK! KUBILANG TUNGGU! NATTA! KITA HARUS BICARA!"

Mesin mobil Natta dinyalakan gugup dan gasnya diinjak kasar.

Saat itulah Natta ingin meninggalkanku untuk kedua kali, tapi maaf tidak akan kuizinkan. Darahku bergejolak memikirkan Natta takkan muncul di depanku lagi. Kubuat lelaki itu bingung karena mobilnya tak mampu bergerak. Sekuat apapun dia mencoba lari, ban kendaraan itu justru menimbulkan asap. Kubiarkan Natta kebingungan dengan ilmu bela diri yang tak pernah kupakai selama ini.

Setidaknya kecuali saat pertunjukkan atau melindungi diri.

"Dek, bisa keluar sekarang?" pintaku di sebelah jendelanya. "Natta ...." Kuketuk kacanya berkali-kali.

"BUAT APA?!" teriak Natta kesetanan. Dia memukul setir setelah menyerah. Mesin mobil dia matikan, tapi dipeluknya benda itu. "Hiks, hiks, hiks, hiks ... kenapa sih kau muncul segala? Padahal aku hanya mampir mengambil barangku. Hiks, hiks, hiks, hiks ...." isaknya langsung menangis.

Aku tertegun sesaat. Kumasukkan tanganku ke celah jendela untuk membuka tuas pintu mobilnya. Kursi sebelahnya kududuki tanpa permisi. "Jadi, kau pindah atau bagaimana? Natta, berarti kaburnya berhasil?"

"Buat apa kau bertanya semua itu? Hiks, hiks ... kalau cuma untuk kasihan, bisa tidak pulang saja?" kata Natta, dengan air mata yang mengalir. "Dengar, Miliendra Linggarsana ... silahkan pulang ke Indonesia. Mau menikah, beranak 15, atau mati sekalian. Aku tak peduli lagi! Cukup tinggalkan aku di sini, hiks ... hiks ... hiks, hiks ...."

Kulepas kaca mata hitamnya.

Coba katakan sekali lagi? Kali ini sambil menatapku.

Kata-kata ala FTV itu tertelan lagi. Sebab sebelah mata Natta buram abu-abu, satunya lagi kecoklatan bening. Di sisi pelipis ada bekas jahitan tipis pertanda Natta pernah dipukuli seseorang. Lukanya pasti parah hingga mengakibatkan kebutaan di bagian kiri. Tato phoenix di lehernya juga bekas entah apa. Aku yakin Natta ingin menutupi memori tergelap.

"Dek Natta, mata kamu ...."

"BRENGSEK YA! BAJINGAN KAU!"

Natta merebut kacamatanya hingga patah menjadi dua. Dia marah-marah dan berteriak sepuas hati. Segala kesakitan dalam dada dia ungkapkan begitu jelas. Rahasia apapun terungkap karena emosi tidak terkontrol. Selama itu, aku hanya mendengarkan meski dipukuli. Sesekali kutahan tangannya, walau berakhir makin mengamuk.

"ARRRGGHHHHHHHHH!"

Natta menggila di pelukanku. Kudekap dia sekuat tenaga agar tak lepas lagi. Kuelus punggungnya hingga tenang dan nyaman. Kulingkari pinggangnya yang kecil sampai tangisnya berhenti. Entah kenapa, kali ini aku tidak "geli" lagi. Niat hatiku adalah di sisinya mulai sekarang.

"Mas minta maaf ya. Cup, cup. Maaf, Natta ...." kataku tepat di telinganya. Natta masih sesenggukan dengan suara yang parau. Dia berteriak "benci, benci, benci" terus padaku, tapi dengan tubuh gemetar hebat. "Kali ini Mas kan ada di sini. Kau aman. Tidak perlu takut seperti dulu ...."

Kucium pipinya yang hangat, walaupun begitu basah.

Hari itu aku pun mengetahui segala fakta, bahwa malam setelah kutolak Natta, lelaki ini langsung melarikan diri. Dengan dada sakit hati Natta pun bertekad pergi, meski nekad harus memasuki kamar Oliver untuk kedua kali. Diobrak-abriknya laci ranjang sang kakak, lemarinya, bahkan brankas rahasia yang ada di balik dinding. Sayang ketahuan karena Oliver pulang lebih awal. Natta pun dipukul seperti binatang. Dia dan Oliver berkelahi di tempat dan mendapat luka yang amat serius. Natta diperkosa di lantai dengan gamparan berulang. Mata Natta buta sebelah karena kejadian itu.

