Suara ayam berkokok yang terdengar di luar sana tidak membuat Maura membuka mata. Sinar mentari yang mulai menerobos masuk dan menyentuh kelopak mata pun tidak membuat ia bergerak sedikitpun.
Hana--Ibu Maura sudah beberapa kali mengetuk pintu kamar anak gadisnya itu, tetapi masih saja tidak ada jawaban. Beliau berpikir mungkin Maura kelelahan setelah main ke rumah Zulfa, Hana pun tak lagi mengetuk pintu kamar putrinya dan mulai menyibukkan diri untuk memasak di dapur.
Terlihat pergerakan kecil dari tubuh Maura, ia mulai menggeliat karena tersadar dari tidur malamnya.
Merentangkan kedua tangannya dan menguap karena masih merasakan sedikit kantuk, seperti yang dilakukan hampir setiap orang jika baru saja bangun tidur.
Maura dengan berat hati mulai membuka dua kelopak matanya, mengucek mata itu beberapa kali untuk menjelaskan penglihatan.
"Hoam ..." lenguhnya menguap sekilas.
Ia tidak beranjak dari tempat tidur, malah masih merebahkan tubuh dengan pikiran yang kembali teringat akan apa yang ia lihat tadi malam.
Foto dan video yang dikirimkan oleh Bima padanya masih tergambar jelas di dalam ruang pikirnya, membuat dirinya memutar kembali apa yang telah membuatnya kecewa itu.
"Aku mimpi apa bukan, sih?" ucapnya bermonolog sendiri, seakan tidak percaya dengan apa yang ia lihat tadi malam.
Akibat kesedihan yang bercampur dengan rasa kecewa karena Raka tadi malam, Maura jadi menangis sampai ketiduran dengan keadaan air mata yang masih membasahi pipi.
Untuk memastikan bahwa foto dan video yang ia lihat itu ada di dunia nyata atau di dunia mimpi, Maura pun meraba-raba kasur untuk mencari benda pipih miliknya.
Ia ambil ponsel yang berhasil ia temukan itu lalu mulai membuka kembali isi pesan dari Bima dengan mata yang baru terbuka dengan sempurna.
Maura mendengus kesal, apa yang ia lihat tadi malam ternyata memang kenyataan. Pikirannya bahwa hal itu hanyalah sebuah mimpi sangat salah besar.
Ia lempar lagi ponselnya. Kali ini bukan dengan perasaan emosi, tapi rasa pasrah karena tidak mengerti apa lagi yang harus ia lakukan dan ia katakan untuk bisa membuat Raka sadar?
Putus? Ah, iya! Maura akhirnya mulai mau untuk mengucapkan kalimat itu. Kalaupun Raka nantinya akan biasa saja untuk dilepas, berarti Raka memanglah bukan lelaki yang seharusnya Maura perjuangkan.
Tetapi jika nanti Raka tidak mau untuk diputuskan, Maura menjadi bingung untuk tetap kokoh pada pendiriannya atau kembali memberi Raka kesempatan? Tidak terhitung untuk yang ke berapa kalinya.
Maura tidak ingin menghubungi Raka duluan, rasa kecewa dalam hatinya sangat melarang agar membiarkan Raka yang lebih dulu menghubungi Maura, karena memang Raka yang seharusnya mencari Maura dan meminta maaf pada wanitanya itu.
Ia angkat tubuhnya untuk beranjak dari tempat yang selalu membuat dirinya nyaman. Duduk sebentar di tepi ranjang untuk membenarkan kuncir rambut dan meregangkan sebentar otot-otot tubuh.
Maura bangun dan berjalan untuk menghampiri sebuah kaca berukuran sedang yang terletak di dinding kamar. Menatap wajah yang kini terlihat sedih dengan mata sayu dan kantung mata yang sedikit membesar sebab tangisannya semalam.
"Ibu pasti bakal curiga, deh, kalo liat muka aku kaya gini," ujarnya sambil masih memperhatikan tiap inci kulit wajah yang tampak sedikit berubah.
Maura mencoba untuk senyum-senyum sendiri dan memasang wajah seolah sedang tertawa di depan kaca. Buka seperti orang gila, tetapi hal itu memang suka untuk Maura lakukan untuk mengurangi besarnya kantung mata yang tercetak di wajah cantiknya.
"Langsung mandi, ah, biar agak ilang bengkaknya," ucap Maura berniat untuk segera membersihkan diri.
Baru saja kakinya akan melangkah ke luar kamar, terdengar getaran dari ponsel dengan layar yang terus mati hidup mati hidup berulang kali.
Ia urungkan niat untuk ke luar kamar, memutar balik langkah kakinya untuk menghampiri ranjang tercinta dan mengambil benda pipih yang masih saja bergetar itu.
Alangkah terkejutnya Maura saat melihat siapa yang menghubungi dirinya itu, nama 'Raka' dengan emoticon love berwarna merah tertera jelas di sana.
