Chereads / LOVELY GIFT [MileApo Fanfiction] / Chapter 8 - REOG PONOROGO 1

Chapter 8 - REOG PONOROGO 1

"FF ini terdiri 5 bab dan sudah tamat. Tidak akan ada penambahan atau pengurangan bab, terlepas request dari siapa pun. Ide original milik Author, dan hanyalah fiktif belaka."

[REOG PONOROGO]

***

Ponorogo, Jawa Timur.

Dikenal sebagai Bumi Reog yang terkenal, Ponorogo memiliki harga diri yang terkenal di mata dunia. Ketegangan dalam pendaftarann seni ini di UNESCO tidak meruntuhkan keteguhan masyarakat Indonesia dalam mengklaim bahwa Reog asli milik Nusantara. Demo dan unjuk rasa sempat terjadi diantara masyarakat Jawa. Aku dan komunitas Reog-ku ikut dalam peristiwa itu pada tahun 2013. Bisa kukatakan peristiwanya cukup struggle, tapi bisa kami lewati bersama. Sebagai pengolah seni Reog aku merasa bangga, walau tak lulus kuliah. Dari segi ekonomi aku memang tak cukup mampu untuk melanjutkan pendidikan. Beban dan tanggung jawab sebagai anak lelaki kutanggung di punggung ini, semenjak bapak kena Alzheimer yang cukup parah aku dan kakakku, Agus bahu-membahu untuk mencukupi penghidupan keluarga.

Ngomong-ngomong soal Kak Agus, aku dan dia kembar fraternal yang terlahir jarak 30 menit di Jerman. Dia beruntung bisa lulus S1 dalam jurusan PGSD, tapi statusnya sekarang hanyalah guru honorer. Ya, kalian tidak salah dengar. Kami berdua memang blasteran yang cukup tampan. Ayah asli Frankfurt dan bernama Phillip Morris J Aadolf. Kedengarannya seperti raja, padahal sebenarnya dia hanyalah bajingan yang memerkosa. Ibuku masih gadis ketika di-cap-cip-cup dia. Sebagai TKI polos, Ibu memilih melahirkan daripada takut menghadapi aborsi. Sembilan tahun setelahnya Ibu pun pulang ke Indonesia. Berhubung pacarnya dulu gagal move-on dan jadi pegawai bank akhirnya mereka menikah juga.

Satu tahun kemudian kami dapat adik kembar. Bukan cuma dua tapi sekaligus empat pasang. Mereka tampan-tampan karena lelaki semua. Namanya Arjuna, Yudistira, Nakula, dan Sadewa. Oh, sebenarnya meninggal satu dalam proses operasi caesar. Karena itu, "Bima" dikuburkan di belakang rumah. Julukan Pandawa 5 tidak jadi karena anggotanya kurang lengkap. Mereka mendapat ruwatan buang sial lengkap mandi bunga sepertiku dan Kak Agus dulu. Sayang, sepertinya sial masih menempeli kami. Aku sendiri tak tahu kenapa.

Kak Agus gagal PNS setiap kali tes-nya datang. Sudah tiga kali dia mencoba, tapi tidak ada yang positif. Padahal menurutku Kakak tidak bodoh-bodoh amat. Dia disebut bule nyasar karena dialek Inggris dan Jerman-nya lebih bagus dari aku. Namun, sekali lagi. Keberuntungan adalah hal yang tak pasti. Aku sendiri kacau setelah tahun 2015. Minat masyarakat turun terhadap penampilan budaya sendiri. Bagi masyarakat sini, kocek menyewa pertunjukan Reog mumpung digunakan untuk menggaet biduan dandut. Miris karena mereka terkesan tidak menghargai komunitas kami. Namun, jika Reog diakui negara lain anehnya para netizen langsung menjadi garda terdepan.

"Kak Agus," kataku suatu hari.

"Ya, Mile?" sahut Kak Agus, yang tampak lesu setelah berkas PNS-nya tertolak lagi.

Aku yang baru pulang melatih silat pun melepaskan atasan seragamku. Sebagai saudara kembar, dia terbiasa dengan bau badanku yang berkeringat. Kak Agus tidak protes setiap aku duduk di sampingnya. Kugunakan baju hitam itu untuk kipas-kipas karena kipas angin rusak.

"Kak, yok opo gagal maneh?" tanyaku mulai basa-basi.

Kak Agus pun tersenyum miris. "Begitulah, Mile. Susah. PNS ini harus diruwati atau bagaimana ya? Aku tidak paham kenapa tak pernah lolos."

