"Ibu!" Maura berteriak dengan kencang saat sudah sampai di dalam rumahnya.
Hana yang sedang menonton televisi menjadi bingung dengan anaknya yang tiba-tiba pulang sambil berteriak memanggil dirinya.
"Ada apa, Ra? Jangan teriak-teriak gitu, ah! ucap salam dulu kalau masuk ke dalam rumah," ujar Hana mengingatkan putrinya.
"Hehe, iya, Bu. Assalamualaikum," ulang Maura sambil berjalan untuk mendekati sang Ibu.
"Waalaikumsalam. Nah, gitu, dong!"
"Gimana lamaran kerja kamu tadi?" tanya Hana antusias dan tidak sabar mendengar jawaban putrinya.
Bukannya menjawab, Maura malah tersenyum semakin lebar, dan mendekat untuk memeluk tubuh Hana. Ia sangat bahagia dan ia ingin menyalurkan kebahagiaan itu pada Ibunya.
"Aku diterima kerja di sana, Bu, dan langsung ditempatkan menjadi seorang manajer sebagai pengganti Indri, Bu," ujar Maura memberi tahu.
Hana melepaskan pelukan Maura sebentar, lalu menangkup wajah Maura sambil menatap dengan tatapan antara terkejut dan bahagia.
"Alhamdulillah, akhirnya doa kamu terkabul, Nak," ucapnya kembali mendekap erat tubuh Maura.
Maura mengangguk dan tersenyum senang di pelukan sang Ibu. Ia terharu dengan apa yang terjadi saat ini, begitupun Hana yang merasa bangga karena putrinya semudah itu bisa diterima menjadi manajer di sebuah perusahaan yang terkenal cukup ternama itu.
"Kamu harus mulai rajin dan fokus sama pekerjaan kamu, ya!" titah Hana sembari mengelus puncak rambut Maura.
Maura melepas pelukannya dan menatap lekat wajah sang Ibu. Ia sangat senang bisa membuat wanita di hadapannya tersenyum bahagia. Maura tidak ingin melunturkan senyum itu, ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, ia harus selalu membuat kedua orang tuanya bangga dan bahagia.
"Siap, Bu! Makasih, ya, Bu, selalu mendukung langkah yang Maura ambil. Maura sayang Ibu sama Ayah," ucap Maura dengan lembut.
Hana merasa terharu dengan ucapan sang putri sulungnya, ia mengangguk tanda bahwa ia juga menyayangi Maura bahkan lebih dari apapun yang ia miliki di dunia.
"Maura ke kamar dulu, ya, Bu, mau ganti baju." Hana mengangguk, membiarkan putrinya untuk merasakan kebahagiaan dalam hatinya saat ini.
"Ibu bahagia, Ra, punya kamu," lirih Hana saat Maura sudah masuk ke dalam kamarnya.
Maura langsung mengganti pakaiannya, dengan baju pendek juga celana pendek karena hanya berada di dalam rumah.
Dengan rasa bahagia yang masih sangat menggebu, Maura senyum-senyum sendiri di kamarnya. Apa lagi jika mengingat perkataan dari direktur utama tadi, hatinya seolah ingin terbang saking bahagianya.
Menyenandungkan lagu barat dengan lirik yang tidak beraturan menjadi kegiatan yang ia lakukan kini. Tidak tahu apa arti dari lagu yang ia nyanyikan, yang terpenting adalah hatinya sedang berbunga-bunga dan ingin terus bernyanyi.
Maura merebahkan tubuhnya di atas ranjang berlapis kain berwarna biru, warna kesukaannya. Ia tidak lagi menyenandungkan sebuah lagu, tetapi mulai berkhayal apa yang akan terjadi suatu saat ini.
Segera ia tepis semua khayalannya agar tidak terlalu tinggi, karena jika jatuh dan tidak tersampaikan itu sangatlah sakit.
Maura mengangkat tubuhnya untuk berjalan dan mengambil benda pipih yang tadi ia letakkan di atas meja. Berita bahagia ini juga harus ia ceritakan pada Zulfa.
Pasti Zulfa akan senang, karena ia pun sudah lama selalu menyuruh Maura untuk segera mencari pekerjaan meski jawaban yang selalu terdengar dari mulut Maura adalah, 'nanti aja kerjanya, aku masih mau bantu Ibu'.
