Sejak mendengar nasihat dari kedua orang tuanya tadi sore, hati Maura tergugah untuk berubah. Rusdi dan Hana kian menua, namun ia belum bisa memberikan yang terbaik untuk kedua orang tuanya.
Letih raga dengan peluh keringat yang mengucur di tubuh menjadi makanan Rusdi sehari-hari, pusingnya beban pikiran untuk makan apa hari ini dan hari esok adalah makanan Hana sehari-hari.
Maura mengerti kondisi Ayah dan Ibu yang sebenarnya, ia tahu apa yang sebenarnya terpendam di hati dua paruh baya itu. Ia adalah anak satu-satunya, yang akan menjadi titik tumpuan harapan dalam hidup Rusdi dan Hana.
Semua ucapan, rasa bangga dan bahagia, juga nasihat dan kalimat yang Rusdi dan Hana ucapkan terus terngiang di kepala Maura, membuatnya merenung menelan arti dari semua kalimat itu.
"Sampai kapan aku nunggu kabar kerja dari Indri?" lirih Maura di pinggir jalan raya.
Ia sedang jalan-jalan mencari angin ke luar rumah, berkata ingin melihat-lihat saja suasana kota di malam hari, tetapi Hana malah memberinya beberapa lembar uang puluhan untuk Maura membeli beberapa cemilan ringan yang ia mau.
Hana selalu begitu, selalu mengerti apa yang diinginkan putrinya tanpa perlu merengek dulu agar diberi.
Lalu lalang kendaraan roda dua dan empat melintas di sampingnya, memancarkan cahaya yang menerangi jalanan. Riuhnya suara klakson dan mesin kendaraan menjadi musik tersendiri untuk Maura sambil merenungi hidupnya.
Langkahnya terhenti di depan sebuah toko berbelanja yang terkenal sampai ke penjuru negeri dengan warna biru dan merahnya yang khas.
Ia belokkan kaki dan masuk ke dalam toko itu, menyusuri setiap rak makanan untuk mencari yang ia inginkan.
Beberapa cemilan ringan terisi dalam keranjang yang ia tenteng, lalu ia serahkan pada penjaga kasir saat dirasa telah cukup.
Wanita cantik yang bertugas sebagai penjaga kasir menyebutkan nominal yang harus Maura bayar, dengan segera ia rogoh kantung baju, dan mengeluarkan beberapa lembar uang rupiah yang kemudian diberi kembalian dengan beberapa uang recehan.
Maura ke luar dari dalam toko itu. Jika sebelumnya ia masuk dengan tangan kosong, kini ia ke luar dengan membawa satu kantung plastik berwarna putih.
Maura melanjutkan langkah kakinya untuk kembali ke rumah. Tentu dengan langkah kaki yang sangat lambat.
Ia masih ingin menatap jalanan, melihat kendaraan yang melintas, dan memperhatikan lampu-lampu kota yang terang benderang. Menyejukkan hati yang terasa sedang terbebani.
Sebuah jam berwarna gold ia keluarkan dari dalam saku, warnanya yang berkilau membuat Maura terpesona tanpa henti.
Hana belum mengetahui soal jam itu, Maura masih ingin mencari tahu dulu asal-usul jam misterius itu. Jika nanti ia t'lah tahu, baru ia akan bercerita pada sang Ibu.
Hana tidak pernah mengijinkan Maura menerima barang ataupun uang dari orang yang tidak ia kenal. Tetapi, benda ini ada begitu saja di dalam tas, mungkin Hana akan ikut heran dan bingung jika tahu.
Dari pada beliau ikut kepikiran hanya karena sebuah jam tangan yang dimiliki putrinya, lebih baik Maura tidak usah memberi tahu.
Ponsel Maura terasa bergetar, ia yang sedang memperhatikan jam misterius itu langsung memasukkannya lagi ke dalam saku baju. Ditukar untuk mengambil benda pipih yang sedang berbunyi.
[Halo.]
[Halo, Ra, ini aku Indri.]
Indri? Maura segera melihat nama yang tertera di kontak panggilan. Ia tidak salah lihat, memang benar Indri yang sedang berbicara padanya saat ini.
Tadi ia pikir mungkin Raka atau Zulfa yang menelepon, makanya ia tidak begitu menghiraukan. Tapi ternyata adalah seseorang yang sudah Maura tunggu panggilan masuknya sejak hampir satu minggu belakangan ini.
[Kenapa, Ndri?]
[Hari Senin aku berangkat ke Solo. Aku udah bilang ke direktur perusahaan untuk resign dari sana. Waktu aku bilang bakal ada temen yang melamar untuk mengisi lowongan kerja yang kembali kosong, Pak direktur langsung seneng dengernya, Ra.]
Maura mendengarkan cerita Indri dengan seksama, bibirnya senyum-senyum sendiri sebab kalimat yang Indri ucapkan.