"Hmm, akhir-akhir iki aku sebenere nduwe ide anyar," gumamku dalam Bahasa Jawa.

"Ide apa?" tanya Kak Agus dengan sebelah alis yang naik. "Apa ada kaitannya sama pekerjaan? Jangan-jangan kau mau bilang ada lowongan di luar sana."

"Mimpi," kekehku. "Bukan begitu, tapi komunitasku pun sedang kesulitan. Mereka ingin menghidupi keluarga, tapi pertunjukan semakin tai. Wkwkwk. Pak ketua sampai menunjukku menjadi atasan baru. Dia mengundurkan diri karena sudah umur juga. Mau pensiun untuk menikmati masa tua."

"Lho? Iyakah?" kaget Kak Agus. "Tapi Pak Danu ada pesan soal pengurusan sanggar Reog? Perasaan di Ponorogo makin luas kelompoknya."

"Justru itu," desahku. "Kota kita gencar memproduksi Dadak Merak terus, tapi topeng-topeng Reog kita mendapatkan persaingan juga."

"Hmmm."

"Makanya, Kakak kuajak gabung komunitas kita. Menggantikan jabatanku, selagi aku pegang bagian ketua."

"Oke?"

"Aku ada rencana membawa komunitas kita ke luar negeri saja."

Suasana ruang makan pun langsung hening. Ibu jualan di pasar, Bapak berbaring sakit di kamarnya, sementara Arjuna, Yudistira, Nakula, dan Sadewa masih sekolah di tingkat SMP kelas 3. Mereka berempat pasti takkan tahu isi percakapan kami, pahamnya cuma minta uang jajan, bayar-bayar, jatah paketan internet, dan sesekali rebutan motor jika mau keluar jalan-jalan.

Kak Agus pun menerima alasanku yang masuk akal, karena di luar negeri Reog akan menjadi pertunjukan yang megah. Bidikanku adalah Frankfurt, Jerman dimana kami dulu dilahirkan. Ayah kandung kami, Phillip sebenarnya pernah menafkahi Ibu hingga pulang ke Indonesia. Bisa kugambarkan dia sebenarnya tak buruk-buruk amat. Ayah merasa bersalah karena merusak Ibu pas mabuk dan sakau, tapi tidak sanggup mempoligami istri sahnya karena strata. Ibu terlalu pindang untuk dia yang makan tuna sebagai pejabat negara. Phillip akhirnya memberi bantuan kepada kami agar mendapatkan paspor dan VISA menuju ke sana. Dia harus membohongi istrinya sekali lagi. Wanita itu mungkin mengamuk jika tahu Ayah mengeluarkan uang untuk Ibu, kami, bahkan seluruh anggota komunitas ini.

Pesan Ayah lewat telepon, "Hör zu, Miles. Vater hilft dir, weil sein Ziel die Arbeit ist. Auch hier müssen wir also ernsthaft arbeiten. Spielen Sie nicht herum. Eine goldene Gelegenheit kommt nicht zweimal." yang intinya, kami disuruh serius jika terlanjur merantau ke sana. Kesempatan emas takkan datang dua kali, aku dan Kak Agus setuju menyiapkan pertujukan Akbar pertama kami di halaman Museum Staedel, Frankfurt.

"Jadi, besok kita benar-benar pergi ke Jerman?"

"Ya, Kak. Ada tempat tinggal sementara juga. Diam-diam saja," kata Mile. "Ayah bilang sudah menjual villa itu padahal sebenarnya belum. Kita diberikan waktu satu bulan untuk pindah dan berusaha sendiri."

"Oke." Kak Agus pun mengangguk senang. "Tapi, aku tidak tahu darimana asal kepercayaan dirimu, Mile. Kakak sungguh kagum dengan pemikiranmu."

Aku mendengus geli. "Pokoknya kita harus bertahan hidup," kataku sambil menepuk bahunya. ".... saling bantu."

Sesampainya di Frankfurt, kami buktikan latihan komunitas selama di Ponorogo tak bisa disepelekan. Bisa dibilang Reog sudah mendarah daging dalam jiwa kami. Kak Agus menjadi Bujang Ganong bertopeng kecil, karena itu memang yang paling ringan. Aku dan seluruh anggotaku melakukan pertunjukan silat ringan untuk memukau penonton dulu, yang tadi hanya menoleh penasaran mulai mendekat dan berkerumun. Mereka pasti tidak pernah melihat orang-orang berdandan ala Kejawen yang keluar dari 3 mobil truck, apalagi kostum-kostum kami dipenuhi warna emas yang megah. Mau warna merah, kuning, hijau atau lain-lain jika sudah dikombinasi dengan make-up, penampilan kami pun jadi amat menarik. Para bule sudah bersorak-sorai hanya karena kami atraksi memecahkan kaca dan menyembur api.