Sekarang tidak akan ada lagi alasan seperti itu. Hana sudah tidak lagi berjualan kue, dan kabar baiknya adalah Maura mau mencari pekerjaan melalui Indri dan ia kini sudah diterima di tempat kerja yang ia inginkan itu.
Berbeda dengan Maura, Zulfa bukanlah seorang pegawai di sebuah perusahaan. Ia adalah seorang gadis cantik yang bekerja untuk menjadi seorang guru sekolah menengah pertama.
Saat di sekolah menengah atas dan kuliah dulu, mereka memang mengambil jurusan yang berbeda. Jika Zulfa bercita-cita ingin menjadi seorang guru, Maura bercita-cita ingin menjadi pengusaha muda yang sukses.
Walaupun saat ini ia masih menjadi seorang manajer, itu adalah pencapaian yang luar biasa yang telah Maura dapatkan. Tetapi Maura yakin suatu saat ia akan meraih lebih dari apa yang ia dapat kini.
[Halo, Zul!] ucap Maura saat sambungan telepon telah diangkat oleh penerima di ujung sana.
[Halo, Ra. Tumben nelpon siang-siang begini. Ada apa?] tanya Zulfa penasaran.
Maura menghela napasnya terlebih dahulu, bersiap-siap untuk memberi tahukan berita bahagianya pada Zulfa.
[Aku diterima untuk kerja di perusahaan yang ada di Kampung Garuda, langsung jadi manajer!] seru Maura dengan heboh.
[Yang bener, Ra? Sejak kapan kamu mau melamar kerja? Kenapa baru cerita sekarang? Ya, ampun! Aku ikut bahagia banget dengernya,] jawab Zulfa di ujung sana tidak kalah hebohnya.
[Hehe, aku lupa ngasih tau, Zul. Aku dapet lowongan ini dari Indri. Iya, aku bahagia banget waktu direktur di perusahaan itu langsung percaya dan mau menerima aku,] ujar Maura menjelaskan.
Ia memang tidak menceritakan perihal pekerjaannya itu pada Zulfa, lebih tepatnya belum bercerita. Karena Indri sudah mengabari duluan dalam waktu yang cukup sebentar, jadilah Zulfa tahu kabar ini saat Maura sudah diterima di perusahaan itu saja.
[Bagus, dong. Berarti kamu bakal mulai sibuk untuk bekerja. Kerja yang bener, ya, biar bisa bahagiain Ayah sama Ibu. Terus, biar bisa dapet jodoh yang mapan dan nggak kaya Raka.]
Maura mendelik, temannya yang satu ini memang sebenarnya sangat tidak setuju jika Maura berpacaran dengan Raka. Diberi tahu oleh Zulfa berapa kali pun, Maura tetap bertahan untuk Raka. Entah setan apa yang merasuki dirinya, begitu yang ada di batin Zulfa jika Maura masih saja tidak nurut.
[Aamiin. Tapi aku maunya sama Raka, Zul, haha!] ucap Maura diselingi tawa. Zulfa yang mendengar ucapan Maura hanya memutar bola matanya malas tanpa bisa dilihat oleh Maura.
[Ya, udah, kamu banyak-banyak belajar untuk pekerjaan kamu sekarang ini. Aku lagi ada jam, nih, aku matiin dulu, ya. Selamat sahabatku!] ucap Zulfa memberikan semangat pada Maura.
Maura mengangguk lalu mereka mematikan sambungan telepon. Semua perkataan Zulfa pastinya akan Maura ingat, tapi untuk 'jodoh yang mapan dan tidak seperti Raka', Maura masih harus memikirkan lagi ucapan itu.
Oh, iya, berbicara tentang Raka, Maura jadi ingat dengan kekasihnya itu. Kekasih yang berkata ingin menjemput dan mengantar dirinya sampai ke tempat kerja, tetapi malah tidak datang tanpa alasan. Sampai sekarang pun nomor Raka masih tidak aktif, Maura tidak tahu ia ke mana.
Kembali Maura menghubungi nomor Raka. Untuk menanyakan alasan mengapa ia tidak menjemput dirinya tadi pagi dan juga untuk memberi tahu kabar baik kepada Raka.
Sudah beberapa kali melakukan panggilan, masih juga tidak ada jawaban. Hingga panggilan yang entah ke berapa, akhirnya Raka mengangkat panggilan Maura.
