"Ra, aku suka sama kamu."
Tiga kata yang berhasil membuat Maura terdiam dan membuat pipinya merah merona.
Penantiannya selama empat tahun terbalas kini. Farel, lelaki yang ia cintai sejak duduk di bangku kelas empat sekolah dasar, saat ini berada di sampingnya untuk mengatakan sebuah kalimat yang berhasil membuat jantungnya berdegup dengan kencang.
Maura terdiam, memikirkan kalimat yang pas untuk menjawab ucapan Farel. "Sejak kapan kamu suka sama aku?"
"Nggak tau, Ra. Yang aku tau, aku sayang sama kamu."
Maura menatap Farel sesaat, beribu pertanyaan mulai singgah di benaknya, mungkinkah Farel benar-benar mencintai dirinya?
"Sebenernya, aku juga suka sama kamu dari kita masih SD, sampai saat ini, cuma kamu yang ada di hati aku," jawab Naura berkata jujur.
Seutas senyum tercetak di wajah Farel. "Ciee, jadi aku itu cinta pertama kamu, ya?"
Mendengar ucapan Farel, Maura pun dibuat malu karena ucapannya yang begitu jujur. Tetapi, apa yang dikatakan Farel memang benar, ialah lelaki yang berhasil singgah di hati Maura hingga detik ini--hingga mereka duduk di bangku kelas delapan sekolah menengah pertama sekarang.
Saat cinta menjadi fitrah bagi manusia, saat kata baligh mewakili seorang wanita dan lelaki untuk mulai merasakan jatuh cinta, Farel-lah yang pertama kali bertahta dalam hatinya. Menelusup masuk ke dalam relung hati, membuat sang pemilik hati mengunci hatinya untuk siapa saja yang akan masuk.
"Terus, kamu mau nggak jadi pacar aku?" Maura reflek menoleh ke arah Farel, setelah kemudian kembali menunduk.
Netranya yang jernih dan menyejukkan membuat Maura tak kuasa untuk menatapnya lebih lama, ada sesuatu yang bergemuruh di dasar hatinya kini.
"Kamu nembak aku?" Maura malah balik bertanya, sebagai respon terhadap ucapan Farel yang membuatnya terkejut.
"Iya, cuma kamu wanita yang aku tembak untuk jadi pacar, entah kenapa semua wanita yang datang menghampiri aku, tidak membuat aku tersentuh, cuma hadir kamu yang berhasil buat aku merasakan jatuh cinta," jelas Farel, ia tersenyum dan menghembuskan nafasnya pelan, tidak menyangka bahwa dirinya berani untuk mengutarakan rasa cinta kepada wanita yang menjadi cinta pertamanya pula.
Maura semakin terdiam, bibirnya terasa kelu, tubuhnya sudah keringat dingin sekarang. Pasalnya, ini adalah kali pertama seorang lelaki mengutarakan rasa cintanya secara terang-terangan di hadapan Maura, salah satu dari banyaknya lelaki yang hanya berani mencintai Maura dalam diam.
"Ra, jawab aku," ucap Farel sekali lagi, ia belum mendengar jawaban apapun dari bibir Maura.
Maura mengangguk, sambil mengumpulkan keberanian untuk mengatakan, "aku mau jadi pacar kamu."
Farel tersenyum, ia benar-benar bahagia saat ini, begitu pun dengan Maura. Mereka telah menjalin hubungan pacaran untuk cinta pertamanya.
Langit cerah di siang hari tersenyum, menyaksikan dua anak manusia yang menjalin cinta monyet di bawah naungannya. Burung pun berkicau indah, seakan ikut merasakan kegembiraan atas saksi kisah cinta mereka berdua.
"Jangan pernah tinggalin aku, ya," ujar Maura penuh harap.
Farel mengangguk mantap, sampai akhirnya raut sedih terpancar dari wajahnya. "Maaf, Ra. Tapi bulan depan aku harus kembali ke pondok, mungkin aku bakal susah untuk ngasih kabar dan ketemu sama kamu. Nggak apa-apa, kan, kalo kita LDR?"
Maura dengan polosnya tersenyum dengan lebar, yang ada di pikirannya saat ini hanya, "ia mencintai Farel dan saat ini rasanya telah terbalaskan. Apapun rintangannya nanti, akan ia hadapi selagi Farel masih ada bersamanya."