Aku sebagai ketua mengawasi pergerakan mereka. Kakak dan aku menjadi juru bicara para anggota karena hanya kami yang sanggup berbahasa Jerman. Setelah intro, kami mengeluarkan 12 orang dari dalam truck yang lain. Mereka melompat tanpa alas kaki, dengan kuda-kudaan alias Jathilan. Semuanya berteriak dengan pecut kecil bertamparan di tangan, untuk menambah dramatisasi ada pemain musik yang mulai mengiringi dari belakang. Gamelan dan kenong berbunyi nyaring sekali. Pihak keamanan museum yang mengizini pertujukan itu tampak mulai kewalahan. Penonton yang kepo pun membeludak di sekitar sana, museum harus ditutup karena takut orang yang datang dorong-dorongan hingga merusak barang berharga. Spotlight pun diambil alih kami semua, percayalah itu belum pertunjukan utama.

Para bule sigap mengeluarkan ponsel untuk diunggah ke sosial media. Kami makin bersemangat karena seni Indonesia akan dikenal banyak orang. Hanya sekali berputar Euro yang kami dapatkan bisa berjuta-juta. Siapa pun yang tidak paham yang kami lakukan tetap kagum karena pertujukan seperti ini tak pernah mereka dapat.

"Mereka semua berasal darimana?"

"Indonesia, katanya."

"Oh, Indonesia."

"Iya, Ponorogo."

"Jawa Timur, tahu. Semua salah, yang benar itu Jawa Timur."

"Eh? Iyakah? Padahal aku dengar Ponorogo."

"Ckckck, ini aku Google-kan sebentar. Ponorogo itu di Jawa Timur. Nah Jawa Timur merupakan Provinsi di Indonesia. Begitu saja pusing. Kita semua tak ada yang salah!"

"Ha ha ha ha ha."

Sorakan dan tepuk tangan kudengar dimana-mana. Ada yang mencibir kalau "mengamen" semacam ini kampungan, tapi 80% tetap berisi pujian. Mereka heran karena atraksi-atraksi ala kanuragan kami melebihi ekspektasi. Pesulap Jerman mana mungkin sanggup menyeruduk bata bertumpuk banyak hingga ambrol semua.

"GOOD JOB! TERUSKAN! TERUSKAN!" teriakku memberi support. Aku bersiul di tengah keramaian sebagai komando, para penari remaja memberi kejutan part.3 dengan kecantikan mereka yang masih ranum.

Kesan Indonesia di Bumi Frankfurt pun menjadi harum. Lenggak-lenggok anak didikku dinilai estetika bukannya kotor tak beretika. Mereka menjepret kami berkali-kali dan mengunggahnya dalam sosial media. Para Jathilan dan penari menjadi satu demi menyesuaikan tempat pertunjukan. Semuanya membentuk huruf V demi menyambut sang raja, adalah Prabu Klono Swandono yang berpakaian mewah seperti wayang, membawa pecut Clemeti, dan topengnya merah seluruh wajah menunjukkan sifat gagah perkasa.

"Hokya! Hokya! Hokya! Hokya!" teriak mereka bersama-sama.

Aku pun mengawasi jalan semua kotak upeti. Tak kusangka setiap kotak mudah penuh hingga aku membisiki salah satu pemusikku mengambil karung dari dalam truck. Benda itu harusnya wadah baju kostum, tapi untuk uang siapa yang mau menolak. Kami banjir harta dalam satu kali sesi, kuprediksi setelah ini akan lebih banyak audiens penasaran.

"Oh, lihat saja. Semua wilayah Jerman akan kujajaki satu per satu untuk mengeruk uang kalian," batinku panas membara.

Sudah cukup kemiskinan merangkul kami semua. Jika bisa kaya dengan ini, maka komunitas akan melakukannya bersama.

Kami bisa merintis usaha dari awal, dan memperbesar sanggar Reog di lain hari. Ngomong-ngomong soal budaya, Reog punya sejarah yang cukup unik. Aku memang bukan bangsawan, tapi cintaku kepada Indonesia membuatku tahu. Bahwa zaman Majapahit dulu ada yang namanya Ki Ageng Kutu. Beliau adalah pencipta barongan pertama kali. Namun perlawanannya terhadap kadipaten dikalahkan oleh Raden Katong yang tengah berdakwah.