[Aku juga cerita soal kamu, gimana kamu waktu dari SD sampai kuliah. Beliau tertegun, Ra, katanya semoga kamu memenuhi syarat dan keterima untuk menggantikan posisi aku. Walaupun kamu akan jadi karyawan baru dulu, tapi aku yakin lama-kelamaan kamu bisa mencapai seperti posisi terakhir aku di sana.]
Indri menjelaskan panjang lebar dengan antusias yang menggebu. Begitupun Maura yang menggebu-gebu rasa bahagianya sampai tidak sadar kalau ada beberapa pengendara yang menoleh ke arahnya dengan tatapan heran.
Maura tidak peduli untuk itu, yang terpenting sekarang ia sangat bahagia dan akan segera mendapatkan pekerjaan yang sudah lumayan lama dia inginkan.
[Pokoknya kamu harus bekerja dengan baik, sampai jabatan kamu naik daun. Aku sedih, sih, ninggalin pekerjaan yang udah buat aku nyaman beberapa bulan ini, tapi perusahaan di Solo lebih membutuhkan tenaga kerjaku, hehe. Jadi aku minta kamu jangan buat aku kecewa udah daftarin kamu tetapi kinerja kamu malah nggak bagus, aku nggak mau itu.]
Maura tersenyum dan mengangguk tanpa terlihat oleh Indri. Ingin sekali rasanya ia berteriak bahagia saat ini, tetapi itu tak mungkin ia dilakukan.
[Makasih, Ndri, makasih banyak, ih. Seneng aku tuh punya temen yang baik banget kaya kamu. Tenang aja, aku nggak bakal buat kamu kecewa dan aku akan bekerja semaksimal mungkin,] jawab Maura dengan penuh keyakinan, bahwa dirinya tidak akan membuat kepercayaan yang Indri berikan berakhir kekecewaan.
Setelah lanjut dengan berbincang sebagai obrolan semangat dan terima kasih, sambungan telepon pun terputus diakhiri ucapan salam meski di awal tidak mengucapkan.
Maura sangat bahagia saat ini, apa yang ia tunggu akhirnya datang juga. Apa yang ia nanti akhirnya datang memberi pasti.
Baru kemarin dan tadi sore Hana dan Rusdi menyinggung masalah pekerjaan, membuat Maura terdiam karena belum bisa mewujudkan cita-citanya.
Tapi sekarang, seolah doa dan harapan kedua orang tuanya langsung didengar dan dikabulkan. Indri telah memberi kabar untuknya dan sebentar lagi Maura akan memiliki pekerjaan tetap.
"Alhamdulillah, aku bahagia banget, akhirnya aku bisa memulai untuk membuat Ayah sama Ibu bangga. Aku akan terus melangkah ke depan untuk meraih cita-cita yang selalu aku impikan," ucap Maura bermonolog sendiri di pinggir jalan yang sedikit redup.
Hatinya yang saat berangkat ke jalanan kota gundah gulana, kini hilang menjadi rasa syukur dan bahagia.
Akan segera ia sampaikan kabar gembira ini pada Rusdi dan Hana, ia yakin jika kedua orang tuanya pun tak kalah bahagia jika mendengar kabar baik ini.
Maura memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku baju yang ia kenakan. Jarinya tergerak untuk mengeluarkan jam tangan yang sempat ia keluarkan juga sebelumnya.
"Aku bakal kerja dan buat Ayah sama Ibu bahagia. Doain semoga aku sukses dan semoga aku cepet tau dari mana asal-usul kamu," ucap Maura sambil menatap benda berwarna gold itu.
"Terima kasih, jam misterius. Karena kamu aku jadi mulai inget waktu. Kamu selalu berbunyi di jam sholat, meski aku masih susah untuk melaksanakan sholat, tetap aja bunyinya kamu selalu menyadarkan aku untuk nggak maen hp mulu," lanjutnya masih memegang dan menatap jam itu.
Ada rasa haru di hati. Bukan karena jam misterius yang tidak menjawab perkataan Maura. Tetapi, karena Indri yang telah membawa kabar baik untuknya.
Mata Maura berkaca-kaca. Belum saja ia menjalani pekerjaannya itu, di pikirannya telah lewat beberapa adegan di masa depan sebagai harapan Maura.
Ia tersenyum, beralih menatap jalanan dengan rasa bahagia. Warna-warni suasana jalanan di kota Bandung menambah keceriaan hatinya. Sampai-sampai Maura senyum-senyum sendiri sambil melihat sekeliling.
Bandung, kota yang menjadi tempat untuk ia bertahan hidup kini. Kota yang menjadi tempat untuk ia menetap dan menatap dunianya. Dengan penduduk di sekeliling yang berlogat lembut menyejukkan hati saat mengobrol meski hanya ngalor ngidul.
"Aku akan memulai semuanya," lirih Maura dengan kemantapan hati.
Ia telah bertekad kuat untuk bisa menggapai cita-citanya dan membahagiakan kedua orang tuanya. Juga mendapatkan cinta yang akan melengkapi hidupnya di hari-hari yang akan datang.
Bersambung ....