Tentu saja ada pengobatan karena status Natta anak biologis. Keluarga besarnya pecah lagi karena ada kekerasan part. 3, padahal saat Natta kabur pertama sudah ada larangan, Oliver pun kena semprot ayahnya karena tindakan itu berpotensi diketahui media. Dalam kondisi baru operasi, Natta malah mendapat ancaman pembunuhan dari ibu Oliver.

Natta dengar desas-desus perdebatan Oliver dengan wanita itu. "Mending disingkirkan sekalian saja, buat apa masih hidup tapi menyusahkan? Buta juga tidak menarik lagi bagi "mereka". Dia sudah jadi sampah kotor!" Natta dalam posisi terbaring di kamar rawat inapnya.

Meski tertatih-tatih, Natta pun nekad keluar dari jendela lantai 5 yang padat. Dia memanjat turun, padahal kondisi masih diperban di sana-sini. Percobaan cekik mati pun seketika gagal. Natta menghilang dalam mobil ambulans yang akan menjemput mayat. Tidak ada yang mengetahui keberadaannya saat itu. Natta turun lagi dengan tubuh yang dibalut luka. Dia bersembunyi di sebuah toko es krim hingga ambulans pergi, saat itulah bantuan datang begitu saja.

Natta bertabrakan dengan seorang gadun yang pernah dia puaskan. Pria umur 53 itu terkaget-kaget melihat kondisinya seperti itu. Memerkosa boleh suka, tapi gadun tersebut tak tega kematiannya. Natta pun disembunyikan sementara waktu di Kota Berlin, tepatnya dalam apartemen kosong miliknya. Natta dirawat hingga sembuh, walau kebutaannya tidak tertolong. Sebagai tanda terima kasih, Natta pun melayani gadun tua-nya terakhir kali.

Satu minggu setelahnya. Lewat jalur "orang dalam" si gadun mengirim utusan berupa wanita seksi untuk menjadi rekan kerja Oliver. Wanita itu melakukan one night stand dengan si sulung, dengan bertujuan mencuri VISA, Paspor, ID card, dan ijazah Natta yang disembunyikan.

Natta pun bertolak ke Australia setelah mendapat yang diperlukan. Gadun-nya melepas pergi, dan berjanji akan menikahi jika situasi aman. Sayang, baru 5 bulan pria tua itu terkena serangan jantung. Dia meninggal dunia, dan harapan Natta pun kembali hancur. Walau tanpa cinta, Natta kehilangan karena hidupnya pernah digenggam kencang. Gadun itu bukan aku, tapi caranya memperlakukan Natta benar-benar tepat.

Sejak saat itu, Natta pun fokus pendidikan dan wisuda dengan kekuatannya sendiri. Sempat Natta menjadi dosen dan aktivis lapangan, tapi begitu lulus dia banting setir menjadi desainer saja. Natta lebih suka praktek daripada mengajar materi. Kini di Brisbane, Australia Natta menjadi salah satu perancang busana gaya rebel yang bisa mengadakan pagelarannya, meski baru 2 musim.

Kuakui Natta hebat. Namun karena apartemen yang diberikan si gadun di Berlin mendapat penawar tinggi. Dia pun kembali ke sini untuk mengambil sisa barang yang masih tersisa. Natta perlu mengambil setumpuk desain yang masih mentah di kamar. Siang ini dia membeli roti karena tiba-tiba lapar.

Siapa sangka kami akan bertemu di sini? Tidak ada. Natta bilang dia mengira aku masih di Frankfurt. Dandanan lelaki ini akan berubah-ubah sesuai dengan kata hatinya. Kadang ala perempuan, kadang laki-laki, kadang juga androgini. Intinya Natta menawan menjadi bagaimana saja.

Natta mengaku tadi dia refleks menangis karena aku adalah luka yang paling dirinya benci. Rupa-rupanya dulu dia sungguhan jatuh hati padaku. Tapi kenapa malah kuabaikan? Aku benar-benar marah kepada diri sendiri.