Tarian Ki Ageng Kutu pun berubah menjadi sarana penyiar, aku sendiri bukan fanatik agama, tapi kesetiaanku kepada Reog belum pernah tergantikan. Aku suka menonton Reog sedari kecil. Baru SMP berani mendaftar silat dan latihan fisik keras mampu menempa Dadak Merak-nya yang seberat 60 kilogram.

Kata guruku dulu, mengangkat benda itu tidak boleh sambil ditempa tangan, karena kami para pembarong menggambarkan keganasan, yang diliputi kewibawaan. Singa mewakili keberingasan, dan merak sebagai pesona. Kami harus bisa hanya dengan gigi sejak berbaring di atas tanah. Itu sulit karena aku harus menyalurkan otot, tenaga, dan ilmu bela diri ke pusat rahang. Bila kau menganggap ini tak masuk akal, nyatanya semua guruku mampu. Aku pun mulai yakin bahwa besarku pasti mampu juga.

"Latihan sendiri di hutan, Mile! Jangan malu! Latihan dan goyangkan bulu merakmu seperti ombak!" perintah guruku keras nan tegas.

Dulu, karena "kurang yakin" rahangku rasanya mau patah berkali-kali. Gigiku bahkan copot satu karena belum tahu rahasianya. Kupikir, Dadak Merak ibaratkan dosa manusia. Karena itu berat dan merupakan topeng terbesar dunia yang hanya diangkat gigi.

Tiada yang sanggup menandingi Reog Ponorogo kami, Jawa Timur benar-benar kebanggaan luar biasa yang kuusung selama hidup di dada ini. Akhirnya, guruku pun menjelaskan bahwa desain Dadak Merak sudah dihitung dengan teori fisika, yang mana berat kayu kepala Singo Barong berbanding terbalik dengan bagian Merak yang tinggi. Bagian kayunya berat 2-5 kilogram, tapi karena diimbangi bagian berbulunya yang meluncur grafitasi pun jadi ringan.

Aku tidak boleh mengangkat topengnya saja, karena itu bisa merusak gigiku. Kebodohanku dulu, yang ketakutan dengan beratnya malah belajar dengan topeng saja. Namun dengan bagian Merak semuanya jadi sangat mudah. Pada umur 18, aku berhasil mengangkat Dadak Merak sendirian.

"Hokya! Hokya! Hokya! Hokya! Hokya!"

Aku mulai menyukai teriakan orang di sekitarku. Mereka pasti kagum dengan kebolehanku, sejak itu Reog Ponorogo merupakan senjata pemikat yang kupunya, tapi belum pernah hidupku terasa seberuntung ini.

Ah, kenapa tidak dari dulu kita ke sini? Tapi kalau dulu adik-adik memang belum waktunya ditinggal. Aku pun berlari menerobos jalan kecil yang diberikan oleh para bawahanku. Dengan sorak-sorai seramai ini sudah waktunya aku unjuk kebolehan. Si Dadak Merak dari tadi belum dikeluarkan sama sekali. Dalam komunitas ini yang bisa ikut keluar negeri hanya diriku. Dua rekan Pembarong-ku maunya tetap di Indonesia. Mereka tidak sanggup meninggalkan anak-istri, maka akulah bintangnya di sini.

"MINGGIR! MINGGIR! MINGGIR!! RAWWWRR!!!!" teriak Kak Agus ke para penonton. Mereka bingung campur takut, tetapi malah tertawa-tawa kagum. Lucunya kakakku langsung menari-nari agar kepanikan mereka mereda. Padahal Kak Agus serius dalam memperingati. Aku dan Dadak Merakku siap mengguncang Frankfurt dengan chaos paling berisik yang mengalahkan konser grup band.

"HARRGHHHHHHHHHH!!!" teriak dua orang yang menggotong Dadak Merak-ku keluar dari truck ketiga. Aku menyusulnya dengan gerakan silat yang memukau setiap mata. Topeng gigantis itu diitari para penari, Warok, Jathilan, Bujang Ganong, dan Prabu Klono Swandono. Aku di tengah mereka dan menekuk punggung seperti kayang, bedanya beratku statis hingga aku dipasangi dengan benda itu. Orang-orang takut dan tidak percaya, bagaimana aku merentangkan tangan, tanpa menyentuh sedikit pun bisa bangkit sambil mengangkat topeng terbesar.

"ARRRRRRGGHHHHHH!!"

"WOAAAAAHHHH!"

