"Mau ke mana, Ra?"
"Mau ke pantai, Bu, sama Zulfa, hehe." Untung Maura sudah memikirkan alasan ini dari tadi malam.
Sehingga saat ini ia berbohong untuk meminta ijin pun rasanya tetap tenang, karena perginya ia bersama Raka memang benar Zulfa pun ada dan ikut.
Hana yang sedang menonton televisi mengalihkan sejenak pandangannya pada anak gadisnya itu.
Celana jeans, baju putih, dengan kardigan, dan rambut yang tergerai bebas sangat cocok di tubuh anak gadisnya itu. Hana tersenyum melihat penampilan anaknya.
"Bukannya kemaren baru maen sama Zulfa?" tanya Hana baru ingat kalau Maura baru saja kemarin ijin untuk main ke rumah Zulfa.
Maura tersenyum kikuk, bingung bagaimana menjawab pertanyaan Ibunya. "Iya, Bu, terus hari ini Zulfa ngajakin ke pantai mumpung dia lagi libur kerja," jawab Maura asal.
"Kamu naik bus apa dijemput Zulfa?" tanya Hana lagi. Kemana pun Maura pergi, ia harus tau tempat tujuan, dengan siapa, dan naik kendaraan apa.
"Naik grab, Bu. Maura tunggu di halte depan, nanti Zulfa dateng," jawab Maura berharap Ibunya mengijinkan dan tidak banyak bertanya lagi yang membuat dirinya bingung.
Hana akhirnya mengangguk dan mengijinkan, dirinya tidak curiga sama sekali jika anaknya pergi bersama Zulfa.
"Ya, udah, hati-hati, ya, di jalan. Jangan main lama-lama, pokoknya jam empat harus udah pulang!" titah Hana mengingatkan.
Maura tersenyum senang karena Hana akhirnya mengijinkan. Ia raih tangan Hana dan mencium punggung tangannya untuk pamit lalu mengucapkan salam.
"Maura berangkat, Bu, assalamualaikum," ucap Maura sambil berjalan menuju pintu rumah.
"Waalaikumsalam," jawab Hana sambil terus memperhatikan anak gadisnya sampai hilang melewati pintu rumah.
***
Maura berjalan menyusuri gang rumah. Tadi malam ia menyuruh Raka untuk menunggu di depan, di ujung gang rumahnya.
Seperti itulah jika mereka akan main bersama, Raka tidak menampakkan dirinya di depan orang tua Maura karena Maura yang tidak pernah mengijinkan, untung Raka mengerti kenapa Maura seperti itu.
Terlihat seorang pria duduk di atas motor, menggunakan celana jeans seperti yang Maura kenakan dan jaket serta sepatu yang menghiasi tubuhnya. Maura berjalan untuk mendekati pria itu.
"Udah nunggu lama?" tanya Maura setelah sampai di samping pria itu--Raka.
Raka yang menyadari ada seseorang yang mengajaknya berbicara segera menoleh dan mendapati sang kekasih yang wajahnya selalu ia rindu karena jarang bertemu.
"Enggak, kok, barusan. Bilang apa untuk ijin sama Ibu?" tanya Raka sebelum memakai kembali helmnya.
"Mau pergi sama Zulfa," jawab Maura singkat. Sebenarnya ia masih merasa kesal mengingat kiriman foto dan video dari Bima, meski sudah lama tetap saja ia kesal.
"Kamu ngajak Zulfa?"
"Iya, Raka, biar aku nggak bohong mulu, kali ini ajak Zulfanya beneran," jawab Maura sambil meraih helm yang bertengger di salah satu spion Raka.
"Iya, deh. Ya, udah ayok berangkat!" ujar Raka sambil mengenakan helmnya.
Maura melakukan hal yang sama, ia lalu naik ke atas motor Raka tanpa berpegangan.
Raka sempat diam untuk membiarkan Maura berpegangan pada pinggangnya, tetapi Naura tidak melakukan hal itu, Raka pun segera menancapkan gas untuk menuju tempat yang akan mereka tuju.
***
"Maura!" teriak Zulfa.
Maura yang baru saja sampai dan turun dari atas motor pun segera mencari arah sumber suara yang memanggil dirinya.
