Usai mandi untuk membersihkan tubuhnya, Maura kembali untuk berdiam diri di kamar. Rambutnya yang masih basah ia keringkan dengan handuk berwarna biru, warna kesukaan.
Bukan hanya tubuh, tetapi otaknya pun terasa lebih segar kini. Merefresh pikiran yang menghantam otaknya, tentu saja tentang Raka.
Setelah berbincang di telpon tadi, Raka berkata lelah dan ingin melanjutkan tidurnya. Maura tidak peduli, ia ikut mematikan panggilan telepon dan segera beranjak untuk mandi, sekaligus menyamarkan kantung mata yang terlihat semakin membesar tetapi sudah mengecil kini.
Saat ini wajahnya sudah terlihat semakin ceria dan segar, tidak lagi sendu seperti beberapa menit yang lalu.
Habis menangis tadi malam, rasanya Maura sangat lapar kini. Tenaganya terkuras habis untuk menangisi Raka yang nyatanya hanya 'salah paham'.
Ia akhirnya memutuskan untuk pergi ke dapur. Niat hati ingin mengambil nasi dan makan, ternyata Ibunya masih masak dan belum matang.
"Kamu itu susah banget, Ra, kalo di bangunin," ucap Hana saat menyadari kedatangan gadis tunggalnya itu.
Maura hanya menyengir, dirinya memang susah untuk bangun pagi apa lagi setelah ada masalah seperti tadi malam, ia akan tidur dengan pulas sambil melupakan kesedihannya.
"Ibu nggak buat kue?" tanya Maura yang tidak melihat bahan-bahan untuk membuat kue berada di dapur.
Hana--Ibu Maura, adalah seorang Ibu rumah tangga yang menjual kue jika ada pesanan, itulah sebabnya mengapa Maura tidak ada waktu untuk keluar atau sekedar jalan-jalan, ia membantu Ibunya di rumah. Selagi belum mendapatkan pekerjaan yang ia inginkan, lebih baik membantu Ibu untuk mengisi waktu luang, begitu pikirnya.
"Sepi, Ra, kayanya Ibu akan berhenti nggak jualan lagi."
"Loh, kenapa gitu, Bu?"
"Udah banyak toko-toko kue besar, para pelanggan lebih memilih beli kue di sana, makanya udah beberapa hari ini Ibu nggak pernah jualan," jawab Hana dengan raut wajah sedih.
"Ibu jangan sedih, ya, rejeki nggak bakal ke mana, kok. Semoga rejeki Ayah tetap lancar, Bu," ujar Maura sambil berjalan untuk mendekati Hana.
"Itu Ibu masak apa?" tanya Maura saat melihat apa yang sedang Hana buat.
"Ini omelet mie telur kesukaan kamu, Ibu buatin spesial buat kamu," jawab Hana dengan raut yang kembali gembira.
Maura tersenyum senang melihat mie dan telur yang terletak di atas meja, akan Hana campur untuk dibuat sebagai mie telor atau biasa disebut omelet kesukaan Maura.
"Sini, Bu, Maura aja yang buat," ujar Maura mengambil alih kegiatan Hana yang mau memecahkan dua butir telur yang sudah ia siapkan.
"Kalo kamu yang buat berarti bukan spesial untuk kamu, dong, sayang. Ini namanya buatan kamu sendiri, bukan buatan Ibu," ucap Hana sambil tersenyum lembut kepada anak sulungnya itu.
Maura ikut tersenyum mendengar ucapan Hana. "Nggak apa-apa, Bu, Maura juga mau pinter masak kaya Ibu. Masa udah gadis gini cuma bisa masak yang itu-itu aja."
"Loh, ini kan cuma mie sama telur doang, kamu juga pasti sudah pintar membuatnya," jawab Hana mengingatkan Maura kalau apa yang ia akan masak adalah apa yang sudah Maura tahu cara membuatnya.
"Nggak apa-apa, Bu. Udah, ya, Maura aja yang masak, Ibuku yang paling cantik," puji Maura agar Hana mau mengalah. Meski Maura belum bekerja, ia tetap tidak ingin menjadi beban dalam keluarganya.