"YA AMPUUUUNNN!"

"OH LORD, ITS IMPOSSIBLE!"

"WHAT THE FUCK!"

"Astaga, lihat itu! Lihat itu! Dia berdiri!"

Makian mereka disertai gumaman kagum. Para wanita sontak jatuh cinta kepadaku, yang tengah menari. Di tengah-tengah para rekan aku pun beraksi dengan mengombakkan bulu merak sebagaimana filosofi keindahan Reog sendiri.

"Hokya! Hokya! Hokya! Hokya! Hokya!"

Teriakan rekan-rekanku semakin kencang.

Aku berputar-putar seperti penari sufi. Di dadaku hanyalah berisi bara cinta kepada Indonesia dan keluargaku. Senyum mereka selalu menghantuiku. Adik-adik, tolong pintar belajarnya agar lebih sukses daripada kedua kakak kalian di sini.

"KRAAAAAAA!! RRRRAKKK!! HARRGHHHH!" Teriak para rekanku bersama-sama. Para penonton ikutan menjerit heboh. Dari lubang mata mungil bisa kulihat saweran mereka semakin banjir sejak diriku memperlihatkan diri. Seorang gadis yang melemparkan banyak Euro di sebelahku pun kutarik ke tengah. Dia sempat menjerit panik, tapi dua rekanku sudah mengangkatnya agar naik ke atas kening topengku.

"OHHHHH MYYY GOOOOOD!!"

"HE'S GONNA BE CRAZYYY!!"

"DIA GILAAAAA!"

"SINTING!"

"AKU TIDAK PAHAM LAGI!"

"MATI SUDAH!"

"YA AMPUN ITU TOTAL BEBANNYA BERAPA?!"

Rupanya gadis ini kecil tapi tulangnya begitu berat, aku salah memilih target, tapi ini bukan apa-apa. Aku menambah aliran energi alamku ke rahang. Kedalaman ilmu bela diri bisa membuat kakiku memijak kuat tanpa terguling. Ini merupakan bagian puncak atraksi, beberapa bule pun naksir ingin naik juga untuk mencicipi enaknya kening Reog-ku.

"Hokya! Hokya! Hokya! Hokya! Hokya!"

Teriakan orang semakin memusingkan telinga. Aku bertahan dan terus bertahan.

Kupikir sudah, rupanya masih ada orang ke-enam yang mau naik.

"Satu lagi, Mile! Masih bisa, tidak? Dia baru datang diseret teman-temannya!"

Oke! Aku hanya mengacungkan jempol, karena pernah ditunggangi tujuh kali selama di Indonesia. Mungkin lelahku karena sudah lama tidak melakukan pertunjukan serius, tapi satu orang yang mau menyawer tinggi? Aku takkan melepaskan dia sejengkal pun.

"NATTA! NATTA! NATTA! AYOOOOOO! SUDAH DAPAT IZIN INI! CEPAT!" teriak seseorang kepada lelaki manis bertubuh ramping. Dia benar-benar dipaksa mendekat, walau tak mau. Matanya berkaca-kaca hampir menangis karena katanya pertujukan kami seram.

"Hiks, tolooooooong! Hukumanku yang lainnya bisa tidak? Niel, Robert! Kalian semua jahat padaku!" teriak lelaki bernama Natta. Dia tetap digendong agar tidak kelamaan jalan. Sungguh sial belum pernah kulihat tubuh lelaki bisa terlihat seringan itu saat diangkat ke bopongan dada. "NIEL! NIEL! SUMPAH! MATI AKU! TIDAK MAU! YA TUHANKU! AKU BISA JATUH KALAU NAIK DIA! TIDAAAAAAAK!"

teriaknya ribut seperti gadis.

Aku pun mendatanginya, tetapi Natta malah terisak. Dia disoraki para penonton karena menyembunyikan wajah merah tersebut ke dada Niel. "AYO! AYO! AYO! AYO! AYO! AYO! AYO!" Mereka tak peduli perasannya. Lelaki manis itu pun makin menjerit. Aku iba, karena di Indonesia (mungkin) tidak ada lelaki seumurannya cengeng. Kebanyakan, di daerahku sudah maskulin sedari muda. Kami ditempa silat, di samping tekanan keras kehidupan.

"Hiks, hiks, hiks, tidak mau ...." rengek Natta, tapi ditakut-takuti oleh yang membopong

"Ayolah, kau kan sudah bertaruh. Tetap saja kalah, Natta. Naik atau tidak gabung dengan circle lagi!" ancam Niel.