Ternyata Zulfa sudah sampai lebih dulu bersama pacarnya, Rendi.
"Kamu cepet banget nyampenya," ujar Maura saat sudah menghampiri temannya itu.
Zulfa melirik Rendi dan tersenyum. "Rendi ngajakin berangkat lebih cepat, makanya kami sampai duluan."
Maura tersenyum pada Rendi, sebagai tanda sapaan, begitupun yang dilakukan oleh Raka.
"Kalian belum saling kenal, ya?" tanya Zulfa sambil melihat Rendi dan Raka bergantian.
Mereka menggeleng canggung. Lelaki memang tidak mudah untuk berkenalan, berbeda dengan wanita yang baru kenal pun kadang sudah langsung akrab.
"Kenalin, Ka, ini Rendi pacar Zulfa. Ren, kenalin, ini Raka pacar Maura," jelas Zulfa mewakili perkenalan antara Rendi dan Raka.
Dua pria itu pun bersalaman setelah saling tau nama satu sama lain, lalu tersenyum sebagai tanda salam kenal.
"Foto, yuk!" seru Zulfa dengan nada ceria.
Ia menarik lengan Maura untuk mendekati bibir pantai. Mereka berlari gembira dengan rambut yang berkibar tersentuh angin.
Raka dan Rendi menggeleng kecil melihat tingkah dua wanita itu, lalu mereka berjalan dengan santai mengikuti Zulfa dan Maura.
Deru ombak yang menggebu terdengar saat sampai menyentuh karang. Pasir putih yang menjadi alas terhantam air berkali-kali. Angin berterbangan dengan gembira di sekeliling pantai, memperolok suasana saat ia melambai-lambaikan nyiur hijau.
Nampak para bocah bermain dengan ceria bersama ombak dan pasir pantai. Dalamnya lautan tak menghalangi diri mereka untuk menceburkan diri ke dalam air, ban yang disewakan oleh penyewa pelampung menjadi alternatif untuk tetap bisa merasakan dinginnya air laut.
"Satu ... dua ... tiga!"
Cekrek.
Jepretan demi jepretan dari kamera yang di bawa oleh Rendi terdengar beberapa kali. Di arahkan dari bawah, atas, di putar ke kiri, kanan, sampai mendapatkan angel kamera yang bagus.
Maura dan Zulfa berpose dengan berbagai gaya, memperlihatkan raut wajah mereka yang bahagia, bak dua orang yang tidak bisa terpisahkan.
Karang, ombak, dan langit biru menjadi background foto mereka. Angin mengusik rambut mereka seolah mendukung agar gambar terambil dengan sempurna.
"Fotoin aku sama Raka!" seru Maura saat sesi foto dirinya dan Zulfa sudah selesai.
Entah sudah dapat berapa foto untuk foto mereka berdua dan foto diri sendiri, bisa dipastikan ponsel handphone akan segera penuh sepulangnya mereka dari pantai.
"Datar banget mukanya!" teriak Zulfa yang melihat Raka hanya tersenyum simpul di kamera.
Maura menoleh ke arah Raka, ia melihat senyum ceria di wajah itu. Memang seperti itu wajah Raka, senyum simpulnya adalah ceria, dan datarnya wajah adalah amarah.
Satu, dia, tiga, empat. Rendi menekan tombol potret untuk yang ke sekian kalinya. Mulai dari mereka tersenyum ceria, saling pandang, menatap pantai dan langit, juga dengan muka konyol, semua gambar terambil oleh kamera Rendi.
"Gantian! Aku sama Rendi juga!" Maura mengangguk, ia ambil alih kamera Rendi dan memotret kebersamaan Zulfa dan Rendi seperti yang ia dan Raka lakukan tadi.
Foto terambil dengan berbagai gaya. Membuat mereka tertawa setelah melihat-lihat foto itu saat ada aib yang terselip.
Rendi menutup kamera, memasukkannya ke dalam tas kamera yang ia bawa, dan ia sampirkan ke pundak.
"Aku sama Rendi ke sana dulu, ya!" ucap Zulfa menunjuk sebuah batu karang yang bisa dijadikan tempat duduk, yang terletak tidak terlalu jauh dari tempat mereka berdiri.
