Di kampus Bangkok Unniversity, Mile biasanya memilih jalan memutar demi melewati koridor yang lumayan sepi. Dosen tampan yang memiliki senyum menawan itu ingin menghindar, daripada dikerubuti mahasiswi yang menyukainya. Mereka terbiasa bergerombol dan mencegatnya pagi-pagi, meski hanya untuk menyapa.
Bukannya narsis, tetapi sejak dirinya menjadi dosen di sana, memang hampir selalu begini setiap hari. Ada yang menggunakan alibi bertanya. Ada yang minta bantuan untuk bimbingan materi. Pasti alasannya macam-macam. Walaupun kadang satu dua mahasiswi tetap saja tak bisa ia hindari.
"Hai, Sir Mile!" sapa mereka.
"Iya, hai juga," sapa Mile balik. Dia melambaikan tangan sambil memasang senyum lima jari.
Mereka terlihat senang seolah dirinya benar-benar memberikan simpati, padahal begitu masuk ke ruang kerja dosen, senyum berubah kecut apalagi melihat tumpukan berkas di atas meja.
"Jadi dosen harusnya terlihat hebat," gumam Mile. "Padahal jadi sibuk sekali."
Duduk dan menggerutuk jari, Mile bersiap menjalankan tugas sembari menunggu laptop menyala. Baru saja mau menyentuh mouse, mendadak ponselnya berdering tanda panggilan masuk.
Nodt, calling ...
"Oh, tetangga sebelah. Kukira siapa," gumam Mile sebelum mengangkat telponnya. "Halo?"
"Hei, Mile Phakphum! Kau ini tetangga rese. Aku baru bangun tidur, malah terganggu si tukang paket," protes Nodt dari sebrang sana. "Lagi-lagi memanfaatkan alamatku. Dasarrr ...."
Mile meringis. Ekspresi muka tanpa dosa. "Ahaha ... Maaf sekali, ya. Karena kau kan yang sering di apartemen," katanya. "Mengertilah, Kawan. Aku kan tidak bisa menerima barangnya dengan aman jika kutulis alamatku sendiri."
"Iya-iya. Tapi traktir makan untuk besok," kata Nodt. "Kau kan tahu, setelah mengoreksi banyak naskah seperti ini, editor sepertiku mudah lapar."
"Iya, tenang saja," kata Mile santai. "Ingin apa saja, pesan. Yang terpenting, sekarang letakkan paketanku di atas meja seperti biasa. Tahu password-ku kan?"
"Ck. Okelah."
Mile pun tertawa kecil. "Makasih ya. Hahah ...."
"DIAM KAU SAMOYED!"
Tuuuut ... tuuuut ... Tuuut ... tuut ....
"Ahaha ... dia sungguh-sungguh baik. Semoga semakin betah menjadi tetanggaku," tawa Mile. "Dengan begini hadiah untuk anniversarry sudah siap. Perfect."
Di sekolah Apo, ruang kelas semakin lengang sejak waktu istirahat dimulai. Para siswa sibuk membereskan meja dan siap-siap keluar dari ruangan.
Minus beberapa yang bisa dihitung jari. Apo adalah salah satunya.
Di meja, dia sedang mencatat dengan tulisan cepat. Bentuknya miring ke kanan dengan khas agak berantakan.
Bible yang memandangnya dari kejauhan langsung mendekat. "Apo, aku akan ke galeri nanti malam. Dengan Biu dan teman-teman. Ingin bareng tidak? Daripada sendirian begitu."
Apo melirik sekilas. "Tidak perlu, thanks. Aku sudah ada teman kok nanti," katanya. Tetap fokus mencatat materi pelajaran.
"Serius?" tanya Bible.
"Iya, nanti sama Hia Mile," jawabnya sekena.
"Oh." Bible tersenyum tipis. ."Ya sudah, aku duluan, ya."
"Hn."
Begitu Bible pergi, Apo baru selesai menulis semua catatannya. Dia melepas kacamata minus itu. Lalu menggerutu. "Akhirnya selesai juga, ck," katanya sebal. "Rasanya ingin membuang ini tapi butuh ...." keluhnya lagi.