"Hiks, no ...." isak Natta. "N-Nanti aku akan ditemani siapa," lanjutnya sambil mengusap hidung. Lelaki manis itu dipelototi agar mau turun. Keindahan pertemanan mereka pun seketika hilang di mataku.

"Ayo."

"U-Umn, sebentar ya," kata Natta, lalu berjalan takut-takut padaku. Aku pun mengulurkan tangan ke dia, inginnya tugas ini cepat selesai, tapi si manis gagal fokus ke bagian otot perutku.

"Cih! Melihat apa sih? Ayo naik!" batinku tidak sabaran.

Natta pun menyambut tanganku dengan jemari. Dia akhirnya mau naik ke keningku dan kuputar hingga lima kali seperti yang lain. Di luar dugaan si manis ini langsung tertawa. Dia senang, bukannya merengek seperti sebelum mencoba. "Uwooooowwwww!! Ha ha ha ha ha ha!" tawanya riang sekali. "Uwiiiii! Seruuuuu! Aku mau putar lagiiii! Putar lagiii! Putar lagiiiiiiiiii! Mauuuuuuuuu!!" Dia merentangkan tangan dengan bodohnya. Padahal dari awal sudah disuruh Kakak pegangan, tapi bocah ini--shit! "ADUHHH!!"

Natta pun menjadi korban pertama yang jatuh dari keningku karena kesalahannya sendiri. Untung tidak sampai melorot betulan. Rekan-rekanku sigap menangkap dan akhirnya bisa diselamatkan dengan heroiknya. Para penonton pun bertepuk tangan semua. Mereka memujiku, dan kami yang memiliki kerja sama tim luar biasa.

"Hueeeeeekkk!" Yang tidak kusangka adalah Natta muntah-muntah setelah diseret Niel tenggelam. Mereka pun didatangi sekelompok teman kampus yang turut prihatin. Penonton bubar setelah pertunjukan kami berhenti. Ditandai aku yang mengomando formasi akhir dengan penghasilan terbanyak, meski baru datang di Jerman.

"Natta! Natta! Natta!" teriak teman-teman si manis. Karena khawatir, aku pun membelah kerumunan tersebut, biarkan para rekanku berberes barang dari pertunjukan. Bagaimana pun aku yang memanggul, siapa tahu tadi ada kesalahan teknis.

"Halo, Dek Natta! Apakah kau baik-baik saja?" tanyaku dalam Bahasa Jerman.

Sontak semua teman Natta pun menoleh padaku. Mereka melotot atas bawah ke tubuhku yang memang topless tanpa pertahanan. Hanya kostum emas di bagian bahu yang membalut tubuhku. Bulu pusar menuju selangkangan kelihatan diantara karet celana barong yang sedang kupakai.

"Oh, wow Bung. Penari itu ternyata ganteng sekali," puji salah satunya sambil mengigit jari.

"K-Kau benar, ishh. Kenapa tidak dari tadi ya kita kemari? Sshhhhh--hot ... aku mau dong minta nomornya! Nanti malam apakah bisa ONS?"

"Hush! Dia milikku!"

"Ckckck, salah ya curhat padamu! Dia itu milikku!"

"Milikku!"

"Milikku!"

"Milikku!"

"Milikku!"

Mereka malah ribut dan cekik-cekikan.

"Dek Natta?" tanyaku fokus ke korban.

"A-Ah? Ya? Aku oke kok, umn, semuanya baik-baik saja."

Pipi Natta ikutan merah seperti kepiting rebus karena melihat pusarku.

Ada apa sih semua orang di sini? Belum makan ya? Mereka tampak sangat kelaparan.

"Serius, kan? Sudah lama tidak ada yang muntah begitu karena naik Reog-ku."

"Wah, mmm, jadi namanya adalah Reog?" tanya Natta tiba-tiba tampak jaim kepadaku. Dia malu-malu, tapi lari ke arahku. Wajah manisnya menurutku cukup jahat karena dimiliki lelaki.

"Iya, Reog."

"Ugh, oke."

"...."

"Ngomong-ngomong, aku suka sama pertunjukan kalian," kata Natta. "Rasanya ingin nge-reog? Semoga kita bertemu di lain hari!" Dia tampaknya salting sendiri.

Aku pun menepuk bahu mungilnya. "Ya sudah, aku hanya memastikan saja. Jaga diri dan minum air yang banyak. Dah," kataku sebelum pergi. Namun sebelum itu Natta tampak didorong-dorong beberapa rekannya. Mereka tampak iri karena hanya Natta yang mendapat perhatianku. Well, itu wajar kan? Buat apa juga aku fokus kepada yang tidak bersangkutan. Mereka mengganggu saja!