"Nggak apa-apa, kok, aku bakal setia nunggu kamu di sini," jawab Maura sambil tersenyum menggemaskan, umurnya yang baru genap empat belas tahun masih belum mengerti akan kehidupan yang seharusnya dijalankan oleh orang dewasa.
"Janji, ya!" titah Farel sambil mengangkat jari kelingkingnya ke atas. Maura yang langsung paham apa maksud Farel segera menautkan jari kelingkingnya juga.
Mereka tersenyum dengan ceria, dilanda kasmaran atas dasar cinta monyet. Dunia seakan milik mereka berdua kini, di siang hari yang sangat cerah berlukiskan awan yang begitu indah tergambar, rasa cinta mereka saling terbalaskan, berharap rasa itu abadi meski jarak akan menjadi penghalang nantinya.
***
Empat Minggu berlalu--tepatnya satu bulan. Hubungan Maura dan Farel berjalan baik-baik saja, mereka masih sering berbalas pesan untuk sekedar melepas rindu dan mengutarakan perasaan bahagia mereka.
Iya, hubungan mereka yang baik-baik saja. Sedangkan hati? Sepertinya ada yang mulai goyah untuk itu.
[Rel, ketemuan, yuk, di taman deket sekolah aku.]
[Ciee, kamu rindu ya sama aku?]
[Ih, geer kamu! Pokoknya aku tunggu ya nanti sore, ada yang mau aku omongin sama kamu.]
[Iya, sayang.]
Sambungan telepon terputus, ucapan terakhir Farel membuatnya semakin gundah. Antara bahagia dan sedih, mana yang pantas untuk mewakili perasaannya kini?
***
Bocah-bocah berlarian dengan raut gembira, menuju rumah setelah Emak meneriaki kata "pulang!", bersama baju mereka yang mulai berwarna coklat. Jangan tanya kenapa. Sepertinya, setiap orang yang tinggal di pedesaan sudah mengerti apa alasannya.
"Apa yang mau kamu omongin, Ra?" Farel membuka suara, membuat Maura yang sedang tertawa melihat tingkah anak-anak yang melintas di hadapannya kini terdiam sejenak untuk berpikir.
"Ra?" tanya Farel sekali lagi, Maura yang duduk di bangku taman agak jauh darinya membuat Farel semakin merasa bingung.
"Kamu mau ngomong apa, Ra?" Lagi, Farel bertanya untuk yang ketiga kalinya.
"Kita putus!"
Bak terhantam badai di sore hari, Farel sangat terkejut mendengarnya. Hatinya serasa remuk berkeping-keping. Cinta yang sudah terjalin selama satu bulan, kini berakhir dengan kata putus?
"Apa maksud kamu, Ra? Aku nggak salah denger, kan?"
Maura menggeleng, menyembunyikan wajahnya ke sembarang arah, terlihat langit sore yang mulai berwarna oranye, menunjukkan ronanya yang disukai para pecinta senja.
"Maaf, Rel. Kayanya aku nggak bisa untuk LDR, aku nggak akan betah untuk itu, lebih baik kita menjalani hidup seperti sebelum kita pacaran, aku masih pengen berteman baik sama kamu." Maura menjelaskan dengan kata yang tidak dimengerti oleh Farel.
"Cowok emang tegar, Ra. Tapi cowok bakal rapuh juga kalo di giniin. Kamu enak banget ngomongnya, udah berapa lama mikir untuk merangkai kata barusan?" tanya Farel dengan penuh penekanan.
Maura membisu, ucapan Farel barusan membuat dirinya merasa tertampar. Sepertinya langkah yang ia ambil sangat salah. Tetapi, ia tidak mungkin meneruskan hubungan ini.
"Ya, udah kalo itu mau kamu, nggak apa-apa, kok. Aku tau LDR itu nggak gampang, mungkin kamu juga mau fokus sama belajar. Nggak apa-apa kalo kamu mau putus, aku terima, kok."
Dengan susah payah Farel berusaha untuk tetap tegar, meski sakit hati sudah mewakili hatinya kini.