Meskipun begitu, senyum kecil mendadak terbit setelah ia menilik arloji di tangan.
"Empat jam lagi bertemu dengan Hia Mile," katanya senang. "Tak apalah."
"Baik, itu saja untuk hari ini," kata Mile. Dia menyapu pandangan ke seluruh mahasiswanya di kelas. "Soal bimbingan skripsi dan lain-lain kalian bisa tanyakan langsung nanti ke Profesor Jeje. Namun, jika beliau ternyata masih sulit dihubungi, kalian boleh tanya saya juga di luar jam pelajaran."
"Baik, Sir Mile," sahut mereka nyaris bersamaan.
Mile pun keluar dari ruangan itu sambil menenteng tas selempang hitamnya. Dia menilik arloji dan tersenyum tipis. "Masih ada waktu untuk mengambil hadiah sebelum jalan," gumamnya pada diri sendiri.
Mendadak suara seorang mahasiswi terdengar memanggilnya dari belakang. "Sir Mile! Tolong tunggu!"
Mile pun menoleh. "Ya?"
Mahasiswi berambut panjang itu buru-buru berlari mendekat.
"Anu maaf saya ganggu sebentar, Sir!" katanya dengan nada urgen.
"Iya, tak apa," kata Mile. "Ada apa ya?"
Si mahasiswi segera membuka hardcopy skripsinya di depan Mile. "Yang ini ... rasanya agak bingung mau susun bab 3 saya, Sir," katanya sambil menunjuk satu spot page dengan cepat. "Bagian ini juga. Kemarin saya udah koreksi ulang waktu kerja kelompok. Tapi, kata temen-temen ada yang janggal dikit. Jadi, misal nanti Anda periksa bagimana? Saya masih ragu kalo hanya diperiksa mereka. He he," cengirnya. Manis sekali, walau lama-lama malah kelihatan dimanis-maniskan.
Andai tidak mustahil, Mile benar-benar ingin tertawa lepas dalam hati sekarang juga.
"Astaga ... tukang cari perhatian lagi. Entah yang ke berapa ini," batin Mile.
Meskipun begitu, Mile tetap memasang senyum pada akhirnya. "Iya, tapi saya tidak janji bisa cepet," katanya sambil menerima bendelan itu. "Lagipula saya punya acara malam ini. Memang deadline-nya kapan?" tanyanya langsung, ketika si mahasiswi mulai berekspresi masam.
"Mn ... tidak cepat juga tak masalah, Sir," katanya dengan nada berat. "Yang penting akhir pekan ini sudah bisa melanjutkan bab 4. He he."
"Oh, begitu," kata Mile. "Baik, kamis depan mungkin sudah selesai kuperiksa, hm?"
"Iya, Sir," kata si mahasiswi. "Kalau begitu terima kasih banyak."
Senyum Mile melebar beberapa mili. "Bilangnya nanti saja jika sudah kukembalikan," katanya. "Dan jangan berharap koreksian perfect ya. Karena saya tidak sehandal Profesor Jeje."
"Iya, Sir."
"Kalau begitu saya duluan."
Mile langsung berbalik tanpa menunggu tanggapan si mahasiswi. Sengaja kelihatan buru-buru agar mahasiswanya itu tidak berharap lebih.
"Dasar ... mau berharap seperti apa pun tak mempan, ya," batin Mile. Senyumnya yang photo catching berubah jadi seringai lebar. "Sekarang tinggal membereskan meja. Setelah itu menjemput My Cattawin ke galeri. Hmn."
Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam ketika Mile mulai menge-print segala berkas yang dia butuhkan untuk bahan ajar besok.
Terlalu bersemangat membuat Mile bekerja setengah jam lebih cepat daripada biasanya. Yah walaupun matanya serasa ingin lepas saja sejak tadi. Tapi untung, waktu yang tersedia masih cukup untuk menyelesaikan semuanya. Bahkan mungkin lebih kalau sekedar mandi kilat.
"Hufft ...." desah Mile pelan. Dia melemaskan punggung di kursi kantor beroda sembari memejamkan mata sejenak. Dan memang tidak ada satu menit.
Dirinya mau tetap terjaga dari lelah atau apapun khusus hari ini. Karena yang merasakan itu pasti bukan hanya dirinya, ya kan?