"Sebenarnya tidak masalah sih," kata Natta, setelah membawaku pulang ke apartemen. "Dipikir ulang aku senang karena kau jujur padaku. Setidaknya hubungan kita waktu itu tidak diawali dengan kebohongan."

"Aku tetap minta maaf."

"Aku sudah memaafkanmu sedari lama."

"...."

"Aku tahu kau straight, tapi pura-pura buta, Miliendra. Aku juga paham impianmu tentang Ponorogo, dan tak seharusnya merebut semena-mena," kata Natta. "Itu seperti aku memimpikan kebebasan di Aussie, hanya saja "orang rumah" menguncinya selama berbelas tahun--ha ha ha, aku yang harus meminta maaf di sini."

Aku memandang ekspresinya yang sedalam laut. "Daripada itu, Dek ... boleh aku bertanya suatu hal?"

"Soal apa?" tanya Natta.

"Matamu--I mean, jika tidak nyaman kau tak perlu menjawab," kataku. "Karena kulihat kau lebih dari mampu operasi, lantas kenapa tidak kau lakukan?"

Lelaki itu langsung tampak risih. "Bagaimana kalau kita kita ke dalam?" katanya. "Umn, mungkin bisa kubuatkan kau teh atau kopi agar santai."

"Ya."

"Bagus."

Menurut penilaianku, semakin ke sini Natta menampakkan perubahan yang di luar nalar, padahal harusnya orang seperti Natta merefleksikan luka yang telah didapat. Aku tidak paham itu karena dasar sifatnya baik, pembenahan mindset, atau hasil terapi psikologi--yang pasti Natta tak sama seperti dulu. Dia menjadi sosok yang lebih ber-value, bahkan aku sendiri tidak bisa menggambarkan seberapa tinggi dia di hadapan orang lain.

Natta berjalan lenggak-lenggok di depanku. Dengan high-heels dan parfum manis, aku sampai kepikiran apakah dia sudah transgender.

"Jadi, bisa kau katakan aku tak punya nyali yang sebesar itu," kata Natta setelah menuntunku ke meja dapur. Aku duduk menunggu, selagi dia menuangkan kopi dari mesin otomatis. Lelaki ini benar-benar mencuri perhatianku mau apapun yang dia lakukan. "Karena aku sudah sendirian, hal yang kubenci adalah ketika sakit dan tidak tahu harus cerita kepada siapa."

"Kau tidak punya pacar semenjak ke Brisbane?"

"Tidak, sudah cukup. Aku lelah dengan kehidupan seksual," kata Natta tegas. "Padahal yang kuinginkan adalah Ayah versi standar. Tidak harus idaman, tapi setidaknya bukan cuma marah kalau aku disakiti." Dia menyuguhkan kopi itu untukku. "Dan Ibu ... ha ha ha, mungkin keren kalau Ibuku tipe yang tidak cuma menangis." Dia menyesap kopinya sendiri. "Jeleknya wanita ini bukan cuma mati saja, tapi mewariskan kelakuan cengengnya padaku--ha ha ha ... cih ... aku pun kadang bingung kenapa mudah sensitif."

Lirikan Natta membius diriku. Caranya menyelipkan rambut ke belakang telinga begitu mencuri hati.

"Hmm ... intinya kau tidak berani masuk sendirian ke ruang operasi?"

"Kurang lebih?"

Oh, shit. Baru kusadari pusar perutnya pun cantik karena dihiasi pierching untaian bunga sakura.

"Keberatan kalau aku yang menemanimu?"

"Uhuk--ehem ... bagaimana?"

Dari enggan padaku, Natta pun fokus meletakkan cangkir perlahan. Dia menutup bibir dengan suara batuk kecil seolah-olah wanita betulan. Oh, sumpah Demi Tuhan ingin kumiliki lelaki ini sekarang juga. Jantungku berdesir kencang menanti jawaban Natta, seolah belum pernah meng-handle pasangan. Kuakui, seluruh egoku hilang di titik ini.

"Miliendra, sorry ... I can't ...."

