Duduk di halte sambil menunggu bus datang, hal yang pernah Maura lakukan juga minggu lalu. Hanya saja, waktu dan tujuan yang membedakan saat ini.
Karena bus belum juga datang, Maura menyibukkan diri dengan bermain ponsel. Membuka aplikasi berwarna merah muda yang selalu menjadi penghiburnya di kala bosan.
Video dan foto yang lewat di berandanya membuat ia fokus untuk mengklik dua kali foto dan video itu sampai muncul gambar hati berwarna merah. Terus ia lakukan sampai ke insta story pula untuk dilihat-lihat.
Beberapa orang lainnya mulai berdatangan dan turut menunggu bus jurusan mereka di halte. Dengan santainya mereka berjalan karena hari masih terlalu pagi.
Maura mengalihkan sebentar pandangannya pada orang-orang yang ada di sekitarnya. Rasa bahagia dan gembira kembali masuk dalam hatinya mengingat ia yang akan memiliki kesibukan yang bisa membawanya meraih cita-cita untuk menjadi seorang pengusaha muda.
Mereka yang melihat Maura tersenyum, begitupun yang Maura lakukan pada mereka. Senyuman tanda sapaan di pagi hari yang menambah semangat di hati setiap insan.
"Garuda! Garuda!"
Sebuah bus jurusan Kampung Garuda berhenti tepat di depan halte. Seorang kernet berteriak menyebutkan nama dari jurusan mobil yang ia naiki.
Dengan segera, para penumpang yang ingin pergi ke Kampung Garuda berjalan dengan cepat untuk masuk ke dalam bus.
Tak terkecuali Maura. Tempat bekerja ia kini memang berada di Kampung Garuda, tempat yang tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh hanya dengan waktu setengah jam, lebih cepat dari pada menuju ke Kampung Rajawali, rumah Zulfa.
Berbeda dari minggu lalu, jika saat itu Maura asik bermain ponsel sampai tidak menyadari kalau bus telah tiba. Kini ia berada di antara orang-orang yang sibuk masuk ke dalam bus.
Panggilan kernet bisa ia dengar dengan jelas, tanpa sedang bermain handphone. Berkat jam misterius atau sebab nasihat dari Hana, Maura tidak tahu. Yang jelas sekarang ia sudah mulai bisa membagi waktu dan tidak terlalu terlena dengan dunia maya.
Ia masuk ke dalam bus, mencari kursi yang masih kosong. Tidak perlu berjalan sampai ke belakang, kursi bus bagian depan ternyata masih ada beberapa yang kosong.
Seorang Ibu muda memakai baju berwarna coklat duduk sendiri di salah satu kursi yang masih kosong. Maura berjalan untuk mendekati Ibu muda tersebut, lalu mengambil duduk di sebelahnya.
Senyuman Maura berikan pada Ibu muda itu, ia pun membalas senyuman Maura dengan ceria. Mereka duduk bersebelahan tanpa rasa canggung.
Kursi bus mulai dipenuhi para penumpang, yang duduk bersama Maura kini bukan lelaki yang pernah ia temui dan duduk bersamanya minggu lalu.
Padahal, Maura sudah berniat jika bertemu lagi dengan lelaki itu, ia akan menanyakan perihal jam gold yang tiba-tiba ada di dalam tas kecil Maura.
Bus akan melaju sebentar lagi, tetapi dengan cepat seorang pengamen masuk untuk menyanyikan sebuah lagu sebagai pembukaan di pagi hari.
Maura yang berniat ingin membuka kembali benda pipihnya, melupakan niatnya tersebut. Ia beralih untuk memperhatikan dan mendengarkan lagu apa yang akan dipersembahkan oleh sang pengamen.
"Selamat pagi, Bapak, Ibu, dan Kakak-kakak. Saya ingin menyanyikan sebuah lagu sebagai penyemangat di pagi hari, sekaligus rasa rindu pada seseorang yang tidak juga bisa untuk bertemu."
Pengamen itu mengucapkan beberapa patah kata sebelum memetik senar gitar yang ia pegang.
Bus mulai berjalan dengan perlahan, tidak mungkin sang supir menjalankan mobilnya saat pengamen sudah selesai bernyanyi, ia pun tidak ingin membuat para penumpangnya kecewa jika sampai telat untuk datang ke tempat tujuan masing-masing.
