Mile memang tidak salah. Malam itu bukan pertama kali mereka bercinta. Sebab--psst ... ini sebenarnya rahasia (kekasihnya itu sudah memperjakai Apo pada umur 15). Tapi, pernah bukan berarti terbiasa. Mile jarang menyentuhnya secara intim selama ini. Mungkin hanya lima kali dalam dua tahun terakhir? Toh mereka sekarang jarang bertemu.
Pemandangan Mile lepas-lepas di depan matanya tentu jadi hal yang begitu panas. Pipi Apo sudah terbakar sejak kancing teratas Mile dibuka. Dia mundur-mundur di atas ranjang pria itu, nyaris mirip calon korban perkosaan.
"Hia, aku ini belum mandi."
"Oh, ya? Dan kau pikir aku peduli?"
Apo bahkan masih mengenakan seragam saat itu. Oh, astaga. Pacaran dengan lelaki yang lebih dewasa memang kadang mengerikkan.
"Tapi-"
"Kau sudah masuk apartemenku," kata Mile. Dia naik ke ranjang setelah telanjang bulat dan mendesak Apo ke ujung. "Jadi, mana bisa mundur sekarang."
Apo sadar dia tak punya alasan untuk menolak. Apalagi ini malam istimewa, dan mereka baru saja bertengkar. Akan buruk, jika hanya karena seks ... mereka jadi renggang lagi. Dia pun menyambut ciuman Mile dengan membuka bibirnya.
Kulit kenyal kemerahan itu diraup dalam satu kali lumatan. Mile tidak lupa melepasi tiap lapis baju Apo hingga sang kekasih sama-sama telanjang. Setelah bibir, telinga dan leher dia sasar bergantian. Apo dulu gemetar, tapi dia bangga sekarang lelaki itu hanya meremas seprainya yang berwarna hitam.
"Sebentar, sebentar ...." kata Apo. Dia balas mendorong, saat akan didorong rebah. "Aku mau yang di atas malam ini. Hia bawah. Pokoknya ini keputusanku."
"Hei, kenapa?"
Apo memijit hidungnya yang perlahan ikut memerah. "Ganti suasana saja? Aku ingin melihat wajah Hia dengan jelas saat mencapainya. Di dalamku."
Mile tertawa gemas. "Ha ha. Serius?" Sejak kapan Apo jadi berani? Biasanya dia hanya mau ditusuk di bawah. Membiarkan Mile memimpin, dan menikmati menit-menitnya dimanjakan.
Apo tak mau berdebat lagi. Dengan kekuatan lebih, dia benar-benar menunggangi sang kekasih. Kepala terbalik, dan kaki menopang bantal di ujung sana. Biarkan. Apo juga mendorong jauh tangan Mile sebelum menelusup ke lubangnya. "Aku mau longgarkan sendiri."
"Ho ...." Mile menyeringai tipis. "Tidak buruk. Tapi aku ingin melihat lubang imutmu, Cattawin."
DEG!
"Dasar tidak tahu malu! J-Jangan mengatakannya secara vulgar begitu!"
Mile tertawa keras. Sebab berkebalikan dengan ucapannya, penis Apo kini tegak berdiri di hadapannya. Remaja 17 tahun itu meremas dua paha Mile di belakangnya saat kakinya dilebarkan. Dia mendongak ke langit-langit kamar karena Mile benar-benar menjalankan misinya.
Pria itu tidak memedulikan keinginan Apo untuk menyentuh lubangnya sendiri. Bagian itu terlalu menarik untuknya, jadi mereka berebut untuk menyentuh. Warna kemerahan yang membulat, jari-jemari mereka memijat sisi sensitifnya hingga berkedut ingin dimasuki.
"Ugh ... nnh."
Jari-jari kaki Apo ikut meremas seprai. Dia memberikan pemandangan terbaik untuk sang kekasih karena putingnya mulai mengerikil. Bagian itu keras hingga Mile tidak tahan duduk untuk menyesapnya rakus. Jilatan demi jilatan ikut turun ke sana. Dia memutari bulatan itu dan menjepitnya dengan gigi-gigi.
Cepat sekali memerah.
Apo merintih karena gigitan di puting kiri agak lebih menyakitkan, tetapi dia tersenyum. Oh, sial. Rupa-rupanya dia juga rindu momen langka seperti ini.
"Ahhh ...."
"Ini sangat seksi, Apo," puji Mile. Lidahnya tidak berhenti memutari dua tonjolan kecil di dada Apo, dan membuatnya memekik sesekali. Pria itu membiarkan Apo memimpin proses pelonggaran. Toh, dia mahir.
"Hei, apa dia sering melakukannya sendiri saat aku tidak ada?" pikir Mile.
