"Assalamualaikum," ucap Maura saat sudah sampai di rumah.
Ia pulang tepat jam tiga sore, lebih cepat dari waktu yang ditentukan oleh Hana. Raka mengantarkan Maura sampai ke gang tempat awal mereka berangkat, lalu Maura berjalan kaki beberapa meter untuk sampai di rumahnya.
Tidak ada jawaban, Maura mengernyitkan dahinya, ke mana Ibu?
Sebuah motor milik Ayahnya terparkir di teras rumah. Maura bertambah bingung mengapa Ayahnya ada di rumah, karena biasanya Rusdi pulang jam lima sore. Ia bekerja di salah satu pabrik yang berada di kota Bandung.
Maura membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci, ia melangkah masuk sambil melihat sekeliling rumah. Tumben sekali rumah Maura terasa sangat sepi.
"Kamu udah pulang, Ra?"
Maura menoleh, ternyata itu adalah suara Hana. Ia menghembuskan napas lega karena segala pikiran negatif yang mulai muncul hilang setelah melihat wajah Hana.
"Ibu, dari mana? Maura ngucap salam nggak ada yang jawab, Maura kira Ibu pergi, tapi ternyata motor Ayah ada di luar, Ayah pulang cepet, Bu?" ucap Maura langsung menjejali Hana dengan semua pertanyaan yang mulai berputar di otaknya.
Maura melangkahkan kaki untuk mendekati Ibunya. Saat raut wajah sedih terpancar dari sorot mata meneduhkan itu, Maura selalu mengerti apa yang dirasakan oleh Hana meski hanya lewat tatapan matanya.
"Ayah sakit, Ra. Terlalu lelah sepertinya, Ayah ijin untuk pulang dan istirahat, untungnya diijinkan," jawab Hana menjawab pertanyaan dari putrinya.
Hati Maura seketika menjadi khawatir, setelah mendengar ucapan Hana kalau Rusdi sedang sakit. Ia sangat menyayangi Ayahnya, Ayah yang selalu mengerti dirinya dan tidak pernah kasar pada dirinya.
"Sekarang Ayah di mana, Bu?" tanya Maura dengan nada khawatir.
"Di kamar lagi istirahat, baru aja makan dan minum obat," jawab Hana sambil menunjuk kamarnya dan sang suami.
Maura segera berjalan menghampiri kamar kedua orang tuanya, Hana mengikuti dari belakang. Ia buka pintu perlahan untuk mengetahui bagaimana kondisi Ayahnya itu.
"Yah," panggil Maura lirih.
Rusdi yang sedang berbaring dan baru saja menutup matanya, menoleh dan kembali membuka kedua kelopak mata yang semakin mengerut itu.
Rusdi tersenyum, mendapati wajah putri kesayangannya yang sudah beranjak dewasa. Rasanya, baru kemarin ia berjuang untuk mendapatkan cinta Hana, baru kemarin ia memberanikan diri untuk meminang Hana, dan rasanya baru kemarin ia mengucapkan akad di depan para saksi sampai kata sah terdengar.
Kini, ia sudah memiliki seorang putri dari hasil buah cinta antara dirinya dan Hana, dikaruniai seorang putri cantik yang cerdas, dan tidak pernah melawan pada dirinya.
Nanti, ia akan menggantikan posisi seperti Ayah Hana dulu untuk menentukan jodoh yang akan ia pilih untuk putrinya.
Menjadi seorang Ayah yang akan didatangi seorang lelaki sebagai calon pendamping hidup Maura, dan ia tidak akan semudah itu menyetujui siapa yang akan menjadi calon imam Maura. Bibit, bebet, dan bobot harus ia pertimbangkan demi kebahagiaan sang putri tercinta.
Menjadi wali untuk menyebutkan nama Maura dan calon suaminya, sampai para saksi berkata sah atas kalimat darinya yang diikuti oleh calon imam Maura.
Semua akan terjadi suatu hari nanti, apa lagi Maura yang kini sudah semakin dewasa, bukan lagi seorang anak kecil yang harus selalu ia bela dan ia lindungi dari kejamnya dunia, akan ada seorang lelaki yang menggantikan peran dirinya.
"Kamu dari pantai, Nak?" tanya Rusdi lembut.
Maura mengangguk pelan dan berjalan untuk mendekati Rusdi. Duduk di tepi ranjang untuk menatap tubuh yang kini sedang terbaring lemah.
"Ayah sakit apa, sih? Kenapa bisa sakit? Pasti Ayah kurang istirahat, ya? Harusnya Ayah jaga kesehatan, Yah," cerocos Maura mengkhawatirkan Rusdi.
Ia merasa sedih melihat tubuh gagah Ayahnya tidak memiliki tenaga seperti sekarang, wajahnya yang pucat membuat hati Maura semakin teriris tak tega melihatnya.