Sayang proses printing memang tidak secepat itu. Beberapa gambar referensi menghiasi dokumen hingga rasanya bosan sekali.
"Chat dulu lebih baik. Siapa tahu ada yang terlupa," gumam Mile. Dia lalu berdiri dan melangkah menuju meja kopi. Di sanalah ponselnya tergeletak dengan mode silent agar tidak mengganggunya selama bertugas. Namun, belum sampai dia menyentuh benda mungil tersebut, mendadak pintu ruangan terbuka dengan suara bantingan yang keras.
BRAKH!
Mile refleks menoleh. "Prosesor Jeje?!" kagetnya.
Sebab Profesor Jeje yang katanya izin nyata-nyata berdiri di sana waktu itu. Tepat di ambang pintu, tapi tidak serapi biasanya dalam berpenampilan. Mukanya pucat, jaketnya lusuh, syalnya kusut dan tampak basah di bagian dada. Entah kenapa. Padahal di luar sana tidak hujan. Rintik-rintik saja nihil sama sekali.
"Selamat malam, Mile," kata Prof. Jeje.
Dosen Teknik Sipil untuk tingkat akhir itu tersenyum lemah. Dia juga menekan pelipis seolah-olah merasakan lima ton beban di dalamnya "Boleh ... saya minta tolong lagi-"
BRAKHHHH!!
"PROFESSOR! HATI-HATI!" teriak Mile. Refleks dia berlari dan mencoba menahan tubuh limbung itu saat menabraki meja. Gelas ATK terguling dan beberapa pulpen ikut berjatuhan dari sana.
"Hahh ... hahh ...." Prof. Jeje menekan dadanya. Pria 46 tahun itu terlihat begitu kesulitan bernafas.
Panik. Mile pun segera menendang kaki kursi terdekat agar bergeser ke sisi dan mendudukkan pria itu disana. "Asma Anda kambuh lagi ya?" tanyanya kebingungan.
"Ugh, iya. Hah ... hah ...." keluh Prof. Jeje. "Kontak mobil saya ... hahh ... hahh ... di saku jaket," katanya kesusahan.
"Apa, Prof?" tanya Mile. Takut salah dengar. "Kunci mobil?"
"Iya," tegas Prof. Jeje. "Tolong antar saya ... pulang segera. Obatnya ... hah ... hah ... saya tadi kelupaan di ruang tamu-ugh ... kamu bisa bawa mobil kan sekarang?"
"Ah, iya tapi-" kata Mile. Tapi mendadak kalimat selanjutnya tertelan begitu saja. Karena tak mungkin dalam situasi seperti sekarang dia bilang belum mahir kan? "Iya! Tentu saja saya bisa. Memang siapa yang selama ini mengajari saya? Cepat pegangan saya Prof!" serunya. Urgen.
Tanpa berpikir lagi, Mile pun segera memapah keluar Prof. Jeje. Membantunya berjalan ke sepanjang koridor yang mulai benar-benar sepi, minus satpam gerbang dan satu dua dosen yang juga baru akan pulang.
Tak ada satu pun mahasiswa dan mereka hanya bisa terpana di kejauhan.
"Ya ampun! Pasti Prof. Jeje kambuh lagi!"
Dosen perempuan di sampingnya ikut syok.
"Astaga, iya!" Dia terlihat ingin mendekat untuk membantu, tapi menahan diri karena ingat punya urusan. "Sir Mile! Yakin bisa sendiri mengurus beliau?!" serunya segera.
"Bisa-bisa. Ini diusahakan!" seru Mile. Dia pun berhasil membawa Prof. Jeje kembali ke mobilnya meskipun pria paruh baya itu langsung ambruk di jok belakang. "Maaf, Prof! Tahan sebentar bisa, ya! Saya akan kebut sampai rumah nanti!" lanjutnya sambil memutari mobil.
Dalam hitungan detik. Mile langsung melesatkan mobil audi hitam itu keluar dari parkiran.
....
....
....
....
Membuat Mile sepenuhnya, mengenai ponsel di atas meja kopi yang terus bergetar dengan panggilan missed call lebih dari tiga.