"Udah nyampe, Neng," ujar kernet bus membangunkan seorang wanita yang masih larut dalam tidurnya. Tidak sadar jika bus telah berhenti.
"Neng!" panggilnya lagi sedikit keras, berharap wanita itu mendengar dan bangun.
Maura--wanita yang sedang dibangunkan oleh kernet bus tersebut beringsut dari tempat duduknya. Mengucek kedua mata untuk mengumpulkan kesadaran.
Kernet bus yang melihat Maura mulai membuka mata segera berjalan untuk menjauh dari situ, setelah memastikan semua penumpang sudah turun kecuali Maura.
Menonton film dengan episode berpuluh-puluh membuat Maura harus merelakan jam tidurnya. Menahan rasa kantuk yang datang menghampiri demi mengetahui kelanjutan dari film yang ia tonton. Meski masih ada hari esok, menonton atau membaca sebuah cerita yang menggantung dan membuat penasaran tidak akan membuat dirinya bisa tidur dengan nyenyak.
Alhasil, ia harus tertidur nyenyak walau sedang berada di dalam bus. Waktu luang yang ada hari ini bisa saja ia gunakan untuk merebahkan diri seharian penuh, tetapi rasa rindu akan sahabatnya tidak mungkin bisa ia tahan lagi. Mumpung Ibu tidak berjualan, kalau Ibu berjualan, Maura akan sibuk untuk membantu.
Setelah merasa nyawanya sudah terkumpul, ia merapikan sekilas rambutnya yang tergerai bebas agar tak terlihat kusut. Membenarkan posisi baju untuk melangkah keluar dari dalam bus.
Kampung Rajawali. Sebuah tulisan yang tertera di atas sebuah toko yang berada di hadapan Maura. Ia bernapas lega karena akhirnya sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Ada sebuah tempat duduk yang terbuat dari semen di dekat Maura berdiri, ia pun segera mengambil duduk sambil melepaskan sebentar rasa penat sehabis dari perjalanan. Meski tidak terlalu jauh dan memakan waktu berjam-jam lamanya, tetap saja sehabis melakukan perjalanan rasa lelah pasti hinggap menghampiri.
Ia tatap beberapa kendaraan yang melintas silih berganti di hadapannya, mengeja bacaan-bacaan yang tertera di belakang mobil, atau bacaan yang tertulis di sekitarnya di dalam hati.
Asap dan debu yang tercipta dari kendaraan yang lewat tidak membuat Maura beranjak dari tempat duduknya, ia masih setia menikmati pemandangan kampung yang baru pertama kali ia datangi.
Drrttt ... drrttt ....
Getaran handphone dari dalam tas kecilnya menyadarkan Maura, tangannya dengan sigap meraih benda pipih itu dari dalam tas dan mengeluarkannya kemudian menekan tombol berwarna hijau sampai telepon telah tersambung.
Didekatkannya speaker ponsel ke telinga, kemudian mulai fokus untuk berbicara dengan seseorang di seberang sana.
[Nanti jadi pergi, kan?] ucap seorang pria di ujung sana, menanyai Maura dengan nada ceria.
[Jadi, kok. Tapi siangan aja, ya!] jawab Maura dengan nada memohon.
[Loh, kemaren kan janjinya pagi ini, masa berubah jadi siang.]
[Iya tau. Tapi teh Maura mau main dulu ke rumah Zulfa yang baru, di Kampung Rajawali. Kan Maura udah bilang tadi malem, abis maen sama temen Maura, baru kita maen, ya!] jelas Maura kepada lelaki itu. Terdengar helaan napas kasar di seberang sana.
[Ya, udah, iya, nanti siang aja,] ucapnya akhirnya mengalah.
[Iya, sayang.]
Tut.
Sambungan telepon terputus, setelah Maura menekan tombol yang tertera berwarna merah.
Kini jarinya beralih untuk mencari sebuah nama di dalam kontaknya, lalu kembali menggeser tombol berwarna hijau saat sebuah nama yang ia cari tertera di sana.
[Kamu udah nyampe?] tanya seseorang di ujung sana.