Aku pun menggenggam tangannya karena tak tahan. "Mas bisa jadi Ayah dan Ibu sekaligus untukmu, oke? Mas minta satu kesempatan darimu lagi," kataku panik hingga terbata-bata. "Kau kan, dulu ... ingin aku mencoba untuk suka juga, tapi--sekarang, aku butuh izinmu--Dek, aku benar-benar, ingin diberikan waktu untuk perbaiki, segalanya, kau--"

"Please, I can't .... ich rede so mit dir, nicht um eine beziehung aufzubauen," bantahnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak mau menangis karena orang yang sama, capek sekali, Miliendra. Kau tidak tahu betapa pusingnya aku memikirkanmu selama di Aussie. Maksudku, kenapa waktu itu aku jatuh cinta kepada pengamen jalanan? Yang kampungan, miskin, beda negara, kolot, ber-circle julid, tidak kuliah, senang menghinaku "jijik-jijik" dan tidak bisa aku dekati--I beg you--hmmh ... this is too much. Miliendra, aku benar-benar mengatakan semua ini tanpa niat memulai hubungan lagi."

"Aku tahu, Dek. Please, anggaplah waktu itu aku tolol dan tidak menyadarinya," desakku agak memaksa. "Ya? Kumohon, Mas susah sekali melupakanmu, walau sudah mengalihkannya berkali-kali ...."

"Miliendra ...."

"Aku benar-benar kangen dipanggil "Mas" olehmu lagi, Natta. Cuma kamu," tegasku ikut berkaca-kaca. "Mas akan meninggalkan Ponorogo kalau itu maumu. Mas akan sama Adek terus. Mau ke Aussie, Amerika, Perancis, Belanda--kemana pun, just tell me ...." Kuletakkan telapak tangannya pada dadaku yang berdebar hebat. "Mas terima apapun hinaanmu barusan, atau yang nanti-nanti, terserah. Aku bingung harus apa jika memikirkanmu setiap saat setelah pulang ke rumah ...."

Giliranku menceritakan semuanya kepada Natta, tentang hal-hal yang terjadi di komunitas. Rekan-rekanku yang tak sabar pecah, pernikahan Kak Agus dengan Kak Vera yang sama hebatnya, berdirinya sanggar dengan guru Kak Andrik, padahal aku yang mencurahkan segala sesuatunya. Aku bilang, kalau pun aku duduk di kursinya sebagai "Pendiri Sanggar", hatiku tetap tak bahagia tanpanya.

Aku pun benar-benar takut dengan kesendirian, seperti Natta.

Aku takut tidak bisa jatuh cinta lagi dengan cara yang sama.

"I don't know--Miliendra. I just ...."

"Dek, bisa kita mulainya dari awal? Kau tak perlu memanggulku, sampai menyusul S3. Aku akan berusaha sebaik mungkin," kataku. "Bukan begini caranya mengakhiri kita berdua. Percaya kan? Ini buruk kalau kita berpisah seperti dulu."

"Tapi, apa kau tak lihat penampilanku? Aku tidak mau merubah apapun jika ada yang tidak kau suka, Miliendra. Aku adalah aku. Kau adalah kau. Aku suka menjadi diriku sekarang. Please, aku benci kalau kau bereaksi aneh waktu melihat perubahanku ...."

"Dek Natta, mana "Mas"-nya," kataku mulai mendominasi, tak peduli apakah Natta akan terganggu.

"Mas ...."

Kau tak tahu betapa bahagianya aku mendengarnya patuh, meskipun masih terpaksa.

"Bagus, lagi. Panggil aku begitu sebanyak mungkin."

"Mas Mile--mmhh ... Mas ...."

Aku bangkit dan memutari konter dapur demi memeluknya.

"Lagi, Dek. Ulangi. Tolong. Aku bisa menangis kalau kau seperti ini."

"Mas Mile, hiks ... Mas-nya Natta ...."

"Iya, Mas-nya Natta ...." Tertular tangis lelaki ini, aku pun membelai wig-nya selembut mungkin. Persetan Natta lelaki, perempuan, ganti kelamin, atau separuh-separuh sekali pun. Aku akan tetap mencintai sosok ini dengan segenap hatiku. "Miliendra memang Mas-nya Natta. It's true. Aku sekarang adalah Mas Natta seorang."