"Iya, Nak. Ayah nggak apa-apa, kok. Tuh, Ayah masih bisa senyum ceria," ucap Rusdi sambil tersenyum lebar, menunjukkan bahwa dirinya tidak apa-apa dan tidak perlu di khawatirkan.
Tanpa aba-aba, Maura langsung memeluk tubuh Ayahnya sebagai tanda bahwa ia sangat menyayangi tubuh pahlawannya itu. Pahlawan tanpa tanda jasa yang Maura miliki sejak ia terlahirkan ke dunia.
Air mata Maura mengalir, tak kuasa menahan rasa sedih saat berada di dalam dekapan sang Ayah. Pelukan Hana dan Rusdi adalah tempat ternyaman baginya, tempat di mana hati Maura akan merasa bahagia jika berada di dekat dua tubuh malaikat tak bersayap dalam hidupnya itu.
Rusdi tersenyum bahagia, ia bahagia memiliki putri seperti Maura yang sangat menyayangi dirinya. Ia salurkan rasa sayangnya dengan sentuhan cinta yang ia ulurkan untuk menghapus air mata putri sulungnya.
Hana yang sedari tadi menyaksikan momen mengharukan dari kedua orang berharga dalam hidupnya itu pun segera melangkah masuk untuk ikut merasakan kebahagiaan dari cinta yang tumbuh dalam satu keluarga utuh yang begitu harmonis.
"Sayang, Ayah nggak apa-apa, kok," ucap Hana sambil mengelus rambut Maura untuk meredakan kesedihan yang Maura rasakan.
Maura melepas dekapannya pada tubuh Rusdi, ia beralih menatap Hana yang juga duduk di tepi ranjang.
"Ayah cuma kecapekan, Nak. Besok juga Ayah bisa kembali bekerja lagi, kok," ucap Rusdi. Maura kembali melihat wajah Ayahnya. Rusdi terlihat tetap tegar meski tubuhnya tak lagi setegar dulu.
"Maura sedih liat Ayah sakit kaya gini, Maura mau liat Ayah sama Ibu selalu sehat dan bahagia," ujar Maura mengungkapkan isi hati yang terdapat di lubuk hatinya yang paling dalam.
"Ayah cuma sakit biasa, kok, dia akan segera sembuh, kamu jangan khawatir. Dan Ibu akan selalu jaga kesehatan biar nggak buat kamu sedih juga. Doain, ya, semoga Ayah dan Ibu sehat selalu, begitupun kamu yang harus selalu jaga kesehatan dan bahagia," jawab Hana dengan penuh rasa kasih sayang.
Maura mengangguk patuh, ia tersenyum pada Hana dan Rusdi.
"Maafin Maura, ya, Yah, Bu. Maura belum bisa buat Ayah sama Ibu bangga, Maura masih banyak menyusahkan kalian," ujar Maura dengan nada penuh penyesalan pada diri sendiri.
"Nggak apa-apa, Nak. Semua prestasi kecerdasan yang udah kamu raih di sekolah itu udah cukup buat Ayah sama Ibu bahagia dan bangga sama kamu. Sekarang Ayah cuma bisa berdoa semoga kamu segera mendapatkan pekerjaan yang kamu inginkan itu," kata Rusdi meyakinkan diri Maura, bahwa ia dan Hana tetap bangga pada putrinya tersebut.
"Makasih, Yah, Bu. Kalian selalu mengerti dengan keadaan Maura. Maura sayang banget sama Ayah dan Ibu."
Maura menggenggam kedua telapak tangan Hana dan Rusdi, meyakinkan diri sendiri kalau ia masih memiliki dua orang malaikat tak bersayap yang harus ia buat bahagia dan bangga dengan dirinya dari segala pencapaian yang ia raih saat di sekolah dulu.
Rasanya, jika belum bisa membelikan sesuatu yang diinginkan oleh kedua orang tuanya menggunakan uang dari hasil jerih payahnya sendiri itu sama saja ia belum membuat kedua orang tuanya bahagia.
"Yah, Bu, Maura akan buat kalian bangga dan Maura nggak akan lagi membiarkan tubuh Ayah yang semakin menua terus-terusan bekerja demi menghidupi Maura dan Ibu. Nanti, biar Maura yang akan menjadi tulang punggung untuk keluarga kita," batin Maura dalam hati.
Ia kini berada di tengah dua orang yang sangat ia sayangi dan sangat menyayangi dirinya. Ia tidak ingin kehilangan mereka berdua, apa lagi sebelum kesuksesan berhasil ia capai.
Setidaknya, meski bukan menjadi milyarder, bukan menjadi seorang pejabat tinggi, bisa mencukupi kebutuhan keluarga dan mengabulkan segala yang Hana dan Rusdi inginkan adalah sukses utama yang harus ia raih saat ini.
Bersambung ....