[Kamu ke mana aja, sih!] Satu kalimat yang Maura ucapkan saat gambar detik tanda panggilan telah terjawab tertera di ponselnya.
[Hoam ... aku baru bangun, Sayang,] jawab Raka dengan suara khas baru bangun tidur.
Baru bangun tidur? Maura merasa kesal mendengarnya. Ternyata Raka asik tidur sampai melupakan janjinya tadi malam.
[Kamu ingkar janji, Ka! Kamu nggak jemput aku, padahal aku udah nungguin kamu di depan!] kesal Maura dengan raut wajah yang bukan lagi ceria seperti sebelumnya.
[Ya, ampun! Ini udah siang? Maaf, ya sayang, aku kesiangan. Aku kira sekarang masih subuh. Maafin aku, ya, aku nggak ingkar janji, aku cuma ketiduran,] ujar Raka mencoba menjelaskan.
Masih subuh katanya? Maura mendengus sebal karena Raka selalu seperti itu. Menganggap enteng suatu masalah, padahal jika tadi pagi ia hanya menunggu kedatangan Raka, bisa dipastikan kalau ia mungkin tidak akan diterima di perusahaan itu.
[Kamu tuh ngeselin banget, tau nggak!] ujar Maura tanpa nada lembut.
[Maaf, Ra, aku kesiangan. Semalam aku abis main game sampe larut malem, jadinya ngantuk banget,] jelas Raka berusaha membuat Maura tidak marah.
Maen game memang kebiasaan yang Raka lakukan, tetapi harusnya ia tidak usah begadang jika tahu kalau esok paginya ada sebuah janji. Maura sampai bingung harus bagaimana untuk menjawab alasan-alasan Raka.
[Kalo kamu nggak mau maafin aku, ya, udah, nggak apa-apa,] ucap Raka kemudian.
Maura yang mengerti kalau sebentar lagi Raka akan balik marah pada dirinya langsung menghembuskan napasnya pasrah. Mencoba untuk percaya dengan semua ucapan Raka, meski ia tidak tahu benar atau tidak ucapan itu.
[Iya, iya, aku percaya sama kamu. Aku maafin, lagian juga aku tadi langsung naik bus, kok,] jawab Maura akhirnya memaafkan.
Di ujung sana Raka tersenyum senang, wanitanya sangat mengerti dirinya.
[Makasih, sayang. Terus, kamu diterima kerja nggak di perusahaan itu?]
Berbicara soal diterima pekerjaan, raut wajah Maura kembali ceria lagi kini. Ia memang berniat ingin memberi tahukan kabar ini pada Raka juga.
[Iya, Ka. Aku langsung diterima untuk jadi manajer, dan besok aku udah mulai masuk kerja,] jawab Maura kembali antusias dengan perasaan bahagia.
[Hebat banget pacar aku. Selamat, ya! Aku doain semoga kamu bertambah sukses.]
[Iya, Ka, aamiin. Kamu sendiri kapan mau mulai cari pekerjaan?] tanya Maura yang penasaran juga tentang langkah apa yang akan Raka ambil.
[Belum tau, Ra, Abang juga masih bantu cari lowongan pekerjaan yang sesuai sama apa yang aku mau.]
[Memangnya kamu mau kerja apa?] tanya Maura semakin penasaran.
[Kerja untuk membangun rumah tangga bersamamu,] jawab Raka membuat pipi Maura jadi tersipu malu.
Raka memang seperti itu, meski terkadang mudah pundungan dan juga marah, tetapi sisi manisnya mulai ia tunjukkan kini. Membuat Maura semakin mau bertahan padanya, hanya karena ucapan-ucapan manis yang Raka berikan.
[Aku mau mandi dulu, ya. Kamu harus semangat kerjanya, aku sayang kamu!] ujar Raka kemudian mematikan sambungan teleponnya. Membiarkan Maura tersenyum sendiri sebab terbuai dengan ucapannya.
Berbagai masalah yang datang dalam hubungan mereka, Maura selalu berusaha untuk menanggapinya dengan bersabar.
Ia masih menunggu waktu di mana Raka benar-benar bisa menjadi lelaki terbaik dalam hidupnya, meski ia sendiri tidak tahu kapan waktu itu akan tiba.
Bersambung ....