Pemikiran kotor itu semakin membuat Mile berhasrat. Apalagi saat Apo mulai menyebut namanya dengan nada yang sangat jernih.
"Hia Mai ... Mile-ah ... Hia ....." desahnya dengan penis semakin membengkak. Mile yang memijat milik mereka berdua bersamaan pun tak habis pikir karena tangannya sempat ditampik lagi.
Kenapa?
Ternyata pijatan itu kurang cepat.
Apo getol mengocok penisnya sendiri makin cepat hingga ujungnya berpendar-pendar karena cahaya lampu kamar.
"Dasar anak nakal. Dia benar-benar ingin kuhukum."
BRAKHHHH!
Tanpa permisi, Mile pun mendesak tubuh itu secara paksa ke dinding. Apo tampak kewalahan karena masih menikmati posisi itu, tetapi dia bahkan tidak sadar saat punggungnya didesak setara tumpukan bantal.
"Jangan terlalu nakal di depanku, Hia bisa kehilangan kontrol."
Mile pun menaikkan satu kaki Apo yang tidak terbelit tangannya. Dia angkat bagian itu di bahu kiri, lantas membentangkan lubang Apo yang mulai dialiri lelehan buih cairan kental dari penisnya sendiri.
"Mhh ... Mmhh ...."
Apo membuang wajahnya ke samping. Bukan karena malu tak kepalang, tetapi karena tak tahan dengan sensasi dinafsui sebentar lagi. "Hia, apa masih punya stok kondom?" tanyanya dengan kelopak mata yang turun.
Mata Mile berkilat. "Masih, tapi aku takkan menggunakannya malam ini." Mereka saling lirik dan bertatapan. "Kau tahu kenapa?"
Apo tidak terlihat marah sama sekali. Padahal dia pernah cerewet seharian karena dulu kesusahan membersihkan bagian itu hingga tuntas. "Masuki saja. Aku menunggu Hia di dalam."
"Pfff-dasar ...."
Apo menggigit bibir karena lubangnya mulai diisi dengan ibu jari. Bagian itu membuka dan menutup seperti anemo laut yang terkena ombak air, lalu menangkap ibu jari Mile seolah melarangnya jauh. Dia laksana mulut yang lapar ingin memakan. Bentuknya memang mungil dan nyaris tersembunyi karena pantat kecilnya kenyal dan telalu berdaging. Namun, Mile selalu tahu titik lemahnya yang ada di dalam.
"Kau sudah tidak sabar rupanya."
Ibu jari keluar, Mile pun merangsek dekat agar penis gembungnya menuju jalan masuk merekah itu. Mungkin karena balas dendam disalah pahami, dia jadi ingin usil dan tidak langsung memasukkan bendanya ke dalam sana.
Apo pun hanya menahan diri untuk tetap berusaha menikmati. Setiap ujung kepala penis Mile nyaris tergelincir masuk, dia tidak mendapatkan tumbukan yang pantas.
Mile justru menariknya lagi dari lubang hangat itu dan terkekeh-kekeh. Padahal, mendorong ke dalam saja sebenarnya susah.
Lubang itu memang berupa otot yang bisa melonggar, tetapi karena lama tak berhubungan ... Apo sepertinya menyempit kembali.
Mile jadi urung memasukkannya saat itu. Dia mundur. Membuat wajah Apo penuh tanda tanya, lalu terbelalak karena lidah lembut nan basah memutar di sana.
"Hia!"
"Hmmm ...."
Mile sudah memeluk pinggul sang kekasih dengan dua lengannya hingga Apo tak mampu duduk. Terlalu erat dan dua pipi bawahnya sudah merangsek ke bibir lembab Mile. Urat-urat lehernya kini mencuat.
Hasrat yang tertahan ikut membuat kepala penisnya panas hingga geli nikmatnya merambat ke ubun-ubun.
"Ah!"
"Nikmati hadiah anniversarry-mu, Nong ," kata Mile senang. Dia tak melepaskan bagian itu hingga nyaris lima menit, hingga napas Apo tercuri oleh geletar tak berhenti di setiap aliran darahnya.
Remaja itu tergeletak pasrah ketika sudah dilepaskan. Dia hanya berseru "Ugff!" saat dihentak penis gemuk Mile hingga ujung, lalu meremas bantal guling yang ditimpa kepalanya.
"Ahhh! Ahhh!"
Dia benar-benar lupa ingin bercinta dengan posisi atas, malam ini.
Ranjang agak berderit karena gerakan mereka yang terlalu riuh. Bulu kuduk mereka berdua sempat berdiri karena tirai jendela tak menutup sempurna. Ada angin yang menyerbu dari luar hingga memenuhi kamar. Mereka pun ditampar hawa menusuk udara malam, tetapi cepat menghangat karena efek persetubuhan.