Maura dan Raka mengangguk untuk mempersilahkan, mereka mengerti kalau Zulfa dan Rendi ingin berdua saja.
Sekarang, tinggal Maura dan Raka yang masih berdiri mematung di bibir pantai. Tidak tahu ingin memulai pembicaraan dari mana, karena rasa canggung tiba-tiba masuk dalam hati mereka.
Maura berjalan, mendekati batu karang yang juga bisa dijadikan untuk tempat duduk di depan dia, Raka mengikuti langkah kaki Maura dan ikut mengambil duduk di samping Maura.
"Masih kesel, ya?" Akhirnya Raka membuka suara.
"Enggak, kok," jawab Maura singkat.
Raka menghembuskan nafasnya pelan, membaca arti dari kalimat 'enggak, kok' yang diucapkan Maura.
"Ra, dengerin aku." Maura menoleh untuk melihat wajah Raka. Raka tersenyum, meraih tangan Maura untuk berada dalam genggamannya.
"Aku emang anak nakal, aku susah untuk berubah. Tapi, aku selalu berusaha untuk meninggalkan semua keburukan aku, walaupun itu sulit. Aku harap kamu ngerti sama diri aku yang lagi berusaha untuk berubah, sampai saatnya aku buktiin ke kamu kalo aku udah bener bener berubah," jelas Raka untuk meyakinkan Maura.
Maura masih diam, berpikir sebentar untuk menjawab dengan kalimat apa ucapan Raka.
"Aku percaya kamu bisa berubah, tapi kadang sikap kamu ke aku yang buat aku ragu. Kamu egois, Ka, kamu nggak pernah bisa ngertiin aku."
"Iya, aku tau itu. Maaf, aku belum bisa jadi yang terbaik untuk kamu, aku masih jauh dari kata itu. Tapi aku udah bilang, kalo aku lagi berusaha untuk berubah, dan aku akan jadi lelaki yang terbaik untuk kamu. Sampai kamu nggak takut lagi untuk memperkenalkan diri aku ke orang tua kamu," jawab Raka dengan nada lembut.
Suara Raka menyejukkan hati Maura kini. Hari ini terasa berbeda dari hari-hari kemarin. Bagaimana Raka yang tidak pernah memiliki niat untuk benar-benar berubah. Tetapi sekarang, ucapannya begitu manis seolah ia akan berubah untuk meninggalkan segala keburukannya.
Maura melihat ke arah Zulfa dan Rendi berada, mereka berdua terlihat begitu bahagia dengan tawa yang menghiasi wajah. Raka mengikuti arah pandangan Maura.
Ia yang seolah mengerti apa yang ada di pikiran Maura kini, beralih untuk merangkul pundak Maura, memberikan ketenangan yang jarang ia lakukan.
Perlahan bibir Maura tersenyum, jarang sekali Raka berlaku manis padanya. Ia merasa nyaman berada di dekat Raka, berharap Raka akan membuktikan ucapannya.
Ombak yang datang berulang kali menjadi pemandangan yang saat ini mereka saksikan. Di bawah langit cerah dan indahnya rona pantai, Raka berucap seolah berjanji. Meyakinkan diri Maura agar 'tak ragu untuk bertahan bersamanya.
"Ra, jangan pernah pergi," ucap Raka dengan tatapan penuh harap.
Mata mereka saling beradu, memancarkan rasa cinta yang hanya terlihat oleh mereka. Tangan Raka bukan lagi merangkul pundak Maura, ia menyentuh puncak rambut Maura seolah sangat menyayangi wanitanya tersebut. Maura pun tersenyum bahagia, dunia seolah hanya ada mereka berdua kini.
Ingin sekali rasanya Maura menghentikan waktu agar bisa menikmati keromantisan yang sangat langka ini. Membiarkan dirinya melebur bersama Raka diterpa ombak, agar kebersamaan selalu abadi menemani mereka.
Nyatanya, waktu akan terus berjalan, segalanya akan berubah bersama waktu. Waktu yang akan membawa Maura untuk melihat kebenaran ucapan Raka.
Berubah untuk menjadi lelaki terbaik dalam hidup Maura, atau berubah untuk menjadi lelaki terburuk dalam hidup Maura, hanya Raka yang akan memilih jawabannya.
Bersambung ....