Hari telah malam, langit mulai temaram. Matahari bersembunyi untuk membiarkan bulan memunculkan dirinya. Sinar yang matahari bawa pergi membuat bumi menjadi gelap gulita, hanya cahaya bulan kini yang menjadi pengganti.
Maura berada di dalam kamar, memperhatikan sebuah benda yang masih menjadi misteri dari mana asal-usulnya.
Ia mengagumi keindahan dari jam itu, warnanya yang berkilau membuatnya semakin jatuh cinta. Apa mungkin ini dari cowok di bus tadi? Satu perkiraan yang terlintas di pikiran Maura.
Andai jam itu ternyata dari Raka, atau diam-diam Raka letakkan saat Maura tidak tahu. Maura akan sangat bahagia dengan keromantisan yang diberikan Raka. Nyatanya, hanya andai dan andai yang bisa ia katakan jika menyangkut tentang Raka.
Bukan Raka tidak pernah memberi atau membelikan Maura sesuatu, hanya saja apa yang Raka beri rasanya tidak memiliki kesan romantis tersendiri bagi Maura. Semakin membuatnya bingung, mengapa ia masih terus bertahan untuk Raka.
"Ini dari siapa, ya? Aku bingung," ucap Maura masih terus memperhatikan jam itu. Ia pegang dan raba untuk memastikan bahwa apa yang ia pegang memang nyata sebuah benda.
Sepulangnya ia dari rumah Zulfa, jam itu kembali berbunyi. Selalu saja berbunyi di saat jam untuk sholat. Maura semakin bingung maksud dari sang pemberi memberikan jam itu untuknya.
Drrtt ... drrttt ....
Terdengar suara getaran ponsel di atas meja yang berada di kamarnya. Maura ambil benda pipih itu dan segera mengangkatnya setelah melihat siapa yang menghubungi.
[Halo, sayangnya Raka.]
Maura tersenyum, tumben sekali Raka berbicara dengan suara lembut dan ceria. Tidak seperti biasanya yang datar dan memuji dirinya hanya agar ia tidak marah.
[Kenapa, Raka?] tanya Maura tak kalah lembut.
[Besok kita maen, yuk, ke pantai!]
Maura terdiam, sudah dua bulan belakangan ini Raka tidak pernah mengajak dirinya jalan-jalan ke pantai lagi. Dua bulan yang lalu adalah terakhir kali Raka mengajak Maura ke pantai.
[Kamu mau, 'kan?]
Ingin rasanya Maura mengiyakan ajakan pacarnya itu. Tetapi Maura baru ingat kalau ia sedang tidak memiliki uang. Uangnya sudah habis untuk ongkos pergi ke rumah Zulfa dan membeli skincare nya yang sudah habis.
Ayah sudah memberi uang untuk ia main kemarin, Ibu pun sering memberi Maura uang jika ia membutuhkan. Maura tidak enak jika kali ini harus meminta lagi dan lagi. Meski Ayah akan tetap memberi, rasa tidak enak selalu hinggap di hati Maura.
Maura belum bekerja, Maura belum buat Ayah dan Ibu bangga, Maura nggak mau menyusahkan mereka. Kalimat yang selalu ia tanamkan dalam diri. Meski jika benar-benar kepepet ia terpaksa meminta uang juga.
[Minggu depan aja, deh, Ka! Maura nggak ada uang kalo besok, malu atuh kalo minta sama Ayah,] jawab Maura akhirnya.
[Nggak usah minta uang ke Ayah kamu, sayang. Besok Raka aja yang teraktir. Tenang aja, aku ini kan calon imam kamu dan harus jadi pacar yang baik untuk kamu.]
Ucapan Raka membuat Maura sedikit merinding. Kerasukan apa Raka sampai berbicara seperti itu? Berkata akan jadi calon imam dan pacar yang baik. Apa benar dia mau mulai merubah diri?
[Kamu juga, kan, belum dapet kerjaan, Ka. Uang dari mana?] tanya Maura tak langsung menyetujui ucapan Raka.
[Tenang aja, tadi aku jual akun mobile legend aku, dapet duitnya lumayan, kok.]
Menjual akun mobile legend? Sebuah game online? Kemudian dijual? Bagaimana ceritanya? Berbagai pertanyaan yang mulai membuat Maura bingung.
[Kenapa diem? Kamu bingung, ya? Haha, ini urusan cowok kamu nggak akan ngerti. Intinya aku punya uang dan aku mau ngajak kamu jalan!] tegas Raka seakan tidak ingin jika ajakannya ditolak oleh Maura.
Andai ia sudah mendapatkan pekerjaan, pasti ia tak usah lagi pusing untuk memikirkan masalah keuangan. Tidak tahu kapan teman kuliahnya itu akan menghubungi dirinya masalah pekerjaan yang pernah ia tawarkan.