Dua kelamin yang beradu. Menimbulkan suara erotisme dan kecipak air mani yang tumpah-tumpah dari dalam sana beberapa kali.
Mile menyeringai lebar karena melirik kalender dindingnya menunjukkan hari Sabtu. Itu berarti, besok Apo libur dan dia bisa menyetubuhi sang kekasih tanpa khawatir akan membuatnya lumpuh di atas ranjang ini. (*)
(*) Setahuku, ya. Sekolah di Thailand ada yang libur 2 hari. Sabtu + Minggu.
"Suka dengan yang barusan, hm?"
Apo tersentak "Tunggu!" waktu baru akan bernapas lega, tetapi tubuhnya sudah dibalik dan dimasuki lagi dalam posisi telungkup. Dia menggaruk seprai di bawah dengan keringat yang terserap ke bantal, lalu melepaskan remasannya dari penis karena takut tangannya tergilas.
Oh, Nodt.
Sang tetangga yang baik hati.
Mile harap besok lelaki itu tak mengejeknya saat menagih traktiran makan siang bersama.
Semalam, setelah bercinta Mile dan Apo bercanda. Semua beban hilang karena beban hati dimuntahkan dari dalam dada.
Apo membuka mata dan menatap langit-langit kamar. Ada lampu gantung. Cat warna seawind dan coretan ala kotak aklirik. Lalu ranjang berantakan yang ditimpa tubuh polos mereka berdua.
Hmm ... Apartemen Mile. Selimut Mile. Aroma Mile. Dan ketika menoleh, di samping Mile juga ada. Seperti yang diharapkan.
Yah walaupun sang kekasih curang. Dia sudah mandi, harum, rapi, dan memakai kaus gambar keroppi warna hitam, sementara dirinya dibiarkan nyenyak sampai pukul 9 pagi baru bangun.
"Pagi, Nong ," sapa Mile. Dia memberikan senyum tipis sebelum kembali mengetik sesuatu di laptopnya.
"Hmm ...." gumam Apo. Lalu kembali memejamkan mata.
Mendadak ada rasa tepukan di pucuk kepalanya. "Mau bangun sampai kapan, hm?" tanya Mile.
"Nanti saja, Hia. Aku ini masih malas," sahut Apo tanpa membuka mata.
"Tidak mau sarapan?"
"Hm?"
"Aku sudah pesankan delivery food tadi. Mau kusuapi tidak?"
"Ck. Tidak perlu. Nanti aku bisa sendiri."
Mile pun batal mencubit pipi berminyak Apo karena terburu ditampik tanpa sadar. Sang kekasih lalu membalik posisi. Tidur memunggungi.
"Oke, oke. Kalau tidak mau sarapan, Hia punya penawaran baru."
"Hmm."
"Mau jalan-jalan nanti siang?" tawar Mile iseng. "Atau aku saja yang jalan, tapi kau ikut kugendong seperti tuan puteri-"
"Cih ..." Apo menyikut pelan. "Hufft ... memang ini gara-gara siapa? Main tusuk sampai aku nyaris pingsan. Tadi malam aku belum makan. Terlanjur badmood karena Hia dan sekarang tenagaku habis."
Mile terkekeh. "Ya sudah ... mau aku tebus pakai apa, hm?" tanyanya.
"Tidak butuh," kata Apo cepat. "Aku tahu Hia pasti sengaja."
"Ha ha. Memang."
"Tahu tidak? Aku belum mengabari Bible di asrama. Pasti dia khawatir aku di mana."
"Oh? Tidak masalah soal itu." Mile memeluk sang kekasih yang terbungkus selimut dari belakang. "Kan sudah kutelpon tadi pagi. Kau tahu apa yang temanmu katakan?"
DEG!
Apo refleks membuka mata. "Apa?"
Mile berbisik di telinga merah itu. "Asal nanti sore pulang, makan teratur, cukup tidur, dan nanti malam bisa belajar lagi seperti biasa."
Entah karena dorongan apa, Apo pun menutup mulutnya. "Ugh, dia itu sudah berlakon seperti ibuku saja."
"Hm? Kau kan memang masih pantas dimanjakan."
"Tidak. Aku tidak seperti itu."
Mendadak ada suara log off laptop di belakang sana. Disusul deritan ranjang, sebelum Mile membuka tirai jendelanya begitu lebar..
"Kalo begitu mandi dulu, Nong ," kata Mile. Berkat angin, aroma sabun mandinya mulai menguar sedikit demi sedikit. "Atau kumandikan jika tidak mau bangun sendiri."
DEG
Apo jadi lupa caranya terpejam.
"TIDAK! Aku bisa-bisa tidak kuat jalan lagi nantinya!"
TAMAT