Maura tidak langsung mengangkat, berpikir beberapa kali untuk mengangkat atau tidak panggilan itu? Sama seperti yang kemarin Maura lakukan, kini Raka yang terus saja berulang kali menghubungi Maura meski belum juga mendapat balasan dari wanita itu.
Dengan rasa terpaksa akhirnya Maura mau untuk mengangkat panggilan dari Raka. Ia jawab panggilan itu setelah panggilan yang ke enam kali.
[Halo, Ra.]
Maura diam, tidak langsung menyahut saat Raka memanggil namanya.
[Ra! Raka minta maaf kalo semalem Raka nggak angkat telpon dari Maura, Raka lagi sibuk soalnya.]
Maura tersenyum sinis. Sibuk katanya? Sibuk apa memang? Sibuk mabuk? ucap Maura menjawab ucapan Raka di dalam hati.
[Ngomong Maura, jangan diem aja. Raka minta maaf, Raka kemaren nggak marah, kok, waktu Maura batalin janjian kita. Raka emang lagi sibuk aja dari sore sampai malam. Ini Raka baru sempet megang hp karena baru bangun.] Pintar sekali Raka drama untuk mencari alasan.
[Sibuk apa?] tanya Maura dengan nada datar, sama seperti yang Raka lakukan juga tadi malam kepadanya.
[Ha? I-itu, Raka bantu Abang untuk benerin gitar yang rusak.]
Maura memutar bola matanya kesal. Mana ada membantu untuk membenarkan gitar dari sore sampai malam? Sampai tidak sempat membuka handphone dan malah terdengar suara musik saat Raka sempat menjawab panggilannya tadi malam.
[Nggak usah bohong, Ka! Maura udah tau semuanya.] Maura langsung to the point, tidak tahan dengan Raka yang sangat pintar berbohong.
[Maksud, kamu? Aku nggak bohong, kok, kalo kamu nggak percaya tanya aja sama Abang] jawab Raka masih saja mengelak dan tidak mau mengakui kesalahannya.
Tanpa menjawab ucapan Raka, Maura segera membuka layar chatting untuk meneruskan foto dan video yang Bima kirim padanya.
Tidak lama pesan dari Maura langsung ceklis dua berwarna biru, tanda kalau Raka sudah melihat pesan darinya.
[Mau bohong apa lagi?] tanya Maura merasa senang karena berhasil membuat Raka mati kutu.
Raka sempat terdiam sesaat sampai akhirnya berbicara untuk menyanggah foto dan video yang Maura kirimkan.
[Pasti dari Bima, ya? Kamu percaya, Ra? Itu foto sama video udah lama banget! Dia emang sengaja iseng untuk buat kamu marah sama aku.]
Maura jadi bingung sekarang, ucapan Raka memang masuk akal tetapi ia tidak ingin mudah tertipu lagi.
[Tapi lagu di video itu sama banget sama lagu yang aku denger waktu nelpon kamu!]
[Haha, aku kan udah bilang kalo aku itu sibuk, Ra. Aku benerin gitar berdua sama Abang sambil dengerin musik biar nggak garing, jadi musik yang kamu denger itu emang musik yang lagi disetel Abang.]
Ucapan Raka terdengar sangat jujur dan santai, membuat Maura jadi sedikit luluh dan percaya akan omongannya.
[Tapi aku nggak percaya! Aku kecewa banget karena kamu nggak pernah berubah!] Maura masih bisa mengungkapkan rasa kesalnya sebelum benar-benar terhasut oleh omongan Raka.
[Aku udah berubah, sayang. Udah lama, kok, aku nggak menyentuh hal-hal kaya gitu lagi.]
Maura jadi terdiam untuk mencerna semua ucapan Raka. Raka selalu saja begitu, mempunyai banyak alasan yang selalu berhasil membuat Maura jadi percaya. Maura terlalu mudah untuk diperdaya, meski ia tidak tahu kalau Raka benar-benar sibuk karena membantu abangnya atau sibuk karena hal lain yang sempat membuat hati Maura tersakiti tadi malam.
[Kamu percaya, kan, sama aku?]
Maura merasa keberatan untuk berkata 'iya'. Tapi hatinya terasa luluh setelah mendengar penjelasan dari suara Raka yang begitu lembut dan terdengar jujur.
[Iya, deh, aku percaya sama kamu. Tapi aku nggak akan lagi maafin kamu kalo sampai kamu mengulangi keburukan kamu itu!] titah Maura akhirnya percaya.
[Enggak akan, Maura cantik kesayangannya Raka!] ujar Raka dengan nada gembira, bahagia karena Maura mau memaafkan dirinya.
Meski Maura tidak percaya penuh, setidaknya jawaban dari Raka sudah membuat rasa kecewanya hilang perlahan.
Ia berjanji pada diri sendiri kalau sekali lagi ia melihat atau mengetahui Raka mengulangi kesalahan yang sama, tidak akan ada toleransi! Maura tidak akan mau lagi memaafkan Raka apapun itu alasannya.
Bersambung ....