Hana akhirnya mengalah, menyerahkan bahan-bahan yang harus dimasak kepada Maura. Ia berjalan untuk duduk di kursi makan, tidak meninggalkan Maura sendirian di dapur karena ingin melihat bagaimana anak gadisnya tersebut bisa memasak dengan lincah.
Maura sudah selesai mencampur mie dan telur dalam sebuah wadah, lalu memanaskan minyak untuk kemudian menjadi tempat penggorengan.
"Jadi anak wanita harus pinter masak, ya, Ra." Maura mengangguk sekilas mendengar ucapan Hana karena sedang fokus untuk mengaduk adonannya.
"Kita bukan orang berada, nggak bisa sewa pembantu untuk leha-leha biar semua keinginan kita dilayani. Kamu harus jadi anak yang rajin, pintar masak, dan bersikap sopan santun," ucap Hana memberi nasihat kepada putrinya.
Maura yang mendengar ucapan sang Ibu langsung terdiam dan merenung. Nasihat dari Hana membuatnya terasa tertampar, ia memang seharusnya belajar untuk menjadi calon istri yang baik sejak sekarang.
Keadaan keluarganya yang sederhana saat ini bukan berarti ia tidak bisa hidup menjadi orang kaya suatu saat nanti. Justru ia bertekad untuk menjadi orang sukses dan meraih semua impiannya untuk mendapatkan hidup yang lebih baik dari kehidupan kedua orang tuanya.
"Iya, Bu. Maura akan terus belajar, ingetin terus, Bu, hehe," ucap Maura kemudian mulai memasukkan adonan makanannya ke dalam wajan.
"Ibu cuma minta supaya kamu jangan maen hp terus, kurangin, Nak. Kamu sebenarnya sudah rajin, tapi kadang terlalu terbuai sama handphone," ucap Hana terus menasihati putri satu-satunya itu.
Maura tidak bisa menjawab, apa yang dikatakan oleh Ibunya memang benar. Maura kerap kali lupa waktu jika sudah menyentuh benda pipih itu, ia sampai bingung bagaimana cara menguranginya.
Ucapan Hana sama persis dengan ucapan lelaki yang Maura temui saat di bus. Mengingat tentang lelaki itu, apa kabar dengan jam yang ada di sling bag Maura?
"Ibu selalu berdoa semoga kamu nanti dapet jodoh yang menerima kamu dan keluarga kita apa adanya. Ibu selalu berdoa biar kamu berjodoh dengan lelaki baik-baik dan bisa membawa kamu untuk hidup bahagia dunia akhirat," ujar Hana memberi tahu doa-doa yang selalu ia serukan untuk putrinya itu.
Ucapan Hana barusan seakan memojokkan ia tentang Raka. Menantu yang ia harapkan berjodoh dengan Maura sangat jauh kriterianya dari Raka.
Inilah alasan mengapa Maura tidak pernah membawa Raka untuk bermain ke rumahnya. Jika Ayah dan Ibu Maura tahu kalau selama ini yang menjadi kekasih Maura adalah lelaki seperti itu, ia takut Ayah dan Ibunya akan marah besar dan sudah pasti tidak akan merestui.
Maura ingin merubah Raka untuk menjadi lebih baik agar ia dan dirinya bisa bersatu dan orang tua Maura mau merestui Raka. Tapi nyatanya, perubahan Raka sangat meragukan. Antara sudah berubah atau belum, Maura sendiri pun bingung untuk mengakuinya.
"Iya, Ibu, aamiin," sahut Maura kemudian.
Ia membalikkan omelet yang sudah berwarna kuning kecoklatan, tidak sabar agar masakannya itu segera matang, Maura merasa tambah lapar sekarang.
"Jangan sampai kamu dekat sama orang yang pergaulannya nggak benar, Ra," harap Hana sangat menginginkan yang terbaik untuk anaknya.
Maura lagi-lagi dibuat membisu oleh ucapan Hana. Apa yang diucapkan Hana bertolak belakang dengan diri Raka. Ibunya secara tidak sadar seakan menyuruh Maura untuk menjauhi Raka atau siapa saja orang-orang tidak benar yang ada di hidupnya.