"Maaf, ya, Rel. Aku nggak bermaksud untuk menyakiti perasaan kamu, tapi kita emang nggak bisa untuk terus bersama. Aku yakin, kok, kalo jodoh nggak bakal ke mana."
Senyum tipis tersungging di sudut bibir Farel, mudah sekali Maura berkata seolah-olah sangat mencintai dirinya dan tak menginginkan ia pergi dari hidupnya kemarin. Tetapi kini, dengan entengnya melakukan apa yang terucap oleh mulutnya sendiri. Janji mereka sepertinya tidak berarti apa-apa.
"Setelah ini, jangan mikirin pacaran lagi, ya, Ra. Aku pengen kita sama-sama fokus untuk meraih masa depan. Aku juga percaya, kok, kalo kita jodoh, pasti Allah akan mempertemukan kita kembali," ucap Farel dengan tabah.
Maura tersenyum, ia kira setelah ini Farel akan membenci dirinya. Ternyata ia salah, Farel masih memiliki harapan kalau suatu hari nanti mereka akan kembali berjumpa dan bersatu.
"Aku masih sayang sama kamu, Rel. Kamu juga di pondok jangan pacaran lagi, ya, kamu harus fokus sama belajar."
Terdengar egois memang, Maura yang melepas tetapi tak ikhlas jika Farel menjadi milik orang lain.
"Aku besok kembali ke pondok, kamu jaga diri baik-baik, ya, di sini!" titah Farel mulai melupakan rasa sakitnya.
Maura mengangguk, perasaan tidak enak sebenarnya singgah sedari tadi di hati, tidak enak hati dengan Farel yang masih terlihat tegar padahal ia sudah dengan mudahnya menorehkan luka dengan alasan yang kurang jelas.
"Ra," panggil Farel, membuat Maura menoleh dan menatap netra menyejukkan itu.
"Aku tau aku salah udah ngajak kamu ke suatu hal yang seharusnya nggak aku lakukan sedari awal. Aku diajarkan ilmu agama yang begitu ketat di pondok, tetapi aku malah melanggar perintah Allah. Pacaran itu dosa, Ra, mungkin ini teguran dari Allah supaya aku dan kamu terhindar dari dosa. Cukup kamu satu-satunya yang jadi mantan aku, semoga kamu juga nggak akan pacar-pacaran lagi, ya."
Maura 'tak tahu harus menjawab apa ucapan Farel, ia hanya mengangguk dengan kaku bersama perasaan yang mulai berdebat di dalam sana dengan logika.
"Perbaiki diri, ya, Ra. Nggak apa-apa kamu ninggalin aku, asal jangan ninggalin solat. Perkuat ibadah kamu, perbanyak baca Al-Qur'an, dan harus istiqomah."
"Mulai untuk berhijab, Ra, karena sejatinya kewajiban seorang wanita adalah untuk menutup aurat," lanjut Farel memberi nasehat.
Rasanya, ia begitu tertampar saat ini, mengapa sedari awal dia tidak mengucapkan hal itu kepada Maura? Malah mengajaknya dalam dosa dan seolah paling tersakiti ketika hubungannya telah kandas.
"Iya, Rel, aku bakal inget semua ucapan kamu. Makasih, ya, udah mau maafin aku padahal aku udah nyakitin kamu," ucap Maura lembut.
"Iya, Ra, aku juga masih sayang, kok, sama kamu," ujar Farel menjawab ucapan Maura beberapa menit lalu.
Langit semakin meredup, tidak menampakkan sinar cerianya seperti kemarin. Ronanya yang jingga bercampur kegelapan yang mulai muncul, kini menjadi saksi atas berakhirnya hubungan dua anak manusia yang baru terjalin sebulan lalu.
Burung-burung 'tak menampakkan ekornya, para hewan seakan tidak ingin menyaksikan rapuhnya hati Farel. Hanya senja di ujung sana yang masih setia menemani mereka berdua, menjadi saksi bisu untuk beberapa kalimat yang baru saja terucap dari bibir mereka.
"Hati-hati di jalan, ya, besok," ucap Maura sebagai kata terakhir yang terdengar di telinga Farel.
Mulai esok, ia harus meniti masa depannya, tidak ingin salah ambil langkah apa lagi kembali menjalin hubungan yang tidak diridhai oleh-Nya.
Bersambung ....