Aku pun akhirnya bergabung dengan rekanku. Kami merayakan kesuksesan ini dengan malan-makan, dan berbagi cerita serta rencana. Kelanjutannya komunitas ini harus diapakan nanti. Tanggung jawab tetap dilakukan sebagaimana Ayah mempercayai misi kami di sini. Sebagai ketua aku pun merancang anggaran belanja di komunitas. Jumlah uang yang kami dapat cukup untuk semua anggota hidup dua minggu ke depan, bahkan menabung. Tidak ada yang minta bagian karena hasil awal harus dijadikan modal. Misal membeli villa sendiri saat mampu termasuk perlengkapan hidup bersama. Mungkin mesin cuci, dispenser, TV, dan DVD untuk nobar di Jerman. Kami berpikir, sampai kapan pun tidak boleh terlalu bergantung kepada Ayah.

"Bagaimana, Mile? Sukses?" tanya Ayah lewat telepon.

Pukul 10 malam harusnya waktu untuk tidur. Namun sepertinya Ayah kepikiran.

"Ya, ehem. Paling tidak bersih dari masalah. Lain kali lokasinya akan kuganti."

"Oke."

"Aku akan izin sendiri agar tidak merepotkan Ayah. Terima kasih atas kesempatannya."

"Ya. Take care."

"Hm."

"Salam untuk Ibu, baik-baik saja di Indonesia."

Aku tidak menjawab yang satu itu. Bagiku cinta harus tetap diekspresikan bukannya disimpan seperti harta benda. Aku pun batal tidur dan jalan-jalan keluar rumah. Sebagai ahli bela diri, rasanya tidak ada bahaya yang akan menghancurkanku di Jerman. Kubeli minuman bersoda di mesin tepian jalan. Otakku berputar keras untuk merancang bagaimana kelanjutan komunitas ini selain rencana inti. Aku harus memikirkan dua hingga tiga opsi lain. Kalau terjadi apa-apa, seharusnya siap karena sudah ada gambaran cadangan.

"Tidak mauuuuuuuu!! Ihhhh!"

Tiba-tiba ada teriakan yang suaranya familiar.

"Siapa itu?" gumamku sambil menoleh. Kupikir satu wanita yang naik ke kening tadi lagi. Ternyata malah Natta dalam seretan part. 2. Pelakunya adalah Niel, yang kemungkinan teman rese-nya. Samasekali otakku tidak mengira mereka gay hingga Natta ditarik dalam ciuman yang brutal.

"MMHHH! Mnnnn, nnnhh! Mm! Mm!" berontak Natta sambil memukuli dada Niel. "Nieeel! Brengsek--!! Tidak mau! Ughh!"

Seketika kesan Natta di mataku menjadi tanpa harga diri. Nilai "kejantanan"-nya betul-betul minus. Masak tubuhnya diraba-raba di depan umum mau saja. Mana bajunya sampai naik ke dada.

"Ahhnnh, mmnh ... cukup, Niel! Aku takkan berubah pikiran! Putus ya putus! Ughh! Aku tidak suka dipaksa terus sama kamu!" bentak Natta, walau malah merintih kenikmatan karena dadanya diremas. Putingnya dicubiti dengan jari lihat. Lihatlah orang-orang di sekitar hanya menyingkir tidak mau ikutan urusan. Tidak seperti di Indonesia, yang mana mulut netizen sangat tajam. Mau bercumbu seperti ini pun malah jadi hiburan penonton.

Karena merasa aneh, aku memutuskan untuk pergi saja. Lebih baik tidak lanjut melihat mereka, daripada merinding sendiri. Well, bukan jijik tapi bagiku yang lebih lama tinggal di Indonesia tadi tetap tidak lazim. LGBT biasa di Jerman, hanya saja yang kulihat sepanjang jalan palingan hanya gandengan. Tidak seperti mereka. Niel memperlakukan Natta mirip pelacur, alih-alih pacar (ralat, mantan)-nya sendiri.

"Mmmmn, hiks ... ahhh! Please ... nngh ... jangan di sini! Please! Jangan celanaku! NIEL! AAAAAAAA! NIEEEEELLL!" jerit Natta tapi tidak ditanggapi orang.