Omelet sudah matang. Maura tidak menjawab ucapan Hana yang barusan. Ia pura-pura sibuk mengangkat masakannya yang sudah matang namun telinganya telah mendengar baik-baik ucapan sang Ibu.
Sepiring omelet telah tersaji di atas piring cantik berwarna putih. Maura berjalan ke meja makan untuk memberikan hasil masakannya pada Hana.
"Cobain, Bu, pasti enak," ucap Maura saat sampai di hadapan Hana.
"Ayo kita makan bareng! Ambil nasinya sana, makan yang banyak, Nak!" titah Hana menyuruh Maura.
Maura segera mengambil dua porsi nasi seperti yang Hana perintahkan tanpa menunggu untuk disuruh yang ke dua kali.
"Enak banget, deh, masakan aku," ujar Maura memuji masakannya sendiri, ia terlihat makan dengan lahap akibat lapar sedari tadi.
Hana tersenyum lalu mengangkat jari jempol tanda bahwa beliau berkata 'enak'. Meski dalam hati Hana adalah, baru masak seperti ini, Ra, pasti enak apa lagi Ibu yang nyiapin bahannya tadi.
Hana mulai sibuk memakan masakan anak gadisnya itu. Mereka hanya berdua di rumah karena Ayah Maura sudah pergi untuk berangkat bekerja.
"Ra, kapan kamu mau kerja?" tanya Hana menyinggung soal pekerjaan.
Maura menghentikan sebentar aktivitas makannya lalu beralih untuk menatap sang Ibu.
"Maura lagi nunggu kabar dari teman Maura, Bu. Dia bilang mau berhenti kerja dan mulai bisnis ikut Kakaknya sendiri di Solo. Maura mau melamar untuk menggantikan dia, lagian gajinya lumayan besar, Bu, Maura nggak mau kehilangan kesempatan ini. Doain aja, Bu, semoga teman Maura cepat menghubungi Maura untuk melamar biar Maura bisa bantu keuangan Ibu sama Ayah."
Hana mengangguk mendengar penjelasan anaknya, berharap Maura segera mendapatkan pekerjaan, apalagi sekarang dirinya sudah tidak berjualan lagi.
Bukan Maura tidak pernah bekerja sebelumnya, tetapi karena ia baru beberapa bulan di wisuda, jadi Maura belum memiliki pengalaman bekerja langsung di sebuah perusahaan.
Maura yang termasuk dalam golongan mahasiswi cerdas di kampusnya sempat mendapatkan beberapa tawaran pekerjaan untuk ia setelah lulus.
Tetapi Maura selalu menolak dengan halus, karena rata-rata lowongan pekerjaan yang ditawarkan terletak jauh bahkan ada yang sampai berbeda pulau. Maura tidak ingin berada jauh dari kedua orang tuanya.
"Ibu selalu berdoa biar kamu bisa jadi orang sukses dan mendapatkan pendamping hidup yang terbaik," ucap Hana memberi semangat pada anak gadisnya.
Maura meneguk air putihnya, lalu tersenyum lembut pada Hana sebagai ucapan syukur karena telah terlahir dari rahim seorang wanita yang sangat baik dan menyayanginya.
"Iya, Bu. Makasih, ya, Bu, selalu mendoakan yang terbaik untuk Maura, Maura akan terus berusaha untuk buat Ayah dan Ibu bahagia," ucap Maura sambil berjalan untuk merengkuh tubuh Ibunya yang selalu membuat raganya merasa nyaman.
Hana mengelus puncak rambut Maura, menyalurkan kasih sayang terhadap anak satu-satunya itu. Ia akan selalu melakukan apapun demi kebaikan anaknya, seperti menyekolahkan Maura sampai ia bisa kuliah.
Mereka tersenyum bahagia, terutama Maura yang sangat senang memiliki Ibu seperti Hana. Ia berharap bisa mewujudkan impian dari sang Ibu. Perihal kesuksesan dan jodoh, Maura masih berusaha untuk mendapatkan semua yang terbaik dalam hidupnya.
Meskipun secara tidak sadar, Maura sudah salah langkah memilih Raka. Entahlah, hanya waktu yang akan menjawab bagaimana kisah hidup Maura selanjutnya.
Bersambung ....