[Iya, Zul. Rumah kamu di mananya? Aku ada di depan toko kosmetik, nih,] ucap Maura sambil menatap ke sekelilingnya.
[Kamu liat jalan di samping toko itu?] tanya wanita yang tadi dipanggil Maura dengan panggilan Zul--Zulfa.
Maura menyapu pandangannya untuk mencari jalan yang terletak di samping toko di hadapannya itu. Ternyata memang ada sebuah jalan yang mungkin akan membawanya ke rumah Zulfa.
[Kamu nyebrang aja dulu ke jalan itu!] titah Zulfa.
Maura segera menengok ke kanan dan kiri untuk memastikan bahwa jalanan bisa untuk ia seberangi. Setelah memastikan tidak ada kendaraan yang melaju dengan kencang, ia pun melambaikan tangan kanannya untuk kemudian menyebrang, begitu pun yang dilakukan terhadap jalan di seberangnya lagi.
[Udah, nih. Terus aku harus ke mana?] tanya Maura saat ia sudah berada tepat di depan jalan yang dikatakan oleh Zulfa.
[Kamu masuk aja ke jalan itu. Ada pangkalan ojek, kamu naik aja. Bilang mau ke RT 2. Nah, waktu abang ojeknya bilang udah sampe RT 2, kamu cari aja rumah warna kuning, itu rumah aku di sini.] jelas Zulfa secara rinci.
[Oke, tunggu, ya.]
Maura kembali menekan tombol berwarna merah. Ia mengerti penjelasan dari Zulfa, sebentar lagi ia akan menemui teman lamanya itu.
Ia buka tas kecilnya untuk menaruh benda pipih kesayangannya tersebut, tetapi tangannya terhenti untuk memegang sesuatu yang ada di dalam sana.
"Jam?" Alis Maura bertaut bingung. Dari mana ada sebuah jam di dalam tasnya? Ia ingat sekali bahwa ia tidak memakai jam dan tidak meletakkan jam di dalam tas.
Jam itu terlihat cantik. Berwarna gold membuat Maura langsung jatuh hati pada benda yang tidak diketahui asal-usulnya tersebut.
"Dari mana, ya?" tanya Maura pada dirinya sendiri.
Ia masih diam di tempat, yang tadinya ingin segera menghampiri tukang ojek, kini malah mematung untuk mengingat-ingat dari mana jam itu berasal dan kenapa bisa ada di dalam tasnya?
"Apa mungkin cowok di bus tadi yang naro jam ini ke tas aku?" ucap Maura bermonolog sendiri. Menerka-nerka untuk menghilangkan rasa bingungnya.
Maura sangat ingat bahwa ia sama sekali tidak membawa jam dari rumah. Ia datang ke halte, lalu menunggu bus datang, kemudian ia duduk di dalam bus bersama seorang lelaki yang tidak ia kenal.
Lelaki itu memberi nasihat agar ia tidak berlebihan ketika bermain handphone. Maura ingat betul kalau hanya lelaki itu yang ada bersamanya dan berbicara dengannya tadi.
Tapi, kapan lelaki itu menaruh jam ke dalam tasnya? Yang Maura ingat ia hanya merasa ngantuk lalu tertidur dengan pulas di dalam bus sampai tidak sadar jika bus telah berhenti.
Atau jangan-jangan lelaki tadi menaruh jam itu saat Maura sedang tertidur? Tebak Maura dalam hati.
"Nggak sopan, ih, buka-buka tas orang!" gerutu Maura saat berpikiran kalau lelaki itu meletakkan jam pemberiannya saat Maura sedang tidur.
Maura mengecek isi tasnya, uang dan segala isi yang ada di dalamnya utuh. Berarti, lelaki tadi tidak melakukan apa-apa, hanya meletakkan jam gold ke dalam tas Maura.
Tetapi untuk apa ia memberikan itu? Padahal kenal saja tidak. Maura pun menghela nafasnya pusing karena bingung siapa sebenarnya orang yang telah menaruh jam itu di dalam sling bag miliknya.
Bersambung ....