"... semua kata rindumu
Semakin membuatku, tak berdaya
Menahan rasa, ingin jumpa
Percayalah padaku, aku pun rindu kamu
Ku akan pulang, melepas semua
Kerinduan yang terpendam ...."
Suara mirip penyanyi terkenal yang menyanyikan lagu berjudul 'Bukti' menggema di dalam bus. Membuat semua orang yang mendengar jadi terpana dan kagum.
Pembawaannya tenang dan sangat menghayati, membuat siapa saja yang mendengar akan hanyut dalam makna lirik lagu yang ia nyanyikan.
Begitupun Maura, hatinya tersentuh saat mendengar suara pengamen itu. Membuatnya membisu untuk menikmati lirik dan suaranya.
Rindu?
Mendengar kata itu, hati Maura seakan perih. Ada rasa yang meronta-ronta seolah ingin segera dilepaskan. Ingin sekali rasanya ia bertemu seseorang yang entah siapa.
Bukan pada Rusdi dan Hana, bukan pula pada Raka dan Zulfa. Rindunya tidak tertuju untuk mereka. Lebih tepatnya, seseorang yang Maura sendiri tidak mengerti siapa.
Liriknya sangat menyentuh hati, hingga bulir air mata rasanya ingin ikut turun saking terharunya. Rasa rindu yang menggebu sangat mengusik hatinya kini.
Pada siapa sebenarnya rindu itu tertuju? Maura berpikir apa mungkin pada lelaki yang bersama dengannya di bus minggu lalu? Tetapi, untuk apa ia merindukan orang itu? Bahkan Maura mengenalnya saja pun tidak.
Maura memegang dadanya, ada rasa sesak di sana. Apa lagi saat mendengar lirik, 'percayalah padaku aku pun rindu kamu, kuakan pulang'. Seolah lagu itu mewakili dirinya untuk mengatakan kalimat tersebut pada seseorang.
Seseorang yang selalu mengusik hati dan ingatannya. Yang selalu menguasai rindunya meski tak jua tahu seperti apa batang hidungnya.
"Aku rindu dia." Satu kalimat yang meluncur begitu saja dengan lirih dari bibirnya. Entah siapakah 'dia' itu, otaknya tidak bisa memutar memori tentang 'dia' yang kini dan selalu Maura rindu.
Maura merogoh saku bajunya dan mengambil selembar uang untuk ia masukkan pada wadah uang yang pengamen itu bawa.
Karena sibuk menikmati rindu di dalam hati, Maura tidak sadar jika pengamen itu sudah berjalan untuk mulai meminta uang seikhlasnya atas lagu yang sudah ia nyanyikan. Suaranya yang begitu merdu membuat semua orang dalam bus memberinya tepuk tangan dan uang sebagai nafkah yang ia dapat.
Setelah pengamen itu turun, Maura masih membisu. Hatinya masih mencari siapa orang yang sedang ia rindu.
"Kamu kenapa, Teh?"
Maura menoleh, Ibu muda yang berada di sampingnya mungkin memperhatikan Maura yang sedari tadi diam dan merasa bersedih.
"Nggak apa-apa, kok, Teh," jawab Maura sambil tersenyum pada Ibu muda yang masih terlihat seperti gadis tersebut. Tetapi wajah yang sudah sedikit berubah tidak menutupi kalau ia adalah seorang Ibu muda.
Bus masih terus berjalan, beberapa kali Maura mencoba untuk melihat pemandangan yang ada di jalanan, atau sekedar melihat semua orang yang ada di dalam bus lalu melemparkan sebuah senyuman.
Tetap saja, rindu itu masih singgah. Bagai ingin segera terbalaskan dan bertemu dengan seseorang di balik rindunya.
"Apa mungkin pria waktu itu?" tanya Maura dalam hati. Hanya perkiraan dalam hatinya, karena ia tidak tahu pada siapa rindunya tertuju.
Jika ingatannya tiba-tiba pulih dengan lengkap, mungkin Maura tak perlu lagi kebingungan atas rindu yang sewaktu-waktu selalu datang itu.
Bersambung ....