Maura akhirnya mengalah. Setelah memikirkan dengan matang, akhirnya dia setuju dan mau ikut sang pacar untuk holiday ke pantai bersama.
[Iya, deh, Ka. Ya, udah, aku mau.]
[Nah, gitu dong, Yang! Oke, besok aku jemput kamu, ya,] ucap Raka dengan nada gembira mendengar keputusan Maura yang akhirnya mau pergi bersama dirinya.
[Jemput di jalan depan, jangan ke rumah. Aku bakal nunggu di sana besok,] kata Maura mengingatkan.
Ia harus mulai memikirkan alasan agar Ayah dan Ibunya mengijinkan. Tentu saja Maura tidak memperbolehkan Raka datang untuk menjemputnya di rumah. Bisa berabe urusannya jika Raka memunculkan diri dan mengaku sebagai kekasihnya.
[Oke, sayang. Aa' Raka jemput besok jam sepuluh.]
Sambungan telepon pun tak lama terputus, setelah mereka saling setuju dan selesai membicarakan rencana untuk hari esok.
"Duh, gimana, ya, minta ijinnya," ujar Maura merasa bingung sendiri sekarang.
Ia mulai memutar otak, mencari alasan yang pas agar bisa pergi besok. Maura sebenarnya tidak ingin berbohong seperti ini, tetapi jika tidak begitu, kapan lagi ia ada waktu dan bisa main dengan Raka?
Raka sedang baik dan sepertinya ingin mulai berubah. Setelah kejadian kemarin Maura berharap Raka tidak lagi menjadi lelaki yang pundungan dan cuek. Ia ingin Raka benar-benar bisa berubah.
Tiba-tiba satu nama terpikirkan olehnya. Zulfa! Nama yang membuat Maura tersenyum dan merasa lega.
Ia cari nama Zulfa pada kontak ponselnya dan mulai menghubungi temannya itu.
[Halo, Zul. Besok ikut aku ke pantai, yuk!] ajak Maura ketika panggilan suara telah diangkat oleh Zulfa.
[Tumben ngajakin ke sana, sama siapa, Ra? Raka?] tanya Zulfa memastikan. Ia sudah bisa menebak dengan siapa sebenarnya Maura ingin pergi.
[Hehe, iya. Ayok, ikut! Nanti kamu bareng sama Rendi. Ayoklah, Zul, holiday bareng sekali-kali. Biar nggak dosa-dosa banget, aku jadi ada alasan kalo perginya sama kamu,] ucap Maura menjelaskan, berharap Zulfa mau menerima ajakannya.
Setelah diam sejenak, akhirnya Zulfa bersuara dan mau ikut ajakan dari Maura.
[Jadi kalian udah baikan? Ya, udah, iya, Maura, aku ikut. Nanti aku kasih tau sama Rendi dulu.]
Maura tersenyum dengan lebar, untung Zulfa mau. Setidaknya, alasan yang ia gunakan besok kepada Ayah dan Ibu tidak membuat mereka curiga.
Karena Hana dan suaminya--Rusdi sudah mengenal Zulfa sedari ia masih kecil. Jadi tidak mungkin mereka akan marah jika Maura pergi bersama Zulfa, begitu yang selalu ada di pikiran Maura jika ingin main dan menjadikan Zulfa sebagai alasan.
[Sayang, deh, haha. Ya, udah, besok langsung aja ketemu di pantai, berangkat jam sepuluh, ya!] titah Maura mengingatkan.
[Itu mah kamu yang berangkat sepuluh. Kalo aku sama Rendi ke sana jam sepuluh, mau sampai jam berapa? Huh, aku sama Rendi berarti harus berangkat jam sembilan biar lebih cepat sampai,] ujar Zulfa mengingatkan Maura kalau rumahnya tidak lagi berdekatan dengan Maura.
Maura yang baru ingat pun menyengir tanpa bisa dilihat oleh Zulfa.
[Hehe, aku lupa. Ya, udah sampai ketemu besok, Zul.]
Maura segera mematikan ponselnya, setelah berhasil membujuk Zulfa untuk ikut serta bersama pacarnya. Maura sudah tidak sabar, ia akan kembali merasakan holiday bersama sang kekasih. Ia harap, Raka akan menunjukan perubahan dari dirinya esok.
Setidaknya sudah tidak lagi menghisap tembakaunya. Maura tidak suka menghirup asap yang sering muncul saat ia sedang bersama Raka. Meski banyak yang mengatakan kalau hal seperti itu wajar bagi lelaki, tetap saja Maura tidak suka jika pacarnya adalah seorang pecandu tembakau.
Bersambung ....