Aku pun tidak tahan menoleh. Bagaimana pun si Niel mulai sinting karena berani memeloroti celana Natta langsung. Seaneh apapun bagiku itu bukanlah tindakan manusiawi. Kudatangi Niel lalu kuhajar saat Natta menangis sambil memegangi celananya yang turun ke betis.

"Hiks, hiks, hiks ... jahat ... hiks ... Niel jahat ...." isak Natta yang syok karena dilecehkan di tempat umum.

Keributan singkat pun terjadi antara aku dan si brengsek. Kulepas jaketku untuk Natta, dan kututupi kaki rampingnya yang indah. Pandangan orang-orang juga kublokade dengan punggung lebarku. Lelaki ini seperti bunga, yang butuh perlindungan agar tetap bisa mekar.

"Ikut aku. Ayo pergi," kataku. "Pacarmu biar diurus yang mau peduli."

"Umn."

Natta pun kutunggu menaikkan celana lagi, mukanya merah karena celana bagian dalamnya sempat terlihat. Bokong sintal Natta jelas mengecap di kain yang tipis. Aku sendiri--jujur saja--sempat meneguk ludah karena kulitnya begitu mulus. Natta memang tidak putih, tetapi dia eksotis. Lelaki itu menyembunyikan muka manisnya di balik buku menu setelah kuajak ke tempat makan. Entah kenapa matanya tidak bisa menatapku. Padahal yang kulakukan hanyalah minum kopi pesanan.

"Kenapa?" tanyaku.

"K-Kau kok gentle sekali sih. Tampan lagi. Makan apa selama di Indonesia?" Natta malah bertanya balik padaku.

"Ha? Kenapa kau penasaran soal itu?"

"J-Jawab saja."

Natta masih menyembunyikan mukanya separuh. Ckckck, clumsy sekali rupanya.

"Tempe?"

"Tempe?"

"Ya, dan tahu."

"...."

"Kenapa? Aku memang bukan orang kaya. Kau berharap jawaban macam apa dari Pembarong jalanan sepertiku? Cerita soal makan emas, huh? Kalau begitu maaf-maaf saja."

"B-Bukan begitu ...." Akhirnya Natta memperlihatkan keseluruhan wajah manisnya. "Aku hanya, umn ... kau mau tidak one night stand denganku sebagai terima kasih?"

"UHUK! Apa katamu barusan?!"

Kopiku sontak terlontar.

"O-One night stand? S-Seks?" ulang Natta. "Aku kan sudah putus dari Niel. Ya tidak apa-apa dong. Umn, di rumahku sekarang sepi karena Mami-Pappy lagi dinas."

Aku menarik tanganku sebelum Natta menyentuhnya dengan jari gatal.

"Oke, Mile! Jangan lupa kalau dia adalah gay! Tenang dan tetap berpikir!" batinku merutuki diri sendiri. "Tidak, maaf. Aku belum pernah tidur dengan sesama. Kau cari target yang lain saja. Mana jaketku," kataku.

"Eh?"

"Dari omongan dan bajumu saja sudah ketahuan kau bukanlah anak miskin. Jaketku bukan apa-apa, kan? Kemarikan aku juga mau pulang. Ini sudah jam 11."

Seketika Natta diam dan raut wajahnya berubah. Aku heran dengan reaksinya. Mengapa lelaki "manjalita" ini tiba-tiba tampak sakit hati. Aku salah apa lagi, heh? Lubang belakang memang belum pernah kukunjungi. Itu hal begitu asing bagiku.

"Ya sudah, sorry," kata Natta dengan nada bicara berubah. Duduknya pun tegap seperti lelaki sungguhan. Lupakan soal "Natta versi banci", karena lelaki itu kini melepaskan jaketku betulan. "Aku hanya bingung dengan hidup ini. Masalah dari rumah seharusnya tidak kubawa keluar. Pacar brengsek, orangtua tolol, dosen mesum, circle kotor, dan masih banyak lainnya ...." Dia berdiri dengan mata berkaca-kaca, seolah reaksiku baru mengungkapkan luka terdalamnya. "Aku serius minta maaf atas pelanggaran privasimu."

Natta pun meninggalkan jaketku di meja. Dia langsung melenggang keluar dengan langkah tegap model. Sejujurnya dia sangat menawan untuk ukuran bunga yang rusak. Ingin sekali kuraih dia, tapi aku tak paham diri sendiri. Akhirnya kubiarkan saja dia berlalu dengan mobil mewah.

"Ck, sial," batinku kesal. "Kalau dia bisa melindungi diri sendiri kenapa bertingkah sok lemah? Ada-ada saja anak gedongan jaman sekarang."

Bersambung ....